Pengertian Makna dan Kegunaan Tantra, Yantra, Mantra Serta Ajarannya dalam Agama Hindu

MUTIARAHIDU -- Dalam melaksanakan puja bhakti kepada Brahman, umat Hindu diberikan kebebasan untuk dapat mewujudkan bentuk Śraddhā tersebut. Secara umum bentuk bhakti umat Hindu dapat dilakukan dengan melibatkan aspek: yantra, tantra, mantra, yajña, dan yoga. Yantra adalah alat atau simbol-simbol keagamaan yang diyakini mempunyai kekuatan spiritual untuk meningkatkan kesucian. Tantra adalah kekuatan suci dalam diri yang dibangkitkan dengan cara-cara yang ditetapkan dalam kitab suci. 

Mantra adalah doa-doa yang harus diucapkan oleh umat kebanyakan, pinandita, pandita sesuai dengan kewenangan dan tingkatannya. Ketiga aspek itu dilaksanakan secara terpadu dengan berbasiskan “ketulus-ikhlasan” sehingga membangun satu aktifitas yang disebut yajña. Yajña yaitu persembahan yang tulus ikhlas atas dasar kesadaran untuk dipersembahkan sehingga dapat meningkatkan kesucian. Jika hal ini dilaksanakan secara intens maka akan mempengaruhi gelombang- gelombang pikiran menjadi stabil dan kuat (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 170).

Dan Yoga adalah mengendalikan gelombang-gelombang pikiran dalam alam pikiran untuk dapat berhubungan dengan Tuhan, yang dapat dilakukan melalui Astangga Yoga (yama, niyama, asana, pranayama, prathyahara, dharana, dhyana, dan samadhi (Titib, I Made. 2003).

Pengertian Makna dan Kegunaan Tantra, Yantra, Mantra Serta Ajarannya dalam Agama Hindu
photo: scarlett.tantrika
1. Tantra

Kata tantra berasal dari bahasa Sansekerta yang memiliki makna “memperluas”. Tantra merupakan salah satu dari sekian banyak konsep pemujaan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, di mana manusia kagum pada sifat-sifat ke-Maha- Kuasaan-Nya sehingga memiliki keinginan untuk mendapatkan kesaktian. 

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:1141 menjelaskan tantra ‘tantrisme’ adalah ajaran dalam Agama Hindu yang mengandung unsur mistik dan magis. Mistik dapat dipahami sebagai eksistensi tertinggi kesadaran manusia, di mana ragam perbedaan (“kulit”) akan lenyap, eksistensi melebur ke dalam kesatuan mutlak hal ikhwal, nilai universalitas, alam kesejatian hidup, atau ketiadaan. 

Kesadaran tertinggi ini terletak di dalam batin atau rohaniah, mempengaruhi perilaku batiniah (bawa) seseorang, dan selanjutnya mewarnai pola pikirnya. Atau sebaliknya, pola pikir telah dijiwai oleh nilai mistisisme yakni eksistensi kesadaran batin. Meskipun demikian, eksistensi mistik yang sesungguhnya tidaklah berhenti pada perilaku batin (bawa) saja, lebih utama adalah perilaku jasad (solah). Artinya, mistik bukanlah sekedar teori namun lebih kearah manifestasi atau mempraktikkan perilaku batin ke dalam aktivitas hidup sehari-harinya dalam berhubungan dengan sesama manusa dan makhluk lainnya. 

Diantara kita tentu ada yang tidak ingin menjadi seorang agamis, yang hanya terpaku pada simbol-simbol agama berupa penampilan fisik, jenis pakaian, cara bicara, bahasa, gerak-gerik, bau minyak wanginya. Ada baiknya diantara kita menjadi seorang praktisi (penghayat) akan teori-teori agama sehingga tidak hanya pintar berbicara. Hal itu menjadi hak setiap orang untuk memilih, masing-masing tentu akan membawa dampak yang berbeda-beda. Damarjati Supadjar, mengemukakan bahwa ciri-ciri mistisisme adalah sebagai berikut: Mistisisme adalah persoalan praktik; Secara keseluruhan, mistisisme adalah aktivitas spiritual; Jalan dan metode mistisisme adalah cinta kasih sayang; Mistisisme menghasilkan pengalaman psikologis yang nyata; dan Mistisisme sejati tidak mementingkan diri sendiri (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 171).

Jika kita cermati dari kelima ciri mistisisme di atas dapat ditarik benang merah bahwa mistik berbeda dengan sikap klenik, gugon tuhon, bodoh, puritan, irasional. Sebaliknya mistik merupakan tindakan atau perbuatan yang adiluhung, penuh keindahan, atas dasar dorongan dari budi pekerti luhur atau akhlak mulia. Mistik sarat akan pengalaman-pengalaman spiritual. Yakni bentuk pengalaman-pengalaman halus, terjadi sinkronisasi antara logika rasio dengan “logika” batin. Pelaku mistik dapat memahami fenomena atau eksistensi di luar diri (gaib) sebagai kenyataan yang logis atau masuk akal. Sebab akal telah mendapat informasi secara runtut, juga memahami rumus- rumus yang terjadi di alam gaib.

Subramuniyaswami, Satguru Úivaya 1997, mengatakan bahwa “Tantra adalah bagian dari çaktisme, yaitu pemujaan kepada Ibu semesta. Dalam proses pemujaannya, para pemuja ‘çakta’ tersebut menggunakan mantra, yantra, tantra, yoga, dan puja serta melibatkan kekuatan alam semesta dan membangkitkan kekuatan kundalini.” Disebut çaktiisme karena yang dijadikan obyek persembahannya adalah çakti. Çakti dilukiskan sebagai Devi, sumber kekuatan atau tenaga. “Çakti is the symbol of bala or strength” Çakti adalah simbol dari bala atau kekuatan. Pada sisi lain çakti juga disamakan dengan energi atau kala ”this sakti or energi is also regarded as ‘Kala’ or time” (Das Gupta, 1955).

Terdapat berbagai definisi Tantra yang berasal dari sudut pandang yang berbeda. Sayangnya diantara berbagai definisi itu tidak selalu konsisten antara yang satu dengan yang lainnya. Tantra merupakan ajaran filosofis yang pada umumnya mengajarkan pemujaan kepada çakti sebagai obyek utama pemujaan, dan memandang alam semesta sebagai permainan atau kegiatan rohani dari çakti dan Úiwa. Tantra adalah cabang dari Agama Hindu. Ajaran tantra mengacu kepada kitab-kitab yang pada umumnya berhubungan dengan pemujaan kepada çakti (Ibu semesta; Devi Durga, Devi Kali, Parwati, Laksmi, dan sebagainya), sebagai aspek Tuhan yang tertinggi dan sangat erat kaitannya dengan praktek spiritual dan bentuk-bentuk ritual pemujaan, yang bertujuan membebaskan seseorang dari kebodohan, dan mencapai pembebasan. 

Dengan demikian tantrisme lebih sering dinyatakan sebagai suatu paham kepercayaan yang memusatkan pemujaan pada bentuk çakti yang berisi tentang tata cara upacara keagamaan, filsafat, dan cabang ilmu pengetahuan lainnya, yang ditemukan dalam percakapan antara Deva Siwa dan Devi Parwati. Tantra bukan merupakan sebuah sistem filsafat yang bersifat padu (koheren), tantra merupakan akumulasi dari berbagai praktek dan gagasan yang memiliki ciri utama penggunaan ritual, ditandai dengan pemanfaatan sesuatu yang bersifat duniawi, untuk menggapai dan mencapai sesuatu yang bersifat rohani, serta penyamaan atau pengidentikan antara unsur mikrokosmos dengan unsur makrokosmos (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 172).

Praktisi tantra memanfaatkan prana (energi semesta) yang mengalir di seluruh alam semesta (termasuk dalam badan manusia) untuk mencapai  tujuan  yang  diharapkan.  Tujuan  itu bisa berupa tujuan material, bisa pula tujuan spiritual, atau gabungan keduanya. Para penganut tantra meyakini bahwa pengalaman mistis adalah merupakan suatu keharusan yang menjamin keberhasilan seseorang dalam menekuni tantra. Beberapa jenis tantra membutuhkan kehadiran seorang guru yang mahir untuk membimbing kemajuan siswa tantra.

Tantra dalam perkembangannya sering menggunakan simbol-simbol material termasuk simbok-simbol erotis. Tantra sering diidentikkan dengan ajaran kiri yang mengajarkan pemenuhan nafsu seksual, pembunuhan dan kepuasan makan daging. Padahal beberapa perguruan tantra yang saat ini mempopulerkan diri sebagai tantra putih menjadikan; mabuk-mabukan, makan daging dan hubungan seksual sebagai sadhana dasar pantangan dalam meniti jalan tantra. 

Konsep ini berpangkal pada percakapan Devi Parwati dengan Deva Siva yang menguraikan turunnya Devi Durga ke Bumi pada zaman Kali untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran moral dan perilaku. Dalam beberapa sumber Devi Durga juga disebut “Candi”. Mulai saat itulah pada mulanya muncul istilah candi ‘candikaghra’ untuk menamai bangunan suci sebagai tempat memuja Deva dan arwah yang telah suci. Peran Devi Durga dalam menyelamatkan dunia dari kehancuran moral dan perilaku disebut kalimosada ‘kali-maha- usada’ yang artinya Devi Durga adalah obat yang paling mujarab dalam zaman kekacauan moral, pikiran dan perilaku; sedangkan misi beliau turun ke bumi disebut Kalika-Dharma.

Menurut Maurice Winernitz, meskipun teks-teks kitab tantra tidak menunjukkan permusuhan secara nyata terhadap ayat-ayat atau ajaran Veda, namun menegaskan bahwa ajaran-ajaran Veda dianggap terlalu sulit untuk dipraktikkan oleh beberapa kalangan pengikut tantra. Karena alasan itulah, cara yang lebih mudah dan praktis diberikan dalam kitab-kitab tantra (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 173).

Prinsip- prinsip tantra terdapat dalam buku bernama Nigama, sedangkan praktik- praktiknya dalam buku Agama. Sebagian buku-buku kuno itu telah hilang dan sebagian lagi tak dapat dimengerti karena tertulis dalam tulisan rahasia untuk menjaga kerahasiaan tantra terhadap mereka yang tak memperoleh inisiasi. Setidaknya terdapat 64 jenis kitab yang memuat ajaran Tantrayana, antara lain: Maha nirwana tantra, Kularnawa tantra, Tantra Bidhana, Yoginirdaya tantra, Tantra sara, dan sebagainya.

Dalam perkembangan selanjutnya, praktik ajaran tantra dinyatakan selalu mewarnai kebudayaan dan keagamaan yang berkembang di nusantara. Hal ini dapat dilihat dari berbagai jenis peninggalan seperti; prasasti, candi dan arca-arca yang bercorak tantrisme. Kebanyakan isi kitab-kitab tantra masih dirahasiakan dari arti yang sebenarnya dan yang sudah diketahui masih merupakan teka-teki. Orang-orang Hindu, termasuk para sarjana besar pada umumnya tidak mendiskusikan tantra. Berbeda dengan Agama Hindu pada umumnya, sebagian dari tantra percaya kepada kenikmatan hidup material. Tidak seorangpun mengetahui secara tepat kapan ajaran tantra dimulai atau Mahareshi siapa yang memulainya. Bukti menunjukkan bahwa  tantrisme ada selama zaman veda. Bahkan Sankara menyebut keberadaannya dalam bukunya Saundarya Lahari. 

Ada sekitar seratus delapan buku mengenai tantra. Tantrisme dan Saktiisme hampir satu dan sama. Dalam Tantrisme, IstaDeva yang dipuja adalah Siwa-Sakti, kombinasi dari Siwa dan saktinya Parwati. Tantra adalah satu sistem dari praktek-praktek yang dipergunakan untuk meningkatkan spiritual. Ajaran terbaik dari tantra adalah pengetahuan mengenai energi kundalini yang luas yang belum dimanfaatkan di dalam tubuh manusia. Tantra juga melakukan penelitian mengenai ilmu kimia, astrologi, astronomi, palmistry “ilmu meramal melalui rajah tangan”, cosmologi “ilmu tentang alam semesta, awal perkembangan dan akhirnya” bahkan teori atom. Mantra-mantra Hindu yang ada sampai saat ini banyak bernapaskan ajaran tantra. Yantra dan bentuk-bentuk geometral yang dihubungkan dengan mantra, juga merupakan ajaran yang sama pentingnya dari tantra untuk kemanusiaan.

Disepanjang Sushumna, ada tujuh pusat-pusat bathin ‘psychic centers’; mulai dari muladhara chakra. Elemen ini tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, namun harus dipercaya berbentuk seperti bunga teratai dengan warna-warna yang berbeda dan masing-masing mengendalikan kegiatan dari organ indriya yang berbeda. Muladhara Chakra berada pada dasar dari tulang belakang, memiliki empat daun bunga dan mengendalikan indra penciuman. Swadishthana Chakra berada pada dasar kelamin, memiliki enam daun bunga dan mengendalikan indra perasa. Manipura Chakra berposisi di seberang pusar, mempunyai sepuluh daun bunga dan mengendalikan pandangan. Anahata Chakra posisinya sejajar dengan hati, mempunyai dua-belas daun bunga dan mengendalikan indra peraba (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 174).

Wisuddha Chakra berada pada jakun kerongkongan, memiliki enam belas daun bunga dan mengendalikan indra pendengaran. Ajna Chakra berkedudukan di antara alis, memiliki dua daun bunga dan mengendalikan pikiran. Sahasrara Chakra terletak di atas titik paling atas dari kepala, mempunyai seribu daun bunga. Seorang Yogi yang mendalami ajaran kundalini dengan memiliki posisi chakra seperti tersebut di atas dapat dinyatakan telah meperoleh ‘kesadaran Kosmis’.

Menurut Kitab-kitab Tantra, ada kekuatan hebat yang sangat rahasia di dalam tubuh manusia yang disebut kekuatan Kundalini atau kekuatan ular.  Ia berbaring seperti seekor ular dalam gulungan atau bentuk yang tidak aktif pada dasar dari tulang belakang di Muladhara chakra. Tiga dari saraf yang paling penting dari tubuh manusia, Sushumna, Ida dan Pinggala, juga berawal dari titik yang sama disebut Muladhara chakra. 

Menurut Tantra, karena kekuatan yang hebat ini tetap tidur ‘dormant’ selama kehidupan seseorang maka kebanyakan orang tidak menyadari keberadaannya. Dipercayai bahwa ketika manusia mengembangkan spiritualitas dengan meditasi atau latihan pranayama, kekuatan ini bangkit ke atas perlahan-lahan melalui saraf Sushumna. Bergeraknya ke atas secara perlahan dari kekuatan Kundalini ini dikenal sebagai kebangkitan dari Kundalini. Kekuatan ini begerak ke atas secara perlahan-lahan dan mantap dalam satu garis lurus. 

Ketika melewati setiap pusat batin ‘psychic center’ orang itu akan memiliki kendali penuh atas organ-organ indriyanya. Misalnya, bila ia mencapai Manipura Chakra di seberang pusar, orang itu akan mempunyai kendali penuh atas pandangan. Tidak ada Samadhi “persatuan dengan Tuhan” yang dapat dilakukan tanpa kebangkitan kekuatan kundalini. Dikatakan bahwa kekuatan kundalini melewati keenam chakra dan akhirnya bersatu dengan Sahasrara di atas “tiara, crown” dari kepala. Ketika ini terjadi orang tersebut telah mencapai kesadaran kosmis, bentuk tertinggi dari pengejawantahan Tuhan.

Demikian makna tantra yang disebut-sebut sebagai bagian dari ajaran Agama Hindu yang bersifat magis dapat dipahami oleh pengikutnya dilaksanakan dengan memanfaatkan yantra dan mantra.

2. Yantra

Dalam kamus Sanskerta, kata yantra memiliki arti mengikat, menyimpulkan sebuah peralatan, instrumen, mesin dan sebuah jimat (Surada, 2007: 257). Yantra umumnya berarti alat untuk melakukan sesuatu guna mencapai tujuan. Di dalam pemujaan yantra adalah sarana tempat memusatkan pikiran. Yantra merupakan aspek dalam dari bentuk penciptaan. Sifat dasar dari manusia dan binatang, seperti halnya para Devata yang diekspresikan melalui yantra (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 175).

Yantra adalah garis-garis lurus, lengkung yang dipadukan yang merupakan basis dari energi alam semesta yang merupakan perwujudan Devata (Titib, 2003:469- 470). Selain itu yantra adalah suatu lukisan geometri dari tipe tertentu yang mempunyai makna serta mempunyai bentuk yang berbeda-beda sehingga pada masing-masing bentuk memiliki struktur dan komposisi dari suatu Deva tertentu (Tim Penyusun, 1987:6). Yantra merupakan hal yang sangat penting bagi seseorang dalam hal melakukan pemujaan serta persembahan kehadapan Tuhan. Yantra dilihat dari struktur memiliki
bentuk yang beragam serta disusun sesuai dengan si penggunanya.

Hal senada dijelaskan pula dalam kamus jawa Kuno oleh L. Mardiwarsito (dalam Wiana 2004:189), kata yantra dinyatakan berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya sarana untuk memuja Deva, sedangkan dalam kamus Sanskerta-Indonesia, kata yantra diartikan harta kekayaan, bantuan, alat perlengkapan dan lain-lain. Yantra merupakan kebutuhan dasar untuk menggambarkan semua simbol- simbol, semua wujud suci, altar, pura dan mudra. Yantra dipergunakan dalam upacara pemujaan, Devata dihadirkan dengan menggambar melalui yantra dan memanggil nama yang gaib. Yantra dapat diekspresikan ke dalam aspek internal dari setiap bentuk ciptaan. Sifat alami manusia dan binatang-binatang, seperti halnya Deva-Deva dapat diekspresikan melalui yantra (Titib, 2003:469). 

Yantra dapat berbentuk diagram, dilukis atau dipahatkan di atas logam, kertas atau benda-benda lain dan disucikan seperti menyucikan pretima, kemudian dilakukan pemujaan melalui sarana yantra tersebut, seperti pemujaan melalui pratima, arca (patung), dan sebagainya. Mantra yang berbeda digunakan untuk melakukan pemujaan yang berbeda, demikian pula halnya dengan penggunaan yantra-yantra. Menurut Ensiklopedi Hindu, yantra merupakan simbol seperti banten atau alat-alat upacara (Tim Penyusun, 2011:619) (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 176).

Yantra  adalah dipergunakan oleh seseorang yang telah suci (pribadi, pemangku, pendeta atau sulinggih) dalam memuja Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasi-Nya. Selain itu, yantra lebih banyak mengejawantah ke dalam berbagai lambang-lambang atau simbol beserta peralatan, sarana dan prasarana ritual bersangkutan.

Yantra adalah garis-garis lurus dan garis-garis lengkung yang dipadukan sedemikian rupa, yang merupakan basis dari energi dan alam semesta sebagai perwujudan devata. “Yantra adalah wujudnya, mantra adalah jiwanya dan devata adalah atma yang menghidupkannya. Perbedaan antara yantra dengan devata adalah seperti halnya badan dan roh”. Yantra diyakini merupakan basis alami, atau kebenaran, indeogram daripada tulisan-tulisan yang muncul. 

Segala bentuk garis, titik, garis lurus, tanda tambah, lingkaran, segi tiga dan sebagainya mengandung arti simbolis berhubungan dengan gerak alami. Hal ini dapat dikombinasikan lebih kompleks untuk menjadi gambaran kekuatan tertentu atau sifat wujud dalam beberapa aspek penciptaan. Tidak ada bentuk, tidak ada gerakan yang mungkin tidak direduksi melalui pertolongan yantra dengan analisis yang benar dan penggambaran kekuatan penciptaan dari alam semesta yang kita sebut sebagai yang suci. Yantra walapun digambarkan di atas lembaran sebagai suatu yang menumbuhkan kesan bentuk tiga dimensi merupakan wujud dari yantra. Bentuk yantra tiga dimensi itu sendiri sebagai wujud bayangan yang statis dalam gerak, berkombinasi dengan kekuatan hidup yang menggambarkan Devata tertentu. Yantra merupakan kebutuhan dasar untuk menggambarkan semua simbol-simbol, semua wujud suci, semua arca, semua bangunan suci, altar, pura dan mudra. 

Yantra digunakan dalam upacara pemujaan pada umumnya, devata dihadirkan dengan menggambarkan melalui yantra dan memanggil nama yang gaib. Yantra dapat diekspresikan ke dalam aspek internal dari setiap bentuk ciptaan. Sifat alami manusia dan binatang- binatang, seperti halnya Deva-Deva dapat diekspresikan melalui yantra. Yantra merupakan aspek dalam dari bentuk penciptaan. Sifat dasar manusia dan binatang, seperti halnya para devata dapat diekspresikan melalui yantra. “di dunia ini terdapat yantra yang tidak terhitung jumblahnya. Setiap bentuk adalah yantra, setiap daun dan bunga, melalui bentuk, warna, bau harum, dan sebagainya, semua menjelaskan kepada kita cerita tentang pencipataan” (Danielou. 1964).

Yantra, umumnya berarti alat untuk melaksanakan sesuatu guna mencapai tujuan. Di dalam pemujaan, yantra adalah sarana tempat memusatkan pikiran. Dalam Yogini Tantra dikatakan bahwa Devi harus dipuja di dalam pratima, mandala atau yantra. Pada tingkat tertentu, kemajuan spiritual sadhaka diperkenankan memusatkan bhaktinya melalui yantra (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 177).

Siddha-yogi di dalam proses pemujaan internal yang dilakukannya (antarpuja) memulainya dengan melakukan pemujaan melalui yantra, yang merupakan perlambang dari Brahma-vijnana. Sebagaimana halnya mantra adalah lambang dari perwujudan devata. Dinamakan yantra karena sarana itu juga mencegah timbulnya ni- yantrana (nafsu, kemarahan, dan kekeruhan lain) dari jiwa dan mencegah penderitaan yang diakibatkan oleh kekeruhan jiwa tersebut.

Yantra biasanya berbentuk diagram, di lukis atau dipahatkan di atas logam, kertas atau benda-benda yang lain, dan disucikan seperti menyucikan pratima, kemudian dilakukan pemujaan melalui sarana yantra tersebut, seperti pemujaaan melalui pratima, arca (patung) dan sebagainya. Mantra yang berbeda digunakan untuk melakukan pemujaan yang berbeda, demikian pula halnya dengan penggunaan yantra-yantra itu. Terdapat berbagai jenis lukisan di dalam yantra, tergantung dari tujuan pemujaan (Avalon, 1997: 93). Demikian sehingga dalam waktu singkat makna yantra sebagai simbol sesuatu yang dikenakan oleh setiap pemakai dapat dirasakan hasilnya.

3. Mantra

Ya indra sasty-avrato anuûvàpam-adevayuá,
svaiá sa evair mumurat poûyam rayiý sanutar dhei taý tataá.

Terjemahannya;

Tuhan Yang Maha Yang Maha Esa, orang yang tidak beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah lamban dan mengantuk, mati oleh perbuatannya sendiri. Berikanlah semua kekayaan yang dikumpulkan oleh orang semacam itu, kepada orang lain’ (Ågveda VIII. 97.3).

Kata mantra berasal dari bahasa Sanskerta dari kata “Man” artinya pikiran dan “Tra” artinya menyebrangkan. Mantra adalah media untuk menyeberangkan pikiran dari yang tidak suci atau tidak benar menjadi semakin suci dan semakin benar (Wiana, 2004:184). Mantra memiliki tujuan untuk melindungi pikiran dari jalan sesat menuju jalan yang benar dan suci. Menurut Danielou (dalam Titib 2003:437) bahasa yang benar yang merupakan ucapan suci yang digunakan dalam pemujaan disebut dengan mantra. Kata mantra berarti “bentuk pikiran”, sehingga seseorang yang mampu memahami makna yang terkandung di dalam mantra dapat merealisasikan apa yang digambarkan di dalam mantra tersebut (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 178).

Mantra adalah kumpulan dari pada kata-kata yang mempunyai arti mistik, serta umumnya berasal dari bahasa Sanskerta dan dinamai Bijaksara (Tim Penyusun, 1987:6). Mantra disusun dengan menggunakan aksara-aksara tertentu yang diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk bunyi, sedangkan huruf-huruf itu sebagai perlambang dari bunyi tersebut. Mantra mempunyai getaran atau suara tersendiri sehingga untuk menghasilkan pengaruh yang dikehendaki mantra harus disuarakan dengan cara yang tepat, sesuai dengan “suara” atau ritme, dan warna atau bunyi. Apabila mantra tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa lain, mantra itu tidak memiliki warna yang sama, sehingga terjemahannya hanya sekedar kalimat (Avalon dalam Titib, 2003:439). Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan, mantra adalah merupakan susunan kata yang berunsur puisi, seperti ritme dan irama yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain. Mantra sebagai sebuah pola gabungan kata-kata bahasa Veda yang diidentikkan dengan Deva atau Devi tertentu. 

Mantra digunakan dalam sadhana tantra atau berbagai ritual, diucapkan atau diulang-ulang dalam berbagai kombinasi atau konteks yang kemudian membuat pola vibrasi tertentu. Mantra-mantra yang ada sekarang adalah warisan dari para maharsi, orang suci, orang sadhu dan yogi yang telah mempraktekkan berbagai mantra selama ribuan tahun (Chawdhri, 2003:97). Dalam pengucapan mantra, ada hal-hal yang perlu dicermati seperti: susunan kata-kata, ritme/intonasi serta pengucapan yang tepat yang diikuti dengan suasana lingkungan yang baik sehingga akan menciptakan suatu kesucian. Mantra adalah sebuah kata-kata atau kalimat suci yang bersumber dari kitab suci veda, khususnya dalam teks dharma pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa beserta dengan berbagai macam manifestasi- Nya pada saat pelaksanaan Panca Yajna dalam kehidupan dan penerapan ajaran Hindu.

Mantra adalah catur Veda yaitu: Åg veda, Yayur veda, Sama veda, dan Atharwa veda. Mantra merupakan bunyi, suku kata, kata, atau sekumpulan kata-kata yang dipandang mampu “menciptakan perubahan” seperti misalnya perubahan spiritual. Penggunaan mantra sekarang tersebar melalui berbagai gerakan spiritual yang berdasarkan atau cabang dari berbagai praktik dalam tradisi dan agama ketimuran. Mantra Aum atau Om dalam aksara Devanagari. Mantra merupakan sebuah kata atau kombinasi beberapa buah kata yang sangat kuat atau ampuh, yang didengar oleh orang bijak dan dapat membawa seseorang yang mengucapkannya melintasi lautan kelahiran kembali, inilah yang merupakan arti mantra yang tertingi (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 179).

Mantra adalah rumusan gaib untuk melepaskan berbagai kesulitan atau untuk memenuhi bermacam-macam keinginan duniawi, tergantung dari motif pengucapan mantra tersebut. Mantra sebagai sebuah kekuatan kata yang dapat dipergunakan untuk mewujudkan keinginan spiritual atau keinginan material, yang dapat dipergunakan untuk kesejahteraan ataupun penghancuran diri seseorang. Mantra seperti suatu tenaga yang bertindak sesuai dengan rasa bakti seseorang yang mempergunakannya. Sabda adalah Brahman, karena itu Ia menjadi penyebab Brāhmanda (Svami Rama: 1984: 24). 

Khanna (2003: 21) menyatakan hubungan mantra dan yantra dengan manifestasi mental energi sebagai berikut: Mantra-mantra, suku kata Sanskerta yang tertulis pada yantra, sejatinya merupakan ‘perwujudan pikiran’ yang merepresentasikan keilahian atau kekuatan kosmik, yang menggunakan pengaruh mereka dengan getaran suara. Mantra juga dikenal masyarakat Indonesia sebagai rapalan untuk maksud dan tujuan tertentu “maksud baik maupun maksud kurang baik”. Dalam dunia sastra, mantra adalah jenis puisi lama yang mengandung daya magis. 

Setiap daerah di Indonesia umumnya memiliki mantra, biasanya mantra di daerah- daerah tertentu menggunakan bahasa daerah masing-masing. Mantra di dalam bahasa Minangkabau disebut juga sebagai manto, jampi-jampi, sapo- sapo, kato pusako, kato, katubah, atau capak baruak. Sampai saat ini mantra masih bertahan di tengah-tengah masyarakat di Minangkabau. Isi mantra di Minangkabau saat ini berupa campuran antara bahasa Minangkabau lama “kepercayaan animisme dan dinamisme”, Melayu, bahasa Arab sebagaimana pengaruh Islam dan bahasa Sanskerta sebagai wujud dari pengaruh Hindu Budha (Djamaris E. : 2001). Sebagian masyarakat tradisional khususnya di Nusantara biasanya menggunakan mantra untuk tujuan tertentu. Hal tersebut sebenarnya bisa sangat efektif bagi para penggunanya. 

Selain merupakan salah satu sarana komunikasi dan permohonan kepada Tuhan, mantra dengan kata yang berirama memungkinkan orang semakin rileks dan masuk pada keadaan kerasukan/ kesurupan. Dalam kalimat mantra yang kaya metafora dengan gaya bahasa yang hiperbola tersebut membantu perapal melakukan visualisasi terhadap keadaan yang diinginkan dalam tujuan mantra. Kalimat mantra yang diulang-ulang menjadi afirmasi, pembelajaran di level tidak sadar dan membangun apa yang para psikolog dan motivator menyebutnya sebagai sugesti diri. Sedangkan Prapancha Sara menyatakan bahwa: “Brāhmanda diresapi oleh sakti, yang terdiri atas Dhvani, yang juga disebut Nada, Prana, dan sebagainya”. Manifestasi dari Sabda menjadi wujud kasar (Sthūla) itu tidak bisa terjadi terkecuali Sabda itu ada dalam wujud halus (Suksma) (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 180).

Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa Mantra merupakan aspek dari Brahman dan seluruh manfestasi Kulakundalini. Secara filosofis sabda itu adalah guna dari akasa atau ruang ethernal. Tetapi sabda itu bukan produksi akasa. Sabda memanifestasikan diri di dalam akasa. Sabda itu adalah Brahman, seperti halnya di antariksa, gelombang bunyi dihasilkan oleh gerakan-gerakan udara (Vāyu); karena itu di dalam rongga jiwa atau di rongga tubuh yang menyelubungi jiwa, gelombang bunyi dihasilkan sesuai dengan gerakan- gerakan Praóa vāyu dan proses menarik napas dan mengeluarkan napas.

Mantra disusun dengan menggunakan akûara-akûara tertentu, diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk bunyi, sedangkan huruf-huruf itu sebagai perlambang-perlambang dari bunyi tersebut. Untuk menghasilkan pengaruh yang dikehendaki, mantra harus disuarakan dengan cara yang tepat, sesuai dengan svara ‘ritme’ dan varna ‘bunyi’. Huruf-huruf penyusunannya pada dasarnya ialah mantra sastra, karena itu dikatakan sebagai perwujudan Śastra dan Tantra. 

Mantra adalah Paramātma., Veda sebagai Jivātma, Dharsana sebagai indriya, Puraóa sebagai jasad, dan Småti sebagai anggota. Karena itu Tantra merupakan Śākti dan kesadaran, yang terdiri atas mantra. Mantra tidak sama dengan doa-doa atau kata-kata untuk menasehati diri ‘Ātmanivedana’. Dalam Nitya Tantra, disebutkan berbagai nama terhadap mantra menurut jumlah suku katanya. Mantra yang terdiri dari satu suku kata disebut Pinda. Mantra tiga suku kata disebut Kartari, yang terdiri dari empat suku kata sampai sembilan suku kata disebut Vija Mantra, sepuluh sampai duapuluh suku kata disebut Mantra, dan yang terdiri lebih dari duapuluh suku kata disebut Mālā. Tetapi istilah Vija juga diberikan kepada mantra yang bersuku kata tunggal.

Dalam melaksanakan Tri Sandhya, sembahyang dan berdoa setiap umat Hindu sepatutnya menggunakan mantra, namun bila tidak memahami makna mantra, maka sebaiknya menggunakan bahasa hati atau bahasa ibu, bahasa yang paling dipahami oleh seseorang yang dalam tradisi Bali disebut “Sehe” atau “ujuk-ujuk” dalam bahasa Jawa. Penggunaan mantra sangat diperlukan dalam sembahyang. 

Mantra memiliki makna sebagai alat untuk mengikatkan pikiran kepada obyek yang dipuja. Pernyataan ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mampu mengucapkan mantra sebanyak-banyaknya, melainkan ada mantra-mantra yang merupakan ciri atau identitas seseorang penganut Hindu yang taat, yakni setiap umat Hindu paling tidak mampu mengucapkan mantra sembahyang Tri Sandhya, Kramaning Sembah dan doa-doa tertentu, misalnya mantra sebelum makan, sebelum bepergian, mohon kesembuhan dan lain-lain.

Umumnya umat Hindu di seluruh dunia mengenal Gayatri mantra, mantra- mantra subhasita ‘yang memberikan rasa bahagia dan kegembiraan’ termasuk mahamrtyunjaya ‘doa kesembuhan/mengatasi kematian’, sanyipatha ‘mohon ketenangan dan kedamaian’ dan lain-lain (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 181).

Mantra pada umumnya adalah untuk menyebutkan syair-syair yang merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut dengan sruti. Dalam pengertian ini yang termasuk mantra adalah seluruh syair dalam kitab-kitab Samhita (Ågveda, Yajurveda, Samaveda, Atharvaveda), Brahmana (Sathapatha, Gopatha dan lain-lain), Aranyaka (Taittiriya, Brhadaranyaka, dan lain-lain) dan seluruh Upanisad (Chandogya, Isa, Kena, dan lain-lain).

Di samping pengertian mantra seperti tersebut di atas, syair-syair untuk pemujaan yang tidak diambil dari kitab Sruti, sebagian diambil dari kitab-kitab Itihasa, Purana, kitab-kitab Agama dan Tantra juga disebut mantra, termasuk pula mantra para Pandita Hindu di Bali. Mantra-mantra ini digolongkan ke dalam kelompok stuti, stava, stotra dan puja. Selanjutnya yang dimaksud dengan sutra adalah kalimat-kalimat singkat yang mengandung makna yang dalam seperti kitab Yogasutra oleh Maharsi Patanjali, Brahmasutra oleh Badarayana dan lain-lain, sedangkan syair-syair yang dipakai dalam kitab- kitab Itihasa dan Purana, termasuk seluruh kitab-kitab sastra agama setelah kitab-kitab Itihasa dan Purana disebut dengan nama Sloka. Demikian makna mantra yang disebut-sebut sebagai bagian dari ajaran Agama Hindu yang bersifat magis dapat dipahami oleh umat sedharma (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 182).

Renungan Ågveda, X.90.2

Purusa evadam sarvam yadbhutam yacca bhavyam, utamrtatvasesa no, jadannenati rohati.

Terjemahannya ;

Tuhan sebagai wujud kesadaran agung merupakan asal dari segala yang telah ada dan yang akan ada, Ia adalah raja di alam yang abadi dan juga di bumi ini yang hidup dan berkembang dengan makanan 

Referensi

Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

0 Response to "Pengertian Makna dan Kegunaan Tantra, Yantra, Mantra Serta Ajarannya dalam Agama Hindu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel