Bahasa Daerah dalam Kebhinekaan Bangsa Indonesia

MUTIARAHINDU.COM -- Bahasa Daerah dalam Kebhinekaan Bangsa Indonesia.  Salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang jarang dimiliki oleh bangsa-bangsa lain adalah terdapatnya aneka bahasa daerah yang hidup berdampingan dengan bahasa Indonesia. Keanekaan Bahasa daerah yang ada di Indonesia dapat menjadi potensi yang positif dalam mengembangkan dan mempermantap kedudukan Bahasa nasional yakni bahasa Indonesia. Oleh karena itu, menjadi tidak bijak jika bahasa daerah dianggap sebagai bahasa pengganggu Bahasa Indonesia. Bahasa daerah atau yang biasa juga disebut dengan Bahasa etnis atau bahasa ibu telah menjadi agenda UNESCO dengan menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Oentarto Sindung Mawardi dalam makalahnya yang berjudul “Peran Bahasa dan Sastra Daerah dalam Memperkukuh Ketahanan Budaya Bangsa” (2003:5) mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh UNESCO di atas menunjukkan betapa pentingnya upaya mempertahankan pemakaian serta pemberdayaan fungsi Bahasa daerah/etnis/bahasa ibu di tengah-tengah masyarakat pendukungnya. 



Manusia dalam kesahariannya akan mampu beradaptasi dengan lingkungan, dan orang-orang di sekitarnya, dimana bahasa memerankan peran yang penting bagi kehidupannya. Bahasa amerupakan alat yang ampuh bagi manusia dalam berhubungan dengan sesuatu di luar dirinya. Bahasa yang di kenal selama ini terdiri dari dua ajenis, yaitu bahasa lisan dan tulisan. Bahasa menurut teori struktural, dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tanda arbitrer yang konvensional (Soeparno 2008: 1). Artinya, bahasa memiliki ciri arbitrer dan konvensional. Ciri arbitrer, yakni hubungan yang sifatnya semena-semena antara signifie dan signifiant atau antara makna dan bentuk. Kesemena-menaan ini dibatasi oleh kesepakatan antar-penutur. Oleh sebab itu, bahasa juga memiliki ciri konvensional (kesepakatan) (Soeparno 2008: 2). Hal senada juga diberikan oleh Harimurti (dalam Hidayat 2006: 22), bahwa batasan bahasa adalah sebagai sistem lambang arbitrer yang dipergunakan suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri.

Dari dua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwasanya bahasa adalah sistem tanda yang arbitrer. Sifat kearbitreran bahasa ditentukan oleh konvensi di mana bahasa tersebut digunakan. Jadi, antara tempat yang satu dan tempat yang lain bisa berbedabeda dalam menentukan konvensi suatu bahasa. Itulah kekhasan dari bahasa yang digunakan oleh manusia dibandingkan dengan bahasa-bahasa yang lain (alam, hewan, tumbuhan, dan lainnya).

Dalam wilayah Negara kesatuan Indonesia dikenal adanya bahasa daerah dan bahasa Nasional. Dua hal ini bisa dikatakan sebagai pertentangan, tetapi juga bermakna sebagai bentuk persatuan. Hal ini dikarenakan bahasa daerah dan bahasa nasional hidup dalam satu wadah dan berkembangnya pun dalam satu wadah, yaitu Bangsa Indonesia. Dikatakan pertentangan, karena ada keinginan agar bahasa nasional bisa menjadi bahasa pemersatu setiap suku, ras, dan kebudayaan di Indonesia. Kesamarataan penggunaan bahasa nasional di hampir semua lini kehidupan warganya bisa menjadi bertentangan dengan bahasa daerah (bahasa ibu) yang mereka gunakan sebagai bahasa sehari-hari. 

Bahasa nasional sebagai bahasa kedua yang menghendaki agar semua lapisan masyarakat menggunakannya, bisa berakibat bahasa daerah sebagai bahasa pertama sedikit demi sedikti terkikis. Apabila hal ini tetap dipaksakan, maka bahasa daerah yang kurang kuat alias sedikit penggunanya bisa menghilang bahkan tidak dikenal lagi di masa yang akan datang. Bisa-bisa terbentuk yang dinamakan pola substractive bilingual dalam masyarakat Indonesia, yakni penguasaan bahasa kedua (bahasa Indonesia) lambat laun menggantikan bahasa pertama (bahasa daerah) (Hidayat 2012: 39). Hal ini tentunya sangat disayangkan sekali, karena seperti yang dikatakan oleh Sutarto dalam Hidayat (2012: 41) bahwa, bersamaan dengan hilangnya bahasa-bahasa daerah, kearifan lokal atau kearifan tradisional yang tersimpan dalam tradisi lisan juga tidak dapat diselamatkan. Hal itu apabila dilihat dari sisi pertentangan, berbeda apabila dilihat dari sisi persatuan, maka antara bahasa daerah dan bahasa nasional bisa hidup berdampingan dengan harmonis. Di samping di sekolah-sekolah diajarkan bahasa Indonesia, juga tetap diajarkan bahasa asli mereka (bahasa daerah). Apabila hal demikian yang terjadi, maka tidak akan terjadi saling penghilangan satu sama lain. Bahasa nasional tidak menghapus bahasa daerah, begitu juga sebaliknya.

Hal demikian sudah ada indikasi dari pemerintah, yaitu dengan dikeluarkannya garis kebijakan yang telah disusun dalam rangka pembinaan dan pengembangan bahasa daerah, yaitu seperti berikut ini:

“Bahasa-bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat perhubungan yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemaikainya, dihargai dan dipelihara oleh negara oleh karena bahasa-bahasa itu adalah bagian daripada kebudayaan yang hidup”.

Kebijakan demikian tentunya memberi angin segar bahwasanya pemerintah benarbenar memperhatikan bahasa-bahasa daerah yang ada di tanah air ini. Bahasa-bahasa daerah yang ada merupakan kekayaan kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Perlu kiranya diapresiasi kebijakan tersebut. Namun demikian, kiranya tidak hanya memberi aplaus saja terhadap kebijakan tersebut, tetapi juga kita wajib menjaga kelestarian bahasa daerah yang ada di tanah air ini.

II. Metode

Secara harfiah metode berarti pengejaran pengetahuan, penyelidikan, cara penuntutan penyelidikan, atau sistem semacam itu. Dalam beberapa abad terakhir ini lebih sering berarti proses yang ditentukan untuk menyelesaikan tugas. Beberapa juga menyebutkan bahwa metode adalah suatu proses atau cara sistematis yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dengan efisiensi, biasanya dalam urutan langkahlangkah tetap yang teratur. Kata metode (method) berasal dari bahasa Latin dan juga Yunani, methodus yang berasal dari kata meta yang berarti sesudah atau di atas, dan kata hodos, yang berarti suatu jalan atau suatu cara. Metode dan sistem membentuk hakikat ilmu. Sistem bersangkutan dengan isi ilmu, sementara metode berkaitan dengan aspek formal. Lebih tepat, sistem berarti keseluruhan pengetahuan yang teratur atau totalitas isi dari ilmu. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Jenis data yang terkumpul berupa data kualitatif melalui metode kepustakaan.

III. Pembahasan

1. Peran dan Fungsi Bahasa Daerah dalam Persatuan Bangsa 

Bahasa daerah yang ada di Indonesia yang jumlahnya sekitar 700 buah berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, (3) alat perhubungan di dalam keluarga, (4) sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, serta (5) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia. Dalam rumusan seminar politik bahasa tahun 1999, disepakati pula beberapa fungsi bahasa daerah dalam hubungannya dengan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Fungsi-fungsi bahasa daerah, yakni (1) pendukung bahasa Indonesia, (2) bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah dasar di daerah tertentu untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan/atau pelajaran lain, dan (3) sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia. Ketiga fungsi bahasa daerah tersebut dilengkapi lagi dengan penjelasan bahwa dalam keadaan tertentu, bahasa daerah dapat juga berfungsi sebagai pelengkap bahasa Indonesia di dalam penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat daerah.

Untuk mengetahui pelaksanaan fungsi bahasa daerah, sebaiknya dilihat sejenak butir (4) fungsi bahasa daerah yang disebutkan bahwa bahasa daerah berfungsi sebagai sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia. Di dalam hubungannya dengan fungsi bahasa Indonesia, pada butir (1) dinyatakan bahwa bahasa daerah berfungsi sebagai pendukung bahasa Indonesia, dan pada butir (3) dinyatakan bahwa bahasa daerah berfungsi sebagai sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia.

Ketiga butir fungsi bahasa daerah di atas, secara tegas, memberi peluang kepada bahasa daerah untuk lebih berkembang dan dapat mendukung bahasa Indonesia. Bahasa daerah memiliki peluang memainkan peran yang lebih besar dalam memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Namun, apakah fungsi bahasa daerah seperti yang tercantum dalam tiga butir rumusan fungsi bahasa daerah saat seminar politik bahasa tahun 1999 telah berjalan dengan baik, Nababan (1990) dalam makalahnya yang berjudul “Kedwibahasaan dan Perkembangan Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah” melaporkan bahwa pada tahun 1980, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang bernama Pusat Bahasa) merencanakan penyelenggaraan suatu survei mengenai kedwibahasaan di Indonesia. Salah satu hasil atau kesimpulan survei tersebut yakni perubahan ke arah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama kelihatan cukup jelas. Hasil survei ini mengisyaratkan bahwa di beberapa daerah di Indonesia, mulai terjadi pergeseran pemakaian bahasa yang dari pemakaian bahasa daerah menjadi pemakaian bahasa Indonesia. Pergeseran pemakaian bahasa dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia menimbulkan pertanyaan. Masihkah fungsi bahasa daerah sebagai alat komunikasi etnik, sebagai pendukung bahasa Indonesia, dan sebagai sumber kosakata bahasa Indonesia, akan dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia sebagaimana hasil rumusan seminar politik bahasa tahun 1999, Pertanyaan ini hadir sebagai akibat semakin menyusutnya wilayah pemakaian bahasa daerah, rusaknya tata bahasa daerah yang dipakai oleh para penutur muda, minimnya kosakata bahasa daerah yang terserap ke dalam kosakata baku bahasa Indonesia, dan acuh tak acuhnya pemerintah daerah dalam hal pelestarian bahasa daerah di wilayahnya.

Peralihan pemakaian bahasa ibu dari bahasa daerah menjadi bahasa Indonesia, kekacauan kosakata bahasa daerah (misalnya kosakata indorah: Indonesia-Daerah), terbatasnya jumlah kosakata bahasa daerah yang terserap ke dalam bahasa Indonesia, dan kekurangpedulian pemerintah daerah terhadap pelestarian bahasa daerah menunjukkan belum terlaksananya kedudukan dan fungsi bahasa daerah secara baik seperti yang terumus dalam seminar politik bahasa tahun 1999. Jika hal ini berlangsung secara terus menerus, maka tidak tertutup kemungkinan, rumusan kedudukan dan bahasa fungsi bahasa daerah hanyalah sebuah slogan yang setengah hati untuk dilaksanakan.

Persatuan bangsa Indonesia terbentuk bukan dari keseragaman, tetapi terbentuk dari keanekaragaman. Semboyan Bhineka Tunggal Ika selalu melekat di hati setiap warga negara Indonesia, karena dengan kebhinekaan inilah bangsa Indonesia ada. Bhineka Tunggal Ika tidak hanya menyangkut suku-suku, ras-ras, dan agama-agama saja, tetapi juga mencakup bahasa, karena pada hakekatnya bahasa melekat pada diri manusia. Sementara manusia itu sendiri merupakan pelaku kebudayaan.

Bangsa Indonesia ini tidak terbentuk dari keseragaman budaya, adat-istiadat, agama, bahasa, dan keseragaman yang lain. Ada pendapat menarik dari Cuellar dalam Hidayat (2012:  40), yaitu setiap usaha yang memaksakan keseragaman atas kebhinekaan ini merupakan tanda-tanda awal kematian. Pernyataan ini memang terdengar ekstrim, tetapi bukannya tanpa alasan, karena pada dasarnya Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda satu sama lain. Maka, apa jadinya ketika dunia ini semuanya sama, tidak ada perbedaan dan tentunya tidak ada warna warni kehidupan.

Lebih lanjut dikatakan bahwa khusus dalam hubungannya dengan keberagaman bahasa dikatakan bahwa kebhinekaan bahasa (linguistic diversity) merupakan aset kemanusiaan yang tak ternilai harganya, dan hilangnya sebuah bahasa merupakan pemiskinan (impoverishment) akan sumber pengetahuan dan pikiran masyarakatnya. 

Hidayat (2012: 40-41) mencontohkan bahwa khasiat buah mengkudu sebagai obat berbagai penyakit sebenarnya jauh-jauh hari sudah diketahui oleh nenek moyang orang Indonesia yang seringkali menganjurkan anak cucunya untuk mengalungkannya sewaktu terserang sakit gondok.

Hal ini sebagai bukti, bahwasanya bahasa derah ternyata mempunyai peran dan fungsi yang besar terhadap keberlangsungan suatu negara. Benar adanya apabila bahasa daerah hilang berarti kearifan lokal yang ada pun ikut hilang. Misalnya, mungkin kita tidak akan pernah tahu kalau ada dongeng tentang Men Tiwas, Sangkuriang, Malin Kundang, Joko Tarub, Legenda Roro Jonggrang, Tangkuban Perahu, dan lain-lain kalau tidak ada bahasa lokal yang berperan di sana. Mungkin sekarang juga tidak tahu kalau di dalam setiap cerita itu menyimpan nilai-nilai kearifan lokal yang tidak sedikit jumlahnya.

Berkat bahasa daerah yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa nasional itulah yang bisa tahu tentang berbagai legenda, mite, dongeng, dan berbagai cerita masa lalu yang lain. Tidak hanya sekadar tahu, tapi juga diajarkan tentang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Apa yang boleh diperbuat dan apa yang tidak boleh diperbuat semua ada di dalam cerita-cerita tersebut. Pada akhirnya dimengerti arti dari nilai yang baik dan nilai yang tidak baik.

Ambil contoh lagi misalnya bahasa Bali. Di dalam bahasa Bali terdapat tingkatantingkatan mulai dari yang rendah (kasar), tengah (madya), sampai ke tingkatan tinggi (alus). Tingkatan-tingkatan tersebut bukannya tanpa makna, tetapi mengandung nilainilai (adat sopan santun) yang langsung teraplikasi di dalam tingkah laku kehidupan pengguna bahasa tersebut (khususnya orang Bali). Tingkatan-tingkatan tersebut kemungkinan berbeda dibandingkan dengan bahasa yang lain. Karena memang setiap bahasa mempunyai kekhasannya masing-masing.

Perbedaan yang demikian itu, bukannya kemudian dipertentangkan. Akan tetapi, justru ini menjadi bahan contoh bagi bahasa yang lain bahwasanya ada bahasa yang lain yang berbeda dengan bahasa daerah yang dimiliki. Di sinilah kemudian sikap saling menghargai terbentuk. Antarpemilik bahasa daerah bisa saling mengetahui bahasa di antara keduanya, sehingga timbul rasa menghargai sekaligus timbul rasa memiliki sebagai suatu kekayaan kebudayaan Indonesia.

Diketahui bahwa, fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Akan tetapi, tidak hanya sebatas alat komunikasi, bahasa pun mempunyai fungsi yang lebih khusus lagi. Para ahli mencoba menerangkan berbagai macam fungsi khusus dari bahasa tersebut. Seperti Roman Jakobson yang membagi fungsi bahasa menjadi enam fungsi. Begitu juga dengan Mary Finocchiaro yang membagi fungsi bahasa menjadi enam fungsi.

Berbeda dengan kedua linguis tersebut, P. W. J. Nababan (dalam Hidayat 2010: 29), seorang linguis Indonesia, membagi fungsi bahasa sebagai komunikasi dalam kaitannya dengan masyarakat dan pendidikan menjadi empat fungsi, yaitu 1) fungsi kebudayaan, 2) fungsi kemasyarakatan, 3) fungsi perorangan, dan 4) fungsi pendidikan.Diambil saja dua fungsi yang dipaparkan oleh Nababan tersebut, yaitu fungsi kebudayaan dan fungsi kemasyarakatan. Fungsi kebudayaan dari bahasa adalah sebagai sarana perkembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan inventaris ciri-ciri kebudayaan. Sedangkan fungsi kemasyarakatan bahasa menunjukkan peranan khusus suatu bahasa dalam kehidupan masyarakat. Nababan mengklasifikasikan fungsi kemasyarakatan bahasa ke dalam dua bagian, yaitu berdasarkan ruang lingkup dan berdasarkan bidang pemakaian.

Yang pertama, mengandung “bahasa nasional” dan “bahasa kelompok”. Bahasa nasional berfungsi sebagai lambang kebanggaan kebangsaan, lambang identitas bangsa, alat penyatuan berbagai suku bangsa dengan berbagai latar belakang sosial budaya dan bahasa, dan sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Yang kedua, bahasa kelompok adalah bahasa yang digunakan oleh kelompok yang lebih kecil dari suatu bangsa, seperti suku bangsa atau suatu daerah subsuku, sebagai lambang identitas kelompok dan alat pelaksanaan kebudayaan kelompok itu.

Tampak jelas dalam pemaparan Nababan tersebut bahwasanya, fungsi bahasa sangat penting sekali khususnya dilihat dari fungsi kebudayaan dan fungsi kemasyarakatan di samping juga fungsi yang lain. Penting bagi suatu negara memiliki bahasa nasional yang berfungsi sebagai alat pemersatu berbagai suku bangsa yang berlatar belakang berbeda-beda. Begitu pula dengan bahasa daerah berfungsi sangat penting bagi kelangsungan kehidupan suatu kebudayaan daerah tertentu.

2. Acuan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Daerah

Pasal 32 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Perubahan Keempat yang terdiri atas dua ayat berbunyi sebagai berikut. Ayat (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. ayat (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. 

Kedua ayat yang tercantum dalam pasal 32 UUD 1945 Perubahan Keempat di atas menyatakan secara tegas kepada masyarakat Indonesia mengenai kedudukan bahasa daerah di Indonesia, siapa yang wajib memeliharanya, dan mengapa bahasa daerah patut dipelihara. Dalam dua ayat tersebut dikemukakan secara jelas hubungan bahasa daerah dengan budaya bangsa (budaya nasional) secara hukum (Bawa, 2003:2-3). Pada pasal 32 ayat (1) dan (2), negara menyatakan bahwa bahasa daerah memiliki kedudukan yang sangat tinggi. 

Dalam kedudukannya yang sangat tinggi, bahasa daerah wajib dipelihara dan dikembangkan oleh negara. Tidak hanya itu, negara juga menyatakan bahwa bahasa daerah wajib dimajukan dan dihormati oleh negara. Kewajiban negara untuk menghormati, memelihara, mengembangkan, dan memajukan bahasa daerah merupakan bentuk tanggung jawab negara dalam menjaga dan melestarikan salah satu kebudayaan bangsa karena memelihara bahasa daerah berarti memajukan kebudayaan nasional seperti maksud pasal 32 UUD 1945 ayat (1) Perubahan Keempat. Dalam pelaksanaannya di masyarakat, pembinaan dan pengembangan bahasa daerah diserahkan kepada Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota). Pengaturan pelaksanaan pembinaan dan pengembangan bahasa daerah telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, Pasal 11 ayat (2) yang menyatakan bahwa yang wajib dilaksanakan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Pemerintah Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.

3. Revitalisasi Bahasa Daerah

Merevitalkan kembali bahasa daerah di saat-saat sekarang ini sangat penting dilakukan. Di tengah arus globalisasi yang mendunia ini, perlu secepatnya berbenah diri sebelum terlambat. Dikarenakan kalau terlambat dalam menghadapinya, maka yang terjadi justru akan terbawa arus globalisasi tersebut. Maka dari itu, dari sisi bahasa perlu kiranya dikuatkan kembali peran dari bahasa lokal atau bahasa daerah dalam menghadapi arus globalisasi tersebut.

Contoh nyata saja yang sekarang dialami, yaitu begitu derasnya arus Bahasa Inggris masuk ke dalam setiap sendi kehidupan. Sadar atau tidak sadar, setiap yang dilihat, dengar, rasakan, hampir sebagian besar berbahasa Inggris selain juga bahasa yang lain, tetapi bahasa Inggrislah yang sekarang sedang menguasai dunia. Mulai dari barangbarang yang kecil seperti pena, pensil, sandal, sampai ke barang-barang yang besar seperti TV, Komputer, Mobil, dan lain-lain hampir semuanya terpampang bahasa Inggris. Bahkan ada juga yang diproduksi oleh pabrik Indonesia, tetapi menggunakan Bahasa Inggris baik di dalam kemasannya ataupun dalam hal pemasarannya.

Dilihat dari sisi pendidikan pun sama, hampir di setiap sekolah terdapat pelajaran bahasa Inggrisnya, bahkan tingkatan TK-SD pun sudah mengenal Bahasa Inggris. Lantas apakah bahasa daerah atau bahkan bahasa nasional pun bisa berlaku demikian. Belum tentu.

Di dalam dunia pendidikan Indonesia, bahasa daerah hanya sebatas pelajaran muatan lokal yang kadang merupakan pelajaran yang kurang disukai, kalah dengan pelajaran matematika, IPA, atau Bahasa Indonesia. Bahkan mungkin juga dalam menerangkan pelajaran muatan lokal tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Apabila memang demikian, perlu sekiranya dirubah mulai dari sekarang.

Oleh karena itu, diperlukan usaha yang keras dari semua pihak dalam memvitalkan kembali peran dari bahasa daerah sebagai bahasa asli daerah setempat. Tanggung jawab ini tidak bisa hanya diserahkan begitu saja kepada pemerintah lewat dewan bahasa atau apapun. Akan tetapi, semua pihak mulai dari lingkungan keluarga sampai dengan lingkungan daerah setempat untuk bisa mempertahankan kearifan lokal berupa bahasa daerah tersebut.

Seperti yang diungkapkan oleh Hidayat (2010: 43) salah satu upayanya adalah memberi keleluasan dalam mengembangkan program pengembangan bahasa daerahnya. Di masa-masa mendatang program pengajaran bahasa daerah di sekolahsekolah tidak hanya sebatas memfungsikan bahasa daerah sebagai bahasa perantara lalu digantikan dengan bahasa Indonesia (substractive bilingual), tetapi harus mencanangkan pendidikan untuk mencetak anak didik yang di samping menguasai bahasa nasional juga mampu menggunakan bahasa ibunya dengan baik (additive bilingual).

Tentunya ini hanya sebagian kecil saja usaha yang perlu dilakukan dalam memvitalkan kembali peran bahasa daerah. Masih terbuka luas kesempatan dan cara yang lain agar bahasa daerah bisa menjadi kekuatan bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi daerah yang bersangkutan.

IV. Kesimpulan

Keanekaragaman bahasa daerah yang dimiliki Indonesia dapat digunakan secara berdampingan dengan bahasa Indonesia. Bahasa daerah dan bahasa Indonesia dapat saling mengisi sehingga semangat keindonesiaan yang menjadi pemerkukuh persatuan dan kesatuan bangsa akan semakin mantap. Pembinaan dan pengembangan bahasa daerah merupakan suatu cerminan upaya untuk mendorong kemajuan daerah yang tidak saja melalui pembangunan ekonomi dan fisik daerah, melainkan juga pembangunan sosial budaya serta nilai-nilai luhur yang dikandungnya. Hal ini sesuai dengan falsafah pembangunan nasional kita dengan tujuan menciptakan suatu masyarakat yang tangguh menghadapi berbagai ancaman, tantangan, dan hambatan dalam mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Pembinaan dan pengembangan bahasa daerah sebagai bentuk perwujudan semangat keindonesiaan tidak harus menggeser posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara.

Pembinaan dan pengembangan bahasa daerah diarahkan pada pemberdayaan bahasa daerah (bahasa etnik) yang lebih mantap yang memiliki hubungan harmonis dengan bahasa nasional (bahasa Indonesia). Pemantapan kedudukan dan fungsi bahasa daerah yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, sesungguhnya merupakan bentuk perwujudan semangat keindonesiaan pada sebuah negara yang sangat menghargai kebhinekaan yang tunggal ika.

Manusia di manapun hidup pasti membutuhkan komunikasi. Oleh karena itu, komunikasi menjadi barang penting bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Dalam hal ini bahasa sebagai alat dalam berkomunkasi menjadi sangat penting perannya di dalam menghadapi permasalahan yang ada di tanah air ini. Berbicara tidaklah cukup untuk mengatasi permasalahan tersebut. Perlu ada suatu tindakan nyata di dalam kehidupan sehari-hari demi persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia.

Bahasa Daerah dalam Kebhinekaan Bangsa Indonesia
Oleh: I Nyoman Temon Astawa
Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Related Posts

0 Response to "Bahasa Daerah dalam Kebhinekaan Bangsa Indonesia"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel