Mantra Abu dalam Teks Bhūwana Kosha

MUTIARAHINDU.COM -- “Mantra Abu” dalam Teks Bhūwana Kosha. Bab VII teks Bhūwana Kosha berjudul Bhasma Mantra. Bhasma diterjemahkan menjadi abu. Terjemahan singkat dari Bhasma Mantra adalah Mantra Abu. Penjelasan tentang Bhasma Mantra disampaikan oleh Bhatara kepada Bhatari. Narasi ini tampak sangat berbeda dengan bagian awal teks Bhūwana Kosha. Pada bagian awal, narasi berkutat pada dialog antara Bhatara dengan Sri Muni Bhargawa. Sri Muni Bhargawa ingin mengetahui perihal alam Nirbana atau Shunya. Jawaban atas pertanyaan itulah yang dinarasikan dalam Bhūwana Kosha. Menurut Bhūwana Kosha, alam yang demikian hanya akan ditemukan dengan sarana pikiran dan juga jñāna yang telah menang terhadap ikatan indria. Alam itu terletak pada tumpukan hati, di dahi dan di dalam kepala.

Narasi tentang Shunya tidak ditemukan secara eksplisit pada bagian Bhasma Mantra. Bhasma Mantra sendiri disebut sebagai sakala widhi sastra, yang berarti ajaran sakala tentang widhi. Bagian Bhasma Mantra adalah bagian kedua dari sakala widhi sastra tersebut. Bagian pertama disebut sebagai Jñāna Siddhānta. Setelah penjelasan tentang Bhasma Mantra, kemudian dilanjutkan dengan Jñāna Sangksepa yang disebut sebagai bagian ketiga [jñāna sangksepan nāma śāstram, tretiyaḥ patalaḥ]. Ketiganya seolah berdiri sendiri dalam teks Bhūwana Kosha. Kasus semacam ini bukanlah hal yang aneh dalam studi tekstual. Satu buah naskah, bisa berisi lebih dari satu judul teks. Perbedaannya dengan Bhūwana Kosha adalah seluruh bab yang ada di dalamnya berlanjut seperti aliran air. Mulai dari hulu sampai hilir, semuanya berhubungan meski pada beberapa bagian diarahkan ke parit-parit yang lain.



Bagian-bagian dalam Bhūwana Kosha, diberi penjelasan namanya pada tiap-tiap akhir Bab. Bab I adalah Bhūwana Sanidhya [iti bhūwana saniddhya nama śāstram, brāhmā rahasyam prӗtama patalaḥ], Bab II Brāhma Rahasya [iti brāhmā rahasya nāma śāstram dwityaḥ patalaḥ], Bab III Brāhma Rahasya [iti brāhmā rahasya nāma śāstram, tretiyaḥ patalaḥ], Bab IV Bhūwana Kosha [iti bhūwana kosha nāma śāstram, caturtthaḥ patalaḥ], Bab V Bhūwana Kosha [iti bhūwana kosha nāma śāstram, brahma rahasyam pañcamaḥ patalaḥ], Bab VI Jñāna Siddhānta [iti jñāna siddhānta śāstram pratamaḥ patalaḥ], Bab VII Bhasma Mantra [iti bhasma mantra sakala widhi śāstram, dwityaḥ patalaḥ], Bab VIII Jñāna Sangksepa [iti jñāna sangksepa nāma śāstram tretiyaḥ patalaḥ], Bab IX Bhūwana Kosha [iti bhūwana kosha nāma śāstram, nawamaḥ patalaḥ], Bab X Siddhānta Śāstra [iti śiddhānta śāstram, jñāna rahasyam daśamaḥ patalaḥ], dan Bab XI Bhūwana Kosha [iti bhūwana koshan nāma, parama rahasya, jñāna śiddhānta śāstram, śiwopadeśa samaptam].

Tulisan ini hanya membicarakan Bab VII Bhasma Mantra [iti bhasma mantra sakala widhi śāstram, dwityaḥ patalaḥ]. Bab sebelum dan sesudahnya, hanya akan disinggung seperlunya untuk menjelaskan beberapa terminologi yang belum jelas pada Bab VII. Beberapa hal yang memang belum dirinci dalam keseluruhan teks, dicarikan pembanding pada sumber-sumber sastra lainnya yang sejaman. Tujuannya adalah untuk memetakan dan menemukan segala kemungkinan tentang penjelasan Bhasma Mantra, dan hubungannya dengan praktik ritual serta kependetaan. 

II. Metode

Adapun metode yang digunakan dalam penulisan artikel jurnal ini yakni dengan menggunakan metode tinjauan dari beberapa sumber atau yang disebut dengan metode kepustakaan. Metode kepustakaan merupakan suatu metode yang digunakan dengan cara membaca untuk mendapatkan pengetahuan dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas dalam artikel jurnal ini. 

III. Pembahasan

1. Naskah dan Teks

Penelusuran teks Bhūwana Kosha sebagaimana diarahkan dalam studi filologi dan kodikologi tidak dilakukan dalam tulisan ini. Tentu saja Bhūwana Kosha bukanlah codec uniqus. Sebab ada beberapa naskah yang memuat teks Bhūwana Kosha.

Sumber teks Bhūwana Kosha yang digunakan dalam tulisan ini adalah hasil alih aksara dan alih bahasa yang dilakukan oleh Tim Peneliti yang diketuai oleh Drs. I Gusti Ngurah Rai Mirsha bersama anggotanya: Drs. I Gde Sura, Ida Bagus Maka, Drs. I Wayan Djapa, Drs. I Nyoman Sujana, dan Ida Bagus Sunu. Hasil alih aksara dan bahasa itu dibukukan pada tahun 1994 diterbitkan oleh Upada Sastra. Judul lengkap buku tersebut adalah “Buana Kosa Alih Aksara dan Alih Bahasa [Brahma Rahasyam]”.

Bhasma Mantra adalah bab VII dari XI bab yang terdapat di dalam Bhūwana Kosha. Bab VII ini terdiri dari 30 sloka. Berikut ini adalah isi ringkas bab VII Bhasma Mantra.

Bhatara menjelaskan tentang Sang Hyang Windhu kepada Bhatari. Sang Hyang Windhu memiliki tiga dewa yakni Brahma, Wisnu dan Ishwara [1]. Ketiga dewa itu, merepresentasikan tiga konsep pikiran, Brahma sebagai manah, Wisnu sebagai buddhi, dan Śiwa atau Ishwara sebagai ahangkara. Representasi pikiran tersebut adalah susunan untuk penciptaan [utpatti] [2].

Susunan lain dari tiga representasi pikiran tadi, memiliki fungsi berbeda. Susunannya adalah Shiwa sebagai buddhi, Brahma sebagai ahangkara, dan Wisnu sebagai manah. Susunan itu berfungsi sebagai pemelihara [sthiti] [3]. Sedangkan jika fungsinya adalah pelebur [pralina], susunannya adalah Wisnu sebagai ahangkara, Brahma adalah buddhi, dan Shiwa adalah manah. Demikianlah tiga formula yang dijarkan kepada Pandita [4].

Hakikat Sang Hyang Windhu sesungguhnya adalah peleburan aksara. Ada tiga aksara yang dilebur yakni A-kara, U-kara, dan Ma-kara. Susunan peleburannya yakni U-kara lebur pada Akara. A kara lebur dalam Ma-kara. Ma-kara lebur ke dalam Windhu. Itulah jalan peleburan yang tersusun dari tiga aksara yakni Ung-Ang-Mang [5].

Penjelasan dilanjutkan tentang Sang Hyang Ongkara. Sang Hyang Ongkara memiliki pasangan yakni Ukara. Ongkara adalah purusa, sedangkan Ukara adalah Pradhana. Jika Rudra adalah Ongkara, maka Uma adalah U-kara. Jika Brahma adalah Ongkara, maka Swaha adalah Ukara. Ongkara dan Ukara adalah pasangan [dampati] yang harus diketahui oleh sang Pandita [6].

Jika ingin mengetahui hakikat Ongkara yang tertinggi, maka diajarkan untuk melakukan Kara Sodhana beserta mantranya. Setelah itu lakukan Bhasma Musti dan Siwakarana. Itulah tiga hal yang musti dilakukan [7]. Bhasma Musti terbuat dari Brahma Mantra yang diibaratkan sebagai kayu bakar. Apinya adalah Ongkara yang membakar kayu itu. Uma adalah nyala api, sedangkan Rudra adalah asapnya [8].

Bagi para Pandita yang mengetahui cara membuat Bhasma, maka ia akan memuja Sang Hyang Agni [Api] dengan Brahma Mantra sebagai bija pujaannya. Ongkara dan Swaha itulah api yang dipuja oleh Pandita. Abu dari sisa-sisa pembakaran itulah yang digunakan [bhasmakna] oleh Pandita [9]. Ongkara juga disebut sebagai Bhasma [abu], Wisnu adalah airnya, Brahma adalah apinya. Itulah yang lenyap tanpa sisa [10]. 

Brahma, Wisnu dan Siwa juga berstana di tangan. Ketiganya memiliki tempatnya masingmasing. Brahma letaknya di Karatala, Wisnu ada di Purwa, sedangkan Siwa ada di Purwangguli. Demikianlah, seorang Pandita harus mengetahui hakikat Bhasma dan juga tempat-tempatnya [11].

Seorang Sadhaka juga harus mengetahui Siwa Bhasma. Di Karatala adalah wedi, angguli adalah samit, Tulis Karatala adalah Padma Mandalanya [12]. Shiwa Bhasma berstana di lima penjuru mata angin, mantranya adalah Sa [timur], Ba [selatan], Ta [barat], A [utara] dan I [tengah] [13]. Ada juga yang disebut enam tubuh Siwa, letaknya ada di Murddhi. Disanalah para dewata penjaga penjuru mata angin distanakan oleh para Sadhaka [14]. Ishwara di timur, Brahma di selatan, Mahadewa di barat, dan Wisnu di utara. Itulah penjaga penjuru mata angin, dan demikian pula cara Sadhaka menggunakan Bhasma [15]. Bhasma itu digunakan setiap hari di tengkuk, dahi, leher, kedua bahu, hati, kedua susu, rahang, pusar, punggung, kedua kaki [16].

Karena terus menerus menggunakan Bhasma, maka sang Sadhaka disebut berbadan Shuddha. Bahkan jika ada yang memiliki yoni binatang, rumput, pohon, semuanya akan dibersihkan oleh Bhasma itu. Apalagi dewa, detia, danawa, manusia, juga semua burung terbebas olehnya [17-18]. Itulah keutamaan Sang Hyang Shiwa Bhasma, oleh sebab itu patut diperhatikan oleh beliau yang disebut Yogiswara [19]. Bagi Yogi yang selalu membadankan Shiwa Bhasma, maka ia menyatu dengan Shiwa. Seperti menyatunya petir dengan laut [20].

Apakah sebabnya demikian? Karena Ongkara adalah Purusha, dan Swaha adalah Prakrӗti. Jika Wisnu menjadi Ongkara, maka Sri adalah Swaha [21]. Brahma menjadi Ongkara, Sawitri adalah Swaha. Itulah sebabnya Shiwa Bhasma sangat utama [22]. Lalu ada lagi penjelasan kenapa Shiwa Bhasma sangat utama. Karena Tri Samaya berada di dalam Bhasma itu. Ialah Wisnu yang berwujud Sa-kara, Shiwa berwujud Ma-kara dan Brahma adalah Ba-kara [23].

Ba-kara tugasnya menciptakan dunia. Ma-kara melebur. Sa-kara menjaga. Ketiganya meski berbeda sesungguhnya satu [24]. Brahma mencipta, Wisnu menjaga, Rudra melebur. Ketiganya adalah sahabat dunia [25]. Ketiganya adalah penyebab dunia. Kekal dan tidak kekal [nityānitya], tetap tidak tetap [lana tan lana], lahir hidup mati, itulah sebabnya jika ada orang yang memahami ini, ia disebut Sang Tattwawit. Sang Tattwawit tidak lagi tertarik pada dunia. Brahma-Wisnu-Rudra memiliki tugasnya masing-masing [26--27].

Maka yang disebut mantra, sesungguhnya adalah Bhatara. Juga yang disebut Mantra Wasat itu berada di atas [28]. Jelasnya, menjelma menjadi manusia bersihkanlah dengan Bhasma. Demikian juga jika ditinggalkan oleh jiwa. Sebab tubuh pasti akan lenyap. Jadi pahami dan lakukanlah Shiwa Bhasma itu, agar selalu disucikan [29]. Semua orang yang membiasakan Shiwa Bhasma dengan tepat, saat kematiannya akan menyatu di alam Shiwa [30].

2. Sang Hyang Windhu

Penjelasan pertama dalam Bhasma Mantra adalah tentang Sang Hyang Windhu. Sang Hyang Windhu merepresentasikan tiga dewa, yakni Brahma, Wisnu dan Ishwara. Ketiga dewa ini juga merepresentasikan ahangkara, buddhi dan manah. Berbagai macam susunan dari ketiganya memiliki fungsi yang berbeda. Fungi itu terdiri dari penciptaan [utpatti], pemeliharaan [sthiti], dan peleburan [pralina]. Untuk jelasnya, susunannya adalah sebagai berikut.


Trilogi manah-buddhi-ahangkara jika diterjemahkan, berarti pikiran. Ketiga pikiran itu memiliki penjelasannya masing-masing. Kata manah berarti ‘pikiran’ dalam kapasitasnya sebagai raja sepuluh indria [rajendriya], yaitu lima indriya persepsi dan lima indriya pelaksana [Palguna, 1999: 98]. Ahangkara berarti konsep kepribadian seseorang, diri yang egoistik (salah satu tingkat dalam evolusi prakṛti), egoisme, kebanggaan, congkak, sombong, mementingkan diri sendiri, kebanggaan, dalam arti yang lebih baik ialah kepercayaan kepada diri sendiri, yakin, berani [Zoetmulder dan Robson, 1997: 15]. Buddhi adalah pikiran sebagai intelek. Jika manah-ahangkara-buddhi telah menyatu, itulah yang desebut dengan citta [Palguna, 1999: 98]. Wṛhaspati-Tattwa [16] menyebut sebagai berikut.

Ikang citta hetu nikang ātmān pamukti swarga, citta hetu ning ātmā tibeng naraka,
citta hetu nimmitanya n pangdadi tiryak, citta hetunya n pangjanma mānuṣa, citta
hetunya n pamanggihakĕn kamokṣan mwang kalĕpasan, nimittanya nihan (Devi, 1957: 41).

[Citta menyebabkan atman mencapai surga, citta sebabnya atma jatuh ke neraka, citta sebabnya atma pula menjadi tiryak, citta sebabnya lahir menjadi manusia, citta sebabnya mencapai moksa dan kalĕpasan, itulah keadaannya].

Citta-lah yang menjadi sebab [sangkan] sebagaimana dijelaskan oleh Wṛhaspati-Tattwa di atas. Hal ini senada dengan yang dikatakan dalam Bhūwana Kosha. Bahwa susunan trilogi pembentuk citta [manah-buddhi-ahangkara] adalah yang menyebabkan penciptaan, pemeliharaan dan peleburan. Pada saat ketiganya melebur, maka ketiganya disebut sebagai Sang Hyang Windhu. Dengan kata lain, yang disebut dengan Sang Hyang Windhu adalah citta.

3. Dampati: Ongkara dan Ukara

Dampati berarti pasangan. Ongkara memiliki pasangan menurut Bhūwana Kosha. Pasangan dari Ongkara adalah Ukara. Bhūwana Kosha menyebutkan sebagai berikut.

ongkāram rudram ityuktam, umāswāhā tathewa ca, uswāhā brāhmā ongkāram, swāhā
patni japedwuhdhaḥ. nihan tattwa sang hyang ongkāra, yan sang hyang rudra sira
ongkāra, sang hyang ukāra sira umā, yan sang hyang brāhmā sira ongkāra, sang hyang
ukāra sira swāhā, ya dampati, nga, kawruhana sang pandhita [VII.6]

[Inilah hakikat ke-Itu-an Sang Hyang Ongkāra, jika Sang Hyang Rudra adalah Ongkāra,
Sang Hyang Ukāra adalah Umā, jika Sang Hyang Brāhmā adalah Ongkāra, Sang Hyang
Ukāra adalah Swāhā, itulah pasangan namanya, pahamilah oleh Pandhita].

Pasangan dari Rudra adalah Uma. Pasangan dari Brahma [Uswaha] adalah Swaha. Pasangan dari Ongkara adalah Ukara. Dalam hal ini aksara memiliki pasangannya sendiri. Berdasarkan jejak tekstual dalam Bhuwana Kosha, aksara Ukara mewakili konsepsi Wisnu sebagai salah satu di antara tiga dewa utama. Lebih jelasnya ialah: Ukara sebagai representasi Wisnu [air], Akara adalah Brahma [Api], dan Ma-kara adalah Ishwara [Udara]. Ketiganya menurut teks Bhuwana Kosha dapat melebur. Susunan peleburannya dimulai dari Akara lebur ke Ukara. Ukara lebur ke Ma-kara. Maksudnya, api mati dalam air. Air lenyap dalam udara. Udara hilang menuju Citta [Windhu].

Pada tataran konseptual dampati, Ukara bukan merepresentasikan Wisnu. Tetapi sebagai representasi dari Prakreti [Pradhana]. Sedangkan Ongkara merepresentasikan Purusha. Hal inilah yang harus dipahami oleh Pandhita. Untuk memahami hakikat dari Ongkara, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Syarat itu ialah Kara Sodhana beserta mantranya, melakukan Bhasma Musti dan Siwa Karana. Bhuwana Kosha tidak menjelaskan tiga syarat tersebut secara terperinci. Tampaknya keterangan yang diberikan oleh C. Hooykaas dalam Sūrya Sewana [2002] dapat dijadikan petunjuk, tentang praktik Kara Sodhana, Bhasma Musti dan Siwa Karana ini. 

Hooykaas [2002: 44] menyebut Kara Sodhana adalah praktik penyucian kedua tangan dengan menggunakan bunga3. Kedua tangan ini disucikan dengan mantra-mantra. Pertama, yang disucikan adalah jari-jari tangan kanan, dilanjutkan dengan tangan kiri. Penyucian jarijari tangan itu dirunut dari ibu jari sampai dengan kelingking. Tiap-tiap penyucian jari, memiliki mantra khusus yang berbeda antara satu dengan yang lain.

Tahapan kedua adalah Bhasma Musti. Musti berarti sikap tangan [Zoetmulder dan Robson, 1997: 683]. Bhasma Musti berarti sikap tangan abu. Wujud sikap tangan ini belum dapat dijelaskan dalam tulisan ini karena sumber yang sangat kurang memadai. Tetapi suatu petunjuk yang bisa digunakan dalam menelusuri sikap tangan ini adalah kaitannya dengan prosesi Dagdhi Karana [wawancara 8 Juli 2019, I Gede Wiratmaja Karang].

Secara teknis untuk melakukan dagdhī karaṇa, terlebih dahulu dilakukan dengan cara menghidupkan api dalam kuṇḍa rahasia. Menghidupkan api itu dengan jalan melakukan mudra vṛṣada, yakni dua ibu jari mengarah ke bawah setinggi pusar. Pada saat itu disertakan dengan mengucapkan mantra Oṃ Aṃ, lalu hembuskan angin dari kedua lubang hidung. Dengan mengucapkan mantra Oṃ Aḥ bayangkan api itu semakin berkobar. Kemudian bakar segala bentuk kekotoran dengan mengucapkan mantra:

śarīrang kuṇḍam ity uktaṃ, try-antaḥ-karanaṃ indhanam;
sapta-oṃ-kāra mayo bahnir, bhojananta udindhitaḥ

[Badan ini adalah tungku api, bahan bakarnya adalah ketiga bagian tubuh dalam diri, api berisi sapta omkara yang telah terbakar dalam pembakaran [Hooykaas, 2002: 93; band. Soebadio, 1985: 142; Agastia, 2013: 9]. 

Mantra tersebut adalah mantra atma kunda, sloka 2 [dua] yang digunakan Pendeta sebagai siwi karana. Siwi karaṇa adalah proses pensucian badan untuk dapat menyemayamkan Ishwara. Siwi karana dilakukan dengan berbagai tahapan sebelum sampai pada tahapan dagdhi karana. Tahapan tersebut diawali dengan ngili atma [Pudja, 2007:124-128].

Persiapan ketiga dalam mengetahui hakikat Ongkara menurut Bhuwana Kosha adalah Siwa Karana. Kata Siwa Karana familiar dalam pelafalan masyarakat Bali pada umumnya, terutama untuk menyebutkan perlengkapan yang digunakan oleh Pendeta dalam melakukan pemujaan. Kata tersebut berarti benda, dan bukan praktik dalam memahami Ongkara. Maka dari itu, tampaknya yang dimaksudkan sebagai Siwa Karana adalah Siwi Karana sebagaimana dijelaskan di atas. Keterangan yang diberikan oleh Puja perihal Siwi Karana ini adalah sebagai berikut:

Siwi Karana adalah proses pensucian badan untuk dapat menyemayamkan Ishwara. Proses Siwi pada hakekatnya telah dimulai dari proses ngili atma yang kemudian diikuti dengan proses dagdhi karana dan amṛti karana yang ditutup dengan ongkara sudhi, satu proses persiapan untuk melakukan Siwi Karana. Proses Ongkara Suddhi harus diikuti dengan Karasodhana Rahasya, yaitu pensucian tangan kedua yang bersifat bathiniah. Karasodhana pertama bersifat lahiriah [Puja, 2007:124].

Meski Karasodhana dibedakan menurut lahiriah dan batiniah, pada praktiknya dan mantra yang digunakan, keduanya sama. Tampaknya praktik-praktik pemujaan untuk memahami hakikat Ongkara sebagaimana dijelaskan di atas, dilakukan oleh Pandhita pada saat ritual harian, khususnya dalam pemujaan kepada Surya. Tujuan dilakukannya pemujaan itu, jelaslah sebagai peningkatan kesucian. Maka jelaslah keterangan yang diberikan di awal, bahwa praktik ini harus diketahui oleh Pandhita. Terutama hakikat Ongkara sebagai Purusha, dan juga Ukara sebagai Pradhana. 

Ongkara [Purusha] adalah api, sedangkan Ukara adalah nyala api [Pradhana]. Singkatnya, keduanya pasangan [dampati] ini adalah api. Keduanya dipuja oleh Pandhita di dalam api dengan sarana Brahma Mantra [BK. VII.8-9]. Brahma Mantra diibaratkan sebagai kayu bakar untuk memuja api itu. Sisa dari pembakaran itu menjadi abu, yang kemudian digunakan oleh Pandhita. Selanjutnya, abu hasil pembakaran itu juga disebut sebagai Ongkara [BK.VII.10]. Jadi penyatuan antara Ongkara dan Ukara adalah api, yang kemudian melahirkan Ongkara Abu [bhasma]. Bhasma inilah yang secara nyata dapat dilihat digunakan oleh Pandhita pada bagian-bagian tubuhnya.

4. Shiwa Bhasma

Ajaran tentang Shiwa Bhasma haruslah diketahui oleh Sang Pandhita [enak pwa wruḥ sang pandhita, ri tattwa sang hyang siwa bhasma] [BK.VII.11]. Pembentuknya ada tiga yakni telapak tangan, jari-jari, dan garis tangan. Ketiganya merepresentasikan Wedi 4 [telapak tangan], Samit 5 [jari-jari], dan Padma Mandala [garis tangan]. Jika ketiganya disatukan, didapatlah abu. Abu atau bhasma itulah yang disebut pula dengan Shiwa Bhasma.

Shiwa Bhasma berada di lima penjuru arah. Arah yang dihuni adalah arah utama [dik], diiringi oleh mantranya masing-masing. Kelima arah dan mantranya masing-masing ialah: Timur [Sa], Selatan [Ba], Barat [Ta], Utara [A], dan Tengah [I] [BK.VII.13]. Kelimanya juga disebut dengan aksara lima Brahma [Pañca Brahma]. Jika di dalam tubuh, bhasma itu digunakan oleh Pandhita di enam tempat yakni di punuk [tengkuk], rahi [dahi], gulu [leher], bahu kalih [kedua bahu], hati, susu kalih [kedua susu], whang [rahang], nabhi [pusar], walakang [punggung], dan suku kalih [kedua kaki] [BK.VII.16].

Para Pandhita, yang setiap hari memakai bhasma, akan menyatu dengan Shiwa [shiwa sayojya sira], seperti menyatunya kilat dengan lautan. Sebab di dalam abu itu, ada Tri Samaya. Tri Samaya adalah Brahma [Ba], Wisnu [Sa], dan Shiwa [Ma] [BK.VII.23]. Ketiganya disebut sebagai pelindung dunia [sarananing loka]. Jika itu dipahami dan dilaksanakan, maka akan terlepas dari papa [tan kataman papa]. Mantra itu, sesunguhnya adalah tubuh dari Shiwa. Dan di atasnya terdapat lagi mantra bernama Mantra Wasat6. Itu pula yang mesti dipahami.

Sampai pada tingkat itu, bhasma dapat diterjemahkan menjadi abu dan Ongkara. Penjelasan yang lebih eksplisit tentang bhasma terdapat dalam Bab VIII Jñāna Sangksepa. Bab tersebut menjelaskan perihal pengertian bhasma. Adapun kutipannya adalah sebagai berikut.

bhasma dehañca sakalam, jñāna dehati niskalam, jñāni newa nir akāram, jñāneka
twam pramucyate. nyang sakala bhasma, nga, ikang śarira ya sakala bhasma, ikang
jñāna ya niskala bhasma, nga, aparan ikang jñāna lwiḥ sangkeng jñāna muwaḥ, sang
wruḥ ring jñāna bhasma, sira ta lӗpas, maka nimittang jñāna wiśeṣa [BK.VIII.9]

[inilah Sakala Bhasma namanya, tubuh itulah Sakala Bhasma, jñāna adalah Niskala Bhasma namanya, apakah jñāna itu melebihi dari jñāna [yang lain] lagi, ia yang mengetahui jñāna bhasma, ia tidak terikat, disebabkan jñāna wiśeṣa]

Bhasma dalam pengertian ini dibagi menjadi dua, yakni Sakala Bhasma dan Niskala Bhasma. Sakala Bhasma adalah tubuh, sedangkan Niskala Bhasma adalah jñāna. Menurut ajarannya, jika ada orang yang memahami hal ini, ia akan terlepas dari segala macam ikatan. Ikatan yang dimaksud adalah ikatan indriya, yang dengan sendirinya juga ikatan karma. Lepasnya ikatan karma adalah nama lain dari moksa. Itulah tujuan dari ajaran agama.

IV. Kesimpulan

Bhasma Mantra adalah salah satu bagian dalam teks Bhūwana Kosha yang menerangkan perihal bhasma [abu]. Abu yang dimaksudkan adalah Ongkara sebagai hasil pembakaran Brahma mantra ke dalam Api Dampati. Api Dampati itu tersusun atas dua pasangan yakni Ongkara [Purusha] dan Ukara [Pradhana]. Bhasma Mantra sendiri adalah badan dari Shiwa. Ajaran ini disampaikan oleh Shiwa kepada Uma. Praktiknya dapat ditemukan dalam ritual pemujaan yang dilakukan oleh para Pandhita atau sadhaka. Pengertian bhasma tidak hanya berhenti pada abu. Bhasma tersebut pada tahap selanjutnya dibagi menjadi dua pengertian, yakni sakala bhasma dan niskala bhasma. Bhasma Sakala adalah tubuh, sedangkan bhasma niskala adalah jñāna.


Mantra Abu dalam Teks Bhūwana Kosha
Oleh: I Gde Agus Darma Putra
Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga Prov. Ba

Related Posts

0 Response to "Mantra Abu dalam Teks Bhūwana Kosha"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel