Kesusastraan Bali dapat dibagi menjadi dua yaitu kesusastraan Bali Purwa (klasik/tradisional) dan kesusastraan Bali Anyar (Modern). Kesusastraan Bali Purwa merupakan karya sastra yang diwarisi secara turun temurun oleh leluhur dalam bentuk sebuah lontar ataupun naskah-naskah kuno yang belum terpengaruh kedalam kebudayaan asing atau pengaruh modern. Sedangkan Kesusastraan Bali Anyar merupakan karya sastra yang diciptakan oleh masyarakat Bali yang telah terpengaruh unsur modern. Kesusastraan Bali Purwa atau Klasik memiliki keistimewaan dan keunikannya tersendiri yang tampak lebih natural, karena kesusastraan Bali ini bercorak dan sifatnya tradisi. Pada karya sastra yang berbentuk narasi dibangun atas struktur tradisional seperti tema, penokohan, maupun motif cerita yang ditampilkan. Karya sastra ini terselip atau mengajarkan nilai-nilai yang luruh kepada masyarakat Bali sejak dahulu sehingga Kasusastraan Bali ini dianggap sebagai sumber dari nilai-nilai keagamaan yang adi luhung.
Naskah sastra klasik merupakan pembendaharaan pikiran dan cita-cita para nenek moyang, maka dengan mempelajari sastra dapat mendekatkan dan menghayati pemikiran serta cita-cita yang dahulu kala menjadi pedoman kehidupan nenek moyang terdahulu (Robson, 1978). Diantara naskah-naskah Klasik tersebut terdapat karya sastra yang disebut dengan lontar, dimana lontar bagi masyarkat Bali diyakini menyimpan berbagai pengetahuan keagamaan yang bersumber pada pustaka suci agama Hindu yakni Veda. Pengetahuan suci Hindu sepenuhnya tertuang pada pustaka suci Veda, Veda merupakan sabda yang diturunkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi, yang menghimpun pustaka suci Veda menjadi satu kesatuan yang disebut Catur Veda, yaitu Rg Veda, Yajur Veda, Sama Veda, dan Atharwa Veda. Catur Veda diturunkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk menuntun umat manusia kepada kehidupan yang berlandaskan dharma. Pada perkembangan selanjutnya muncul pustaka-pustaka Upanisad dan Aranyaka yang merupakan penjelasan atau tafsir terhadap pustaka suci Veda. Agar lebih mudah dipahami penerapan ajaran pustaka suci Veda dibentuk ke dalam susastra-susastra Hindu yang lebih spesifik yakni Upaveda dan lontar-lontar Hindu. Lontar dapat dijadikan pedoman untuk menuntun perilaku dan tingkah laku umatnya serta menjadi sumber keyakinan atau kepercayaan kepada Ida sang Hyang Widhi Wasa. Diciptakannya Upaveda, lontar-lontar, dan kesusastraan Hindu bertujuan untuk mempermudah umatnya dalam memahami makna dan isi yang terkandung didalam Veda tanpa mengurangi unsur asli yang tertuang di dalam Veda itu sendiri.
Lontar sebagai salah satu media pendidikan agama Hindu yang mengandung ajaran-ajaran agama Hindu yang berisikan ajaran Tattwa, Susila/Etika, Acara. Tetapi dengan banyak lontar yang ada tidak seluruhnya diketahui isinya oleh umat Hindu, sehingga perlu diperkenalkan kepada masyarakat dengan melakukan penelitian dan pengkajian untuk mengetahui intisari ajaran serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Lontar merupakan salah satu jenis karya sastra klasik yang menggunakan Bahasa Bali Kuno atau Jawa Kuno. Sebagian besar naskah tersebut masih termuat dalam bentuk lontar asli namun saat ini Dinas Kebudayaan Provinsi Bali sudah mulai menterjemahkan beberapa lontar kedalam Bahasa Indonesia. Terdapat ribuan naskah klasik yang disimpan baik oleh lembaga-lembaga formal maupun perorangan. Naskah atau lontar-lontar tersebut kebanyakan berbentuk tutur atau tattwa yang merupakan bagian dari naskah keagamaan, ritual dan etika.
Salah satu dari sekian banyak lontar yang ada di Bali adalah Lontar Tutur Kumara Tattwa yang memuat ajaran agama Hindu diantaranya pokok-pokok keyakinan umat Hindu, yaitu Panca Sradha. Lontar Tutur Kumara Tattwa seyogyanya dapat dijadikan sebagai pedoman dalam hidup dan mengajak umat Hindu untuk meningkatkan Sradha dan bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Selain itu penting untuk diingatkan bahwa karya sastra Bali Purwa atau susastra klasik merupakan warisan budaya yang patut untuk dilestarikan, karena memberikan banyak manfaat dan tuntunan pada umat Hindu khususnya.
Metode penelitian memegang peranan penting dan menentukan, sebab efisien dan efektifitas mutu dalam suatu kegiatan tergantung dari metode yang digunakan. Metode yang kuat akan menghasilkan data yang akurat, sehingga penelitian yang dilaksanakan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh peneliti dan bermanfaat bagi masyarakat nantinya (Redana, 2006).
Metode pengumpulan data merupakan cara- cara untuk mengumpulkan data. Suatu metode atau cara untuk mendapatkan keterangan secara benar dan nyata diperlukan dalam penyusunan sebuah karya ilmiah. Pengumpulan data merupakan pencatatan sesuai peristiwa, keterangan maupun karakteristik seluruh elemen atau populasi yang akan mendukung penelitian (Iqbal, 2002). Adapun metode pengumpulan data pada penelitian ini, yakni:
Pada bukunya Bungin menyatakan bahwa teknik wawancara adalah suatu cara untuk memperoleh keterangan dari responden atau orang yang diwawancarai dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara. Pada setiap interview atau wawancara terdapat tiga hal penting yakni pewawancara, informan, materi wawancara atau pedoman wawancara (pedoman tidak mesti ada). Pewawancara merupakan orang yang mengajukan pertanyaan kepada informan, sedangkan informan merupakan orang yang menjawab pertanyaan dari pewawancara (Bungin, 2001).
Teknik wawancara setidaknya dibagi menjadi dua, yakni wawancara mendalam dan wawancara terarah. Pada penelitian ini peneliti menggunakan Teknik wawancara mendalam, dimana peneliti menggali secara mendalam dengan cara terlibat langsung kehidupan dengan kehidupan informan dan bertanya jawab secara bebas tanpa pedoman wawancara khusus sebelumnya sehingga suasana menjadi hidup dan dilakukan berkali-kali untuk memperoleh hasil yang maksimal tentang intisari ajaran dan nilai-nilai ajaran Panca Sraddha yang terkandung dalam Lontar Tutur Kumara Tattwa.
Suharsini-Arikunto, menyatakan bahwa dalam usaha pengumpulan data sekunder, seorang peneliti dituntut untuk bersifat selektif dan bahkan hal ini mampu menulis Teknik yang relevan nantinya dengan data yang diperoleh. Jika data yang dihadapi berwujud data primer maka Teknik yang tepat adalah teknik Observasi, kuesioner, interview, dan teknik teks. Sedangkan jika data sekunder maka Teknik yang tepat adalah teknik pencatatan dokumen, pencatatan dokumen merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data yang dilakukan dengan jalan mengumpulkan segala macam dokumen serta mengadakan pencatatan sistematis, tulisan-tulisan, karangan-karangan, catatan-catatan, bukti-bukti, maupun benda- benda (Suharsini-Arikunto, 2002).
Pada penelitian ini, teknik dokumentasi dilakukan dengan membaca buku-buku, majalah, tesis, skripsi, jurnal, dan yang berkaitan dengan topik penelitian.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
- Intisari Ajaran Ke-Tuhanan (Brahmavidya) pada Lontar Tutur Kumara Tattwa
Pada Panca Sradha umat Hindu diajarkan untuk percaya dengan adanya Brahman (Tuhan Yang Maha Esa), pengetahuan yang menjelaskan tentang Brahman atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa disebut dengan Brahmavidya. Brahmavidya dasarnya mengajarkan tentang hakikat ajaran ke-Tuhanan atau Brahman dalam ajaran agama Hindu atau konsepsi ke-Tuhanan yang juga termuat didalam Veda sebagai kitab suci agama Hindu, hakikat dan konsepsi ke-Tuhanan disebut juga sebagai Widhi Tattwa (Filsafat tentang Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
Menurut Ngurah, Widhi Sradha adalah keyakinan terhadap adanya Brahman/Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang fungsinya sebagai pencipta, pemelihara, pelebur dan tidak ada yang luput dari kuasa-Nya (Ngurah, 1999).
Sesungguhnya Ida Sang Hyang Widhi Wasa itu tunggal seperti diutarakan dalam pustaka suci Veda, yakni “Ekam Ewa Adwitiyam Brahman” yang memiliki arti hanya terdapat satu (Ekam ewa) tiada duanya (adwiriyam) Hyang Widhi (Brahman) itu (Sudharta, 2001).
Umat Hindu khususnya dibali menyebut Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan bermacam-macam sebutan sesuai dengan tugas dan fungsi-Nya, hal tersebut didasari karena kemaha kuasaan Tuhan yang tak terjangkau oleh pikiran, maka manusia membayangkan atau memfocuskan Tuhan melalui berbagai manifestasi sesuai dengan fungsinya. Menurut Sudharta dan Atmaja, “Ekam sat wiprah bahudha wadanti”, artinya hanya ada satu (Ekam) Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa (sat = hakekat) hanya orang bijaksana (wiprah) menyebutkan (wadanti) dengan banyak nama (bahudha) (Sudharta, 2001).
Umat manusia menyembah Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan sujud bhaktinya melalui suatu yadnya, selain itu yadnya tersebut merupakan persembahan yang dihaturkan secara tulus ikhlas dan memohon perlindungan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Didalam kitab suci ṚegVeda VIII. 24. 6, menjelaskan tentang konsepsi ke-Tuhanan dalam agama Hindu sebagai berikut:
Ayam eka ityā caṣṭhevi viṥpatiḥ
Tasyan ratāy anuyaṥ carāmasi.
Terjemahan:
Disini Tuhan Yang Maha Esa, rajanya umat manusia, yang terlihat membentang terus jauh dan luas untuk kesejahteraan hidupmu, ikutilah hukum-hukum-Nya (Titib, 1996).
Berdasarkan sloka di atas dijelaskan bahwa konsepsi Tuhan dalam Veda adalah yang maha Esa atau tunggal dan mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, Esa dalam segalanya memiliki arti Tuhan adalah kesatuan tertinggi yang dapat disebutkan sebagai raja dari segala makhluk hidup yang tidak lain diciptaankan oleh beliau yang maha Esa.
Tuhan Yang Maha Esa meresapi seluruh seluruh alam semesta beserta isinya sehingga tidak dapat digambarkan perwujudan beliau oleh umat manusia, karena beliau dapat meresapi dan mengisi seluruh ruang di alam semesta ialah untuk mendekatkan dirinya kepada ciptaannya agar selalu ingat akan kemaha kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, maka dari itu melalu pustaka suci Veda umat diingatkan untuk tetap mematuhi hukum-hukum yang berlaku agar dapat menunggal dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau mencapai Moksha.
Pustaka suci Veda merupakanpedoman dasar dalam menciptakan pustaka atau kesusastraan Hindu yang dijadikan teladan bagi umat Hindu, terkait pengetahuan tentang kemahakuasaan Tuhan atau Widhi Tattwa pada Lontar Tutur Kumara Tattwa (2003: 10) dijelaskan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Bhatara Guru sebagai berikut:
Ndi pakramu muwah, apan luput saking pakra, wuwusku si Kumara. Hana kari kalwih harӗp ṥŭkṣma sang Kumara, mengӗt mangkin apagӗh de bhāṭara magӗhakӗn, tan tŭte mara i pāntara ning tayalawa, ingkana ta yan sira wruh, yan panugrahan bhātara, anon pwa sira sang manon, antyanta mangkin wruh ring bhedanya, ring halu hayu papa, hilang ya punarbhawa sukṣma sang Kumara, nora tinon mwah sangṥayan bhātara, wadamityuti, aku aganal, aku māwak bwana ṥariraikang jagat kabeh, aku bhātara, aku wiṥeṣa, aku jagat pramana, aku hurip ing ahurip, aku rahina wӗngi, aku awak ing pancamahabhuta, aku sangkan, aku paran, aku agawe sabwana, awak ing sakāla niskāla. Ndi ta parakwa, yan tan satuta kita wuwusku ring uni, tan kapangguha sukṣma bhātara, alӗkas bhāṭara dṛṣṭiguṇa, agӗng awak paramācintya umor ing langit, bhuṣaṇa tӗkeng wӗkase, pinaka pangrurah bwana wiṣaya, sumurup ing sarwa pakṣa, tan hana ṥeṣanya, tӗka ring wyat bhaṣkarāṇḍa, karuhur ning dŭrgakāla, ri sirānwan awagat, tan kapangguh paṥarira sang Komara, ri rodra nayopawarṇa, tan karӗngӗtan rinӗngӗn.
Terjemahan:
“Masih ada lagi kelebihanmu!”, kata Bhatara Guru. Seketika sang Kumara menggaib, kini ingat kepada kekuatan kokoh yang diberikan oleh Bhatara Guru, dalam sekejapia telah tiba di perbatasan Tayalawa (wilayah kekosongan). Di sanalah ia sadar bahwa ia dianugrahi oleh Bhatara Guru, yakni kemampuan melihat Sang Manon (Yang Melihat). Betapa ia mampu membedakan antara baik buruk kepapaan, kesempurnaan perbawanya lenyap, ada dalam ketiadaan. Bhatara Guru mengatakan bahwa Sang Kumara menggaib, Bhatara Guru guru tidak lagi merasa kahwatir, kemudian berkata “Aku besar, aku berwujud alam semesta, aku adalah Bhatara Guru, aku berkuasa, aku adalah jiwa alam semesta, aku jiwa dari seluruh makhluk hidup, aku adalah perwujudan siang malam, aku adalah perwujudan Panca Maha Bhuta, aku adalah asal, aku adalah tujuan, aku adalah penciptaan alam semesta, aku adalah perwujudan Imanen dan Transenden” (Tim-Penyusun, 2003).
Berdasarkan kutipan di atas dijelaskan bahwa Lontar Tutur Kumara Tattwa berbicara tentang Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan fungsi dan tugasnya yang berbeda-beda, sehingga beliau diberikan gelar dan nama. Perwujudan tuhan berdasarkan kutipan di atas dapat dibagi menjadi dua, yakni Transenden (Nirguna Brahman) dan Imanen (Saguna Brahman). Tuhan yang Transenden setelah membaca, memahami dan dimengerti (hermeneutik) dapat diartikan Tuhan yang tanpa sifat sehingga Tuhan terbebas dari adanya perbedaan-perbedaan, sehingga tidak dapat didiwujudkan oleh manusia yang pada dasarnya memiliki pemikiran yang terbatas. Menurut Madrasuta menyatakan di dalam Upanisad menyatakan Brahman itu Neti-Neti, yang artinya bukan ini dan bukan itu, sedangkan Tuhan yang Imanen dapat diartikan sebagai Tuhan yang berwujud, Tuhan yang beserta segala atributnya yang dapat dipikirkan oleh manusia, seperti pada kutipan di atas Tuhan diwujudkan ke dalam Tuhan yang Imanen(Saguna Brahman) karena tuhan diwujudkan sebagai Bhatara Guru yang fungsinya sebagai Dewa tertinggi dan merajai ketiga dunia (Mayapada, Madyapada, Arcapada) dalam agama Hindu (Madrasuta, 2002).
Pada hakikatnya seluruh yang ada di alam semesta ini ialah berasal dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, begitu juga dalam pustaka suci agama Hindu telah disebutkan Tuhan Yang Maha Esa itu tunggal, para arif bijaksana mengatakan (menyebutnya) dengan banyak nama, seperti agni, yama, matariswanam namun sesungguhnya Tuhan itu satu yang sifatnya Monotheisme, mutlak dan tidak terbatas, namun Tuhan memiliki manifestasi sebagai Dewa sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing sehingga beliau disebutlah dengan banyak nama.
- Intisari Ajaran Atman pada Lontar Tutur Kumara Tattwa
Pada Panca Sradha bagian ke dua diajarkan tentang percaya akan adanya Atman atau Atma Sradha. Atma berasal dari bahasa Sansekerta yaitu berasal dari akar kata “an” yang memiliki arti nafas sehingga kata Atman memiliki arti bernafas, dengan bernafasnya seluruh makhluk di bumi maka seluruh makhluk tersebut memiliki kehidupan, maka dapat diartikan bahwa nafas tersebut adalah suatu kehidupan (Wijayananda, 2004).
Atman berasal dari Paramatman (Brahman) sehingga Atman kekal dan abadi. Jika Brahman diibaratkan seperti matahari yang menyinari dunia maka Atman sama dengan percikan sinar-sinar yang dipancarkan oleh matahari keseluruh penjuru dunia tanpa bisa dihitung jumlahnya, oleh karena itu Atman merupakan Brahman yang terdapat pada diri manusia atau disebut juga dengan Bhuwana Alit.
Pada ajaran agama Hindu Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa diyakini menghidupi seluruh makhluk baik itu manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, dalam pustaka suci Atharwaveda XI. 8. 30 dijelaskan sebagai berikut:
Sariram brahma pravis at
Sarire adhi prajapatih
Terjemahan:
Sang Hyang Widhi Wasa memasuki (menjiwai) tubuh manusia dan dia menjadi raja tubuh itu (Titib, 1996).
Pada kutipan sloka di atas dapat dimaknai bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa menjiwai seluruh tubuh makhluk hidup, yang dimana Ida Sang Hyang Widhi Wasa bersemayam di dalam tubuh disebut dengan Atman yang sifatnya kekal dan abadi, bercahaya dan berdiam didalam hati setiap makhluk. Pada Lontar Tutur Kumara Tattwa (2003: 20) juga telah di jelaskan percikan kecil dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Atma) sebagai berikut:
Kunang hetu ning telu, yening bheda gawenira, siran upama, kadi angga ning Aditya sawiji, tan ro, tan tlu, juga mwah, pasang tan gata, satus, siyu, yuta, ikeniwe, tungkul ikang mata, pada mesi Aditya matunggalan. Waswas ikang luhur, tunggal juga sumӗna, umingking prabhaṥwara. Mwah waswas tang Aditya yan turun mijil, wetan rikala mesuk, ndya ta kahananira, tan katon ta siran tan kawastan, tahu tejanira umuh umibӗk ing rāt. Irika ta tang haneng gaṭa lawan haneng luhur, lawan tang turun mijil, tan kari Aditya kasangguha ning kang katiga. Mangkana ta bhāṭara duk dira umibӗki, lawan duk pacintya, paḍa ta ngaran bhāṭara, mwah sangka ning bhāṭara mapatiga, denira rakӗt ning māyā. Mwang pradhaṇa, triguṇa, sadwara, trimala, sahana ning mala, apan paḍa sukṣma ning māyā mwang sukṣma bhāṭara, tan pasangkan pawӗkasan swabhawa bhāṭara, milu tumuti kamāyā rumakӗt magawe ṥarira. Nahan hetun bhāṭara prabheda wӗkasan, yata inupamakӗn Aditya mwang gaṭa. ikang māyā akӗn magawe gaṭa, satus, siyu, sayuta, ikang bhāṭara kadi Aditya haneng jro, ikang paḍānawe ning gaṭa, ikang puruṣa caya ning Aditya. Sakwehing gaṭa iseni wway, masa katunan Aditya. Mangkana kang pradhana denya magawe ṥarira ring bhawa, masa katunan Sanghyang Ātma.
Terjemahan:
Begitulah pertemuan antara (bayangan matahari) yang ada di dalam tempayan dengan matahari yang ada di atas, dan dengan matahari yang terbenam dan matahari yang terbit, bukanlah berarti matahari terbagi tiga. Demikianlah hakikat Bhatara ketika sedang memenuhi dunia dan ketika Bhatara sedang tidak terbayangkan, sama-sama disebut Bhatara. Dan lagi dari ketiga hakikat Bhatara itulah sumber asal topeng kemayaan itu. Begitu pula dengan pradhana, triguna, sadwara, trimala, segala macam noda, sebab semua diresapi Maya dan Bhatara. Hakikat Bhatara tiada awal dan akhir, Bersama-sama Maya bersatu membentuk tubuh. Itulah sebabnya Bhatara pada akhirnya muncul dalam wujud berbeda. Hakikatnya itu dapat diumpamakan seperti matahari dan tempayan. Bayangan itu sepertinya menyebabkan tempayan menjadi seratus, seribu, sejuta. Hakikat Bhatara itu bagaikan matahari berada di dalam tempayan. Yang menjadi Purusa adalah cahaya matahari menyusup dalam seluruh isi tempayan, yakni air. Air itu tak mungkin terhindar dari sinar matahari begitulah hakikat pradhana menciptakan tubuh dalam kelahiran, tak mungkin tanpa Sanghyang Atma atau jiwa (Tim-Penyusun, 2003).
Berdasarkan kutipan Lontar Tutur Kumara Tattwa di atas dijelaskan bahwa Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam sebutannya sebagai Bhatara bagaikan matahari dan manusia bagaikan sebuah tempayannya, melalui perumpamaan tersebut dapat digambarkan bahwa percikan dari Paramatman berada pada setiap diri manusia yang disebut dengan atman, hal tersebut yang menjadi acuan bahwa manusia dapat hidup, tumbuh dan berkembang berkat adanya percikan terkecil dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (atman) yang bersemayam didalam tubuh manusia.
- Intisari Ajaran Karmaphala pada Lontar Tutur Kumara Tattwa
Karmaphala pada dasarnya berasal dari dua kata, yakni karma dan phala, kata karma memiliki arti perbuatan dan phala memiliki arti buah atau hasil perbuatan. Jadi Karmaphala berarti hasil atau buah perbuatan (Ngurah, 1999). Setiap perbuatan (karma) tentunya akan menghasilkan hasil buah perbuatan, setiap perbuatan baik akan menghasilkan karma yang baik, begitupula sebaliknya setiap perbuatan buruk akan menghailkan karma yang buruk.
Menurut (Wijayananda, 2004) waktunya karmaphala dibedakan menjadi tiga bagian, yakni:
- Sancita Karmaphala yaitu hasil perbuatan yang terdahulu belum habis dinikmati dan akan diterima di kehidupan sekarang.
- Prarabda Karmaphala yaitu hasil perbuatan dikehidupaan sekarang diterima dikehidupan sekarang.
- Kriyamana Karmaphala yaitu hasil perbuatan yang sekarang diterima pada kehidupan yang akan dating.
Pada pustaka suci Atharvaveda X.1.5 dijelaskan tentang kebenaran hukum karmaphala, sebagai berikut:
Agham astu aghakrte
Sapathah sapathiyate
Terjemahan:
Semoga orang yang berdosa menderita dari dosanya sendiri, orang yang mengutuk menderita dari kutukannya sendiri (Titib, 1996).
Dari kutipan sloka di atas menyatakan makna kata dosa memiliki arti buah atau hasil perbuatan manusia yang dimana setiap perbuatan buruk akan menghasilkan karma buruk, dari kutipan sloka tersebut juga menyatakan setiap manusia akan karmaphala sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya selama hidup, jika perbuatan yang baik dilakukan selama hidup maka akan menghasilkan karma yang baik, begitupula sebaliknya jika melakukan perbuatan yang buruk maka akan menghasilkan karma yang buruk bahkan akan mengalami penderitaan semasa hidupnya didunia.
Menurut hasil wawancara (Surada, I Made. 21 April 2020) menyatakan, jika dimaknai Lontar Tutur Kumara Tattwa sesungguhnya dapat dijadikan pedoman, bagaimana seseorang itu lahir sudah membawa sebuah karma, setelah beranjak dewasa seseorang memiliki pikiran atau rajanya indria yang nantinya akan menentukan perilaku baik maupun buruk, setelah mengetahui baik dan buruk maka seseorang tersebut harus mampu mengekang nafsu duniawi dan melepaskan keterikatan duniawi agar dapat mencapai kelepasan.
Didalam Lontar Tutur Kumara Tattwa (2003: 21) menjelaskan tentang karmaphala sebagai berikut:
Byakta ning ātma niṣṭa, lumabuh ring naraka, dadi triyak. Yan Madhya ikang ātma, tumӗmpuh ring tribwana, dadi wwang prabhu cakrawartya. Yan uttama ikang ātma, mamukti Swarga, dadi dewa widyadara. Yang luput ing niṣṭa Madhya uttama, ikang ātma kampo katӗmu wiṥeṣa bhāṭara, waluya lawan Bhāṭara Paramaṥiwātma.
Terjemahan:
Atma yang nista pasti akan dijatuhkan ke neraka, menjadi cacing. Atma yang madia akan diterbangkan ke Tribwana, menjadi raja memimpin negeri. Jika Atma itu utama, pasti akan menikmati kebahagian sorgawi, menjadi dewa atau bidadara. Jika atma luput dari nista, madia, dan utama, Atma akan bertemu dengan kekuatan Ilahi Bhatara. Atma kembali bersatu dengan Bhatara Paramasiwatman (Tim-Penyusun, 2003).
Selain kutipan di atas pada Lontar Tutur Kumara Tattwa juga terdapat penjelasan mengenai karmaphala, yakni sebagai berikut:
Ika ta kawruhakna swabhawa ning ātma pradhana, pada wrӗdhi jatinya, wrӗdhi ning purusa ngaranya. Yeki jnana saprakara: citta, buddhi, manah, angkara, dasendriya, tan matra, wrӗdhi ning purusa ika. Wrӗdhi ning pradhana: māyā, prana, sadwarga, trimala, pancawiṣaya, mpok jati nika. Masilih asih tan wӗnang mapasaha, dinulur ing ṥubhāṥubha prawӗrti, tinut ning titsh, dinsjnana bayu ṥabdha hiḍӗp, maka sadana magawe hala hayu. Ikang pasilih asih, ikang mala mwang ātma, manut pwa hilang Nirmala ikang ajnana, darpa pamiṣaya, hala karma karya mangkana. Akweh rakӗt ning mala ring ātma, magawe hala hayu ātma, pada wrӗtya rakӗt ning mal, ika ta pagawe hala hayu, angӗt bhinukting ṥubhāṥubha, nyata de punarbhawa ning janma, harӗp pwe kājnana magawe akalokra ning ātma. Ikang ṥubhāṥubha karma manggamӗli, tan pamapasaha sanghyang purusa mwang pradhana. Wyaktinya amawӗtu mataki-taki mayoga samadi, mamrih kamoksa ning ātma, mogānghel anglih, kadi sumӗngkring gunung dening lapā, wlekang kingking panӗs tis patӗka teki, uniweh rāga tṛṣṇa hyun ilik. Nahan wyaktinya tan maweh mapasaha (Tim-Penyusun, 2003).
Terjemahan:
Hakikat atma pradhana itulah harus diketahui. Bahwa sesungguhnya sama-sama tumbuh dengan purusa. Inilah yang disebut jnana, saprakara, yaitu: citta, budi, manah, ahamkara, dasendriya, tanmatra, yang juga dinamakan benih untuk menumbuhkan purusa. Sedangkan yang dinamakan benih untuk menumbuhkan pradhana, yaitu: maya, prana, sadwarga, tri mala, pancawisaya. Kedua benih yakni purusa dan pradhana itu saling mengasihi, tidak dapat dipisahkan, bersamasama dengan karma (baik atau buruk) menurut takdir, disaranai bayu (tenaga), sabda (benih suara), dan idep (pikiran), sebagai sarana untuk berbuat baik maupun buruk (Tim-Penyusun, 2003).
Berdasarkan dua kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam Lontar Tutur Kumara Tattwa menjelaskan hakikat karmaphala melalui Atma yang tidak dapat pisahkan dan tumbuh bersama- sama dengan purusa dan pradhana, kedua benih antara purusa dan pradhana yang menggerakkan Atma tidak dapat dipisahkan karma (baik maupun buruk), sehingga dengan adanya bayu, sabda, dan ideap umat manusia dapat melakukan perbuatan di dalam hidupnya yang nantinya akan menghasilkan karmaphala sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
- Intisari Ajaran Punarbhawa pada Lontar Tutur Kumara Tattwa
Bagian keempat pada ajaran Panca Sradha adalah percaya dengan adanya punarbhawa. Punarbhawa sering disebut dengan penitisan kembali, kelahiran secara berulang-ulang dan juga reinkarnasi dari kehidupan terdahulu. Punarbhawa berasal dari bahasa sansekerta dengan akar kata punar yang memiliki arti punah, sedangkan bhawa memiliki arti lahir, jadi Punarbhawa berarti lahir, musnah dan kelahiran yang berulangulang (Wijayananda, 2004). Atma atau jiwatman yang telah terlepas dari badan kasarnya akan selalu mengalami kelahiran kembali bila atma masih diliputi atau terbelenggu oleh citta atau nafsu duniawi. Dasendria pada dasarnya memiliki arti sepuluh Indria, tetapi dalam Lontar Tutur Kumara Tattwa Dasendria diartika sebagai sepuluh nafsu yang berarti dimana jika kesepuluh indria yang ada pada tubuh disalah gunakan maka akan menjadi nafsu yang menyebabkan manusia kelahiran kembali (punarbhawa). Terlahirnya kembali kedunia menyebabkan atma tidak mengingat atau lupa akan perbuatan dan karmanya terdahulu, seperti yang dijelaskan dalam Bhagavadgita. IV. 5, sebagai berikut:
Sri-bhagavān uvāca bahūni me vyatītāni janmāni tava cārjuna
Tāny ahaṁ veda sarvāṇi tvam ādau proktavān iti
Terjemahan:
Tuhan Yang Maha Esa Bersabda, “Aku telah mengalami kelahiran-kelahiran yang sangat banyak, demikian pula dengan kelahiranmu, wahai Arjuna. Aku mengetahui semua itu tetapi kamu tidak mengetahuinya, waha Paraṅtapa (Darmayasa, 2014).
Sloka di atas menjelaskan bahwa setiap kelahiran kembali (punarbhawa) atma tidak akan mengingat segala perbuatannya terdahulu, tetapi tanpa disadari atma sudah membawa hasil perbuatannya terdahulu untuk terlahir kembali kedunia. Atma dapat terlepas dan berhenti mengalami punarbhawa bila atma atau jiwatman mampu mengendalikan sad ripu dan menghapus seluruh citta atau nafsu duniawi yang ada di dalam diri.
Pada Lontar Tutur Kumara Tattwa (2003: 24) dijelaskan tentang kelahiran manusia kembali kedunia setelah kematiannya yang ditentutkan berdasarkan baik buruknya perbuatan terdahulu dan jika mengalami punarbhawa sang Atma kembali mengambil wujud Panca Maha Bhuta (manusia), pada lontar diuraikan sebagai berikut:
Panca tan matra ikang lakṣana sanghyang ātma ring pangipian, awur-awur tan waspada, kadi pāwak tan pāwak, kadi adwa, kadi tahu ta lwirnya. Yeka swabhawa ning tan matra, yekāsӗnӗtan sanghyang ātma. Yan līṇa saking mahābhuta, yeka pāntara ning hana taya, iniku dening ṥubhāṥubha parawerti ning purwa janma. Ya ta matangnya dadi mwah, mapan kwerdhi dening ṥubhāṥubha hetunya mangkana.
Terjemahan:
Panca Tan Matra artinya laksana Sanghyang Atma di dalam mimpi, bercampur aduk, sulit dibedakan dengan pasti, seolah-olah beraga tanpa raga, seperti salah, seolah-olah benar adanya. Demikianlah wujud Tan Matra sebagai tempat bersembunyi sanghyang atma. Ketika terlepas dari mahabhuta, disitulah lentak antara ada dan tiada. Hal itu tergantung pada baik buruk perbuatan pada saat kehidupan dahulu. Itulah sebabnya manusia dilahirkan kembali, sebab kelahiran ditentukan oleh baik buruk perbuatan itu (Tim-Penyusun, 2003).
Selain kutipan di atas pada Lontar Tutur Kumara Tattwa juga dijelaskan tentang punarbhawa, sebagai berikut:
Ring pamrӗdhi ning ṥubhāṥubha, mawangun ṥarīra, ya ta mwah tang prakӗrti, masuk mwah tang ātma ring panca mahābhuta, yeka utpati stithi pralīṇa ning janma ngaran. Ndan tӗkana ngkana tlas moktah maring kapasuk ring mahābhuta, amrih kapasuk ring tan matra, mari kapasuka prakӗrti, mapasuking hana taya antara, mari triguṇa ātmaka, mari angawātmaka, luput saking saprakara kabeh, ya ta matangnya miṥra maluyi bhāṭara sanghyang ātma wӗkasan, kadi angga ning wway ring lwah tӗkeng jaladhi, maroknya tan ika, tan kӗna dudwanana rūpa, mangkana sang tlas moktah (Tim-Penyusun, 2003).
Terjemahan:
Berkat pengaruh baik buruk itulah terciptanya raga. Muncullah prakerti atma masuk kembali ke dalam panca mahabhuta. Begitulah lahir, hidup, matinya manusia. Bilamana telah mencapai moksha, maka berhentilah dipengaruhi oleh prakerti, lalu masuk diantara ada dan ketiadaan, berhenti dipengaruhi oleh triguna, berhenti dari pengaruh sifat atma, luput dari segala sifat kodrati. Saat itulah bhatara dan sanghyang atma bersatu kembali, bagaikan air sungai dan laut. Begitulah penunggalannya. Wujudnya tidak bisa dipisahkan. Demikianlah orang yang telah mencapai moksha (Tim-Penyusun, 2003).
Berdasarkan penjelasan dari dua kutipan pada Lontar Tutur Kumara Tattwa di atas dapat kita simpulkan bahwa apabila atma belum dapat menyatu dengan Paramatman (Ida Sang Hyang Widhi) maka akan terus terjadi kehidupan berulang-ulang setelah kematian atau yang disebut dengan punarbhawa. Kelahiran kembali tersebut merupakan hasil dari perbuatan terdahulu karena atma masih terikat dengan adanya unsur triguna dan citta yang melekat pada atma disaat atma tersebut telah meninggalkan badan kasarnya, sehingga atma masih terikat dengan unsur-unsur duniawi yang menyebabkan atma harus turun kembali berinkarnasi sesuai dengan hasil perbuatan atau karmanya terdahulu.
- Intisari Ajaran Moksa (Pembebasan sempurna) pada Lontar Tutur Kumara Tattwa
Pada bagian terakhir dari Panca Sradha dijelaskan tentang percaya dengan adanya Moksa atau menyatunya atma dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi). Secara etimologi Moksa berasal dari Bahasa sansekerta dengan akar kata Muc yang memiliki arti kebebasan, ketenangan, melepaskan atau kelepasan, jadi Moksa berarti kebebasan dari ikatan duniawi, bebas dari karma-phala dan bebas dari samsara (Sudharta, 2001).
Menurut Nurkancana, moksa baru dapat dicapai melalui kelahiran berkali-kali secara bertahap. Maksudnya, pada satu kali kelahiran harus diselesaikan satu tahap tujuan, sebagai “Tujuan antara” untuk mencapai moksa. Adapun “Tujuan antara” tesebut adalah dialam sana masuk sorga dan terlahir kembali dalam harkat dan martabat yang lebih tinggi dari pada harkat dan martabat sebelumnya. Jika demikian halnya, maka sorga merupakan tempat dan tujuan sementara untuk menuju suatu tempat dan tujuan akhir suatu perjalanan. Ataupun sebaliknya, dari tempat dan tujuan sementara itu pula seseorang bisa saja berbalik kembali ketempat asal (dilahirkan kembali) jika terjadi suatu hal yang tidak memungkinkan seseorang untuk melanjutkan perjalanannya. Karena itu, sorga bukanlah tujuan kamoksaan (Nurkancana, 1999).
Moksa akan dapat dicapai bukan saja setelah manusia mengalami kematian di dunia, tetapi Moksa juga dapat dicapai pada saat kehidupan saat ini, dicapainya moksa dikehidupan saat ini jika manusia sudah mampu terbebas dari ikatan-ikatan keduniawian, yang dimana keadaan ini disebut dengan jiwanmukti atau moksa semasa hidup (Sudharta, 2001).
Pada Naskah Lontar Tutur Kumara Tattwa (2003:73) menawarkan tiga jalan untuk mencapai kamoksan, yaitu wahya, adyatmika, dan kamoksan apinem. Wahya adalah mencapai moksa melalui jalan sabda, mantra, weda. Adyatmika adalah mencapai moksa melalui jalan mendalami ajaran ke-Tuhanan, pancakrama, tulak kamoksan, wiwata. Kamoksan apinem adalah mencapai moksa melalui jalan graha. Setelah matang dalam kehidupan graha, atma akan menunggal dengan Brahman. Dalam keadaan seperti itu, atman telah terlepas dari astalingga, yaitu adi, astiti, pasingidan, henang-hening, tutur, amunah carma, dan lina (Tim-Penyusun, 2003).
Moksa merupakan tujuan akhir dari umat Hindu, moksa merupakan kelepasan yang abadi sehingga atma tidak lagi mengalami kelahiran kembali (punarbhawa) serta mencapai kebahagiaan yang tertinggi, yaitu kebahagiaan sukha tanpa wali dukkha (kebahagian yang tidak disusul dengan kedukaan), tentang tujuan umat Hindu untuk mencapai moksa dijelaskan pada pustaka suci Bhagavadgita VII. 19, sebagai berikut:
Bahūnāṃ janmanām ante jnānavām māṃ prapadyate
vāsudevaḥ sarvam iti sa mahatma su-durlabhaḥ
Terjemahan:
Setelah melewati penjelmaan demi penjelmaan yang sangat banyak, orang-orang bijaksana yang terpelajar baik dalam spiritual, akan dating untuk menyerahkan dirinya pada-Ku. Mereka mencapai penghayatan bahwa segala sesuatu di ala mini hanyalah Vāsudeva, Tuhan Yang Maha Esa. Orang berjiwa agung seperti itu sangat jarang ada ditemukan (Darmayasa, 2014).
Berdasarkan sloka tersebut menjelaskan bahwa tujuan umat Hindu hidup sebagai manusia adalah untuk berbuat kebaikan (Dharma) serta menggali ilmu pengetahuan sedalam-dalamnya kemudian menyadari kekuasaan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi) atas kehidupan yang telah diberikan kepada manusia hingga pada saatnya manusia akan mati dan kembali menunggal pada Ida Sang Hyang Widhi, karena itu hendaknya manusia semasa hidupnya selalu berbuat baik agar dapat menyatu dengan Tuhan (moksha) agar tidak mengalami siklus kelahiran kembali (punarbhawa).
Pada Lontar Tutur Kumara Tattwa (2003: 24) dipaparkan terkait proses terwujud atau tercapainya moksa, sebagai berikut:
Ring pamrӗdhi ning ṥubhāṥubha, mawangun ṥarīra, ya ta mwah tang prakӗrti, masuk mwah tang ātma ring panca mahābhuta, yeka utpati stithi pralīṇa ning janma ngaran. Ndan tӗkana ngkana tlas moktah maring kapasuk ring mahābhuta, amrih kapasuk ring tan matra, mari kapasuka prakӗrti, mapasuking hana taya antara, mari triguṇa ātmaka, mari angawātmaka, luput saking saprakara kabeh, ya ta matangnya miṥra maluyi bhāṭara sanghyang ātma wӗkasan, kadi angga ning wway ring lwah tӗkeng jaladhi, maroknya tan ika, tan kӗna dudwanana rūpa, mangkana sang tlas moktah.
Terjemahan:
Berkat pengaruh baik buruk itulah terciptanya raga. Muncullah prakerti atma masuk kembali ke dalam panca mahabhuta. Begitulah lahir, hidup, matinya manusia. Bilamana telah mencapai moksha, maka berhentilah dipengaruhi oleh prakerti, lalu masuk diantara ada dan ketiadaan, berhenti dipengaruhi oleh triguna, berhenti dari pengaruh sifat atma, luput dari segala sifat kodrati. Saat itulah bhatara dan sanghyang atma bersatu kembali, bagaikan air sungai dan laut. Begitulah penunggalannya. Wujudnya tidak bisa dipisahkan. Demikianlah orang yang telah mencapai moksha (Tim-Penyusun, 2003).
Berdasarkan kutipan di atas dijelaskan bahwa perjalanan atma dalam jasmani manusia begitu banyak cobaan mulai dari adanya unsur triguna yang menyebabkan atma merasakan sifat yang dialami jasmaninya sehingga terakhir atma menjadi terikat akan unsur duniawi atau nafsu keinginan dunia (citta), untuk mencapai kebahagian tertinggi (moksa) harus kembali suci dan terlepas dari unsur-unsur duniawi dengan berbagai cara mulai dari catur marga dan mengamalkan ajaran astalingga pada Lontar Tutur Kumara Tattwa.
IV. PENUTUP
Lontar Tutur Kumara Tattwamengajarkan bahwauntuk mencapai kelepasan umat harus mampu mengendalikan dasendria (sepuluh nafsu), sejak lahir manusia sudah memiliki astadewi atau Pracanamaya (delapan kekuatan dalam diri manusia yang dapat membuat hidup manusia menjadi papa atau menimbulkan kepapaan hidup dan untuk menghindari atau mengantisipasi pengaruh sifat-sifat duniawi). Intisari ajaran agama Hindu dalam Lontar Tutur Kumara Tattwa berupa ajaran tentang Panca Sradha (lima kepercayaan umat Hindu) di dalam Lontar Tutur Kumara Tattwa dapat dikaitkan denganajaran Panca Sradha, yakni adanya bukti percaya terhadap Tuhan melalui perwujudan Tuhan yang Imanen (Saguna Brahma) dengan mewujudkan tuhan sebagai Bhatara Guru sebagai guru para dewata, adanya perumpamaan Bhatara sebagai matahari dan manusia bagikan tempayan dari perumpamaan tersebut digambarkan bahwa terdapat percikan paramatman di dalam diri manusia, adanya cara pengendalian diri untuk menciptakan karmaphala yang baik sehingga mampu mencapai moksha dan terhindar dari kelahiran kembali (punarbhwa).
Oleh:
I Putu Febriyasa Suryanan
I Made Arsa Wiguna
Ni Nyoman Mariani
Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar
Judul: INTERPRETASI AJARAN PANCA SRADHA DALAM LONTAR TUTUR KUMARA TATTWA
0 Response to "Interpretasi Ajaran Panca Sradha Dalam Lontar Tutur Kumara Tattwa"
Post a Comment