MUTIARAHINDU.COM -- Geguritan Kebo Iwa (Kajian Bentuk, Fungsi, dan Pendidikan Karakter). Pulau Bali sebagai salah satu pulau wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki beragam jenis budaya. Budaya yang berkembang didasari oleh ajaran agama Hindu, sebagai bukti penduduk pulau Bali mayoritas beragama Hindu. Dari sekian banyak budaya Bali, ada cerita kepahlawanan Kebo Iwa yang sudah mulai dilupakan oleh generasi muda Bali. Cerita kepahlawanan ini sudah pernah diangkat dalam berbagai bentuk tranformasi seni, antara lain: lukis, patung, drama, dan sendratari. Oleh bapak I Nyoman Suprapta cerita rakyat ini diolah dalam bentuk karya sastra tradisional Bali yang dapat ditembangkan yang dikenal dengan sebutan geguritan. Karya sastranya berjudul Geguritan Kebo Iwa, menggunakan bahasa Bali dan disajikan dalam waktu relatif singkat (kurang lebih dua jam), oleh sang pengarang diberi istilah kajep (kalih jam puput).

Karya sastra geguritan sudah memasyarakat di Bali merupakan karya sastra tradisional yang memiliki aturan yang mengikat (Agastia, 1980: 16-17). Geguritan yang berasal dari kata “gurit” berarti hasil karya berupa puisi, terikat oleh beragam aturan, antara lain: banyak suku kata tiap bait (guru wilang), banyak kalimat dalam satu bait (guru gatra), dan suara vokal di bagian akhir sebuah kalimat (guru suara). Geguritan dapat dibangun oleh satu jenis pupuh atau beberapa pupuh. Bahasa yang digunakan dalam geguritan umumnya berupa bahasa Bali lumrah (Tinggen; 1986: 12). Geguritan Kebo Iwa dibentuk oleh 10 jenis pupuh yang sudah memasyarakat, menggunakan bahasa Bali lumrah, membuat para penikmatnya mudah untuk memahami isi cerita yang disajikan.
Dewasa ini kaum muda terasa kehilangan kearifan lokal sebagai ciri karakter budaya Bali, warisan para leluhur. Banyaknya tindak kekerasan (premanisme), korupsi, kebohongan publik (hoax), dan prilaku buruk lainnya mencirikan kurang pembelajaran tentang pendidikan karakter di masyarakat. Usaha peningkatan pendidikan karakter oleh pemerintah tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) N0. 87 Tahun 2017, tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Relevansi seni geguritan dan pendidikan karakter dapat dirasakan ketika dilaksanakan pada kelompok pesantian. Disana para penikmat seni geguritan merasakan proses belajar yang didasarkan rasa suka yang tulus tanpa ada paksaan, karena pembelajaran berlangsung sambil bernyanyi. Seperti nama salah satu wadah seni di daerah Denpasar yang dipimpin oleh bapak I Wayan Sugita, bernama Sekaa Demen Ulian Tresna (Sekdut).
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti akan menganalisis teks Geguritan Kebo Iwa dengan menjabarkan bentuk teks Geguritan Kebo Iwa, fungsi teks Geguritan Kebo Iwa pada kehidupan masyarakat Bali, dan nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam teks Geguritan Kebo Iwa.
II. Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif karena datanya berupa naskah karya sastra tradisional (teks geguritan) sebagai objek yang alamiah yang akan dieksplor secara menyeluruh, luas dan mendalam. Data primer berupa naskah Geguritan Kebo Iwa dalam aksara latin karya bapak I Nyoman Suprapta dari banjar Tega, Denpasar. Data sekunder diperoleh dari hasil penelitian terdahulu, majalah, jurnal dari perpustakaan atau tempat lainnya. Data dari informan diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dan studi kepustakaan.
Jenis data yang terkumpul berupa data kualitatif ditunjang oleh hasil observasi dan wawancara, instrumen utama adalah peneliti sendiri. Observasi yang dilakukan peneliti berupa observasi partisipasif aktif (active partisipation) karena peneliti ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan pengarang khususnya dalam menemukan fungsi megeguritan di lingkungan masyarakat, namun keikutsertaan peneliti tidak sepenuhnya lengkap. Pengumpulan data juga dilakukan dengan wawancara terstruktur, dimana peneliti menggunakan daftar pertanyaan dan bantuan handphone sebagai alat rekam dan dokumentasi.
Analisis data yang dilakukan peneliti mengacu pada model Miles and Huberman. Peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban narasumber, bila dirasa belum memuaskan maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan hingga dianggap tuntas. Data yang sudah terkumpul kemudian direduksi sesuai dengan rumusan masalah yang sudah ditentukan sebelumnya. Pada tahap ini peneliti juga mendiskusikan untuk memilah hasil data kepada orang yang dianggap memiliki kompetensi mumpuni di bidang reduksi data. Data hasil reduksi selanjutnya disajikan dalam bentuk teks yang bersifat naratif menuju pada langkah akhir berupa kesimpulan dan verifikasi.
III. Pembahasan
Objek penelitian adalah teks Geguritan Kebo Iwa, yang menceritakan tentang perjalanan hidup Kebo Iwa hingga akhir hayatnya. Kebo Iwa sebagai patih bersama patih lainnya mendampingi Prabu Bedahulu. Kala itu pulau Bali semakin makmur karena keberadaan seorang patih yang kuat.
Diceritakan patih Gajah Mada di kerajaan Majapahit, membuat sebuah sumpah yang dikenal dengan Sumpah Palapa, berniat untuk menyatukan wilayah Nusantara. Sudah banyak wilayah yang disatukan, namun hanya Bali yang belum ditaklukan. Gajah Mada kemudian mengatur siasat, Kebo Iwa akan dijanjikan diberikan calon istri. Kebo Iwa berangkat ke Majapahit. Setibanya di sana, beliau diminta membuat sumur untuk membersihkan diri. Kebo Iwa menyanggupi tanpa berpikir panjang. Namun setelah dalam, para prajurit menimbun sumur tersebut. Karena kekuatannya beliau tidak lecet sedikitpun lalu keluar dari dalam sumur yang dibuatnya. Kemudian beliau mendekati Gajah Mada lanjut menanyakan alasan berbuat seperti itu. Gajah Mada menjelaskan maksud yang sebenarnya, yakni ingin menyatukan wilayah Nusantara. Kebo Iwa terharu karena beliau sendiri tidak memiliki pemikiran seperti itu. Selanjutnya beliau menyerahkan jiwa raganya, agar Bali dapat dikuasai oleh Majapahit.
Geguritan Kebo Iwa dibangun oleh sepuluh jenis pupuh yang memasyarakat di Bali, seperti pupuh Sinom, pupuh Pangkur, pupuh Ginada, pupuh Ginanti, pupuhMaskumambang, pupuh Mijil, pupuh Durma, pupuh Pucung, pupuh Semarandana, dan pupuh Dangdanggula. Pupuh-pupuh tersebut kemudian dikembangkan menjadi 35 bait, satu bait sebagai pembuka, 33 bait sebagai inti cerita, dan satu bait sebagai penutup. Setiap pupuh selain diikat oleh aturan padalingsa juga memiliki karakter dan sifat mengikuti alur cerita.
Pupuh Sinom dengan karakter yang melukiskan adegan yang mengandung amanat dan nasihat tersurat dalam Geguritan Kebo Iwa sebayak enam bait, yaitu pada bait 1, 6, 7, 8, 26, dan bait 27. Pupuh Pangkur yang berkarakter perasaan hati memuncak digunakan untuk bagian cerita yang bersungguh-sungguh. Pupuh Pangkur digunakan sebanyak empat bait, tertuang pada bait 17, 18, 21, dan 22. Pupuh Ginada yang melukiskan kesedihan, merana, atau kecewa teradopsi di bait 11, 12, 13, 19, 20, 28, dan 29. Pupuh Ginanti dengan watak senang, cinta kasih digunakan untuk menguraikan ajaran filsafat, cerita bernuansa asmara. Hal ini terlihat pada bait 14, 15, dan 16. Pupuh Maskumambang dengan karakter nelangsa, sedih merana tergambar pada bait 2, 3, dan 4. Pupuh Mijil termuat pada bait 9 dan 10, yang menguraikan cerita melahirkan perasaan. Pupuh Durma pada Geguritan Kebo Iwa yang bersifat keras, bengis, marah, ditemukan pada bait 23, 24, 25, 32, 33, dan satu bait sebagai penutup. Pupuh Pucung dengan watak kendor, tanpa perasaan memuncak temuat pada bait 30 dan 31. Pupuh Semarandana berwatak memikat hati, sedih karena asmara teungkap pada bait kelima. Pupuh Dangdanggula yang berwatak halus, lemas, tersurat satu bait sebagai bait pembuka.
Geguritan Kebo Iwa sebagai sebuah karya sastra memiliki beberapa unsur pembentuk, baik intrinsik maupun ekstrinsik. Tema yang terungkap dari karya sastra ini adalah pengorbanan seorang patih Bali. Hal ini juga tertulis jelas pada prasasti patung Kebo Iwa di Desa Buruan, Gianyar yang menyatakan “Jiwa dan Ragaku Ku Korbankan Demi Persatuan dan Kesatuan Nusantara”. Insiden dimulai dari rencana Patih Gajah Mada untuk menundukkan Patih Kebo Iwa agar dapat menguasai Bali demi memenuhi sumpah Palapa yang sudah diikrarkan. Puncak insiden terlikiskan ketika Patih Kebo Iwa menyadari dirinya terperangkap dalam tipu daya Patih Gajah Mada, hingga akhirnya insiden berakhir dengan kerelaan Patih Kebo Iwa menyerahkan jiwa dan raga demi bersatunya wilayah Nusantara. Kebo Iwa sebagai tokoh utama dalam cerita digambarkan memiliki sifat yang rajin, berbakti pada orang tua, suka berteman. Gajah Mada sebagai tokoh antagonis atau tokoh yang menimbulkan konflik dilukiskan memiliki sifat yang cerdik, berkemauan keras. Orang tua Kebo Iwa dalam funsinya sebagai tokoh tritagonis berjiwa penyayang kepada putranya. Prabu Bedahulu berifat bijaksana dan mudah percaya kepada orang lain. Rakyat atau pasukan Majapahit sebagai figuran bersifat taat kepada pemimpin. Cerita Kebo Iwa disajikan di beberapa tempat, antara lain kediaman Kebo Iwa (Desa Blahbatuh), kerajaan Bedahulu, dan tanah Jawa sebagai tempat Patih Kebo Iwa menghembuskan nafas terakhirnya.
Bapak I Nyoman Suprapta sebagai pengarang yang merangkum kisah Kebo Iwa dalam bentuk geguritan, menggunakan beberapa gaya bahasa antara lain gaya bahasa perbandingan (simile). Diceritakan kematian Kebo Iwa diakibatkan karena serbuk putih (pamor). Di Bali ada sebuah ungkapan ‘colek pamor’ yang diartikan terlanjur dicap atau dikatakan buruk (rasa malu karena urung mendapat istri), maka lama kelamaan kharisma orang tersebut akan hilang atau mati. Gaya bahasa lainnya yaitu litotes, dimana Kebo Iwa yang dikenal memiliki banyak kemampuan, selalu merendah kepada orang lain. Hal ini tercermin pada karakter berbicara masyarakat Bali yang dikenal dengan istilah ngesorang raga. Secara keseluruhan, pengarang ingin mengingatkan kita agar tidak mudah percaya kepada orang asing atau baru dikenal. Amanat lain yang terungkap adalah agar kita selalu mengenang pengorbanan Patih Kebo Iwa demi menyatukan wilayah Nusantara.
Geguritan Kebo Iwa sebagai hasil budaya Bali yang bernafaskan ajaran agama Hindu, mempunyai fungsi dalam kehidupan masyarakat, seperti: fungsi rekreatif, fungsi didaktif, fungsi estetis, fungsi moralitas, dan fungsi religius. Fungsi rekreatif bermakna bahwa penikmat Geguritan Kebo Iwa (pembaca maupun pendengar) merasa senang untuk mengikuti alur cerita yang disajikan. Geguritan Kebo Iwa memiliki sifat didaktif bermakna cerita yang disajikan mengandung pembelajaran yang baik. Geguritan Kebo Iwa juga mempunyai fungsi estetis dapat dilihat ketika menampilkan geguritan sang penembang dan pemberi arti akan menampilkan gaya dan ciri khas yang indah dari sisi olah tubuh, olah rasa, dan olah suara. Begitu pula gaya bahasa yang digunakan pengarang memberi sentuhan keindahan bagi penikmat sastra. Fungsi moralitas dirasakan dalam Geguritan Kebo Iwa yang mengingatkan kita tentang perbuatan baik dan buruk. Fungsi religius terlihat dalam penyajian megeguritan, umumnya diawali dengan menghaturkan banten (canang atau pejati), mohon diberikan kelancaran.
Semenjak tahun 2010 Kemendiknas mengeluarkan 18 nilai karakter yang lahir dari nilai agama, Pancasila, budaya tujuan pendidikan nasional. Lebih lanjut pemerintah mengupayakan dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2017, tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Dari 18 nilai karakter dirangkum menjadi lima nilai utama sebagai prioritas penguatan pendidikan karakter, yang terdiri-dari: nilai religius, nilai gotong royong, nilai mandiri, nilai nasionalis, dan nilai integritas.
Nilai religius dalam Geguritan Kebo Iwa berupa pembelajaran agar kita selalu ingat untuk berperilaku sesuai ajaran agama seperti Panca Sradha dan Tri Hita Karana. Nilai gotong royong berupa cermin perilaku saling menghargai, usaha saling membantu menyelesaikan masalah, dan lain-lain. Nilai mandiri tercermin dalam kesungguhan untuk menyelesaikan tugas dalam bentuk kinerja, berpikir, dan memanfaatkan waktu untuk mewujudkan cita-cita. Nilai nasionalis terungkap dari prilaku cara berpikir, setia, peduli pada bahasa, wilayah, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. Juga dapat menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Hal utama dari nilai nasionalis adalah perilaku apresiasi dan usaha melestarikan bangsa dan budaya. Nilai integritas didasarkan pada upaya menjadikan dirisebagai orang yang bisa dipercaya dalam ucapan, perbuatan, dan pekerjaan, memiliki komitmen dan setia pada nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan dharma.
IV. Kesimpulan
Geguritan Kebo Iwa tercipta sebagai sebuah cerita berbentuk puisi yang ditembangkan, dibuat dalam sepuluh jenis pupuh, dikembangkan menjadi 35 bait. Unsur intrinsik pembentuk Geguritan Kebo Iwa : tema, insidén, alur, tokoh dan penokohan, latar, gaya bahasa, amanat. Unsur ekstrinsik terdiri dari: unsur agama, historis, sosial budaya, psikologis, dan esteteika. Keberadaan Geguritan Kebo Iwa memiliki beberapa fungsi, yakni: fungsi rekreatif, fungsi didaktif, fungsi estetis, fungsi moralitas, dan fungsi religius. Sejalan dengan aturan pemerintah, nilai pendidikan karakter yang dikembangkan adalah: nilai religius, nilai gotong-royong, nilai mandiri, nilai nasionalis, dan nilai integritas.
Geguritan Kebo Iwa (Kajian Bentuk, Fungsi, dan Pendidikan Karakter).
Oleh : Anak Agung Ngurah Agung Eka Cahyadi1, I Nyoman Linggih2, I Wayan Sugita3
Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar,
0 Response to "Geguritan Kebo Iwa (Kajian Bentuk, Fungsi, dan Pendidikan Karakter)"
Post a Comment