Kisah Kelahiran Bhisma Dalam Cerita Mahabharata

MUTIARAHINDU.COM -- Ketika di Sorgaloka diadakan perjamuan besar-besaran, Raja Mahabima yang dapat naik ke Sorgaloka karena kesaktiannya juga datang berkunjung. Dewi Gangga pun ikut hadir dalam perjamuan tersebut. Selagi pesta, tiba- tiba angin besar bertiup menyingkapkan pakaian Dewi Gangga. Para hadi- rin tertunduk supaya Dewi Gangga tidak malu. Akan tetapi, tidak demikian dengan raja Mahabima. Hyang Brahma sangat murka melihat kelakuan Raja Mahabima, lalu menghukumnya turun ke dunia, demikian pula Dewi Gangga. Akan tetapi, dijanjikan kepadanya bahwa ia akan lepas dari hukuman jika telah melepaskan amarahnya.
Kisah Kelahiran Bhisma Dalam Cerita Mahabharata
Seni Patung
Suatu hari, Raja Pratipa pulang dari bertapa. Tiba-tiba datanglah putri yang amat cantik menghadap baginda. Putri itu memohon agar Baginda sudi memperistri dirinya. Baginda tidak dapat mengabulkan permohonan tersebut, tapi berjanji bila kelak punya putra, sang putri akan diambil sebagai menantu. Putri itu berterima kasih dan memohon jika kelak menjadi menantunya, janganlah dicegah segala perbuatannya sekalipun yang sangat buruk. Jika putra raja mencegah, maka dengan terpaksa putri akan meninggalkannya. Baginda berjanji akan memenuhi permohonan itu. Setelah itu, sang putri menghilang dari pandangan. Siapakah putri itu? Ia adalah Dewi Gangga, yang dihukum oleh Hyang Brahma turun ke dunia. Setelah Raja Pratipa bertemu dengan dewi tersebut, maka Baginda bertapa untuk memohon seorang putra kepada Dewa.

Singkat cerita, permohonan Baginda dikabulkan. Tak lama Baginda memperoleh seorang putra dan diberi nama San- tanu. Setelah Santanu dewasa, bersabdalah Baginda Pratipta kepada Santanu bahwa kelak akan datang seorang bidadari, yang akan dijadikan istri putra raja. Baginda menyampaikan permohonan Dewi Gangga kepada Santanu, (Suhardi dan Sudirga, 2015:71).

Santanu menerima segala titah dan kemudian dinobatkan menjadi raja. Setelah beberapa lama menjadi Raja, suatu hari Santanu berada di tepi Sungai Gangga. Tiba-tiba muncul seorang putri yang cantik jelita. Karena terpesona, Raja Santanu lalu menghampiri dan berbincang dengan sang putri. Setelah bertemu sekian lama, Raja Santanu menanyakan apakah putri tersebut mau menjadi permaisurinya. Sang putri bersedia dan mengajukan persyaratan. Raja Santanu mendengar persyaratan itu dan terdiam. Ia teringat apa yang telah diwasiatkan oleh ayahanda Raja Pratipta kepadanya. Raja Santanu mengabulkan persyaratan yang diajukan oleh Sang Putri tersebut.

Setelah menikah dengan Sang Putri, yang tak lain adalah Dewi Gangga, Raja Santanu memiliki putra-putra yang dilahirkan oleh Dewi Gangga. Namun demikian, walau sudah tujuh orang putra yang lahir, tujuh orang putra itu pula yang telah dibunuh Dewi Gangga dan dibuang ke sungai. Raja Santanu hanya berdiam diri melihat apa yang dilakukan oleh Dewi Gangga karena mengingat sumpah yang telah diucapkannya sebagai syarat pernikahan dengan Dewi Gangga. Hingga pada suatu ketika, putra ke delapan lahir dan Dewi Gangga hendak membunuhnya pula. Raja Santanu mulai mempertanyakan alasan Dewi Gangga membunuh keturunannya. Maka bersabdalah Raja Santanu dengan hati berdebar-debar: “Adinda, katakanlah siapakah engkau sebenarnya? Ke- mudian mengapa engkau sampai hati membunuh putra-putra kita? Kamu tentu berdosa besar kepada Dewa.”

Permaisuri yang tidak lain adalah Dewi Gangga menjawab, “Kakanda, janganlah takut. Putra kakanda ini tidak akan hamba bunuh. Akan tetapi, mengapa kakanda menanyakan hal ini? Lupakah kakanda akan syarat per- kawinan kita? Dengan demikian, maka terpaksa hamba akan meninggalkan kakanda. Tapi sebelum itu, maka hamba akan bercerita mengapa hamba telah membunuh putra-putra sendiri.

Dewi Gangga bercerita: “Pada zaman dahulu, ada delapan orang wasu (golongan dewa) yang telah mencuri sapi kehormatan yang bernama Nandini, milik seorang Maharesi. Di antara mereka hanya satu orang, yaitu yang ber- nama Dyahu. Maharesi tersebut mengetahui perbuatan mereka dan berkata, “Hai para wasu, aku mohonkan kepada Dewa semoga kamu menjelma menjadi bayi manusia!” Mendengar itu mereka mohon ampun dan berjanji takkan mengulangi perbuatannya lagi. Sehingga oleh Dewa, mereka akan menjelma menjadi bayi manusia dan akan terbebas dari hukuman pada saat kelahirannya, kecuali Dyahu yang harus tinggal agak lama di dunia. Ke delapan wasu ini meminta kepada hamba untuk melahirkan mereka ke dunia jika hamba telah menjadi putri manusia. Oleh karena itu, hamba membunuh tujuh putra hamba dengan membuangnya ke sungai yang merupakan penjelmaan dari tujuh wasu yang memiliki dosa kecil, dan wasu yang terakhir Dyahu harus tinggal lebih lama lagi di dunia,"  (Suhardi dan Sudirga, 2015:72).

Demikian cerita Dewi Gangga kepada Raja Santanu.

“... ya kakanda, hamba adalah Dewi Gangga, putri Batara Janu,” jelas Dewi Gangga.

Setelah menceritakan segala sesuatunya, Dewi pulang ke kahyangan karena hukumannya juga telah usai. Bayi itu pun dibawa oleh Dewi Gangga. Namun, setelah bayi tersebut dewasa diserahkan kembali kepada Raja Santanu dan diberi nama Bisma atau Dewabrata. Singkat cerita, Dewabrata telah tumbuh dewasa dan dikembalikan kepada Prabu Santanu yang saat    itu belum mempunyai permaisuri. Kemudian sang Prabu berusaha mencari pendampingnya. Dikisahkan, pada suatu saat Prabu Santanu jatuh cinta kepada seorang putri nelayan bernama Dewi Durgandini. Dewi Durgandini telah berputra Abyasa atas perkawinan sebelumnya dengan Resi Parasara. Ia hanya mau dijadikan istri oleh Prabu Santanu, apabila putra yang dilahirkannya kelak menjadi putra mahkota. Prabu Santanu sangat bingung, sebab yang berhak menjadi putra mahkota adalah Dewabrata. Kalaupun Dewabrata bersedia mengalah, maka anak keturunan Dewabrata tetap akan menuntut haknya, dan akan terjadi perang saudara pada Dinasti Bharata.

Dewabrata adalah seorang putra yang berjiwa besar. Demi kecintaannya terhadap Negara Hastina, agar tidak terjadi perang saudara di kemudian hari, Dewabrata bersumpah tidak akan kawin selama hidupnya. Sumpah pengorbanan Dewabrata ter- sebut membuat Dewabrata kemudian disebut Bhisma, yang (bersumpah) menge- rikan. Pengorbanan Bhisma yang begitu besar meningkatkan spiritualnya, sehingga dia diberi anugerah untuk menentukan kapan saatnya meninggalkan jasadnya di dunia di kemudian hari. Bagi Bhisma, pengabdian dan baktinya hanya untuk Ibu Pertiwi, untuk Hastina. Bhisma tidak melarikan diri ke puncak gunung sebagai pertapa. Dharma baktinya adalah mempersatukan negara, (Suhardi dan Sudirga, 2015:73).

Dari perkawinannya dengan Dewi Durgandini, Prabu Santanu dikaruniai dua orang putra, Citragada dan Wicitrawirya. Citragada seorang yang sakti, akan tetapi sombong dan akhirnya meninggal sebelum menikah. Wicitrawirya seorang yang lemah dan diperkirakan akan kalah dalam sayembara untuk mendapatkan seorang putri raja. Ketika Raja Kasi mengadakan sayembara bagi tiga putrinya, demi pengabdian kepada Kerajaan Hastina, Bhisma ikut bertanding, dan menang. Ia memboyong ketiga putri tersebut untuk diberikan kepada Wicitrawirya. Dewi Ambalika dan Dewi Ambika menerima kondisi tersebut, akan tetapi Dewi Amba menolak, Dewi Amba hanya mau kawin dengan Bhisma. Bhisma mengatakan bahwa dirinya telah bersumpah tidak akan kawin demi keutuhan Hastina. Sehingga namanya menjadi Bhisma yang artinya bisa meninggal sesuai kehendaknya. Sejak saat itulah ayahnya memberikan sebuah anugerah tentang keabadian dan bisa memenuhi segala keinginannya. Selanjutnya, Bhisma menakut-nakuti Dewi Amba dengan anak panah yang secara tidak sengaja terlepas dan membunuh Dewi Amba. Bhisma tertegun, demi Hastina, tanpa sengaja dia telah membunuh seorang putri, Bhisma sadar dia pun harus terbunuh oleh seorang putri juga nantinya.

Pengabdian Bhisma rupanya hampir sia-sia, karena Wicitrawirya pun meninggal sebelum memberikan putra. Akhirnya Abyasa putera Durgandini dengan Resi Parasara diminta Dewi Durgandini menikahi Dewi Ambalika dan Dewi Ambika. Abyasa patuh terhadap ibunya walau tidak ikhlas memperistri mereka. Singkat cerita, dari pernikahan Abyasa dan Dewi Ambalika lahirlah Destarastra yang buta. Sedangkan dari pernikahan Abyasa dan Dewi Amba lahirlah Pandu yang ‘tengeng’, lehernya miring dan pucat. Resi Shukabrahma mengakhiri kisah tentang kelahiran Bhisma kepada Parikesit. Akhirnya Parikesit menjadi jelas dengan peran Bhisma Yang Agung, leluhurnya yang berjuang untuk mempersatukan negara Hastina sampai titik darah penghabisan (Zoetmulder, 2005).

Merujuk dari cerita kelahiran Bhisma, menunjukan tentang proses hu- kum karmaphala yang akan terus mengikuti dari segala  perbuatan  yang telah dilakukan oleh seseorang yang nantinya akan diterima sesuai dengan perbuatan. Kemudian, tentang kepatuhan Bhisma kepada orang tua yang menjadikannya sebagai insan yang mempunyai kekuatan ksatria yang setara dengan para dewa. Hal lain yang juga diperlihatkan dari tokoh Bhisma, yaitu tentang ketaatannya pada sumpah yang telah dilakukannya. Selain itu, Bhisma mempunyai sifat kebijaksanaan terhadap segala keputusan yang mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi. Keadilannya pada posisi yang dipegangnya sebagai tokoh dalam kerajaan Hastinapura yang berusaha untuk menyelesaikan segala konflik yang berasal dari dalam maupun luar kerajaan, (Suhardi dan Sudirga, 2015:74-75).

Referensi:

Suhardi, Untung dan Sudirga, Ida Bagus. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas IX (Cetakan Ke-1, 2015). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

0 Response to "Kisah Kelahiran Bhisma Dalam Cerita Mahabharata"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel