Pengertian dan Bagian-bagian Dasa Mala
Wednesday, November 27, 2019
Add Comment
MUTIARAHINDU.COM -- Menurut ajaran Agama Hindu, tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan yang abadi. Kesejahteraan di dunia dapat dicapai dengan dharma, artha dan kama. Ketiganya ini (dharma, artha, kama) merupakan satu kesatuan, dalam artian manusia baru dapat merasakan bahagia bila artha terpenuhi dan rasa aman didapat (Ngurah, 2006: 69). Untuk mendapatkan rasa aman diperlukan adanya hubungan yang harmonis dengan yang lain. Oleh karena itu, dalam hidup bersama diperlukan tatanan hidup berupa peraturan-peraturan yang dapat memberikan kebahagiaan dalam hidup. Tatanan hidup dipergunakan untuk mencapai kebahagiaan secara jasmani dan rohani atau jagadhita dan moksa, (Suhardi dan Sudirga, 2015:31).
Foto Pura Aditya Jaya Rawamangun |
Dalam fakta kehidupan, di samping hal yang baik banyak juga hal-hal yang bertentangan dengan dharma. Dalam agama Hindu disebut dengan Dasa Mala. Dasa Mala merupakan salah satu bentuk dari asubha karma atau perbuatan yang tidak baik. Dasa Mala merupakan sumber dari kedursilaan, yaitu bentuk perbuatan yang bertentangan dengan susila, yang cenderung pada kejahatan. Penderitaan bersumber dari kebingungan yang membangkitkan sifat rajah dan tamas. Jadi, dasa mala adalah sepuluh perbuatan yang buruk yang harus dihindari (Sura, 2001).
Bagian-Bagian Dasa Mala
Dasa malam tergolong kedalam kelompok asubha karma, di samping ada tri mala, sad ripu, sad atatayi, dan sapta timira (Sura, 2001: 17). Dasa mala merupakan sumber dari kedursilaan, yaitu bentuk perbuatan yang bertentangan dengan susila, yang cenderung kepada kejahatan. Semua perbuatan yang bertentangan dengan susila hendaknya kita hindari dalam hidup ini agar terhindar dari penderitaan. Ada sepuluh macam sifat yang tidak baik atau kotor yang disebut dasa mala yang bersumber dari slokantara sloka 84 (Hiraghindawani, 2005) tentang perbuatan buruk yang tidak dilakukan.
Adapun pembagian dari dasa mala tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tandri
Tandri artinya orang yang malas, suka makan dan tidur saja, tidak tulus, hanya ingin melakukan ke- jahatan (Sura, 2001). Si- kap malas sebagai perbua- tan yang hendaknya harus dihindari. Sikap ini meru- pakan pintu penghalang untuk mencapai tujuan hi- dup. Tidak ada tujuan yang dapat dicapai dengan hanya berdiam diri. Sifat malas akan menjauhkan kita dari Atmǎ dengan Paramatma, (Suhardi dan Sudirga, 2015:32).
Oleh karena itu, hilangkanlah sifat malas itu. Lakukanlah tugas dan kewajiban sehingga kita bisa mencapai tujuan yang diinginkan yaitu sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat.
2. Kleda
Kleda artinya berputus asa, suka menunda dan tidak mau memahami maksud orang lain (Zoetmulder, 2004: 509). Sikap putus asa, suka menunda- nunda suatu pekerjaan adalah merupakan sikap yang didominasi oleh sifat- sifat tamas. Orang yang dalam hidupnya lebih banyak dikuasai oleh sifat- sifat tamas akan menyebabkan Ǎtma jatuh ke alam neraka. Oleh karena itu, kleda merupakan penghalang untuk maju dan mencapai kesempurnaan hidup, sehingga kita harus mengendalikannya. Jangan cepat berputus asa dalam melakukan pekerjaan, jangan suka menunda-nunda waktu untuk melakukan tugas dan kewajiban, karena hidup kita hanya sebentar seperti disebutkan di dalam kitab Sarasamuccaya sloka 8 sebagai berikut:
"Mǎnucyam durlabham prǎpya vidyullasitacacalam, Bhavakcaye matih kǎryǎ bhavopakaracecu ca
Iking tang janma wwang, ksanikawabhǎwa ta ya, tan pahi lawan kedapning kilat, durlabha towi, matangnyan pongakna ya ri kagawayanning dharmasadhana, sakarananging manasanang sangsara, swargaphala kunang".
Terjemahan :
"Kelahiran menjadi orang (manusia) pendek dan cepat keadaannya itu tak ubahnya dengan gemerlapan kilat, dan amat sukar pula untuk diperoleh, oleh karenanya itu, gunakanlah sebaik-baiknya kesempatan menjadi manusia ini untuk melakukan penunaian dharma, yang menyebabkan musnanya proses lahir dan mati, sehingga berhasil mencapai sorga" (Kajeng, 2003: 12), (Suhardi dan Sudirga, 2015:33).
3. Leja
Leja artinya berpikiran gelap, bernafsu besar dan gembira melakukan ke- jahatan (Zoetmulder, 2004: 582). Pikiran adalah hal yang paling menentukan kualitas perilaku manusia dalam kehidupan di dunia ini. Pikiranlah yang mengatur gerak sepuluh indria sehingga disebut Raja Indria (rajendriya). Jika Raja Indria tidak baik, indria yang lain pun menjadi tidak baik pula. Dalam kitab Bhagavadgitǎ II.60 dinyatakan sebagai berikut:
"Yatato hy api kaunteya puruçasya vipascitah indriyǎci pramǎtini haranti prasabhan mana?"
Terjemahan:
"Meskipun seorang berjuang keras untuk mencapai kesempurnaan, O Putra dari Kunti (Arjuna) nafsunya yang bergelora akan dapat menyesatkan pikirannya dengan paksaan" (Pendit, 2002: 71).
Oleh karena itu, marilah jaga kesucian pikiran kita jangan sampai ternoda dan menjadi gelap. Pikiran gelap, pikiran yang dikuasai oleh gejolak hawa nafsu sangat merugikan diri kita maupun orang lain. Upayakan untuk men- jaga pikiran agar tidak gelap atau tidak dikuasai oleh hawa nafsu.
4. Kutila
Kutila, artinya menyakiti orang lain, pemabuk, tidak jujur dan penipu, menyakiti dan membunuh makh- luk lain, lebih-lebih manusia, merupakan perbuatan yang ber- tentangan dengan ajaran agama (Zoetmulder, 2004: 548). Kutila juga berarti pemabuk. Orang yang suka mabuk, maka pikirannya akan menjadi gelap. Pikiran yang gelap akan membuat orang ter- sebut melakukan hal-hal yang bersifat negatif, termasuk menya- kiti orang lain, menipu dan sebagainya. Di dalam pergaulan ia akan terlihat kasar dalam berkata ataupun bertindak, serta suka menyakiti orang lain, (Suhardi dan Sudirga, 2015:34).
5. Kuhaka
Kuhaka, artinya pemarah, suka mencari-cari kesalahan orang lain, penipu, berkata sembarangan, dan keras kepala (Zoetmulder, 2004: 528). Bila kita emosi atau marah, kita mengeluarkan cairan adrenalin dalam darah kita. Ini memiliki pengaruh penurunan kekebalan pada tubuh kita sehingga kita akan menjadi sakit. Sebaliknya bila kita dipenuhi dengan kasih sayang dan kedamaian dalam pikiran, maka kita akan mengeluarkan cairan endorfin yang dapat menambah sistem kekebalan tubuh sehingga dapat mencegah penyakit. Kemarahan sangat merugikan kehidupan kita, oleh karena itu kita harus mengatasi kemarahan dan kebencian yang ada dalam diri kita dengan mengendalikan emosi sehingga kedamaian hidup dapat tercapai. Orang yang dikuasai oleh sifat marah sering kali kehilangan akal sehatnya sehingga dapat melakukan perbuatan yang tidak terpuji, seperti dijelaskan di dalam kitab Sarasamuccaya, 105 berikut ini:
"Krudhah pǎpǎni kurute kruddho hanyǎd gurunapi, Kruddhah paruçayǎ vǎcǎ narah sǎdhunapi kcipet".
Terjemahan:
"Maka orang yang dikuasai oleh nafsu murkanya, tak dapat tidak niscaya ia melakukan perbuatan jahat, sampai akhirnya dapat membunuh guru, dan sanggup ia menuntut hati seorang yang saleh, yaitu menyerang akan dia dengan kata yang kasar" (Kajeng, 2003: 87).
6. Metraya
Metraya, artinya suka berkata menyakiti hati, sombong, iri hati dan suka menggoda istri orang lain (Gede Sura, 2001). Di dalam kitab Sarasamuccaya 120 dinyatakan sebagai berikut:
"Vǎksǎyakǎ vadanǎnniçpatani yairǎhatah çocati ratryahǎni, parasya vǎ marmesu te patanti tasmǎddhiro nǎ vasçjet pareçu. Ikang ujar ahala-tan pahi lawan hru, songkabnya sakatêmpuhan denya juga alara, rêsêp ri hati, tǎtan kêneng pangan turu ring rahina wêngi ikang wwang denya, matangnyat tan inujarakên ika de sang dhira puruça, sang ahning maneb manah nira", (Suhardi dan Sudirga, 2015:35).
Terjemahan:
"Perkataan yang mengandung maksud jahat tiada beda dengan anak panah, yang dilepas; setiap ditempuhnya merasa sakit; perkataan itu meresap ke dalam hati, sehingga menyebabkan tidak bisa makan dan tidur pada siang dan malam hari, oleh sebab itu tidak diucapkan perkataan itu oleh orang yang budiman dan wira-perkasa, pun oleh orang yang tetap suci hatinya" (Kajeng, 2003: 100).
Demikianlah perkataan yang diucapkan dengan maksud jahat akan dapat menyakiti hati orang lain, bahkan dapat menyebabkan kematian baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri (Wasita nimittanta pati kepangguh). Oleh sebab itu, perlu diperhatikan kata-kata kita agar terdengar manis dan menyejukkan, lemah-lembut, sopan, sehingga dapat menyenangkan orang lain dan diri sendiri (Wasita nimittanta manemu laksmi). Dengan berkata sopan tentunya orang lain yang mendengarnya akan menjadi senang dan simpati dengan kata-kata yang telah diucapkan.
7. Megata
Megata, artinya berbuat jahat, berkata manis tetapi pamrih (Zoetmulder, 2004: 663). Lain di mulut lain di hati, berkata manis karena ada udang di balik batu, adalah perbuatan yang sering dilakukan oleh orang yang terlalu pamrih. Perbuatan ini merupakan perbuatan licik yang tergolong asubha karma dan perbuatan ini akan merupakan penghalang untuk mencapai tujuan rohani. Di dalam Sarasamuccaya 76 disebutkan sebagai berikut:
"Prǎnǎtipǎtam tainyam ca paradǎrǎnathǎpi vǎ, trini pǎpani kayena sarvatah parivarjavet Nihan yang tan ulahakêna, sayamǎtimǎti mangahalahal, siparadǎra, nahan tang têlu tan ulahakêna ring asing ring parihǎsa, ring ǎpatkǎla, ri pangipyan tuwi singgahana jugeka".
Terjemahan:
"Inilah yang tidak patut dilakukan, membunuh, mencuri, berbuat zina; ketiganya itu janganlah hendaknya dilakukan terhadap siapa pun, baik secara berolok-olok, baik dalam keadaan dirundung malang, dalam khayalan sekalipun, hendaknya dihindari semuanya itu", (Nyoman Kajeng, 2003: 63), (Suhardi dan Sudirga, 2015:36).
8. Ragastri
Ragastri, artinya bernafsu dan suka memperkosa (Zoetmulder, 2004: 900). Ragastri merupakan sifat-sifat yang bertentangan dengan ajaran agama. Sifat-sifat seperti itu disebut dengan sifat-sifat asuri sampat atau sifat-sifat keraksasaan. Memperkosa kehormatan orang lain adalah perbuatan terkutuk dan hina. Sifat-sifat suka memperkosa harus dihindari untuk menjaga agar tidak terjadi kemerosotan moral. Jika ragastri dibiarkan, akan menambah banyak terjadi perbuatan tuna susila. Untuk melenyapkan sifat-sifat itu, kita hendaknya berusaha untuk mengendalikan dan menghindarinya. Selain itu, kita hendaknya mengisi diri dengan kegiatan-kegiatan yang positif sehingga dapat menuntun jiwa kita bersatu dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
9. Bhaksa Bhuana
Bhaksa Bhuana, artinya suka menyakiti orang lain, penipu, dan hidup berfoya-foya (Zoetmulder, 2004: 135). Berfoya-foya berarti memper- gunakan arta melebihi batas normal. Hal ini tidak baik dan melanggar dharma, yang dapat ber- akibat tidak baik pula. Kita sering melihat di ma- syarakat, bahwa kekayaan yang berlimpah jika peng- gunaannya tidak didasari oleh dharma, pada akhir- nya justru menyebabkan orang akan masuk neraka, seperti mabuk, berfoya- foya dan sebagainya. Oleh karena itu, marilah pergunakan arta anugerah Ida Sang Hyang Widhi dengan sebaik-baiknya sesuai kebutuhan yang dilandasi dengan dharma. Mem- pergunakan arta dengan sebaik-baiknya, selain menuntun budi pekerti kita berpola hidup sederhana, juga dapat meningkatkan kesucian diri, (Suhardi dan Sudirga, 2015:37).
10. Kimburu
Kimburu, artinya penipu dan pencuri terhadap siapa saja tidak pandang bulu, pendengki dan iri hati. Sifat dengki dan iri hati merupakan salah satu sifat yang kurang baik (asubha karma) yang patut dihilangkan. Semakin besar sifat dengki dan iri hati berada pada diri seseorang, diperlukan upaya yang kuat pula untuk mengalahkannya. Kimburu merupakan salah satu musuh dalam diri manusia. Ada enam musuh (Sad ripu) dalam diri manusia yang patut dikalahkan yaitu, kǎma, loba, krodha, mada, moha, dan mǎtsarya). Mǎtsarya adalah sifat dengki dan iri hati.
Ciri-ciri sifat dengki dan iri hati adalah tidak se- nang melihat atau men- dengar seseorang meng- alami kesukaan atau kebahagiaan. Namun se- baliknya, orang itu se- nang kalau mendengar tetangga/orang lain men- dapat kesedihan, musibah, dan sebagainya. Sifat dengki dan iri hati bukan saja kurang simpatik tetapi tidak baik. Oleh karena itu, hilangkanlah sifat dengki dan iri hati supaya secara berangsur kita mendapatkan kesucian diri dalam mencapai kehidupan yang lebih bahagia.
Demikianlah sepuluh hal yang menyebabkan manusia tersesat dan jatuh ke neraka. Sadarilah hal tersebut dan hindari dasa mala itu sehingga tujuan kita untuk mewujudkan moksartham jagadhita ya ca iti dharma dapat terwujud. Adapun caranya sangat sederhana, yaitu dengan berbuat baik, kurangi ke- terikatan terhadap benda-benda duniawi, tumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama, serta tidak mementingkan diri sendiri. Usahakanlah membuat orang lain bahagia, seperti tersurat dalam kitab Nitisastra 1.4 sebagai berikut:
"Orang terkemuka harus bisa mengambil hati dan menyenangkan hati orang lain, jika berkumpul dengan wanita harus dapat mempergunakan kata-kata yang manis yang menimbulkan rasa cinta, jika berkumpul dengan Pendeta harus dapat membicarakan pelajaran-pelajaran yang baik, jika berhadapan dengan musuh harus dapat mengatakan kata-kata yang menyatakan keberanian seperti seekor singa". (Darmayasa, 1995), (Suhardi dan Sudirga, 2015:38).
Pada zaman kaliyuga ini, dasa mala tumbuh dengan suburnya di hati manusia. Hal ini dapat kita lihat dalam masyarakat, begitu banyaknya kejahatan-kejahatan yang terjadi. Tindak kejahatan terjadi akibat dari sangat kurangnya pengendalian diri, keterikatan terhadap benda-benda duniawi yang begitu besar, sehingga sering tanpa disadari merugikan orang lain. Banyak orang mencari popularitas dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Hal ini menunjukkan manusia sudah diliputi oleh dasa mala terutama Leja (pikiran gelap, bernafsu besar, dan gembira melakukan kejahatan). Con- toh peristiwa yang terbaru sekarang seperti tawuran, pelecehan seksual, dan perampokan.
Di era reformasi ini, orang mulai bebas berbicara, sering berkata sem- barangan, saling mencaci maki, dan memfitnah. Hal-hal tersebut dapat me- nimbulkan akibat yang fatal, seperti rumah dibakar dan terbunuhnya orang lain. Tidak jarang ada pula orang yang berkata manis namun hatinya sepahit empedu. Artinya bahwa apa yang dikatakan bohong belaka dan kata manis yang diucapkan hanyalah sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok.
Akibat dari keterikatan diri terhadap benda-benda duniawi, banyak orang mulai menghalalkan segala cara untuk memuaskan diri, seperti melakukan penipuan, pemerasan, dan perampokan. Hasil kejahatan tersebut tidak jarang dipergunakan untuk berfoya-foya, mabuk-mabukan, atau membeli obat- obatan terlarang. Pelanggaran hak asasi manusia sering kali terjadi. Orang tidak lagi menghormati orang lain, banyak siswa tidak lagi hormat kepada guru. Banyak anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya dan pelecehan seksual sering terjadi. Berita televisi setiap hari menayangkan orang-orang yang terlibat tindak kriminal, seperti perampokan, pemerkosaan, dan lain sebagainya. Orang-orang yang terlibat perdagangan obat-obat terlarang yang sulit diselesaikan seperti patah satu tumbuh seribu. Pembunuhan terjadi di mana-mana, sepertinya sudah menjadi pemandangan yang biasa. Hak azasi manusia sudah tidak dihargai lagi bahkan sering diinjak-injak. Banyak manusia tidak lagi memikirkan etika, sopan santun, dan tata krama, (Suhardi dan Sudirga, 2015:39).
Di zaman kaliyuga ini artha diagung-agungkan, seolah-olah artha menduduki tingkat pertama dan merupakan segala-galanya, seperti disebutkan di dalam kitab Nitisastra IV. 7 sebagai berikut:
"Singgih yan tekaning yuganta kali tan hana lewiha sakeng mahadhana, tan waktanguna cura pandita widagdha pada mangayap ing dhanecwara, sakwehning rinasya san wiku hilang, kula ratu pada hina kasyasih, putradewa pita ninda ring bapa si cudra banija, wara wiryapandita".
Terjemahan:
"Sesungguhnya bila zaman kali datang pada akhir yuga hanya kekayaan yang dihargai. Tidak perlu dikatakan lagi, bahwa orang saleh, orang yang pandai akan mengabdi kepada orang yang kaya. Semua pelajaran Pendeta yang gaib-gaib dilupakan orang, keluarga-keluarga yang baik dan raja-raja menjadi hina papa. Anak-anak akan menipu dan mengumpat orang tuanya, orang hina dina akan menjadi saudagar, terdapat kemuliaan dan kepandaian". (Darmayasa, 1995).
Sloka tersebut menggambarkan tentang kehidupan manusia pada zaman kaliyuga yang dikuasai oleh dasa mala, pikirannya diliputi oleh avidya se- hingga sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Untuk menghindari dasa mala caranya sangat sederhana yaitu: dengan berbuat baik, kurangi keterikatan terhadap benda-benda duniawi, tumbuhkan rasa kasih sayang pada sesama, serta tidak mementingkan diri sendiri dan mengasihi alam sekitar. Serta hal yang terpenting adalah selalu mengusahakan diri sendiri untuk mengikuti aturan yang ada dalam kitab suci Veda dan mematuhi aturan negara yang berlaku demi mencapai kebahagiaan lahir dan batin, (Suhardi dan Sudirga, 2015:40).
Referensi:
Suhardi, Untung dan Sudirga, Ida Bagus. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas IX (Cetakan Ke-1, 2015). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
0 Response to "Pengertian dan Bagian-bagian Dasa Mala"
Post a Comment