Studi Bahasa Sanskerta Sebagai Metode Belajar Agama Hindu

MUTIARAHINDU.COM -- Studi Bahasa Sanskerta Sebagai Metode Belajar Agama Hindu. Bahasa Sanskerta adalah bahasa yang digunakan untuk menjelaskan sabda suci (wahyu) dari Brahman atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang tersurat dalam kitab suci Veda. Veda adalah kitab suci Agama Hindu, semua ajarannya mengalir dari Veda. Bahasa Sanskerta dengan huruf Devanāgarī-nya merupakan satu-satunya sarana yang dapat digunakan untuk mendalami dan menghayati ajaran kitab suci Veda dan sastra lainnya. Dengan demikian bahasa Sanskerta adalah bahasa yang wajib dipelajari sebelum mempelajari Veda, karena tidak akan mungkin memahami isi Veda tanpa mengerti bahasanya (Surada, 2011: 1).



Bahasa Sanskerta merupakan leluhur bahasa Yunani, Romawi, Jerman, Slavia, Polandia, Latin, Inggris dan lain-lain yang termasuk rumpun bahasa Indo-Eropa (Booij, 2007: 99-129). Bahasa Sanskerta pertama kali digunakan oleh bangsa Arya dan tumbuh di sekitar sungai Danao kira-kira di Utara pegunungan Kaukasus. Entah apa yang menyebabkan penutur bahasa ini meninggalkan tempatnya menuju semenanjung Balkan. Selanjutnya mereka menyebar ke Barat dan ke Timur. Yang ke Barat menurunkan bahasa Yunani, Romawi, Jerman, Slavia, dan lain sebagainya, sedangkan yang ke Timur dalam perjalanannya sampai di India (Soetardi, 2001: 1).

Perkembangan bahasa Sanskerta di India tumbuh dengan pesat. Pada abad VI di India lahir seorang ahli bahasa dunia yang terkenal, yaitu Pāṇini. Beliau dilahirkan di daerah Salatura kerajaan Sandnara yaitu di antara Iran dan Afganistan sekarang. Ia adalah seorang ahli bahasa dunia yang pertama kali menyusun hukum-hukum atau peraturan-peraturan tentang bahasa Sanskerta yang membedakan antara akar kata dan kata, bagaimana cara membentuk pangkal (dasar) kata, apa itu awalan dan akhiran kata, serta dimana kata-kata itu ditempatkan, juga bagaimana cara membedakan akhiran dengan akhir kata dan beberapa kata yang mempunyai akar-akar kata yang sama, serta bagaimana membentuk dan menyusun kata-kata majemuk (Soetardi, 2001: 4). 

Buku karangan Pāṇini disebut Aṣṭadhyāyī yang terdiri dari delapan sūtra/bab dengan 4.000 baris kalimat-kalimat pendek, dan khusus yang mengenai tata bahasa Sankserta diberi judul PāṇiniŚabdānuśasanam. Jejak langkah Pāṇini pada abad III SM diikuti oleh pengikutnya yang bernama Katyayana (Sakatayana). Dan pada abad 150 SM diikuti pula oleh Patañjali dengan menjelaskan masalah Paramaśāstra (Tata Bahasa) dengan judul bukunya adalah “Bhāṣā”(Soetardi, 2001: 4).

Pengaruh bahasa Sanskerta kepada ilmu Bhāṣā terutama di Eropa adalah berkisar kepada bahasa Latin, bahasa Yunani dan bahasa-bahasa Eropa lainnya, dimulai sejak adanya penyelidikan yang dilakukan oleh para sarjana Eropa ke dalam India pada abad ke XVIII antara lain oleh Sir William Jones yang sejak tahun 1783 menjadi hakim dalam benteng yang dinamakan William di Benggala ”(Soetardi, 2001: 5).

Sir William Jones yang pertama kali memperkenalkan bahasa Sanskerta melalui sebuah cerita “Sakuntala dan Manu” ke dalam bahasa Inggris kepada dunia luar. Beliau mempunyai pandangan yang baik sekali tentang perimbangan antara bahasa Sanskerta dengan bahasabahasa lain yang serumpun. Dalam pernyataannya yang dikeluarkan pada tahun 1786 antara lain menyebutkan hal-hal sebagai berikut:

“Bahasa Sanskerta mempunyai susunan yang mengherankan, lebih sempurna daripada bahasa Yunani, lebih kaya daripada bahasa Latin dan lebih halus daripada keduanya (Yunani dan Latin). Bahasa ini dengan kedua bahasa itu, baik mengenai akar kata kerja maupun kata bentukan, berada di dalam kekeluargaan yang demikian dekatnya, sehingga tidak mungkin disebabkan oleh sesuatu unsur yang secara kebetulan saja, dan yang demikian nyata, sehingga tiap ahli kesusasteraan harus berpendapat bahwa bahasa-bahasa tersebut (Sanskerta, Yunani dan Latin) berasal dari satu sumber” (Soetardi, 2001: 5-6).

Sebagai bahasa yang lengkap selama beribu-ribu tahun di kalangan masyarakat India, sehingga bahasa Sanskerta dikelompokkan menjadi tiga bagian. Seperti yang dituliskan oleh Schoterman dalam (Collins, 2009: 104) sebagai berikut:

Generally speaking, one may distinguish between three types of Sanskrit: 1) Vedic
Sanskrit. 2) Post Vedic Sanskrit following the rules of Pāṇini, and 3) Post Vedic Sanskrit
not strictly following the rules of Pāṇini.

Terjemahannya:

‘Pada umumnya bahasa Sanskerta dibedakan menjadi tiga bagian: 1) Sanskerta Vedik, 2) Sanskerta Pasca Vedik yang menuruti rumus-rumus Pāṇini dan 3) Sanskerta Pasca Vedik yang tidak dengan tegas menuruti rumus-rumus Pāṇini’.

Lebih lanjut (Winanti, 2004: 2-3) menjelaskan bahwa bahasa Sanskerta memiliki susunan yang lebih rapi dan terang, serta lebih mudah dipisah-pisahkan. Oleh karena itu pada abad XIX bahasa Sanskerta selalu dipelajari oleh ahli bahasa Eropa untuk pemahaman yang lebih jelas dan mendalam tentang bahasa Latin dan Yunani. Dalam perkembangannya, bahasa Sanskerta dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) Vedic Sanskrit adalah bahasa yang digunakan dalam Veda. Bahasa Sanskerta jenis ini dianggap lebih kuna dan dianggap berhubungan dengan semua hal sakral di India karena berkaitan erat dengan pelaksanaan Homa Yajña dan bukubuku Catur Veda ditulis dalam bahasa Sanskerta Veda; (2) Classical Sanskrit adalah bahasa Sanskerta yang dipakai dalam sastra-sastra Hindu dan filsafat yang mulai berkembang abad ke-8 sebelum masehi; dan (3) Hybrida Sanskrit adalah bahasa Sanskerta yang sudah mendapat pengaruh dari bahasa yang berkembang.

Berkembangnya bahasa Sanskerta di Nusantara pada mulanya dibawa oleh para pendeta Hindu dari India dan sekitarnya. Para pendatang dari India ini mulanya datang untuk berdagang, namun dalam perkembangannya terjadilah asimilasi budaya, terutama dalam hal peradaban. Peradaban Hindu sendiri masuk ke Nusantara sekitar abad ke-4 masehi dan berkembang pesat atau mencapai puncak kejayaannya sekitar abad ke-7 masehi. Nampaknya peradaban Hindu-Buddha di masa lampau telah banyak memengaruhi peradaban dan budaya. Dapat dipastikan bahwa sebagian besar bahasa Jawa Kuno banyak dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta (Sudrajat, 2012: 1). 

Zaman Dharmawangsa Teguh merupakan salah satu tonggak awal bagi kesusasteraan Hindu di Nusantara. Pada abad ke-10 diketahui adanya suatu proyek besar, yaitu Mangjawaken Byasamata atau membahasajawakan ajaran-ajaran Vyasa. Bhagawan Vyasa adalah penulis kitab Mahābhārata. Di samping itu dilakukan pula kegiatan membahasajawakan ajaran-ajaran Walmiki, yaitu Uttarakanda sebagai kanda ketujuh yang membangun Rāmāyaṇa. Raja Dharmawangsa Teguh tampaknya menaruh perhatian besar pada sastra-sastra yang mengandung ajaran agama Hindu (Agastia, 1994: 2).

Dalam perkembangannya bahasa Sanskerta merupakan bahasa identitas Agama Hindu, sebagaimana dalam agama Islam adalah bahasa Arab. Bahasa menunjukkan bangsa. Mantra, Pūja, Stāva yang selalu diucapkan oleh rohaniawan Hindu seperti Pandita atau Sulinggih pada saat memimpin acara Yajña menggunakan Pūja yang berisi bahasa Sanskerta. Nama-nama orang, bangunan-bangunan masih banyak menggunakan nama bahasa Sanskerta. Saat ini bahasa Sanskerta masih tetap dipakai secara luas sebagai sebuah bahasa seremonial pada upacara-upacara Hindu dalam bentuk stotra dan mantra (Surada, 2012: 3).

Pemahaman ajaran Agama Hindu akan menjadi baik jika bahasa yang digunakan dari sumber ajarannya dapat dimengerti dan dipahami dengan baik. Sumber ajaran Agama Hindu adalah Veda. Mempelajari Agama Hindu tidak akan mungkin tanpa mempelajari kitab Veda dan kitab-kitab susastralainnya, seperti Dharmaśāstra, Itihāsa, Purāṇa dan kitab Vedāńga. Bahasa yang dipergunakan dalam kitab-kitab tersebut adalah bahasa Sanskerta. Dengan demikian pengetahuan tentang bahasa Sanskerta bagi umat Hindu sangat penting (Pudja, 1982: 13). Berdasarkan pernyataan tersebut di atas maka sangat penting untuk kembali mempelajari bahasa Sanskerta untuk mendalami kembali ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Hindu, karena bahasa Sanskerta merupakan akar dalam mendalami ajaran agama Hindu.

Pembelajaran bahasa Sanskerta pada instansi-instansi ataupun perguruan tinggi Hindu dalam hal ini dirasakan kurang maksimal untuk dapat memahami bahasa Sanskerta secara utuh dan komprehensif. Hal tersebut dikarenakan bahasa Sanskerta dikatakan sebagai momok yang menakutkan dan sangat sulit untuk dipelajari, di samping itu untuk memahami bentuk dan konsep Sanskerta harus terlebih dahulu memahami bentuk tata bahasanya, bahasa Sanskerta juga dilengkapi dengan bentuk akar kata, vyākarana dan bentuk-bentuk persandian dalam membentuk kalimat. Namun, sebelum memahami bentuk-bentuk dari tata bahasa, maka sebagai awal dari pembelajaran adalah dengan mengkomunikasikannya, serta dengan metodemetode yang lain untuk memudahkan dalam memahami bahasa Sanskerta tersebut. Dengan demikian penelitian ini berupaya untuk mengkaji terkait dengan metode pembelajaran bahasa Sanskerta untuk mendalami dan memahami konsep-konsep agama Hindu dalam bahasa Sanskerta.

II. METODE

Metode berarti cara yang tepat untuk melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran untuk mencapai tujuan. Metode penelitian adalah cara atau prosedur ilmiah yang diterapkan untuk melaksanakan penelitian. Karya ilmiah tanpa menggunakan metode penelitian yang jelas dan pasti maka nilai ilmiah dari pengetahuan yang diperoleh akan diragukan dan di sangsikan kebenarannya, oleh karena itu di dalam penulisan karya ilmiah tidak semua metode digunakan, hanya beberapa metode dari metode yang ada. Penelitian ilmiah harus dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah pula. Oleh karena itu diperlukan metode penelitian yang jelas dan memadai yang diharapkan mampu mendapatkan data yang akurat (Gulo, 2002: 155).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Moleong (2002:3) mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang yang diamati. Dengan demikian, melalui pendekatan kualitatif akan diproleh data deskriptif, dimana data yang dikumpulkan lebih banyak berupa kata-kata atau gambaran dari pada adat yang berwujud angka. Artinya tidak hanya pada pengumpulan dan penyusun data tetapi juga menganalisis tentang arti data tersebut.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Bahasa Sanskerta Sebagai Bahasa Veda

Suatu bahasa dinamai menurut daerah geografis yang penduduk-penduduknya sebagian berbicara dalam bahasa yang bersangkutan. Misalnya bahasa Inggris adalah bahasa dari Negara Inggris, bahasa Prancis adalah bahasa yang berasal dari Negara Prancis dan bahasa Indonesia adalah bahasa yang berasal dari Negara Indonesia. Tetapi Bahasa Sanskerta sebagaiama sebuah bahasa yang tidak bertalian dengan apapun daerah geografis seperti tersebut. Maka untuk memberi definisi Bahasa Sanskerta adalah berbeda dengan bahasa-bahasa tersebut (Sharma, 1985: 1).

Bahasa Sanskerta berasal dari kata Samskerta bhasa yaitu bahasa yang berbudi/halus (Apte, 2000: 343). Samskerta bhasa adalah bahasa yang halus di pakai untuk menyusun Veda. Penulisan Veda diperkirakan sebelum 2500 Sebelum Masehi. Menurut Kale, (1992: 1) Bahasa Sanskerta adalah sebagai berikut.

Sanskrt, or the refined language, is the language of Devas or Gods, and alphabet in which it is written is called Devanagari or that employed in the cities of Gods. 

Bahasa Samskerta atau bahasa yang sopan/halus adalah bahasa dari Deva-Deva atau Tuhan (Daivivak) dan abjadnya ditulis dengan nama huruf Devanagari yang telah dipakai di dalam kota-kota dari Deva atau Tuhan.

Bahasa Sanskerta adalah termasuk rumpun bahasa Indo-Eropa dan merupakan bahasa Indo-Arya Kuno, yang termasuk dalam kelompok Indo-Iranian. Bahasa Indo-Iranian juga merupakan cabang dari rumpun bahasa Indo-Eropa. 

Bahasa Sanskerta mempunyai beberapa bentuk yaitu yang dipakai dalam Veda, Kesusastraan Hindu, Sanskerta yang telah menerima pengaruh bahasa lain (Hybrida Sanskrit) dan bahasa Samskerta kepulauan (Archipelago Sanskrit). Dengan perkembangannya yang pesat sesudah diturunkannya Veda kemudian para ahli membedakan Bahasa Sanskerta ke dalam tiga kelompok yaitu: 
  1. Bahasa Sanskerta Veda (Vedic Sanskrit) yakni bahasa yang digunakan dalam Veda yang umumnya jauh lebih tua dibandingkan dengan Bahasa Sanskerta yang kemudian digunakan berbagai susastra Hindu seperti dalam Itihasa, Purana, Dharmasastra, dan lain-lain.
  2. Bahasa Sanskerta Klasik (Classical Sanskrit) yakni Bahasa Sanskerta yang digunakan dalam susastra Hindu seperti Itihasa (Ramayana dan Mahabharata), Purana (Mahapurana dan Upapurana, Smrti (Kitab-kitab Hukum/ Dharmasastra).
  3. Bahasa Sanskerta Campuran (Hybrida Sanskrit) dan Sanskerta di Indonesia oleh para ahli menyebutkan sebagai Archipelago Sanskrit atau Bahasa Sanskerta kepulauan yaitu Bahasa Sanskerta yang digunakan di Indonesia (Astra dkk, 1981: 8).
Tidak bisa dipungkiri bahwa bahasa Sanskerta merupakan bahasa Veda atau bahasa yang digunakan untuk menjelaskan sabda suci Tuhan, sehingga bahasa Sanskerta sangat penting untuk diketahui oleh umat Hindu sebelum mempelajari Veda. Di samping itu semua konsepkonsep yang termuat dalam ajaran agama Hindu bersumber dari bahasa Sanskerta. Dengan demikian, bahasa Sanskerta merupakan bahasa paling awal dan dasar yang harus dikuasai oleh umat Hindu untuk mendalami ajaran-ajaran Veda.

Memahami ajaran Veda dengan memahami bahasa Sanskerta di dalamnya, secara tidak langsung kita sudah melaksanakan salah satu bagian dari Nawa Wida Bhakti yaitu Vedanam yang artinya persembahan yang kita lakukan dengan membaca pustaka-pustaka suci Veda. Dengan demikian, sraddha dan bhakti kita akan menjadi meningkat. Sraddha dan bhakti adalah pondasi yang penting bagi keberlangsungan dan keajegan Hindu sebagai pewaris segala macam bentuk tradisi dan agama Hindu. Untuk itu, sraddha dan bhakti harus ditumbuhkembangkan  dalam diri peserta didik, sehingga menimbulkan rasa yakin dan percaya terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, terhadap sesama dan lingkungannya (Tri Hita Karana). Sebagaimana penjelasan Smith dalam Sutriyanti (2018: 127) bahwa, agama adalah kebutuhan bagi manusia, karena dengan agama dapat mendekatkan penganutnya dengan Tuhan, dengan bidang sosial, dan alam melalui berbagai bentuk perilaku keberagamaan. Senada dengan itu, Jalaluddin (2011: 223) mendeskripsikan juga hal yang sama dan implisit bahwasanya perilaku keberagamaan akan sangat dipengaruhi iman dan keyakinan penganut agama tertentu akan berbagai bentuk ajarannya.

Lebih lanjut diuraikan, sraddha adalah yang memiliki keyakinan di dalam mempersembahkan upacara pemujaan sebagaimana disebutkan dalam Mantram Atharvaveda VI. 121.3. Penjelasan lebih jauh tentang terminologi kata sraddha dikutip dalam mantram Veda sebagai berikut

Śraddhāya agniḥ samidhayte
Śraddhāya huyate havih
Śraddhām bhagaśya murdhani
Vacasa vedayaṁsi
(Ŗgveda, X, 151. 1)

Terjemahan:

Api pengorbanan (persembahan) dinyatakan dengan keyakinan yang mantap (sraddha). Persembahan (korban) dihaturkan keyakinan yang mantap (sraddha). Kami mohon keyakinan yang mantap (sraddha), yang memiliki nilai tertinggi di dalam kemakmuran (Titib, 2006: 167).

Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka dapat diterminologikan sraddha sebagai sebuah bentuk sikap keyakinan dan kepercayaan kuat yang mengandung kebenaran. Banyak literatur Hindu yang menjelaskan kata sraddha sebagai keyakinan dan kepercayaan yang kuat, salah satunya dalam petikan sloka Bhagavadgita sebagai berikut:

Śraddhāvat labhate jñanam
Tatparaḥ saṁyatendriyaḥ
Jñanam labhdhva paraṁ
Śantim acirena dhigacchati
 (Bhagavadgita, IV. 39)

Terjemahan:

Ia yang memiliki keimanan yang kuat (sraddha), yang membiarkan diri diresapi kebijaksanaan dan yang telah menghalalkan panca indria mencapai kebijaksanaan dan setelah mencapai itu, ia akan segera mendapatkan kedamaian (Radhakrisnan, 2010: 208).

Merujuk pada hal tersebut, dapat dikemukakan bahwa istilah sraddha adalah merujuk pada pengertian keyakinan yang kuat terhadap ajaran Hindu. Sivananda Swami (2003: 208). Menjelaskan hal yang sama bahwasanya sraddha adalah keyakinan penganut Hindu terhadap ajaran-ajaran yang terdapat dalam pustaka-pustaka suci Veda. Dalam Sutriyanti (2018: 133- 134) membagi tingkatan bhakti menjadi dua tingkat yaitu apara bhakti dan para bhaktiyang perwujudannya masih lebih rendah, dan umumnya dilakukan oleh mereka yang belum mempunyai tingkat kesucian tinggi dan pemahaman ilu pengetahuan serta kebijaksanaannya belum menonjol. Dalam tingkatan apara bhakti, orang memuja Tuhan dengan penuh pengharapan atau permohonan-permohonan. Sedangkan para bhakti yaitu pemujaan atau bhakti yang dilakukan umat yang tingkat kerohaniannya lebih tinggi. Dimana dalam mewujudnyatakan bhakti-Nya kepada Tuhan, tidak lagi disertai dengan permohonan apapun. Dalam Kitab Bhagavadgita XI. 54 dan IX.26 disebutkan sebagai berikut:

Bhaktyā tv ananyayā śakya
Aham eva-vidho ‘rjuna
Jnātum drastum ca tattvena
Pravestum ca paramtapa
 (Bhagavadgita, XI. 54)

Terjemahan:

Tetapi, melalui bhakti yang tak tergoyahkan, aku dapat dilihat dalam realitasnya dan juga memasukinya, wahai penakluk musuh (Arjuna) (Pudja, 2005: 305).

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pentingnya bahasa Sanskerta untuk dipelajari oleh umat Hindu, karena bahasa Sanskerta merupakan bahasa pengantar dari pustaka-pustaka suci umat Hindu yakni Veda dan seluruh bagian dari veda tersebut, selain itu belajar bahasa Sanskerta juga secara tidak langsung merupakan metode untuk memahami ajaran agama Hindu secara kompleks dan utuh. Di samping itu juga mempelajari bahasa Sanskerta yang merupakan bahasa Veda tersebut juga merupakan implementasi dari Nawa Wida Bhakti, yang salah satunya adalah Vedanam yang artinya persembahan yang dilakukan dengan cara mempeajari pustaka-pustaka suci Veda, dengan demikian sraddha dan bhakti umat Hindu akan lebih meningkat. 

B. Metode Belajar Bahasa Sanskerta

Pembelajaran bahasa Sanskerta pada perguruan tinggi ataupun instansi-instansi yang terdapat muatan bahasa Sanskerta sangat penting untuk menerapkan metode pembelajaran yang efektif dan menyenangkan. Dalam Ambarjaya, Beni (2012: 99) menjelaskan tentang jenis metode pembelajaran, dan di dalam RPKPS Landasan Pendidikan, Neolaka (2015: 121) dijelaskan berbagai jenis metode pembelajaran sebagai berikut:
  1. Metode seminar, kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh beberapa orang dalam suatu sidang untuk membahas masalah tertentu dan mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi.
  2. Metode kerja kelompok, cara menyajikan bahan pelajaran dengan menugaskan siswa mengerjakan tugas tertentu dalam kelompok untuk membahas topik tertentu.
  3. Metode kerja lapangan, metode mengajar dengan membawa siswa ke suatu tempat di luar sekolah, yang bertujuan melakukan observasi dan eksplorasi secara langsung di lapangan.
  4. Metode sumbang saran, masalah dikemukakan di kelas dan siswa diminta pendapat dan sarannya.
  5. Metode unit teaching, memberikan kesempatan kepada siswa secara aktif dan guru dapat mengenal serta menguasai belajar secara unit.
  6. Metode penemuan/discovery, merupakan upaya siswa dalam mengasimilasikan proses atau prinsip-prinsip yang ditemukan dari hasil pembelajaran/hasil penelitian dalam bentuk temuan baru.
  7. Metode eksperimen, seorang siswa diajak mengadakan pengamatan yang hasilanya disampaikan di dalam kelas dan dievaluasi oleh guru.
  8. Metode sosiodrama dan bermain peran, siswa diajak untuk mendramatisasi tingkah laku atau ungkapan gerak wajah seseorang dalam hubungan sosial antarmanusia.
  9. Metode kasus, penyajian pelajaran dengan memanfaatkan kasus yang ditemui siswa sebagai bahan pelajaran. kasus tersebut dibahas bersama untuk mendapatkan jawaban.
  10. Metode demonstrasi, dilakukan dengan cara menunjukkan proses tertentu oleh seorang guru.
  11. Metode inquiry, teknik pengajaran dengan cara membagi tugas penelitian kelas kepada siswa. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang masing-masing mendapatkan tugas tertentu.
  12. Metode microteaching, latihan mengajar yang dilakukan oleh siswa dalam beberapa jam mengikuti pola-pola pengajaran tertentu.
  13. Metode simulasi, cara mengajar dengan menggunakan tingkah laku seseorang yang bertujuan agar siswa memahami perilaku seseorang yang dimaksudkan dan menirukan karakter orang yang disimulasikan.
  14. Metode problem solving, cara mengajar dengan mengetengahkan masalah kepada siswa dan siswa diminta menyelesaikan masalah yang ditawarkan oleh guru.
  15. Metode karyawisata, metode mengajar yang dilaksanakan dengan mengajak siswa berdarmawisata, siswa diminta melaporkan hal yang ditemui dan didiskusikan di kelas.
  16. Metode dialog, metode pengajaran yang dimulai dengan memberikan pertanyaan, kemudian siswa diminta untuk mengutarakan pendapatnya, sehingga terjadi dialog antarsiswa dan guru atau antarsiswa sendiri.
  17. Metode ceramah, cara mengajar yang paling tradisional, efektif untuk jumlah kelas yang besar, dan untuk menjelaskan hal-hal yang baru.
  18. Metode diskusi, sering disebut metode diskusi kelompok, cara penguasaan bahan pelajaran melalui diskusi tukar pikiran dan informasi berdasarkan pengetahuan dan pengalaman bagi siswa dalam memahami konsep, menguatkan konsep yang telah dipahami dan memecahkan masalah.
  19. Metode cerita, penanaman nilai-nilai kepada siswa dengan mengungkapkan kepribadian tokoh-tokoh melalui cerita rakyat, dongeng sejarah lokal. Digunakan untuk membantu penghayatan nilai, moral dan pembentukan sikap.
  20. Metode belajar mandiri, berupa tugas mandiri, seperti: membaca sebuah bab buku dan diringkas, kemudian dipresentasikan di depan kelas, ada diskusi, melakukan penelitian mandiri tanda ada guru pembimbing.
Metode pembelajaran bahasa Sanskerta yang perlu dikembangkan pada perguruanperguruan tinggi, maupun instansi-instansi yang di dalamnya terdapat muatan pembelajaran bahasa Sanskerta sangat penting untuk menerapkan pembelajaran yang menyenangkan, hal tersebut karena persepsi umat Hindu tentang bahasa Sanskerta masih sangat dangkal, bahasa Sanskerta dikatakan sebagai bahasa yang mati, atau bahasa yang sulit dipelajari, bahkan bahasa yang tidak lagi digunakan dalam percakapan sehari-hari, sehingga metode belajar bahasa Sanskerta sangat penting untuk diperbaharui, misalnya dengan memberikan metode bercerita, yaitu pengajar dapat memberikan cerita-cerita dalam bentuk dongeng-dongeng lokal yang digubah dengan menggunakan bahasa Sanskerta, seperti cerita yang terdapat di bawah ini:

Ekaḥ kākaḥ āsīt, ekadā saḥ vŗkṣaśākhāyām upaviśati sma, tasya mukhe roṭikā āsīt, tadā tatra ekaḥ śŗgālaḥ āgacchat, śŗgālaḥ kākam avadat “Kākarāja! ekaṁ gītaṁ gāya, tava gānam atimadhuram”. muḍhaḥ kākaḥ yadā gītam agāyat tadā roṭikā tasya mukhāt adhaḥ apatat, caturaḥ śŗgālaḥ roṭikāṁ nītvā tataḥ adhāvat, kākaḥ nirāśa jātaḥ.

Terjemahan:

Ada seekor burung Gagak. Suatu kali, dia hinggap di pohon. Dia memiliki (sepotong) roti di mulutnya. Kemudian, seekor Rubah datang ke sana. Katanya pada Gagak, "wahai gagak! nyanyikan sebuah lagu. lagumu sangat merdu". begitu burung gagak yang bodoh mulai bernyanyi, roti itu jatuh dari mulutnya. Rubah yang pandai mengambil roti dan berlari dari sana. Gagak dibiarkan kecewa.

Bakasya śŗgālasya ca mitratā asti, ekadā śŗgālaḥ bakaṁ bhojanārthaṁ svagŗham āhvayati, sthālikāyāṁ pāyasaṁ pariveṣayati, bakasya cañcuḥ dīrghā asti, sthālikāyāṁ pariveṣitaṁ pāyasaṁ bakaḥ khādituṁ na śaknoti, śŗgālaḥ tasya upahāsaṁ karoti, punaḥ kadācit bakaḥ śŗgālaṁ bhojanārthaṁ svagŗham āhvayati, tadā saḥ galantikāyāṁ pāyasaṁ pariveṣayati, galantikāyāṁ pariveṣitaṁ pāyasaṁ śŗgālaḥ na śaknoti, bakaḥ tasya upahāsaṁ karoti, śŗgālaḥ avagacchati, “mama pūrvakŗtasya etat phalam” iti, saḥ mitrasya kṣamāṁ prārthayate tayoḥ maitrī dŗḍhā bhavati.

Terjemahan:

Rubah dan Bangau adalah teman. Suatu hari, Rubah mengundang Bangau ke rumahnya untuk makan. rubah menyajikan hidangan di atas piring. Paruh bangau itu panjang, dia tidak bisa makan hidangan yang disajikan di atas piring. Rubah mengolok-oloknya. Suatu hari, Bangau mengundang Rubah ke rumahnya untuk makan. Kemudian dia melayani dan menyajikan hidangan pada tempat yang cocok bagi berleher sempit. Rubah tidak bisa memakan hidangan yang disajikan itu. Bangau mengolok-oloknya. Rubah mengerti, "itu adalah hasil dari perbuatan masa laluku". Dia meminta maaf kepada temannya. Persahabatan mereka menjadi kuat.

Ekasmin vane kaścana vŗkṣaḥ āsīt, tasmin ekaḥ nīḍaḥ āsīt, tatra kaścana caṭakaḥ patnyā saha avasat, kadācit atīva vŗṣṭiḥ āsīt, tadā kaścana vānaraḥ tatra āgacchat, tasya śarīraṁ vŗṣṭyā klinam āsīt, ātmānaṁ rakṣituṁ saḥ vānaraḥ vŗkṣasya upari āgacchat, tadā caṭaka taṁ vānaraṁ dŗṣṭvā apŗcchat “kim bhoḥ! bhavataḥ hastapādasahitaṁ suḍŗḍhaṁ śarīram asti, tathāpi ekaṁ gŗhaṁ nirmātuṁ na śaknoti kim?” tat śrutvā kupitaḥ vānaraḥ avadat, “re adhame! mama viṣaye bhavatyāḥ kā cintā?” parantu caṭakā punaḥ tathaiva upadeśam akorat, ante antyantaṁ kupitaḥ vānaraḥ caṭakāyāḥ nīḍaṁ nāśitavān.

Terjemahan:

Suatu hari di sebuah hutan, ada pohon. ada sarang di atas pohon. di sana, seekor burung tinggal bersama istrinya. Suatu hari, hujan deras. Seekor monyet datang ke sana. tubuhnya basah karena hujan. untuk melindungi dirinya sendiri, monyet itu datang ke puncak pohon. Kemudian burung itu, ketika melihat monyet itu berkata, "hei! kamu memiliki tubuh yang sehat dengan tangan dan kaki, mengapa kamu tidak bisa membangun rumah?" Mendengar ini, si monyet yang marah berkata, "Dasar bodoh! kenapa kamu mengkhawatirkan keadaanku?" tetapi burung itu terus memberi saran yang sama kepada monyet. Pada akhirnya, monyet yang sangat marah menghancurkan sarang burung itu.

Selain dapat diberikan cerita-cerita yang bersifat dongeng, dapat juga diberikan ceritacerita yang bersifat sejarah, seperti salah satunya dengan salah satunya seperti cerita yang berkaitan dengan sejarah pura Besakih sebagai berikut:

Bhāratavarse ekaḥ Prasiddhaḥ Mahārṣiḥ āsīt tasya nāma Markaṇḍeya-mahārṣiḥ. Tasya samīpe bṛhatāśramaḥ āsīt. Agre tam āśramam tasya vamśajāḥ cālitavantaḥ. Sanātanadharma-prasaranārtham ete Markaṇḍeya-vamśajāḥ sarvatra lokeṣu aṭanam kurvanti sma. Ekadā teṣām niścitam āsīt yat Sanātanadharma-prasaranārtham Bālīdvīpam iti viśesasthānam gamiṣyanti iti. Prāyaḥ aṣṭasahasra śiṣyāḥ Bhāratavarsāt naukābhiḥ prasthānam kṛtavantah. Kalinggabālīyātrā iti teṣam prakalpaḥ āsīt. Kālaḥ gataḥ te sarve Nusantara-deśam prāptavantantaḥ. Kincit kālaḥ te sarve Javadvīpe sthitvā tataḥ Bālīdvīpam pratiyāgatavantah. Tasmin samaye Bālīdvīpe mahat aranyam eva āsīt. Tatra bahavaḥ kruramṛgāḥ āsan api ca tatra vanavāsinaḥ āsan. Tatra gatvā te sarve vāsārtham aranyasya chedanam arambham kṛtavantah. Kintu kaṣṭa-prakrteḥ karanena bahavaḥ śisyāh mṛtāḥ abhavan. Tām sthitim dṛṣṭvā ekaḥ jyeṣṭah pramukhaḥ punaḥ Javadvīpam gatavān. Javadvīpam āgatyā Paśupati-ṛṣinā Saha militvā tasya viṣayasya carcām krtavān. Paśupati-rṣeḥ nirdisāt Markaṇḍeya-gotraḥ Semeru-parvate dhyānam krtavān. Dhyāna-samaye kaścana śabdaḥ āgatah, “Bhoh yadi Bālīdvīpam uṣitum icchati tarhi tatra ekadasarudrayāgaḥ karanīyaḥ” iti. Tam śabdam anusṛtyā saḥ Markandeyagotraḥ punaḥ catuśata-śiṣyaiḥ saha Bālīdvīpam āgatavān. Bālīdvīpam āgatyā Tohlangkir-parvatasya adhaḥ tatra te ekadaśarudra-yāgam krtavantah. Tasmāt eva Bālīdvīpe vāsārtham kartum śaktavantah api Sanātanadharma-samsthāpanasya ārambhaḥ abhavat. Yāgasya sthanāya “Vasukiḥ” iti nāma dattam. Adya Besakih Mandiram iti janāḥ sṛṇuvanti, iti itihasena uktam. Dhanyavādah. 

Terjemahan:

Di Negeri Bhāratam ada seorang Mahārṣi yang terkenal. Dia bernama Mahārṣi Markandeya. Dia punya āśrama besar. Selanjutnya āśrama itu dijalankan oleh muridmuridnya. Untuk menyebarkan Sanātanadharma ini keturunan Markandeya kemana-mana berkeliling dunia. Suatu saat mereka sepakat utuk pergi menyebarkan sanātana dharma kepulau Bali inilah tempat yang spesial. Kira-kira 8000 murid-muridnya dari negri Bharata berangkat dengan perahu. Perjalanan mereka dikenal dengan nama Kalingga bālīyātrā. Waktu berlalu mereka sampai di Negeri Nusantara. Beberapa waktu tinggal di Pulau Jawa kemudian langsung pergi ke Pulau Bali. Waktu itu di Bali yang ada hanya hutan lebat. Di sana banyak binatang buas dan orang-orang pedalaman. Setibanya di sana, mereka mulai merabas hutan untuk mendirikan pemukiman. Tetapi karena kesulitan dan banyak para murid-murid tersebut mati. Melihat keadaan itu ketua pimpinan dari keturunan Markandeya kembali berangkat ke Pulau Jawa. Sampai di Pulau Jawa bertemu dengan Mahārṣi Pasupati membicarakan persoalan itu. Dari petunjuk Mahārṣi Pasupati keturunan Mahārṣi Markandeya ini bertapa di Gunung Semeru. Saat bermeditasi datanglah suara bahwa kalau ingin tinggal di Bali maka harus melakukan yajna ekadasarudra. Mengikuti suara tersebut dia keturunan Markandeya pergi dengan 400 murid-murid datang ke Pulau Bali. Setibanya mereka di bawah Gunung Agung, mereka melaksanakan yajna ekadasarudra. Karena itulah bisa untuk tinggal di Pulau Bali juga peletakan sanatanadharmah telah dimulai. Tempat yajnya itu dinamai Vasuki yang sekarang dikenal sebagai Pura Besakih. Demikian yang dikatakan sejarah. 

Metode pembelajaran bahasa Sanskerta sangat menentukan keberhasilan dari pembelajaran, sehingga metode pembelajaran perlu untuk disesuaikan dengan karakter dari habit umat Hindu, selain menggunakan metode bercerita. Dengan menggunakan metode bercerita menggunakan bahasa Sanskerta, maka secara tidak langsung para peserta didik akan mendengarkan secara langsung dan mencermati kosakata yang terdapat pada cerita tersebut, selain itu terdapat nilai-nilai pendidikan yang terdapat pada cerita tersebut. Metode yang lainnya juga dapat digunakan sebagai bentuk adaptif terhadap pembelajaran. Dengan demikian, pemahaman umat Hindu tentang bahasa Sanskerta akan menjadi lebih baik, serta pemahaman umat Hindu tentang ajaran-ajaran agama yang termuat dalam susastra suci dapat berkembang dengan baik.

IV. KESIMPULAN

Memahami ajaran Veda dengan memahami bahasa Sanskerta di dalamnya, secara tidak langsung kita sudah melaksanakan salah satu bagian dari Nawa Wida Bhakti yaitu Vedanam yang artinya persembahan yang kita lakukan dengan membaca pustaka-pustaka suci Veda. Metode pembelajaran bahasa Sanskerta yang perlu dikembangkan pada perguruan-perguruan tinggi, maupun instansi-instansi yang di dalamnya terdapat muatan pembelajaran bahasa Sanskerta sangat penting untuk menerapkan pembelajaran yang menyenangkan, hal tersebut karena persepsi umat Hindu tentang bahasa Sanskerta masih sangat dangkal, bahasa Sanskerta dikatakan sebagai bahasa yang mati, atau bahasa yang sulit dipelajari, bahkan bahasa yang tidak lagi digunakan dalam percakapan sehari-hari, sehingga metode belajar bahasa Sanskerta sangat penting diadaptif dengan karakter serta kebutuhan dari pembelajaran.



Studi Bahasa Sanskerta Sebagai Metode Belajar Agama Hindu
Oleh: Gede Agus Siswadi
Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Related Posts

0 Response to "Studi Bahasa Sanskerta Sebagai Metode Belajar Agama Hindu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel