MUTIARAHINDU.COM -- Agama memiliki beberapa ciri antara lain kaya dengan ritual (Gellner, 2009; Koentjaraningrat, 1987). Gejala ini berlaku pada agama Hindu –tiada hari tanpa ritual. Dengan demikian agama Hindu menggariskan bahwa ritual atau upakara sebagai salah satu dari tiga kerangka agama Hindu – kerangka lainnya tattwa (filsafat) dan susila (etika) (Parisada Hindu Dharma, 1972). Apa pun bentuk ritual agama maka penyelenggaraannya berkaitan dengan perayaaan Hari Suci Keagamaan –merupakan persyaratan bagi suatu agama.
Agama Hindu memiliki banyak hari suci, antara lain Galungan – Kuningan. Dengan mengacu kepada Koentjaraningrat (1987) ritual agama, termasuk Galungan-Kuningan pasti memakai peralatan ritual. Peralatan ritual yang sangat penting pada hari suci Galungan – Kuningan adalah penjor, yakni sebatang bambu yang bagian atasnya sengaja dibiarkan melengkung. Bambu ini dihiasi dengan berbagai hiasan yang terbuat dari daun enau muda (ambu) atau daun kepala muda (busung) dibuat melingkar dan pelengkapan lainnya termasuk sesajen (banten) (Lihat Gambar 1, 2 dan 3). Pengamatan kancah menunjukkan bahwa penggunaan penjor sangat semarak apalagi adanya anjuran dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) bahwa penjor merupakan peralatan ritual yang sangat penting bagi perayaan Hari Raya Galungan-Kuningan. Kesemarakan penjor tercermin dari aksesorisnya, yakni memuat hiasan bernilai seni amat tinggi tanpa mengabaikan pakemnya. Dengan demikian penjor tampak indah, mewah dan berharga mahal sehingga melahirkan label penjor lebay, penjor berlebihan (lebih lanjut, lihat di bawah). Gejala ini dapat dilihat pada contoh penjor pada Gambar 2, dan 3.
Namun, di balik keindahan dan kemewahan berbagai bentuk penjor seperti terlihat pada gambar berdasarkan pengamatan kancah, ternyata banyak orang Hindu yang belum memahami makna penjor Galungan-Kuningan secara utuh. Kebanyakan mereka membuat penjor berdasarkan tradisi atau gugon towon, tanpa memahami aspek tattwa (filsafat) dan susila (etika yang disampaikannya) yang ada di baliknya. Realitas ini memerlukan pembenahan mengingat bahwa Tiga Kerangka Agama Hindu, yakni upakara (ritual dan penjor adalah peralatan ritual), tattwa, dan susila merupakan suatu kesatuan dalam kehidupan agama Hindu. Artinya, dalam melakukan ritual, orang Hindu tidak sekadar beritual, tetapi memahami pula dasar-dasar filsafatnya yang berujung pada peningkatan karakter atau etika dalam kehidupan bermasyarakat (Atmadja, 2010; 2013).
Dengan demikian pengkajian terhadap masalah makna filosofis dan etika yang terkandung pada penjor tidak saja penting, tetapi juga amat mendesak guna menetalisir gugon tuwon pada masyarakat Bali. Pendekatan yang dipakai untuk mengkaji masalah ini adalah teori sosial kritis pos-strukturalisme dan posmodernisme (Ritzer, 2012; Sim dan van Loon, 2008; Noerhadi, 2013; Ajidarma, 2011; McCarthy, 2006; Turner, 2000; Samart, 2000; Saeng, 2012; Norris, 2006). Teori ini berprinsip bahwa kebudayaan adalah teks sehingga dapat dibaca guna memahami maknanya. Permaknaan tidak lagi hanya mengacu kepada struktur kognisi binerisme yang stabil seperti pada strukturalisme, tetapi lebih tepat dipahami sebagai sesuatu yang dibentuk lewat penafsiran. Makna terikat pada ideologi, kekuasaan, kepentingan dan/atau hasrat yang tersembunyi di balik kebudayaan sebagai teks. Aktualitasinya, tidak bisa hanya dibatasi pada kata-kata, kalimat-kalimat, dan teks tunggal tertentu, melainkan relasi antarteks atau ntertektualitas. Gagasan ini berimplikasi bahwa pencarian makna atas suatu kebudayaan tidak saja menekankan pada makna denotatif, tetapi juga makna konotatif yang didapat lewat penafsiran secara dekonstruktif.
Dengan berpegang pada teori ini maka penjor GalunganKuningan tidak hanya dilihat sebagai barang budaya yang secara tekstual bernilai agama dan seni, tetapi juga sebagai teks yang bercorak intertekstualitas yang memuat ideologi, kekuasaan, kepentingan dan/atau hasrat. Hal ini teraktualisasi dalam sistem nilai sebagai pembentuk makna-makna yang tersembunyi di balik penjor Galungan-Kuningan. Makna memerlukan penafsiran secara denotatif dan konotatif sehingga berpeluang untuk mendapatkan maka makna yang lebih luas dan holistik tentang penjor GalunganKuningan pada masyarakat Bali.
2. Metode penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Peneliti adalah alat penelitian yang utama. Informan ditunjuk secara purposif, yakni pembuat penjor, pedagang penjor, konsumen penjor, dan tokoh agama. Teknik pengumpulan data adalah wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen. Aneka teknik ini dipakai secara terpisah dan atau berkaitan dalam konteks triangulasi data. Teknik analisis data adalah konseptualisasi, hasil konseptualisasi, pembuktian, dan objektivasi. Dalam rangkaian kegiatan ini dilakukan dekonstruksi, analisis semiotika, dan hermeneutika guna membongkar ideologi dan nilai di balik teks budaya (Norris, 2006; Noerhadi, 2013; Lubis, Lubis, 2012; Eriyanto, 2013; Ajidarma, 2011), yakni penjor Galungan-Kuningan dan tindakan sosial yang menyertainya secara meruang dan mewaktu. Dengan cara ini terbentuk etnografi kritis yang menjawab makna-makna denotatif dan konotatif penjor Galungan-Kuningan.
3. Pembahasan
Perayaan hari suci Galungan-Kuningan berlangsung pada hari Buddha Kliwon Dungulan dan hari Saniscara Kliwon Kuningan (setiap enam bulan). Hari Raya Kuningan merupakan kelanjutan dari Hari Raya Galungan. Perayaan Galungan secara filosofis dikaitkan dengan perang abadi antara dharma (kebajikan) melawan adharma (kejahatan). Dalam perang ini dharma selalu mengalahkan adharma. Gagasan seperti ini merupakan tema sentral dalam agama Hindu, tercermin dalam epos Mahabharata, yakni partai Pandawa mengalahkan partai Korawa dan epos Ramayana, yakni Rama mengalahkan Rahwana. Pandawa dan Rama adalah simbol dharma, sedangkan Korawa dan Rahwana adalah simbol adharma (Atmadja, 2010; Darmayasa, 2013).
Kemenangan ini sangat penting, karena kedamaian dan sejahteraan bisa diwujudkan lewat penegakan dharma. Pencapaian sasaran ini amat sulit sehingga butuh media pengingat. Dalam konteks inilah maka hari suci Galungan-Kuningan sangat penting, tidak saja untuk merayakan kemenangan dharma, tetapi juga sebagai media untuk mengingatkan dan mengajak manusia agar tetap berkomitmen terhadap dharma. Media pengingat amat penting, sebab, pertama, hari suci berdimensi religius-magis, karena disaksikan dewa dan dewa pitara sehingga daya tekan agar manusia berkomitman terhadap dharma menjadi lebih kuat. Kedua, secara psikogenetik manusia terikat kapada Tri Guna (tiga kualitas yang melekat pada materi sebagai pembentuk tubuh manusia), yakni sattwan (kebajikan), rajas (ketamakan), tamas (kebodohan, kemalasan) sehingga selalu berpotensi sebagai pengikut Korawa atau Pandawa. Ketiga, secara psikologis manusia makhluk pelupa sehingga pengingatan multak adanya. Keempat, fungsi sosial agama adalah mengingatkan manusia agar taat pada kebajikan (Turner, 2003; Northcott, 2009; Atmadja, 2010).
Dengan demikian hari raya Galungan-Kuningan tidak saja berdimensi agama, tetapi juga berdimensi sosiopsikologis, yakni mengingatkan manusia agar berkomitmen terhadap dharma, bukan kepada adharma sebagai jaminan bagi terwujudnya kedamaian pada umat manusia. Jika komitmen ini kuat maka ritual GalunganKuningantidak saja berdimensi ke-upakara-an, tetapi juga berdimensi ke-susila-an atau bahkan bisa pula berdimensi ke-tattwa-an.
a. Penjor=Gunung = Naga Anantabhoga = Kesejahteraan
Manusia adalah homo symbolicum (Turner, 2003; Fiske, 2004, 2012). Berkenaan dengan itu maka penjor sebagai peralatan ritual Galungan-Kuningan pada dasarnya merupakan pula simbol. Penjor terbuat dari bambu, bentuknya menjulang tinggi dan melengkung sehingga cocok dengan makna simbolik, yakni sebagai gunung. Simbolisasi ini terkait dengan keyakinan bahwa gunung adalah tempat bersemayam dewa-dewa Hindu sehingga gunung bernilai sakral. Gunung yang diacu adalah Gunung Agung. Sebab, gunung ini paling sakral, tidak hanya karena pada lereng gunung ini terdapat Pura Besakih, tetapi juga karena dia bersepadanan dengan Gunung Mahameru di India – istana para dewa dalam mitologi Hindu (Atmadja, 2010; Nala, 2011; Atmaja dkk., 2010).
Bentuk penjor yang melengkung merupakan pula simbolisasi dari Naga Anantabhoga. Naga sangat cocok dengan bentuk penjor, yakni memanjang, di mana lengkungan pada bagian atasnya menyerupai ekor naga, dan kepalanya masuk ke dalam tanah. Naga merupakan simbol dari air yang mengalir pada sungai, yakni bentuknya berkelak-kelok, lalu bermuara ke laut (Atmadja, 2010). Dengan demikian secara mitologis Anantabhoga sering pula digambarkan membentangkan dirinya mengikuti lengkungan gunung, lalu kepalanya masuk ke dalam laut sambil menghisap air laut, dan disemburkan ke atas sehingga terjadi hujan. Ari hujan membentuk sungai yang berkelak-kelok, lalu berkumpul ke laut.
Penjor dihiasi dengan janur (ambu) atau daun kelapa muda (busung) dari bawah sampai ke atas – disebut bakang-bakang. Hiasan ini tidak saja bernilai seni, tetapi mengigatkan pula pada sisik naga, kelokan air sungai atau lekukan tanah pada gunung. Hiasan ini disertai dengan berbagi aksesoris, yakni kelapa (tanaman serba guna = kehidupan manusia yang ideal adalah multiguna), pisang (tanaman tidak mengenal musim = rejeki manusia tidak terputus), tebu (penanda kehidupan yang manis = berbahagia), padi dan umbiumbian (bahan makan pokok sehingga disebut Dewi Padi atau Dewi Sri = sumber kehidupan dan kemakmuran bagi manusia), dan jajan khususnya jajan gina (harapan bahwa hidup harus memiliki ge-gina-an = matapencarian). Aksesoris lainnya adalah kain berwarna putih, kuning, dan hitam – Siwa (dewa tertinggi dalam Siwasidanta atau Siwaisme), Mahadewa (dewa gunung sehingga cocok dengan penjor sebagai simbol gunung), dan Wisnu (dewa kemakmuran sehingga cocok dengan hakikat penjor sebagai simbol kesejahteraan). Aneka benda ini merupakan perwakilan dari benda yang mengacu kepada kebutuhan dasar manusia, yakni sandang pangan sebagai karunia Tuhan (Atmaja et al. 2010; Pulasari, 2013).
Pada bagian bawah penjor terdapat tempat meletakkan sesajen antara lain berbentuk sanggah cucuk.
Penjor harus dilengkapi dengan sanggah cucuk. ... Sanggah cucuk pada penjor dibuat dengan mempergunakan bahan dari tiga bidang anyaman bambu yang dipertemukan masing-masing sisinya, sehingga berbentuk prisma, dengan ujung berbentuk segitiga. Salah satu pertemuannya berada di atas. Ketiga bambu ini melambangkan Tri Kona, tiga kekuatan perwujudan Sang Hyang Widi, yakni utpati (kekuatan penciptaan dari Dewa Brahma), sthiti (kekuatan memelihara dari Dewa Wisnu) dan pralina (kekuatan memusnahkan, melebur, mengembalikan ke asalnya dari Dewa Iswara). Sanggah cucuk yang dibuat dengan bentuk yang lain dari prisma atau tidak berbentuk segi tiga, tentunya akan bermakna simbolis yang lain (Nala, 2009: 125-126).
Banten yang dipersembahkan pada sanggah cucuk diperuntukkan bagi para dewa di gunung, yakni Gunung Agung, Naga Anantabhoga, dan dewa pitara. Mereka sengaja diundang untuk menghadiri perayaan Galungan-Kuningan guna memberikan berkah kesejahteraan bagi umat manusia.
Gunung dan hutan, para dewa yang beristana di puncak gunung pemberi kesejahteraan bagi manusia. Naga Anantabhoga sebagai simbol air juga pemberi kesejahteraan bagi manusia. Dengan demikian simbolisasi penjor sebagai gunung dan Naga Anantabhoga – diperkuat oleh aksesoris penjor, memberikan petunjuk bahwa penjor adalah simbol kemakmuran (Nala, 2009; Atmaja, dkk., 2009). Bertolak dari gagasan ini sehingga penjor Galungan-Kuningan tidak hanya bermakna sebagai kontestasi nilainilai keindahan, melainkan bermuatan paradigma agama, yakni Penjor = Gunung = Naga Anantabhoga = Kesejahteraan.
b. Bunga Tunjung: Kreativitas Seni Mengolah Simbol
Manusia adalah makhluk berbudaya, yakni mampu menciptakan kebudayaan – dunia ideasional, tindakan sosial, dan artefaktual menggunakan potensinya, yakni cipta, rasa, dan karsa. Kebudayaan memiliki beberapa ciri antara lain selalu mengalami perubahan. Dengan demikian penjor Galungan-Kuningan sebagai kebudayaan agama secara otomatis juga mengalami perubahan secara terus-menerus. Pola ini jelas terlihat pada Gambar 1, 2, dan 3, yakni ada berbagai variasi penjor dan menunjukkan adanya perubahan gaya ke arah suatu kemajuan.
Gambar 1 menunjukkan variasi penjor yang bisa disebut penjor tradisional atau karena kebanyakan terdapat di desa bisa disebut penjor bergaya desa. Bahan bakunya, yakni bambu, ambu atau busung didapat dari lingkungan setempat – bersifat lokal. Pengerjaannya dilakukan oleh anggota keluarga sendiri sehingga bisa pula disebut penjor subsistensi. Hal ini berbeda daripada varian penjor pada Gambar 2 dan 3, yakni penjor modern. Pada umumnya penjor modern didapati di kota sehingga bisa pula disebut penjor bergaya kota. Pengadaannya didapat lewat pasar sehingga dia bisa disebut penjor komersial atau penjor komoditas.
Penjor komoditas – Gambar 2 dan 3, tidak saja menunjukkan nilai seni yang tinggi, tetapi juga nilai tukar yang mahal – harganya antara Rp 3.500.000 – Rp 4.000.000. Ada aspek penting pada penjor komoditas adalah memuat kreativitas seniman penjor dalam melakukan simbolisasi aksesoris penjor dan atau makna-maknanya. Gambar 2 kanan, sangat menarik, karena secara langsung menunjukkan simbolisasi penjor sebagai naga Anantabhoga. Jadi, visualisasinya amat jelas jika dibandingkan dengan Gambar 1.
Sebaliknya, Gambar 2 kanan, menggambarkan fragmen Ramayana. Pemilihan ini beralasan, karena sesuai dengan hakikat hari raya Galungan-Kuningan sebagai simbolisasi dari kemenangan dharma melawan adharma. Rama dan anak buahnya, yakni wanara adalah simbolisasi dari dharma. Dengan demikian penjor Gambar 2 kanan mengingatkan kepada publik yang menyaksikannya – penjor ini terdapat di Desa Pakraman Kapal (jalan raya Denpasar – Gilimanuk) agar tetap berkomitmen pada dharma atau memposisikan diri sebagai pengikut partai Rama, bukan pengikut partai Rahwana - simbolisasi adharma yang membawa malapetaka terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat bakan negara – hancur karena perang.
Gambar 3 penjor kanan dan kiri atas serta penjor kiri bawah secara esensial – sesuai dengan pakem merupakan simbolisasi dari gunung dan naga Anantanbhoga Walaupun demikian ada simbolisasi yang menarik, yakni penonjolan hiasan bunga teratai, tunjung atau padma. Pemakaian bunga tunjung, tidak hanya karena nilai estetisnya, tetapi seperti dikemukakan Putrawan (2013, 2013a), Sandika (2013), Miasa (2013), Adnyana (2013), Wijaya (2013), Tari (2013) dan Mittal (2006) bunga tunjung mengandung berbagai makna, yakni:
- Bunga tunjung sangat istimewa, karena akarnya berada dalam lumpur, daunnya di atas air dan bunganya melayang di atas air – karena tangkai bunganya panjang. Kondisi mencerminkan tunjung adalah tumbuhan yang menjangkau tiga loka (alam), yakni bhur loka (alam bawah), bwah loka (alam tengah), dan swah loka (alas atas) — menghubungkan tiga loka secara simultan. Kondisi ini merupakan simbolisasi dari kehidupan yang layak dimodeli oleh manusia, yakni keindahan bunga tunjung adalah hasil perjuangan hidup yang sulit, bahkan bisa berlumpur-lumpur dan melalui suatu proses. Namun, akhirnya bisa membuahkan hidup yang indah dan harum, sehingga dikagumi oleh manusia, bahkan dewa-dewa. Berkenaan dengan itu maka hidup seperti teratai, berarti tidak hanya melihat hasilnya, yakni indah dan harum, tetapi harus pula melihat prosesnya yang bisa jadi penuh dengan perjuangan.
- Bunga tunjung dipakai sebagai sarana penglukatan, yakni pembersihan diri dan ruang secara spiritual. Hal ini bermakna bahwa bunga tunjung memiliki nilai kesucian secara spiritual atau niskala. Ide ini terkait dengan kehidupan tunjung dalam lumpur atau bisa pula air yang kotor, namun bunganya tetap bersih karena ada di atasnya.
- Bunga tunjung adalah rajanya bunga dan berfungsi sebagai stananya makhluk surgawi, termasuk dewa-dewa. Bahkan, nilai kesucian mengakibatkan pula bunga tunjung dipakai sebagai salah satu atribut dewa. Gagasan ini tercermin pada ikonografi Hindu dewa-dewa Hindu acap kali digambarkan duduk atau berdiri di atas bunga tunjung dan salah satu tangannya memegang setangkai bunga tunjung – lihat misalnya Dewa Wisnu, Ganesha, Saraswati, dll. (Mittal, 2006; Maswinara, 2007). Jadi, bunga tunjung tidak saja sebagai bunga suci, tetapi juga merefleksikan kekuatan alam dan kekuatan para dewa.
- Bunga tunjung berhelai delapan – simbol bhuwana agung sebagai stana Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sebagai simbolisasi dari delapan sifat keagungan Tuhan yang dipersonifikasikan dengan delapan dewa penjaga delapan penjuru mata angin. Delapan dewa ini ditambah satu dewa pada titik pusat sehingga melahirkan konsep Nava Sanga. Hal ini berlaku di Bali di Bali sehingga pulau Bali disebut pula Padma Bhuana.
- Bunga tunjung adalah lambang kesempurnaan pelepasan diri dari pengaruh duniawi. Alasanya, meskipun bunga teratai hidup di atas lumpur, namun bunganya tidak terkotori oleh lumpur. Begitu pula orang yang tinggi pengetahuan spiritualnya, tidak akan terpengaruh oleh pengaruh hal-hal yang bersifat keduniawian.
Dengan demikian pengembangan hiasan penjor yang semula berbentuk bakang-bakang (penjor Gambar 1), menjadi bunga tunjung, tidak saja menambah gaya estetika, tetapi juga memberikan penguatan dan tambahan pemaknaan kepada penjor, yakni pertama, makna kesejahteraan yang didapat lewat pangupajiwa dan asas moralitas mendapatkan tambahan pemaknaan, yakni harusmenyertakan etos kerja bunga tunjung - kerja keras dan tidak hedonisme. Kedua, simbolisasi bunga tujungmenambah makna baru, yakni penjor memancarkan aura kesakralan. Gagasan ini tepat dengan ruang dan waktu perayaan Galungan-Kuningan yang bernuansa kesucian. Manusia yang memasuki ruang dan waktu hari raya pun menjadi suci secara niskala karena di-lukat oleh simbol bunga tunjung. Ketiga, pada saat Galungan-Kuningan para dewa dan dewa pitara datang menunjungi keluarga. Simbol bunga tunjung pada penjor bisa dikaitkan dengan istana para dewa dan dewa pitara. Dengan demikian simbolisasi bunga tunjung pada penjor GalunganKuningan secara ke-tattwa-an bisa memperkuat penjor sebagai lambang kesejahteraan bagi umat manusia.
Gambar 3, yakni penjor kanan terbawah, selain berhiasan simbol bunga tunjung, juga ditambah dengan hiasan lain, yakni burung Garuda. Pola ini bisa diterima, karena gayut dengan penjor sebagai simbol kemakmuran. Dalam mitologi Hindu Garuda adalah wahana Dewa Wisnu sebagai dewa pemelihara dan pemberi kesejahteraan kepada umat manusia. Dewa Wisnu pun menjelma menjadi avatara, yakni Kresna dan Rama sebagai pahlawan pembela dharma melawan adharma. Adhiparwa secara khusus mengisahkan Garuda sebagai burung raksasa yang berhasil membebaskan ibunya dari perbudakan yang dilakukan oleh Dewi Kadru beserta anakanaknya, yakni para naga. Jadi, pemasangan burung Garuda pada penjor, selain terkait dengan statusnya sebagai wahana Dewa Wisnu– dewa pelindung, pemberi kesejahteraan, dan penegak dharma, juga karena Garuda adalah simbol kekuatan pembebasan manusia dari perbudakan. Perbudakan bisa berwujud manusia yang satu memperbudak manusia lainnya, atau bisa pula perbudakan hawa nafsu atas manusia –keserakaran yang memperbudak manusia modern (Atamdja, 2010a; Atmadja dan Atmadja, 2013) sehingga mencedrai etos bunga tunjung yang mengidealkan kehidupan yang tidak hedonis.
c. Penjor = visualisasi doa petisi secara demonstratif
Menurut Gellner (2009) agama berintikan kepada keyakinan terhadap kekuatan adikodrati. Umat Hindu di Bali mengenal kekuatan adikodrati, yakni Tuhan atau para dewa sebagai personifikasi-Nya, dan dewa pitara. Dalam perspektif strukturalisme (Strinati, 2009; Heriyanto, 2013) hubungan antara manusia dan kekuatan adikodrati mengikuti struktur kognisi rwa bhineda atau oposisi biner. Gagasan ini dapat dicermati pada paparan sebagai berikut.
Dewa Dewi/Dewa Pitara : Manusia
Kedudukan Tinggi : Kedudukan Rendah
Menguasai : Dikuasai
Memerintah : Diperintah
Memberi berkah : Menerima berkah
Memberi kesejahteraan : Menerima kesejahteraan
Tidak terikat oleh waktu dan ruang : Terikat oleh waktu dan ruang
Pemilahan ini menunjukkan bahwa secara pos-strukturalisme (Strinati, 2009; Ritzer, 2012; Noerhadi, 2013) hubungan antara dewa dan dewa pitara dan manusia adalah berstruktur dan berbasis kekuasaan. Dewa dan dewa pitara berposisi lebih tinggi dan berkuasa sehingga dapat memerintah manusia. Basis kuasa para dewa adalah kesaktian. Kepemilikan modal kesaktian mengakibatkan dewa bisa bertindak tanpa terikat oleh waktu dan ruang, dan dapat memberikan sanksi secara religius-magis kepada manusia. Sebaliknya, manusia berkedudukan lebih rendah dan dikuasai bahkan diperintah oleh dewa.
Hubungan antara manusia dan dewa berbasis ideologi danabakti. Jika manusia bakti (hormat, mengabdi) kepada dewa, maka dewa membalas dengan dana (pemberian, paica kesejahteraan) (Atmadja, 2010). Bersamaan dengan itu manusia mengidealisasikan dewa sebagai agen bersifat mahapengasih, mahapemurah, mahapenyayang, dll. Akibatnya, dewa diyakini memberkahi dana atau paica berbentuk kesejahteraan atau kerahayuan kepada manusia. Manusia sebagai penerima berkah (dana) bukan secara cuma-cuma, tapi harus dengan bakti kepada dewa, disertai dengan permohonan atau usulan yang disampaikan melalui doa yang diucapkan secara individual dan atau melalui pemimpin ritual sehingga terbentuk doa petisi (Atmadja, 2010, 2010a). Doa berbentuk ucapan lazim disebut mantra atau seha dan kegitannya disebut memantra atau meseha (Sudharta, 2011: 73-74). Pada hari raya Galungan-Kuningan perempuan mempersembahkan sesajen (banten) pada sanggah cucuk yang ada di penjor dengan menggunakan seha. Mengingat bahwa pengucapannya memakai kata-kata maka doa petisi seperti ini bisa disebut doa petisi secara verbal.
Manurut Sunarta (2008) banten tidak saja sebagai simbol perwujudan dewa-dewa, tetapi juga sebagai diri manusia. Ide bahwa banten sebagai diri manusia, tidak mesti dimaknai diri ketubuhan, tetapi bisa bermakna diri sebagai keinginan yang menggerakkan tindakan manusia. Bertolak dari gagasan ini penjor sebagai komponen banten, selain sebagai perwujudan dari badan dewa - Naga Anantabhoga, maka penjor merupakan pula perwujudan keinginan manusia untuk memohon atau mengajukan petisi kepada dewa dalam bentuk paica kesejahteraan.
Ibarat orang berdemonstrasi maka penjor adalah media untuk memvisualisasikan petisi kepada para dewa dan dewa pitara yang diundang pada saat hari raya Galungan-Kuningan. Visualisasi petisi ini dikontestasikan secara halus, bernilai estetika,dan maknawiah. Cara ini dilakukan agar perasaan dewa senang sehingga paica lebih mudah terwujudkan. Jika terjadi sebaliknya, yakni kontestasi alat peraga doa petisi kasar, maka manusia bisa terkena sanksi religiusmagis, yakni kapongor – terkena suatu penyakit. Dengan demikian penjor tidakhanya sebagai visualisasi doa petisi, tetapi juga bersifat demonstratif secara halus yang ditujukan kepada para dewa yang hadir pada saat ritual Galungan-Kuningan dengan harapan untuk mendapatkan dana berwujud kesejahteraan.
Bertolak dari gagasan ini maka ritual Galungan-Kuningan mengenal dua model doa petisi, yakni pertama, doa petisi secara verbal berwujud seha – antara lain diucapkan oleh perempuan di depan sanggah cucuk pada suatu penjor. Kedua, doa petisi secara visual demonstratif berbentuk penjor. Walaupun wujudnya berbeda – yang satu verbal dan yang lain visual, namun keduanya digunakan secara bersamaan dan sasarannya juga sama, yakni mengusulkan agar dewa memberikan kesejahteraan dan bimbingan dharma kepada umat manusia.
Berdasarkan aksesorisnya maka penjor tidak hanya sebagai visualisasi doa petisi, tetapi bertalian pula dengan indikator kemakmuran yang dipetisikan, yakni pertama, kemakmuran terus mengalir seperti air (simbolisasi penjor sebagai Naga Anantaboga dan pisang sebagai buah tanpa mengenal musim). Kedua, kamakmuran tidak saja terus mengalir, tetapi juga terus menanjak (disimbolkan oleh penjor= gunung). Ketiga, kemakmuran ditandai oleh kecukupan sandang (disimbolkan dengan kain) dan pangan (disimbolkan dengan padi dan bahan makanan lainnya). Keempat, kemakmuran ditandai oleh kehidupan berdaya guna dan multiguna (disimbolkan oleh kelapa) untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Kelima, kemakmuran ditandai oleh kehidupan yang manis dan indah (disimbolkan oleh tebu). Keenam, kemakmuran membutuhkan tanah dan air (simbolisasi Naga Anantabhoga). Ketujuh, kemakmuran menyatu dengan pangupajiwa (disimbolkan dengan jaja gina) – hidup makmur harus bekerja sehingga manusia disebut homo faber. Kedelapan, kemakmuran harus berbasiskan pada dharma (tema besar Galungan-kuningan). Kesembilan, kemakmuran adalah berkah para dewa dan dewa pitara (asas dana-bakti dan idealisasi).
d. Penjor lebay: Nilai Simbolik pada Era Masyarakat Tontonan
Masyarakat kontemporer ditandai oleh penguatan budaya global sebagai implikasi dari globalisasi. Budaya global bermuatan ideologi, antara lain ideologi pasar yang menyatu dengan konsumerisme sehingga melahirkan masyarakat konsumsi (Baudrillard, 2004). Dengan mengacu kepada Atmadja dan Atmadja (2013) masyarakat konsumsi memiliki ciri antara lain penilaian terhadap kesejahteraan mengacu kepada barang konsumsi yang didapat lewat sistem ekonomi pasar secara instan. Pola ini berlaku pada penjor Galungan-Kuningan, yakni banyak orang membeli penjor, baik berwujud penjor jadi atau aksesoris tertentu, lalu dirakit sendiri menggunakan tenaga kerja keluarga.
Ciri masyarakat konsumsi lainnya, barang konsumsi harus dipertontonkan pada ruang publik. Akibatnya, masyarakat konsumsi menyatu dengan masyarakat tontotan. Pada masyarakat tontonan kepuasan seseorang terletak pada kekaguman orang lain terhadap barang konsumsi yang dipetontonkannya (Atmadja dan Atmadja, 2010; 2013) Gejala ini berlaku pada penjor GalunganKuningan, yang terlihat pada gambar penjor komersial yang tidak saja indah, tetapi juga mewah dengan harga jutaan rupiah. Penjor ini disebut penjor lebay. Pengonsumsian penjor lebay, tidak hanya sebagai simbol betapa besarnya wujud bakti dan ucapan terima kasih seseorang atas kesejahteraan yang dilimpahkan oleh dewa, tetapi bermakna pula sebagai barang tontonan. Artinya, orang yang menonton penjor pada ruang publik akan mengagumi penjor maupun pemiliknya.
Bertolak dari temuan ini maka secara esensial penjor lebay tidak hanya memuat nilai agama – filsafat dan etika dan nilai seni, tetapi juga bernilai simbolik. Artinya, penjor lebay secara konotatif merupakan simbol untuk mempertontonkan status sosial pemilik pada ruang publik. Gagasan ini didasarkan pada fakta bahwa terdapat kaitan antara kemewahan rumah seseorang dan pengonsumsian penjor lebay. Gejala ini sangat beralasan mengingat bahwa pengonsumsian penjor lebay, berujung pada nilai tukar, yakni harganya sekitar Rp 3.500.000 – Rp 4.000.000 per penjor. Dengan demikian, tidak mengherankan jika pengonsumsi penjor lebay kebanyakan orang kelas atas atau orang kaya.
4. Penutup
Berdasarkan paparan di atas dapat dikemukakan bahwa hari suci Galungan-Kuningan tidak saja bermakna untuk memperingati kemenangan dharma melawan adharma, tetapi juga untuk mengajak manusia agar berkomitmen pada dharma guna mewujudkan kedamaian. Pada saat ini dewa dan dewa pitara diundang dan diberikan sajian banten mencakup penjor. Penjor tidak saja sebagai benda budaya benilai seni, tetapi juga simbol dari gunung dan Naga Anantabhoga dalam konteks kesejahteraan dengan aneka indikatornya. Penjor terus berubah, tercermin pada adanya penjor lebay yang memuat simbol bunga tunjung. Simbol ini menimbulkan implikasi bahwa penjor mendapatkan tambahan makna, yakni nilainilai filsafat bunga tunjung.
Pencermatan terhadap makna penjor Galungan-Kuningan maka dia bisa pula dimaknai sebagai simbol doa petisi secara visual yang bercorak demonstratif guna menyertai doa petisi secara verbal dalam bentuk mantra atau seha yang ditujukan kepada dewa dengan manusia mendapatkan paica dalam bentuk kesejahteraan atau kerahayuan. Namun, di balik itu makna simbolik lainnya tidak kalah pentingnya, yakni penjor bisa dipakai sebagai media untuk mempertontonkan satus sosial pemiliknya. Gagasan ini teritama berlaku untuk penjor lebay. Gagasan ini tidak bisa dilepaskan dari era kehidupan masyarakat kontemporer, yakni masyarakat tontonan yang menekankan pada asumsi bahwa hakikat manusia terletak pada kepenontonan. Dengan demikian, penjor adalah multimakna, yakni agama, seni, ekonomi, dan sosial.
Oleh: Anantawikrama Tungga Atmadja, Nengah Bawa Atmadja
Dari: Universitas Pendidikan Ganesha
Judul: Kontestasi Penjor Galungan – Kuningan di Bali Visualisasi Doa Petisi secara Demonstratif untuk Kemakmuran pada Era Masyarakat Tontonan
0 Response to "Kontestasi Penjor Galungan – Kuningan di Bali Visualisasi Doa Petisi secara Demonstratif untuk Kemakmuran pada Era Masyarakat Tontonan"
Post a Comment