Pengertian Samskara dan Tujuannya dalam Ajaran Agama Hindu
Sunday, December 1, 2019
Add Comment
MUTIRAHINDU.COM -- Kata “Sanskǎra” berasal dari bahasa sanskerta yang memiliki banyak arti, diantaranya yang erat kaitannya dengan pelaksanaan yajña. Maka kata sanskǎra berarti membudayakan, membiasakan, menyucikan, menjadikan sempurna, dan dapat pula berarti upacara keagamaan (Titib, 2003: 45). Apabila dihubungkan dengan kenyataan yang membudaya dalam masyarakat Hindu dalam hubungannya dengan pengamalan ajaran agama, maka kita hampir selalu akan melihat adanya pelaksanaan beraneka ragam upacara. Upacara- upacara tersebut sesungguhnya merupakan korban suci yang bertujuan untuk membersihkan lahir batin dan memelihara hidup umat manusia secara rohaniah. Pemeliharaan hidup tersebut dimulai dari terbentuknya jasmani di dalam kandungan, sampai dengan berakhirnya kehidupan itu.
Dengan demikian, sanskǎra itu merupakan upacara keagamaan yang bertujuan untuk menyucikan badan dan menjadikannya sempurna, agar layak memuja Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam keadaan diri yang bersih atau suci itulah diharapkan Sang Hyang Widhi Wasa berkenan memberikan anugerah bahkan meragasukma pada diri manusia. Hal ini digambarkan dalam sebuah kitab Arjunawiwǎha Pupuh XI.1 yang berbunyi:
"Sasi wimbha haneng gatha mesi banyu, ndan asing suci nirmala mesi wulan, iwa mangkana rakwa kiteng kadadin, ring angmbeki yoga kiteng sakala".
Terjemahan :
"Bagaikan bayangan bulan pada tempayan yang berisi air, hanya pada air yang bersih dan tenang itulah bayangan bulan itu tampak. Demikianlah pula Dia akan menampakkan diri (meragasukma) pada orang yang berjiwa bersih dan suci", ( Warna, 1988: 27).
Tujuan pelaksanaan sanskǎra itu sangat mulia, yaitu mencapai tujuan hidup yang disebut Catur Purusa Artha yang terdiri atas Dharma, Artha, Kama, dan Moksa atau dengan istilah lain “moksartham jagadhita ya ca iti dharma,” yaitu tercapainya kesejahteraan hidup serta kebahagiaan yang hakiki dan sejati, (Suhardi dan Sudirga, 2015:80).
Pelaksanaan sanskǎra bukan merupakan kebiasaan yang melembaga dalam masyarakat, melainkan pelaksanaan sanskǎra itu adalah perintah agama yang dinyatakan di dalam Kitab Manawa Dharmasastra II.26 yang berbunyi:
"Waidikah karmabhih punyair, nisekadir durijanmanam, karyah fiarira samskarah, pawanah pretyaceha ca".
Terjemahan:
"Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka suci Weda, para dwijati hendaknya melaksanakan upacara-upacara suci pada saat terjadinya pembuahan dalam rahim ibu dan upacara-upacara kema- nusiaan lainnya, sehingga dapat menyucikan diri dari segala dosa dalam hidup ini maupun setelah meninggal". (Pudja dan Sudharta, 2002: 67)
Berdasarkan mantram Veda ini menunjukan bahwa seorang hendaknya melaksanakan penyucian dengan melakukan pembersihan pada saat lahir dan ketika memasuki gerbang kerohanian atau dwijati. Selain itu, penyucian juga bertujuan untuk menjadi pelayan dan pembelajaran tentang ilmu agama kepada umat sebagai bekal dalam menyiapkan tangga wanaprasta dan bhiksuka. Karena sesungguhnya tangga kehidupan ini yang dimulai dari Brahmacari sampai dengan sannyasin adalah periode yang harus dilaksanakan tahapan demi tahapan.
Di samping itu, keluarga juga merupakan lembaga pelaksanaan panca yajña. Pelaksanaan sanskǎra sebagai bagian dari manusa yajña, untuk itu pelaksanaannya yang ada di Indonesia mengikuti kebiasaan lokal dari masing- masing daerah. Untuk beberapa daerah di Indonesia, wujud upacara dari kelahiran sampai kematian juga beranekaragam. Misalnya, untuk daerah Jawa ketika umur bayi 7 bulan di dalam kandungan dikenal dengan upacara tingkeban dan upacara kematian, yaitu 3, 7, 42 sampai dengan 1000 hari (ngelepas). Kemudian setiap selesai memasak, seyogyanya dilakukan tarpana yajña atau yajña sesa yang biasa disebut “ngejot atau banten saiban”(Bali), setelah itu barulah boleh makan. Dasar pelaksanaan banten saiban adalah orang yang enaknya memasak untuk makanan dirinya sendiri saja sama dengan pencuri dan ia makan dosanya sendiri, (Suhardi dan Sudirga, 2015:81).
Selain itu, ada kewajiban juga untuk melakukan upacara penyucian diri lahir batin (sarira sanskǎra), karena menurut ajaran agama Hindu, manusia harus disucikan dengan sanskǎra. Penyucian ini terutama dilakukan ketika memulai kegiatan belajar, melakukan pernikahan, penyucian untuk didwijati sebagai persiapan untuk menjadi sulinggih. Tahapan ini sebagai bentuk ritual yang di dalamnya mengandung vibrasi kesucian untuk menyiapkan seseorang pada setiap tangga kehidupan atau catur asrama yang dilalui berjenjang (Adiputra, 2004: 121). Catur Asrama adalah empat jenjang kehidupan ma- nusia yang dipolakan untuk mencapai empat tujuan hidup manusia yang disebut Catur Purusa Artha. Masing-masing fase di dalam Catur Asrama mempunyai tujuan hidup yang berbeda-beda menurut Catur Purusa Artha. Pada masa brahmacari, seseorang harus mengutamakan dharma dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan, masa grihasta mengusahakan artha dan kama dengan berdasarkan atas dharma. Kemudian pada masa wanarastha dan sannyasin, seseorang harus berpegang pada dharma untuk mencapai pembebasan dari ikatan duniawi, (Suhardi dan Sudirga, 2015:82).
Pura Besaki |
Dengan demikian, sanskǎra itu merupakan upacara keagamaan yang bertujuan untuk menyucikan badan dan menjadikannya sempurna, agar layak memuja Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam keadaan diri yang bersih atau suci itulah diharapkan Sang Hyang Widhi Wasa berkenan memberikan anugerah bahkan meragasukma pada diri manusia. Hal ini digambarkan dalam sebuah kitab Arjunawiwǎha Pupuh XI.1 yang berbunyi:
"Sasi wimbha haneng gatha mesi banyu, ndan asing suci nirmala mesi wulan, iwa mangkana rakwa kiteng kadadin, ring angmbeki yoga kiteng sakala".
Terjemahan :
"Bagaikan bayangan bulan pada tempayan yang berisi air, hanya pada air yang bersih dan tenang itulah bayangan bulan itu tampak. Demikianlah pula Dia akan menampakkan diri (meragasukma) pada orang yang berjiwa bersih dan suci", ( Warna, 1988: 27).
Tujuan pelaksanaan sanskǎra itu sangat mulia, yaitu mencapai tujuan hidup yang disebut Catur Purusa Artha yang terdiri atas Dharma, Artha, Kama, dan Moksa atau dengan istilah lain “moksartham jagadhita ya ca iti dharma,” yaitu tercapainya kesejahteraan hidup serta kebahagiaan yang hakiki dan sejati, (Suhardi dan Sudirga, 2015:80).
Pelaksanaan sanskǎra bukan merupakan kebiasaan yang melembaga dalam masyarakat, melainkan pelaksanaan sanskǎra itu adalah perintah agama yang dinyatakan di dalam Kitab Manawa Dharmasastra II.26 yang berbunyi:
"Waidikah karmabhih punyair, nisekadir durijanmanam, karyah fiarira samskarah, pawanah pretyaceha ca".
Terjemahan:
"Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka suci Weda, para dwijati hendaknya melaksanakan upacara-upacara suci pada saat terjadinya pembuahan dalam rahim ibu dan upacara-upacara kema- nusiaan lainnya, sehingga dapat menyucikan diri dari segala dosa dalam hidup ini maupun setelah meninggal". (Pudja dan Sudharta, 2002: 67)
Berdasarkan mantram Veda ini menunjukan bahwa seorang hendaknya melaksanakan penyucian dengan melakukan pembersihan pada saat lahir dan ketika memasuki gerbang kerohanian atau dwijati. Selain itu, penyucian juga bertujuan untuk menjadi pelayan dan pembelajaran tentang ilmu agama kepada umat sebagai bekal dalam menyiapkan tangga wanaprasta dan bhiksuka. Karena sesungguhnya tangga kehidupan ini yang dimulai dari Brahmacari sampai dengan sannyasin adalah periode yang harus dilaksanakan tahapan demi tahapan.
Di samping itu, keluarga juga merupakan lembaga pelaksanaan panca yajña. Pelaksanaan sanskǎra sebagai bagian dari manusa yajña, untuk itu pelaksanaannya yang ada di Indonesia mengikuti kebiasaan lokal dari masing- masing daerah. Untuk beberapa daerah di Indonesia, wujud upacara dari kelahiran sampai kematian juga beranekaragam. Misalnya, untuk daerah Jawa ketika umur bayi 7 bulan di dalam kandungan dikenal dengan upacara tingkeban dan upacara kematian, yaitu 3, 7, 42 sampai dengan 1000 hari (ngelepas). Kemudian setiap selesai memasak, seyogyanya dilakukan tarpana yajña atau yajña sesa yang biasa disebut “ngejot atau banten saiban”(Bali), setelah itu barulah boleh makan. Dasar pelaksanaan banten saiban adalah orang yang enaknya memasak untuk makanan dirinya sendiri saja sama dengan pencuri dan ia makan dosanya sendiri, (Suhardi dan Sudirga, 2015:81).
Selain itu, ada kewajiban juga untuk melakukan upacara penyucian diri lahir batin (sarira sanskǎra), karena menurut ajaran agama Hindu, manusia harus disucikan dengan sanskǎra. Penyucian ini terutama dilakukan ketika memulai kegiatan belajar, melakukan pernikahan, penyucian untuk didwijati sebagai persiapan untuk menjadi sulinggih. Tahapan ini sebagai bentuk ritual yang di dalamnya mengandung vibrasi kesucian untuk menyiapkan seseorang pada setiap tangga kehidupan atau catur asrama yang dilalui berjenjang (Adiputra, 2004: 121). Catur Asrama adalah empat jenjang kehidupan ma- nusia yang dipolakan untuk mencapai empat tujuan hidup manusia yang disebut Catur Purusa Artha. Masing-masing fase di dalam Catur Asrama mempunyai tujuan hidup yang berbeda-beda menurut Catur Purusa Artha. Pada masa brahmacari, seseorang harus mengutamakan dharma dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan, masa grihasta mengusahakan artha dan kama dengan berdasarkan atas dharma. Kemudian pada masa wanarastha dan sannyasin, seseorang harus berpegang pada dharma untuk mencapai pembebasan dari ikatan duniawi, (Suhardi dan Sudirga, 2015:82).
Referensi:
Suhardi, Untung dan Sudirga, Ida Bagus. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas IX (Cetakan Ke-1, 2015). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
0 Response to "Pengertian Samskara dan Tujuannya dalam Ajaran Agama Hindu"
Post a Comment