Kedekatan hubungan politik dan kekuasaan antara Jawa dengan Bali menjadi jendela bagi menyebarnya kakawin ke Bali, seperti kakawin Ramayana, Arjuna Wiwaha, Bharatayudha, Sutasoma, dan Siwaratiri Kalpha, semuanya mendapat tempat yang terhormat pada masyarakat Bali.
Pada zaman kerajaan Mataram Hindu yang diperintah oleh Dyah Balitung sekitar 820 – 832 saka, terdapat sebuah kitab Ramayana berbentuk kakawin berbahasa Jawa Kuna. Menurut tradisi Bali kakawin Ramayana merupakan karya sastra yang dikarang oleh Mpu Yogiswara. Namun pernyataan itu langsung dibantah oleh Prof. Dr. R.M.Ng. Purbatjaraka, karena menurut beliau Mpu Yogiswara merupakan baris terakhir kakawin Ramayana versi jawa, namun itu bukan merupakan identitas penulis. Kitab ini sudah diteliti oleh para ahli Belanda seperti H. Kern yang telah mencetak dengan huruf Jawa pada tahun 1950, diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda ( hanya 6 bagian ).
Kakawin Ramayana adalah kakawin (syair) berisi cerita Ramayana. Ditulis dalam bentuk tembang berbahasa Jawa Kuna, diduga dibuat di Mataram Hindu pada masa pemerinthan Dyah Balitung sekitar tahun 820-832 Saka atau sekitar tahun 870 M. Beberapa peneliti mengungkapkan, bahwa Kakawin Ramayana versi Jawa ini ternyata tidak sepenuhnya mengacu langsung kepada Ramayana versi Walmiki, akan tetapi mengacu ini merupakan transformasi dari kitab Rawanawadha yang ditulis oleh pujangga India kuno bernama Bhattikawya. Hal ini disimpulkan oleh Manomohan Ghosh, seorang peneliti sastra dari India yang menemukan beberapa bait Ramayana Jawa yang sama dengan bait bait dalam Rawanawadha.
Metode (method), secara harfiah berarti cara. Metode atau metodik berasal dari bahasa Greeka, metha (melalui atau melewati), dan hodos (jalan atau cara), jadi metode bisa berarti jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu.
Metode adalah cara atau prosedur yang ditempuh untuk mencapai tujuan tertentu. Lalu ada satu istilah lainnya yang berkaitan dengan 2 istilah ini, yaitu teknik adalah cara yang spesifik dalam pemecahan masalah tertentu yang ditemukan dalam pelaksanaan prosedur.
Prabu Dasaratha dari negeri Ayodya memiliki empat putra; Rama, Bharata, Laksmana dan Satrughna. Maka suatu hari seorang resi bernama Wiswamitra memohon bantuan Sri Paduka Dasaratha untuk menolongnya membebaskan pertapaannya dari serangan para raksasa. Maka Rama dan Laksamana berangkat.
Di pertapaan, Rama dan Laksmana menghabisi semua raksasa dan kemudian mereka menuju negeri Mithila di mana diadakan sebuah sayembara. Siapa menang dapat mendapat putri raja bernama Sita. Para peserta disuruh merentangkan busur panah yang menyertai kelahiran Sita. Tak seorangpun berhasil kecuali Rama, maka mereka pun menikah dan lalu kembali ke Ayodya.
Di Ayodya, Rama suatu hari akan dipersiapkan dinobatkan sebagai raja, karena ia adalah putra sulung. Namun Kaikeyi, salah seorang istri raja Dasaratha yang bukan ibu Rama berakta bahwa sri baginda pernah berjanji bahwa Bharata lah yang akan menjadi raja. Maka dengan berat hati raja Dasaratha mengabulkannya karena memang pernah berjanji demikian. Kemudian Rama, Sita dan Laksmana pergi meninggalkan istana. Selang beberapa lama, raja Dasaratha meninggal dunia dan Bharata mencari mereka. Ia merasa tidak pantas menjadi raja dan meminta Rama untuk kembali. Tetapi Rama menolak dan memberikan sandalnya (bahasa Sanskerta: pâduka) kepada Bharata sebagai lambang kekuasaannya.
Maka Rama, Sita dan Laksmana berada di hutan Dandaka. Di sana ada seorang raksasi bernama Surpanakha yang jatuh cinta kepada Laksmana dan ia menyamar menjadi wanita cantik. Tetapi Laksmana tak berhasil dibujuknya dan akhirnya ujung hidungnya terpotong. Surpanakha marah dan mengadu kepada kakaknya sang Rahwana (Rawana) dan membujuknya untuk menculik Sita dan memperistrinya. Akhirnya Rahwana menyuruh Marica, seorang raksasa untuk menculik Sita. Lalu Marica bersiasat dan menyamar menjadi seekor kijang emas yang elok. Sita tertarik dan meminta suaminya untuk menangkapnya. Rama meninggalkan Sita bersama Laksmana dan pergi mengejar si kijang emas. Si kijang emas sangat gesit dan tak bisa ditangkap, akhirnya Sri Rama kesal dan memanahnya. Si kijang emas menjerit kesakitan berubah kembali menjadi seorang raksasa dan mati. Sita yang berada di kejauhan mengira yang menjerit adalah Rama dan menyuruh Laksamana mencarinya. Laksmana menolak tetapi akhirnya mau setelah diperolok-olok dan dituduh Sita bahwa ia ingin memilikinya. Akhirnya Sita ditinggal sendirian dan bisa diculik oleh Rahwana.
Teriakan Sita terdengar oleh burung Jatayu yang pernah berkawan dengan prabu Dasaratha dan ia berusaha menolong Sita. Tetapi Rahwana lebih kuat dan bisa mengalahkan Jatayu. Jatayu yang sekarat masih bisa melapor kepada Rama dan Laksmana bahwa Sita dibawa ke Lengka, kerajaan Rahwana.
Kemudian Rama dan Laksmana mencari kerajaan ini. Di suatu daerah mereka berjumpa dengan kera-kera dan seorang raja kera bernama Subali yang menculik istri kakaknya. Akhirnya Bali bisa dibunuh dan istrinya dikembalikan ke Sugriwa dan Sugriwa bersedia membantu Rama. Akhirnya dengan pertolongan bala tentara kera yang dipimpin Hanuman, mereka berhasil membunuh Rahwana dan membebaskan Sita. Sita lalu diboyong kembali ke Ayodya dan Rama dinobatkan menjadi raja.
2. Piranti (device) Kakawin Ramayana Sargah I : 4
Piranti – piranti (device) yang digunakan sebagai penanda kesinambungan satuan – satuan naratif dalam Kesatuan penceritaan adalah sebagai berikut:
a. Penanda Waktu
KR. 12.
Hayuning swargga tuwi masor,
déning Ayodhyāpurātisaya,
suka nityakāla ménak, ri
rĕngrĕng towi ring lahru.
Kabĕcikan Swargané wyakti kasor, antuk
puri Ayodyané sané tanpa tandingan, irika
satata kahanan lédang, ring masan sabêh
pituwi ring masan ĕndang.
KR.61.
Rahina ya sakatambé māwa tang désa rāmya,
lumaku ta sira kālih sampun amwit
manĕmbah,
mamawa ta sira langkap astra sanghāra rāja,
anakbi ry Ayodhyā šoka monĕng manahnya.
Bénjangné pasĕmĕngan galang jagaté ngulangunin,
mamargi Ida Sang kalih sasampuné mapamit miwah
mangabhakti, makta Ida gandéwa sanjata panglĕburan
jagat, para istriné ring Ayodhya sĕdih kangĕn manah ipun.
b. Penanda Tempat
KR. 11.
Hana rājya tulya kéndran, kakwéhan
sang mahārddhika susila, ring
Ayodhyā subhagéng rāt, yéka
kadatwannirang nrĕpati. Wéntĕn
puri waluya kéndran,
kébĕkan antuk sang pradnyan lĕwihing
laksana, ring Ayodya kalintang kasub ring
jagaté, punika purin Ida Sang Prabu.
KR. 12.
Hayuning swargga tuwi masor,
déning Ayodhyāpurātisaya,
suka nityakāla ménak, ri
rĕngrĕng towi ring lahru.
Kabĕcikan Swargané wyakti kasor, antuk
puri Ayodyané sané tanpa tandingan, irika
satata kahanan lédang, ring masan sabêh
pituwi ring masan ĕndang.
KR. 15.
Špatika manik tamalahalah, satéja
mungwing umah paniñjowan, kadi
Gangga saka Himawān, rūpanya
katon sutéjāsri. Manik banyuné akéh
pisan,
sami pakĕdépdep magĕnah ring balé
pangungangané, kadi tukad ganggané saking
gunung himawan, kantĕn rupannya dumilah nghyunhyunin
KR.23.
Sira ta pinét naranātha, marā ry
Ayodhyā purohita ngkāna, tātar
wihang sira pinét, pininta kasihan
sirāyajñā.
Ida sané katuur antuk Ida sang prabu, mangda rawuh
kapuri Ayodya kadĕgang bhagawanta irika, néntĕn tulak
Ida katuur, katunas icain Ida mangda ngajĕngin yajña.
KR. 28.
Sang Hyang kunda pinūjā,
caru makulilingan samatsya māngsa
dadhi, kalawan sĕkul niwédya,
inamĕs salwir nikang marasa.
Bhatara sané malingga ring pahoman raris kastawa,
kailĕhin antuk caru saha ulam daging
ĕmpĕhan, maka miwah ajĕngan
yadnyané, kacampur sakancan sané
marasa utama.
3. Kajian Nilai dalam Kakawin Ramayana Sargah I : 4
Makna kesusastraan Bali dimaksudkan sebagai muatan, kandungan atau dalam ilmu sastra diistilahkan dengan "nilai" dalam kesusastraan Bali. Terkait dengan hal itu, maka nilai - nilai pada kesusastraan Bali merupakan pandangan - pandangan masyarakat Bali yang tercermin dalam karya - karya sastra Bali. Pandangan tersebut berkenaan dengan hal - hal yang dianggap , "baik, pantas, atau sesuai " bagi ukuran normatif masyarakat Bali. Pandangan-pandangan tersebut ditata sedemikian rupa oleh pengarang (sastrawan ; pujangga ) dengan kepiawaian yang dimiliki. Hal itulah selanjutnya ditangkap oleh pembaca sebagai suatu nilai. Dengan demikian, maka nilai - nilai pada kesusastraan Bali pada dasarnya seluruh aspek kehidupan.
Dalam Kakawin Ramayana mengandung banyak nilai - nilai kehidupan. Pada sargah I : 4 Kakawin Ramayana juga banyak mengandung nilai – nilai kehidupan antara lain adalah nilai religius (keagamaan) , nilai sosial.
a. Nilai Religius ( Keagamaan ) dalam Kakawin Ramayana Sargah I : 4
Nilai religius adalah nilai keagamaan atau keyakinan yang terkandung di dalam Kakawin Ramayana Sargah I : 4. Dalam Kakawin Ramayana Sargah I : 4 mengandung nilai keagamaan yaitu Sad Ripu, yang merupakan salah satu ajaran dalam agama Hindu. Sad Ripu, berasal dari 2 kata yaitu Sad yang berarti enam (6) dan Ripu artinya musuh. Jadi Sad Ripu adalah 6 musuh yang ada dalam diri manusia. Keenam musuh ini berada dalam diri manusia dan tidak jauh dari raga manusia, seperti yang tertuang dalam Kakawin Ramayana Sargah I : 4, Ràgàdi musuh maparö, ri hati ya tonggwanya tan madoh ring awak.
Sebagai manusia tidak seharusnya jauh – jauh mencari musuh dan menganggap orang lain adalah musuh. Dalam diri setiap orangpun terdapat enam musuh yang disebut dengan Sad Ripu. Bagian – bagian dari Sad Ripu adalah Kama, Lobha, Krodha, Mada, Moha, Matsarya. Keenam musuh ini ada di dalam diri setiap manusia. Dapat kita lihat dalam kehidupan saat ini, keinginan , ketidakpuasan, kemabukan, kebingungan, dan iri hati adalah penyakit masyrakat. Keinginan (Kama) memang dibutuhkan oleh setiap manusia, namun apabila keinginan yang tidak dapat dikendalikan akan menjadi musuh bagi manusia. Keinginan yang masih belum dapat dikendalikan akan menyebabkan kelobaan (Lobha), yaitu tidak puas akan sesuatu dan menginginkan sesuatu lainnya.
Apabila seseorang dikuasi oleh kelobaan ,maka ia akan diliputi oleh kemarahan (krodha). Kemarahan merupakan musuh yang terbesar dalam diri manusia, karena akan menyebabkan tekanan fisik maupun mental. Orang yang marah adalah orang yang jauh dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena tidak dapat menahan diri atau mengendalikan diri. Apabila sudah demikian, maka ia akan diliputi kemabukan (Mada). Kemabukan disini tidak hanya disebabkan oleh minuman keras, pada zaman seperti saat ini kemabukan banyak disebabkan oleh, harta, kekuasaan serta kepuasan. Seseorang yang sudah mabuk maka akan mengalami kebingungan (Moha) . Tidak dapat membedakan yang baik atau buruk, salah atau benar. Kebingungan akan menyebabkan orang menjadi iri hati (Matsarya) dengan apapun yang dilakukan orang lain, akibat dia tidak dapat membedakan baik, buruk, benar ataupun salah.
Kakawin Ramayana sudah menjelaskan dengan jelas bahwa keenam musuh ini berada tidak jauh dari diri kita. Sad Ripu tidak harus dimusnahkan, namun hanya harus dikendalikan sehingga akan memberikan dampak positif bagi diri dan sekitar kita. Hal yang dapat dilakukan untuk mengendalikan Sad Ripu adalah menjalankan Tri Kaya Parisudha, sehingga segala pikiran, tindakan dan perkataan yang muncul akan baik atau positif.
b. Nilai Sosial dalam Kakawin Ramayana Sargah I : 4
Nilai sosial adalah nilai yang berkenaan dengan realitas maupun permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam bait inipun juga mengandung nilai sosial , dimana kembali dengan musuh dalam diri yaitu Sad ripu yang menjadi penyakit masyarakat zaman sekarang. Keenam musuh ini berada dalam diri manusia dan tidak jauh dari raga manusia, seperti yang tertuang dalam Kakawin Ramayana Sargah I : 4, An lakwéki si Rāma, lumagé musuh mahārsi ring patapan, pĕjahāwas ya kasāmbya, apan raré tan wruhing bisama. Tuhu yan wruh ya ring astra, ndātan tahu manglagé musuh bisama, rāksasa māyā ya kabéh, lāwan paracidra yan paprang. Seperti yang kita ketahui, kemajuan tekhnologi serta pendidikan banyak menuntut masyarakat berperilaku konsumtif. Dalam Sad Ripu , hal ini termasuk dalam Kama atau keinginan.
Bagian kedua adalah Lobha ( rakus ), rakus tidak hanya diartikan rakus akan makanan. Saat ini rakus diaartikan menjadi rakus akan harta, kekuasaan. Contohnya adalah para pejabat saat ini, belum merasa puas dengan kedudukan serta pendapatan yang mereka peroleh, sehingga mereka memutuskan untuk bertindak melakukan korupsi. Semua ini diakibatkan oleh kerakusan seseorang, serta tidak puas dengan apa yang telah dimiliki.
Bagaian ketiga adalah krodha ( kemarahan), orang yang telah dikuasi oleh kemarahan segala tindakan, pikiran dan perkataannya sudah tidak dapat dikendalikan. Contohnya adalah aksi anarkis kelompok tertentu, hal ini akibat mereka telah dikuasai oleh krodha. Akibatnya timbul perkataan, tindakan dan pemikiran yang buruk.
Bagian keempat adalah Mada ( Kemabukan ), mabuk tidak hanya disebbakan oleh minuman keras. Mabuk juga dapat disebabkan oleh harta serta kedudukan. Apabila seseorang sudah mabuk, maka ia akan kehilangan kesadaran serta akal sehatnya dalam berfikir. Begitu juga mereka yang mabuk akan kedudukan serta harta, maka akan menjadi sombong, menyalahgunakan harta dan kedudukan itu untuk hal yang negatif. Hal ini sudah banyak terjadi di kalangan masyarakat, baik dari pemerintahan , pegawai serta masyrakat biasapun juga bisa.
Bagian kelima adalah Moha ( Kebingungan ), seseorang yang mabuk maka akan mengalami kebingungan. Tidak bisa membedakan perbuatan yang baik dan buruk, benar maupun salah. Contohnya, orang yang mabuk akan kedudukan / jabatan. Akibat kemabukannya itu dia menjadi bingung, serta tidak tahu membedakan hal yang baik dan buruk. Sehingga para pemegang jabatan yang mabuk akan kekuasaan , mereka akan menjadi otoriter, tidak adil, bahkan yang terburuk adalah melakukan korupsi. Seperti yang kita ketahui korupsi adalah masalah terbesar dalam negara kita saat ini.
Bagian keenam adalah matsarya ( iri hati ). Iri hati merupakan penyakit manusia yang banyak menjerumuskan ke dalam lingkaran kehancuran. Contohnya dalam kehidupan sehari – hari dan tidak jauh dari kehidupan kita adalah ketika sudah membenci seseorang . Ketika rasa iri hati itu muncul maka apapun yang dilakukan seseorang akan selalu dianggap salah, meskipun ia melakukan hal yang baik tidak akan benar dan lain sebagainya. Masih banyak lagi contoh dalam kehidupan bermasyarakat.
IV. Kesimpulan
Kakawin Ramayana adalah kakawin (syair) berisi cerita Ramayana. Ditulis dalam bentuk tembang berbahasa Jawa Kuna, diduga dibuat di Mataram Hindu pada masa pemerinthan Dyah Balitung sekitar tahun 820-832 Saka atau sekitar tahun 870 M. Transliterasi Kakawin Ramayana merupakan proses pengalih bahasakan dan alih aksarakan dari aksara Bali menjadi Bahasa Kawi Latin, Bahasa Bali, dan Bahasa Indonesia tanpa mengubah ejaan yang ada. Di bawah ini akan disajikan pengalihaksaraan dan pengalihbahasaan Kakawin Ramayana Sargah I : 4. Dalam Kakawin Ramayana Sargah I : 4, mengandung banyak nilai – nilai kehidupan. Nilai kehidupan yang terkandung antara lain adalah nilai keagamaan serta nilai sosial.
Kajian Nilai Pendidikan dalam Kakawin Ramayana Sargah I:4
Oleh: Ni Putu Purniari
SD No. 2 Penarungan
0 Response to "Kajian Nilai Pendidikan dalam Kakawin Ramayana Sargah I:4"
Post a Comment