MUTIARAHINDU.COM -- Kakawin Kumudawati : Analisis Intertektualitas. Tantri merupakan suatu karya yang berisikan tentang binatang atau fabel. Tantri lumrah disebut dengan cerita berbingkai. Cerita Tantri di Bali berasal dari Panca Tantra yang ditransformasikan ke dalam Tantri Carita berbahasa Jawa Kuno. Tantri merupakan salah satu teks populer di Bali selain teks calonarang dan panji. Kepopuleran tantri inilah yang menyebakan tantri banyak ditransformasi dalam berbagai genre sastra, seperti: kakawin, kidung, gaguritan, satua, bahkan usada (Suarka, 2007).
Tantri ditransformasi dalam bentuk kakawin memang dari dahulu kemunculannya,ketika zaman para pengawi Bali masih konsen dalam menciptakan karya sebagai bentuk persembahan. Perkembangan karya kakawin di Bali, yaitu pada masa Kerajaan Gelgel (sekitar abad XVI – XVII) dan Kerajaan Klungkung (sekitar abad XVIII – XIX) hingga sekarang. Kakawin yang muncul pada masa Kerajaan Gelgel, yaitu Kakawin Añang Nirartha dan Kakawin Śarakusuma karya Danghyang Nirartha (Berg, 1927: 31). Sementara itu, pada masa Kerajaan Klungkung muncul karya kakawin, antara lain Kakawin Irawantaka, Kakawin Astikayana, dan Basa Wĕwatĕkan karya Dewa Agung Istri Kanya; Kakawin Prĕtuwijaya dan Kakawin Śakraprajaya karya Anak Agung Gde Pameregan bersama Dewa Agung Istri Kanya (Vickers, 1982: 492 - 493). Dewasa ini, kegiatan mengarang kakawin di Bali masih berlangsung meskipun tidak seproduktif pada masa-masa sebelumnya. Ada beberapa karya kakawin yang dihasilkan pada abad21, antara lain: Kakawin Nilacandra, Kakawin Ekadasaśiwa, dan Kakawin Candrabhanu karya Made Degung (dari Sibetan, Karangasem); Kakawin Rawana, Kakawin Nilacandra, dan Kakawin Candrabhanu karya I Wayan Pamit (dari Kayumas, Denpasar); Kakawin Karnāntaka karya I Wayan Seregeg (dari Pengastulan, Buleleng); Suarka, 2007: 43 -45).Kakawin Kala-kali; Kakawin Bali Sabha Langö, Kakawin Balidwipa, Kakawin Rajapatni Mokta karya I Nyoman Adiputra (dari Susut, Bangli); dan Kakawin Bali Sabha Langö karya Ida Bagus Rai (Bungaya, Karangasem) (Mahendra, 2011: 4). Kekawin terbaru yang di ciptakan pada tahun 2020 oleh sastrawan Bali zaman milenial adalah Kakawin Kumudawati karya I Made Arik Wiraputra.

II. Metode
Metode pada dasarnya adalah jalan yang ditempuh oleh seorang peneliti untuk dapat memecahkan masalah dan mengupas tuntas persoalan yang terdapat dalam konten penelitian. Metode dalam artikel ini dibagi menjadi teori, tatacara pengumpulan data, dan pengelolaan data. Teori yang digunakan untuk membedah dua poin pembahasan dalam tulisan yang berjenis kualitatif ini adalah teori struktur dan teori religi. Adapun data penelitian diperoleh dari studi pustaka yang dikelola dalam teknik analisis data berupa reduksi data, display data, serta penarikan kesimpulan. Dengan adanya metode tersebut diharapkan dapat membawa penelitian menjadi terarah dan sesuai dengan prosedur ilmiah.
III. Pembahasan
Kekawin Kumudawati berisikan cerita Tantri pada episode angsa dan empas. Karya ini sangatlah unik karena tercipata di era milenial yang sebagai digital. Pengarang memanfaatkan teknologisebagai bentuk media tanah dan karas sebagai alat mengarang (lihat Zoetmulder: 1986). Karya ini merupakan karya autograph walaupun tidak ditulis tangan namun karya ini merupakan karya asli dari pengarangnya. Cerita yang diambil mengisahkan tokoh-tokoh yang semuanya telah menikah. Dengan banyaknya transformasi dari cerita tantri dalam tradisi Bali maka perlu dilacak yang mana yang di jadikan sebagai hipogramnya. Sehingga pelacakan hipogram melalui pembongkaran intertektual sangat dibutuhkan.
Intertekstual yang dijadikan sebagai dasar dalam kajian ini adalah mengacu pada pandangan John Frow (dalam Suarka, 2007: 21-22), dalam sepuluh tesis yang membahas intertekstual. Namun dari kesepuluh tesis tersebut, dalam penulisan tesis ini hanya digunakan tesis ke-2, yaitu: “teks-teks bukan merupakan struktur yang hadir, tetapi merupakan jejak-jejak dan penelusuran-penelusurannya dari teks-teks lain. Jejak-jejak dan penelusuran-penelusurannya itu dibentuk oleh repetisi dan transformasi dari struktur tekstual lainnya.” Pelacaan prinsip intertek akan menggunakan pandangan Riffaterre, (1978) dengan menggali hipogram. matriks dan model.
Kakawin Kumudawati sebagai suatu karya Tantri yang mengambil pokok dari cerita angsa dan empas, untuk mempermudah pemahaman dan pelacakan hipogram dalam kesempatan ini akan disajikan sinopsis dari cerita tersebut. Hidup sepasang angsadan empas di telaga Kumudawati. Angsa jantan bernama Cakrangga dan Angsa betina bernama Cakranggi; sedangkan Empas jantan bernama Durbudi dan yang betina bernama Durbudi. Mereka berteman baik di telaga Kumudawati. Pada musim kemarau air telaga Kumudawati tampak mengurang sebagai pertanda airnya akan habis. Angsa berpikir karena tidak mungkin hidup tanpa ada air. Selang beberapa lama akhirnya angsa menemukan informasi bahwa ada sungai yang jernih dan indah yang berada di dekat gunung Himawan bernama telaga Manasasara. Angsa dapat dengan mudah ke sana karena dia bisa terbang, namun sebaliknya terhadap empas. Empas sebagai seorang sahabat meminta belaskasihan angsa. Angsa karena kesetiaannya berkenan untuk membantu dengan cara menerbangkan empas menggunakan ranting pohon. Teknik yang digunakan angsa, angsa jantan dan betina akan menggigit bagian pangkal dan ujungnya, sedangkan empas akan menggigit bagian tengahnya. Namun, sebelum berangkat angsa berpesan, bahwa apa pun yang terjadi empas tidak boleh membuka mulutnya karena itu sangat berbahaya. Empas menyanggupi semua saran angsa. Ketika terbang menuju telaga Manasasara, empas bertemu dengan anjing hutan. Anjing itu mengejek empas dikatakan ada angsa terbang membawa kotoran kerbau kering. Empas yang mendengar hinaan itu marah dan membuka mulutya, seketika ketika membuka mulutnya empas terjatuh dan mati dimakan anjing. Angsa bersedih, namun tidak bisa berbuat apa karena empas telah dinasehati tetapi dilanggar maka angsa meneruskan perjalannya ke Manasasara.
Fenomena interteks dalam Kakawin Kumudawati dapat digali melalui penerapan pengkajian interteks yang telah dirumuskan oleh Riffaterre, (1978), yakni melalui pelacakan hubungan pola plot antara teks transformasi dengan hipogramnya. Hipogram penting dilacak untuk mengetahui sumber teks yang dijadikan sebqgai acuan. Hipogram merupakan bentuk transformasi dari teks lain. Penelitian kali ini memfokuskan kajian pada pelacakan hipogram primer, yakni pelacakan transformasiteks Kakawin Kumudawati pada sumber transfomasinya, sebagaimana yang tertulis dalam Pupuh I Pada 5 Bait 4 dengan menggunakan wirama Wirat Jagadita sebagai berikut: “mwah ring tantri jugān surat nika ikang carita kahananing sipās ika , artinya: dan di dalam cerita tantri juga dituliskan mengenai cerita empas itu” . Petikan di atas menggambarkan bahwa pengarang menggambil sumber karangan dari cerita Tantri. Selayaknya kita menjadikan cerita tantri sebagai hipogram, karena cerita tantri terkait dengan cerita empas dan angsahadir terlebih dahulu dibandingkan kakawin kumudawati. Penelitian ini karena terbatas maka penggalian hipogram sekunder, yakni memandang teks Kakawin Kumudawati sebagai mosaik-mosaik kutipan diabaikan (Kristeva, 1980:66).
Riffaterre (1978) selain melakukan penggalian terhadap hipogram juga melakukan pengkajian terhadap matriks dan model. Model merupakan aktualisasi pertama dari matrikss. Pelacakan model dilakukan dengan cara mencari tanda-tanda puitik dalam suatu karya yang menggandung ciri-ciri umum dari suatu karya yang bersifar hipogramatik. Dengan kata lain, antara hipogram dan model tidak dapat dipisahkan, karena pelacakan dari hipogram pada teks transformasi dilakukan melalui analisis model. Pelacakan model dilakukan dengan cara menerjemahkan pergerakan matriks. Matriks merupakan suatu tuturan minimal yang bersifat harafiah yang mengalami proses transformasi menjadi bentuk yang lebih panjang dan kompleks dan tidak bersifat harfiah (Riffaterre, 1978: 19-21). Setelah penetapan hipogram dari Kakawin Kumudawati adalah Tantri Carita. Selayaknya kita mencari matriks dan model dalam Kakawin Kumudawati, maka akan dilanjutkan dengan pelacakan matriks dan model. Matriks dari Kakawin Kumudawati adalah mànah. Mànah dapat diartikan sebagai budi, pikiran, hati, perasaan (Zoetmulder, 2006: 640). Kata mànah memiliki padanan kata dengan mànasa yang berarti budi (Zoetmulder, 2006: 640). Mànah sebagai matriks dipertegas dengan mànasasàra tujwa ‘manasasara yang dituju’ (Pupuh IV Pada 2 Baris 1). Jika kita mengacu pada kata mànasa memiliki makna yang sama dengan mànah maka dapat dikatakan pikiran itulah yang dituju. Kedua kata ini baik mànah maupun mànasa tertulis secara eksplist dalam Kakawin Kumudawati, kata màna dapat kita lihat pada Pupuh II Wirama Rejani, Pada 2 Bait 4; Pupuh III Wirama Wirat Jagadhita, Pada 2 Bait 2; Pupuh IV Wirama Basantatilaka, Pada 3 Bait 3; Pupuh 9 Wirama Jagadhita, Pada 2 Bait 2. Mànasasàra dapat ditemukan pada Pupuh IV Wirama Basantatilaka, Pada 2 Bait 1; Pupuh 9 Wirama Jagadhita, Pada 2 Bait 4. Melalui matriks inilah akan dikembangkan model sebagai penggerak jalannya cerita. Model yang dirumuskan dalam Kakawin Kumudawati adalah satya. Satya berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tulus hati, jujur, dan setia (Surada, 2006). Satya dalam bahasa Jawa Kuno berarti kesetiaan, kebenaran, ketulusan hati dan kejujuran (Zoetmulder, 2006: 1057). Satya dapat diartikan sebagai ketulusan dan kejujuran. Satya dalam ajaran Hindu dapat dibagi menjadi lima yang lebih dikenal dengan Panca Satya atau lima kesetiaan, yang terdiri atas : 1) Satyawacana yang artinya setia kepada perkataan, kejujuran, berbicara apa adanya; 2) Satyahredaya yang artinya kejujuran pada kata hati, berpendirian teguh; 3) Satyalaksana yang artinya berpegang teguh dan jujur pada semua perbuatan; 4) Satyamitra yang artinya setia dan jujur kepada teman; dan 5) Satyasamaya yang arinya setia dan jujur pada janji (Zoetmulder, 2006).
Keterjalinan hubungan antara hipogram dan teks transformasiakan dilihat melalui hubungan interteks antara Kakawin Kumudawati dengan Tantri Carita dengan menggunakan bingkai model yakni satya yang diterjemahkan ke dalam Panca Sayta. Parameter pertalian model menggunakan acuan rumusan Riffatere (1981) sebagai berikut: (1) Ekspansi (expansion), yaitu perluasan dan pengembangan; (2) Konversi (conversion), yaitu pemutarbalikan hipogram atau matriksnya. Teori tersebut dikembangkan oleh Partini (1986) dengan menambahkan dua kategori lagi yakni: (1) Modifikasi (modification), yaitu perubahan. Perubahan yang dilakukan pada tataran linguistik meliputi perubahan kata atau urutan kata dalam kalimat, sedangkan pada tataran sastra meliputi manipulasi tokoh atau plot cerita; (2) Ekserp (excerpt), yaitu pengambilan intisari suatu unsur atau episode cerita hipogram.
Pertalian antar unsur kakawin kumudawati dengan Tantri Carita melalui bingkai panca satya dapat dilihat sebagai berikut :
1. Pelanggaran Satyawacana (Nityawacana)
Peristiwa yang menggambarkan satyawacana tidak ditemukan justru pelanggaran satyawacana yang ditemukan. Yakni ketika anjing hutan betina menyatakan bahwa yang terbang di atas kepalanya adalah sepasang angsa yang menerbangkan empas namun anjing jantan menolak hal itu. Anjing jantan menyatakan bahwa yang diterbangkan angsa adalah kotoran sapi kering. Pernyataan itu dilontarkan untuk membuat empas marah sehingga mau menyahut. Ketika empas menyahut maka empas akan terjatuh dan anjing hutan itu dapat memakannya. Jika memang benar kotoran kering yang diterbangkan oleh angsa, tidak mungkin dapat dijawab oleh empas. Pembohongan akan kenyataan empas dikatakan sebagai kotoran kerbau kering menunjukan bahwa terjadi pelanggaran terhadap konsep satyawacana. Walaupun pelanggaran atau pemutarbalikan konsep satyawacana sebagai model terjadi, namun secara interteks tidak terjadi pemutarbalikan hipogram. Hipogram pun menguraikan hal yang sama sebagaimana yang digambarkan dalam Kakawin Kumudawati sebagai teks transformasi. Petikan yang berkaitan dengan peristiwa tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
mojar ta angúa ya siwa donta tañeng lakinya
eh sang bapanya naku ih kakatonya mangkā
ndah kang luhur ta ana pās tinibĕr ri angṣa
dhuh sambhaweng wulata kadyanga peki tonta
mojar sahur nika kasambhawa ling ta tonta
norāngṣa mĕr nikana pāsika tonta lah ngka
bnĕr-bnĕr ta denta limu atri luhur ta mangke
angṣa mibĕr kna tahi ning wreûbhākingātmĕn
ndah biprayeng uli ulih anak ing si angṣa
tan len samangkana jatinya wulatnya denta
yekan ujarnya karĕngö ri si pās luhurnya
krodhāmbekeng ati tucap kna tain aking ta (Kakawin Kumudawati, VII. 3-5).
Artinya:
Anjing hutan betina lalu berbicara dengan yang jantan,
wih suamiku coba lihat itu,
itu diatas kita ada empas diterbangkan oeh angsa,
itu sangat aneh jika dilihat.
Dijawab dengan yang jantan, aneh kamu katakan coba kamu lihat itu,
bukannya angsa menerbangkan empas, coba kamu lihat itu dengan saksama,
bener-benarlah kamu melihat itu yang ada tepat di atas kamu sekarang,
sesungguhnya itu angsa yang sedang menerbangkan kotoran kerbau kering.
Itu akan dijadikan sebagai oleh-oleh untuk anaknya angsa,
tiada lain itulah yang sebenarnya yang kamu lihat,
demikian yang disampaikannya yang didengar oleh empas sampai di atas,
ia sangat marah karena dikatakan sebagai kotoran kerbau kering.
Petikan yang sama juga ditemukan dalam Tantri Carita, bahkan terdapat petikan kata yang sama percis seperti berikut:
eh sang bapanya naku (kakawin kumudawati) dengan Eh Sang bapanyànak i ngulun (tantri carita); tahi ning wreûbhākingātmĕn (kakawin Kumudawati) dengan tahi ning wreûbhāking ika ( tantri carita); uli ulih anak ing si angṣa (kakawin kumudawati) dengan uli ulihnya ri putra ning angṣa (tantri carita).
Pengambaran persamaan tersebut secara langsung menunjukkan bahwa pengarang Kakawin Kumudawai melakukan Ekserp (excerpt), yaitu pengambilan intisari suatu unsur atau episode cerita hipogram.
2. Satyahredaya
Satyahredaya tersebut ditunjukan dengan ketidaksetiaan empas pada dirinya yang menimbulkan kemarahan ketika dia dihina dikatakan sebagai kotoran kerbau kering, yang menyebabkan ia harus menjawab dan tertimpa musibah. Hal tersebut dapat dilihat pada petikan di atas yang sekaligus membahas satyawacana. Secara interteks berdasarkan hipogramnya tampak terjadi kesamaan pola. Sehingga dapat dikatakan mengalami Ekserp (excerpt), yaitu pengambilan intisari suatu unsur atau episode cerita hipogram.
3. Satyalaksana
Satyalaksana ditunjukan dengan kesetiaan angsa menerbangkan empas dengan cara menggigit ranting kayu. Telah terjadi pembagian yang sangat rapi angsa menggigit pada bagian ujung dan pangkal, sedangkan empas menggigit pada bagian tengah. Posisi itu dirancang semata-mata untuk mempermudah angsa menerbangkan empas. Hal itu dilakukannya dengan penuh kesetiaan. Kesetiaan itu juga sebagai bentuk kesetiaannya dalam berteman. Petikan yang berkaitan dengan satyalaksana dapat dilihat sebagai berikut:
hana rinayanku mangkana ujar ri sawitra nika
awisata mangka dūh sira inūt ri nami tkap ira
hana ta ya pāng nikang kayu kolahiran umibĕr
sira maka karwa pās umilu ri tka nikangku umibĕr
sina uta tungtunging kayu ringku isun anaut
sana sini bungkahing kayu lawan ta ya tung tungika
kamimana utmuwah kita ri madhya nikang kayu ta
nya umibĕran kita tkapira yan miberā kutumūt (Kakawin Kumudawati VII. 2-3)
Artinya:
Ada caraku demikian perkataannya pada sahabatnya,
kamu akan ikut serta mengikuti aku,
itu ada ranting kayu, itu yang akan kamu jadikan sebagai sara untuk terbang,
kamu empas berdua akan ikut bersama aku terbang .
Akan aku gigit ujung dan pangkal ranting itu,
berdua ada pada bagain ujung dan pangkal ranting,
aku akan menggit itu sedangkan kamu gigit bagian tengahnya,
pasti kamu akan ikut terbang jika aku terbang.
Secara interteks berdasarkan hipogramnya tampak terjadi kesamaan pola. Sehingga dapat dikatakan mengalami Ekserp (excerpt), yaitu pengambilan intisari suatu unsur atau episode cerita hipogram.
4. Satyamitra
Satyamitra ditunjukkan dengan kesetiaan angsa kepada empas dalam menjalin persahatan. ditunjukan dengan munculnya kata sawitra yang berhati sabahat atau teman yang setara dengan kata mitra. Petikan yang berkaitan dengan satyamitra dapat dilihat sebagai berikut:
karenga wuwusnya ri si pās dahating mahorang
duh kang atinya tinilar tkapikang sawitra
mojar ta pās lawana angúa lara manahnya
kang yan tulus tinilaran risirang manaruwa
duh angsayan kita lumampahing suna tūta
lwir ning tilar kita arep satinūt rinita
meh sampuning alawasā paparĕng ri kita
laṡcarya ri twa satilar mari keng talaga
mojar si angsarumawos ri si pās ri kana
tan sangka ning pramada ring pasawitranika
pansan anujwa genahing tana satta laga
meh pjah aku tkapira yan asating talaga
yekā wanĕn ta kami umungsi mareng himawan
ri gnah nikang talaga mānasaṡara ika
tan sidha doh kami tirtha ika marmmitani
kadyeka angsasumawur ri sawitranika (Kakawin Kumudawai. IV. 3-6)
Artinya:
setelah mendengar penjelasannya menyebabkan si empas bertambah bingung
perasaannya sedih jika ditinggalkan oleh seorang sahabat,
berbicaralah si empas pada si angsa mengenai kesedihan hatinya,
jika nantinya jadi akan ditinggalkan oleh mereka berdua.
wahai angsa jika kamu akan pergi aku akan ikut serta,
aku akan ikut serta bersamamu akan kepergianmu ,
apa lagi kita telah lama hidup bersama-sama,
sudah iklas kamu akan pergi dari telaga ini.
berbicaralah angsa menjawab perkataan empas,
bukan karena tidak setia akan teman,
karena aku akan menuju telaga yang tidak akan pernah akan kandas,
jika benar air telaga itu kandas pasti aku akan mati.
itu yang menyebabkan aku akan pergi menuju gunung Himawan,
di tempat yang bernama telaga Manasasara,
karena aku tidak bisa jauh dari air,
seperti itu jawaban dari angsa pada sahabatnya.
Secara interteks berdasarkan hipogramnya tampak terjadi kesamaan pola. Sehingga dapat dikatakan mengalami Ekserp (excerpt), yaitu pengambilan intisari suatu unsur atau episode cerita hipogram.
5. Satyasamaya
Satyasamaya adalah setia kepada janji. Empas telah disampaikan larangan yang harus dipatuhi sebelum dia diajak untuk terbang oleh angsa. seperti halnya tidak boleh berbicara atau menjawab, jangan menghiraukan semua perkataan apa pun itu yang kamu dengar sepanjang perjalanan. Namun Empas melanggar kesepakatan atau janjinya, karena dia tidak terima dikatakan sebagai kotoran kerbau kering. Amarah si empas menyebabkan dia membuka mulutnya dan terjatuh. Jatuhnya empas karena melanggar janji menyebabkan kematiannya. Petikan yang berkaitan dengan satyasamaya dapat dilihat sebagai berikut:
Kewalya hana pawarahe ngku ring kita sawitra kuru mĕsĕpika
yan sampun mibĕra kitān aneng ri luhuring tinibĕraya kunang
tan weh sira maucap ucapa salwiring hana katungkulana aja mucap
mne haywa salaha manaut pingi tkapi naut kayu maka saraṇa
mangkojarira katibaring si pās umilu tūtri lakuni ya umibĕr'
mānggāt kapira ya rumĕngö ujar nika angúa umilu sira pās
mwah takwana ri sira tatar wenang juga sahur ta ri kita ika pās
yan tan mituhu sira ujar ku tan rawuhi meh ati ta sira ya si pās
(Kakawin Kumudawai. VI. 1-2)
Artinya
Namun ada pesanku padamu sahabatku agar benar-benar diperhatkan, jika nantinya kamu telah berhasil terbang karena aku terbangkan, tidakku perkenankan kamu untuk sama sekali berbicara sepatah katapun apapun yang kamu lihat dan lewati jangan kamu mengucapkan apapun, dan juga jangan sekali-kali salah untuk menggigit karena sulit sekali untuk menggigit sarana ranting itu.
Demikian nasehat yang disampaikan kepada si empas yang ikut serta untuk terbang, disetujui sebagaimana pesan yang disampaikan oleh si angsa yang diikuti oleh si empas, dan juga jika ada yang akan bertanya padamu maka kamu empas tidak boleh menjawabnya, jika kamu tidak mengikuti pesanku maka kamu tidak akan bisa sampai bisa-bisa kematian yang akan kamu dapatkan.
Pesan yang disampaikan si angsa dilanggar oleh empas, sehingga menyebakan petaka. Seperti kutipan berikut:
mwah kocapang ya ta ikĕbwa umah kutisya
mrutdut tutuknya sira pās arĕpā ngucapya
sangke panĕs ati tucapta ikĕ bwa tuh ya
wus mngā tutuknya lumĕpas kayu tang sahutnya
(Kakawin Kumudawai. VIII. 6)
Artinya :
terlebih dikatakan sebagai kotoran kerbau kering dari beduda,
sampai-sampai gemetar ujung mulutnya empas ingin menjawab,
karena marahnya dikatakan sebagai kotoran kerbau kering,
setelah mulutnya terbuka lalu lepas ranting yang digigitnya.
Pelanggaran janji itu menyebabkan kematian dari empas seperti petikan ‘tan sah pās tumibeng lĕmah magulingan tinadaha ta ya de ni angúa ya’. Artinya: menyebakan si empas terjatuh ketah sehingga dapat di makan oleh anjing hutan, (Kakawin Kumudawati IX. 1.1)
Secara interteks berdasarkan hipogramnya tampak terjadi kesamaan pola. Sehingga dapat dikatakan mengalami Ekserp (excerpt), yaitu pengambilan intisari suatu unsur atau episode cerita hipogram.
Kesetiaan yang paling fundamental dalam cerita dapat dilihat bagaimana setiap binatang yang dijadikan tokoh selalu berpasangan suami istri. Hubungan suami istri tanpa didasari atas kesetiaan tidak akan dapat membangun hubungan harmonis, oleh sebab itu dalam cerita dilukiskan angsa selamat berdua untuk mencari telaga manasasara (mput ring mānasasāra angúa maka donya kadi ring nguni nirmmaleng danu). Empas mati bersama dimakan anjing hutan karena kemarahanya (sangkṣepanya pĕjah si pās pinanganeng ṡragala saka gĕlĕng nikang ati). Termasuk di dalamnya anjing hutan yang dengan setianya pada suaminya sehingga tidak membantah ketika suaminya berbohong mengatakan angsa sebagai tahi kerbau kering. Kebohongan itu dibangun semata-mata demi kesetiannya agar dapat memakan daging empas secara bersamasama (tan sah pās tumibeng lĕmah magulingan tinadaha ta ya de ni angúa ya).
6. Pelukisan Alam
Pengarang tampak sangat konsisten dalam pemilihan diksi untuk mengutarakan pelukisan alam, walau terkadang ada penambahan latar sebagai bentuk pemanis puitika. gambaran tersebut dapat dilihat pada:
iki hana ring kunang talaga ramya ta padma nika
rupanika bang putih juga nila tkap ikang sumĕkar
pawana nibeng sekar sumiliran ta suganda rawuh
kadi ika pangkajanya magawe wulangun ri manah (Kakawin Kumudawati, II.2).
Artinya:
Di telaga itu ada berbagai jenis teratai yang indah.
semuanya mekar, ada yang berwarna, merah, putih, biru.
angin mendesir sumilir mendatangkan bau harum,
demikian keindahan teratai itu yang menyebabkan kita terpesona.
Jika dibandingkan dengan hipogramnya, pada Tantri Carita:
… talaga kumudawatì, ramya ikang talaga, akweh tuñjungnya anekawarna, ana
úweta, rakta, mwang nilapangkaja (Hooykaas, 1929: 112)
Artinya:
… telaga kumudawati yang indah, tratainya banyak dan beraneka warna, ada tratai
yang berwana putih, merah dan buru.
Kedua petikan di atas menggambarkan bahwa konsistensi pengarang mempertahankan tiga warna yakni, putih, merah, dan biru sebagaimana yang ditulis dalam hipogramnya. Hanya saja, untuk mempertahankan pola guru laghu pengarang Kakawin Kumudawati memilih menggunakan kata ‘bang’ sebagai pengganti kata ‘rakta’ dan ‘putih’ sebagai pengganti kata ‘úweta’; sedangkan kata ‘nila’ yang berarti biru tetap dipertahankan. Pengarang juga tampak melakukan pengembangan dengan menguraikan keindahan teratai dan baunya yang harum untuk menambah kesan estetik. Petikan tersebut secara interteks tampak mengalami Ekserp (excerpt), yaitu pengambilan intisari suatu unsur atau episode cerita hipogram.
Pengarang Kakawin Kumudawati juga tampak melakukan ekspansi (expansion), yaitu perluasan dan pengembangan seperti terlihat pada petikan: “Cakrāngga pwa aran ikang sila ki angúa putih anulusi pwa warṇna ya, cakrānggī namaning wadon sama jugan putiha nulusa kang katon ika, … artinya: Cakrangga nama angsa yang jantan dengan bulu berwarna putih, Cakranggi nama angsa yang jantang dengan bulunya juga tampak berwarna putih, … (Kakawin Kumudawati, III.1.2-3). Penjelasan angsa itu berwarna putih tidak ditemukan dalam teks hipogram, dalam hipogram hanya disebutkan nama angsa jantan dan angsa betina. Seperti kutipan berikut: kunang ngaran ikang angúa si cakràngga ngaran i angúa lanang, si cakrànggi ngaran i angúa wadon… artinya: adapun nama angsa itu si cakraangga untuk angsa jantan dan si cakranggi untuk angsa betina (Hooykas,1929:112). Penjelasan warna putih kemungkinan karena pengalaman pengarang bahwa dominan angsa itu berwarna putih, yang sekaligus menekankan kesucian. Kutipan mengenai penggambaran alam berikut ini tidak ditemui dalam teks hipogram:
Hyang Surya nunggang giri pās mibĕr juga
ton de nikang deṡa katungkuleng ika
jnar sangkate jan ira Hyang diwangkara
harsāmbĕk pās umibĕr mareng kana Kakawin Kumudawati. VII.1)
Artinya:
Matahari telah terbit bagaikan hendak melangkahi gunung ketika itu si empas
berhasil diterbangkan,
tampak terlihat wilayah desa yang dilewatinya,
tampak terang benderang karena cahaya sang surya,
perasaan si empas sangat senang bisa terbang di angkasa.
Kutipan di atas tidak ditemukan secara eksplisit dalam teks hipogram, penambahan penggambaran puitik dilakukan pengarang untuk dapat menambah nilai estetik suatu karya. Sedangkan di sisi yang lain hipogram menyantumkan kesimpulan dalam bentuk bait sloka dan uraian prosa Jawa Kuno, namun pengarang Kakawin Kumudawati hanya mencantumkam kesimpulan dasar. Kesimpulan dibuat sedemikian rupa karena pengarang ingin memberikan kesempatan pembaca untuk memberi makna dan menyimpulkan sendiri karya yang dibaca. Pembaca tidak ingin menghakimi pembaca tetapi hanya memberikan gambaran dalam bertindak (wimba ring ulah). Petikan utuh dari uraian tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
… kalinganya : ikang warah ning mitra, yan abêcik yogya idepan, yekàla ning
tanpamituhu wuwuws ing mamitranya. Tanparasa yan lagy anahut kayu-kayu, tan
kawaúanyàmêgêng gêlêngnya, mênga tutuknya. Manêmoni bàcana, dening
wuwus nikang úrêgala, mawêkasan tiba pwa ya, mìnàngsa dening úona jalu istrì,
Mangkana puhara ning tan yatna ring warah maring rahayu, tan wruh
kalingannya, mangdeya ala, pisaningun ika masiha. Kewala ikang ujar ring
mtràywa gya-gya wawa rêngên
Artinya:
… kesimpulannya: ucapan dari sahabat itu, jika baik pantaslah untuk diikuti, itu yang menyatakan kematian karena tidak mengikuti pesan sahabatnya. tidak terasa sedang menggit kayu, tidak kuasa untuk diam, sehingga mulutnya terbuka. Menerima bencana, karena ucapan anjing hutan, yang menyebakan terjatuhlah ke tanah dan dimakan oleh anjing jantan dan betina.
Demikian jika tidak mengidahkan pesan yang baik, tidak tahu akan hasilnya, menyebakan terhindar dari celaka, namun semuanya itu karena kasihnya. Namun dia tidak mengindahkan pesan yang didengar dari sahabatnya.
IV. Kesimpulan
Kakawin Kumudawati merupakan karyasastra kakawin yang tergolong kedalam kakawin minor. Kakawin memiliki hipogram teks Tantri Carita. Matriks yang dikembangkan pengarang adalah mànah ‘pikiran’ yang diimpementasikan dalam model satya, yang diterjemahkan ke dalam Panca Satya. 1) Satyawacana; 2) Satyahredaya; 3) Satyalaksana; 4) Satyamitra; 5) Satyasamaya. Prinsip intertekstualitas yang ditetapkan dalam Kakawin Kumudawati melalui pertalian antar unsur dengan hipogramnya mencakup :(1) Ekspansi (expansion), yaitu perluasan dan pengembangan; (2) Modifikasi (modification), yaitu perubahan. Perubahan yang dilakukan pada tataran linguistik meliputi perubahan kata atau urutan kata dalam kalimat, sedangkan pada tataran sastra meliputi manipulasi tokoh atau plot cerita; (3) Ekserp (excerpt), yaitu pengambilan intisari suatu unsur atau episode cerita hipogram. Hanya fenomena Konversi (conversion), yaitu pemutarbalikan hipogram atau matriksnya tidak ditemukan dalam karya Kakawin Kumudawati karya I Made Arik Wraputra.
Sumber:
- Kakawin Kumudawati : Analisis Intertektualitas.
- Oleh: Dwi Mahendra Putra, I Putu Permana Mahardika, Ni Made Ari, Dwijayanthi, Ni Made Ayu Susanthi Pradnya Paramitha
- Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olahraga Provinsi Bali, STAH N Mpu Kuturan Singaraja, Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar.
0 Response to "Kakawin Kumudawati : Analisis Intertektualitas"
Post a Comment