13 Rangkaian Upacara Postnatal Mulai Dari Kelahiran, Perkawinan dan Pembakaran Jenazah

MUTIARAHINDU.COM -- Penjelasan pembelajaran sebelumnya memberikan pemahaman bahwa pro- ses bayi dalam kandungan membutuhkan vibrasi kesucian yang didapatkan dari ibu yang mengandung sampai dengan peran lingkungan. Misalnya, di Jawa dan Bali sering dilaksanakan upacara ketika janin masih dalam kandungan dengan melaksanakan magedong-gedongan dan atau tingkeban. Persiapan kelahiran anak dilakukan secara sungguh-sungguh dengan melakukan berbagai sadhana atau perilaku spiritual. Sadhana dilakukan dengan mengucapkan gayatri mantra mulai dari tumbuhnya janin sampai dengan tanda kelahiran. Sadhana dilakukan dengan harapan agar anak yang sedang dikandung menjadi anak suputra dalam kehidupan ini.


Berikut ini akan dibahas tentang upacara postnatal, mulai dari kelahiran sampai jenjang perkawinan dan upacara pembakaran jenazah.


Jǎtakarma Sanskǎra (Mapag Rare atau Upacara Menyambut Kelahiran Bayi) Mapag Rare merupakan upa- cara kelahiran bayi dengan maksud menyampaikan ra- sa   syukur   (angayu bagia) kepada  Sang  Hyang Widhi Wasa, (Suhardi dan Sudirga, 2015:89).

Mapag Rare juga merupakan upacara untuk memohon anugerah-Nya  agar bayi itu selalu berada dalam keadaan selamat. Beberapa hari setelah bayi lahir, juga diadakan acara lepas aon atau puput puser yang bermakna membersihkan jasmani bayi tersebut. Hal ini juga dijelaskan dalam Yajur Veda : 3.62 bahwa:

"Tryǎyusam janadagneh kasyapasya tryǎyusam, yaddevesu tryayusam tanno asIu tryayusan".

Terjemahan:

"Semoga kami memperoleh umur panjang tiga kali lebih panjang dari orang yang melakukan yajña, dari petani, dan dari seseo- rang yang memiliki sifat-sifat kedewataan. Seperti mereka yang mendapatkan umur panjang, demikian pula kami juga mendapat- kan umur yang lebih panjang tiga kali lipat dari mereka", (Maswinara, 2008).

Garbhadhana, Simantonayana dan Punsavana Samskara dilakukan pada waktu bayi berada dalam kandungan ibu dan ketiga upacara ini disebut prenatal. Sedangkan samskara keempat, yaitu Jatakarma dilakukan setelah bayi lahir ke dunia ini. Sebelum bayi lahir, ibu dan faktor keturunan sangat berpengaruh terhadap bayi. Akan tetapi, setelah bayi lahir, lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap bayi. Jatakarma, berarti beberapa hal yang perlu dilakukan agar sang bayi yang dilahirkan mendapat lingkungan yang baik hingga menjadi manusia yang baik pula. Setelah lahir, muka dan hidung bayi perlu dibersihkan supaya dia bisa menerima air susu ibunya dengan baik.

Dalam kitab Susruta dikatakan bahwa ketika upacara tersebut, ibu dan ayah bayi sebenarnya menulis AUM di atas lidah bayinya dengan madu, yang berarti semoga bayi mengingat dan mengucapkan kata-kata AUM (Titib, 2003: 64). Setelah itu, ibu dan ayah bayi perlu mengucapkan kata- kata AUM, “vedo asi” di telinga bayi yang berarti namamu adalah Veda. Dengan demikian, ibu dan ayah memberikan nama Veda dengan maksud supaya anak memiliki pengetahuan melalui Veda, selalu mendengarkan dan mengikuti ajaran Veda. Tujuan menulis “Omkara” pada lidah bayi dan mengucapkan “vedo asi” di telinga bayi adalah supaya anak tidak terlalu terpengaruh oleh sifat-sifat duniawi dan menuju kebenaran atau lebih mengutamakan kehidupan spiritual, (Suhardi dan Sudirga, 2015:90).

2. Nǎmakǎraca Sanskǎra

Nǎmakǎraca Sanskǎra merupakan upacara pem- berian nama bayi yang dilakukan pada hari kese- puluh atau hari kedua belas setelah bayi lahir. Pemberian nama menurut kepercayaan Hindu harus benar-benar mempunyai makna. Misalnya, diberi nama yang yang mengan- dung arti kesucian, ke- kuatan, kemakmuran, dan kepuasan, dengan harapan agar kelak anak itu memiliki sifat dan karma sesuai dengan makna namanya.

Dalam Veda dikatakan bahwa nama yang di berikan kepada anak harus mempunyai makna dan tujuan yang bisa mengingatkan kepada anak supaya menjadi sesuai dengan nama yang telah diberikan (Somvir, 2001 dalam Titib, 2003:67). Dalam Laghu Pattrika dikatakan bahwa apapun yang  kita pikirkan, demikian pula yang diucapkan, dan apa yang kita ucapkan hendaknya demikian pula yang kita lakukan.

Dalam kesusastraan Sansekerta, konsep sabda begitu penting. Melalui kata-kata kita bisa mencapai tujuan kehidupan. Orang yang mempelajari Upanisad mengucapkan Soham (saya adalah Dia) dan seorang pengikut Vedanta mengatakan aham bhrahma asmi. Kata-kata yang bermakna sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia, demikian pula nama. Jika nama yang diberikan bermakna, seseorang bisa menjadi seperti namanya. Seperti Vivekananda, Viveka berarti pengetahuan, dan ananda berarti kebahagiaan sempurna, dan Swami  Vivekananda  membuktikan  hal  ini.  Beberapa  hal dibahas dalam Samskara Vidhi yang ditulis oleh Swami Dayananda Sarasvati yang perlu dipelajari untuk memperdalam samskara-samskara tersebut. Menurut Swami Dayananda, nama-nama yang tidak boleh diberikan kepada anak adalah mengambil nama jenis burung, binatang, nama-nama kota, dan sejenisnya. Dalam Manavadharmasastra (3-9) dikatakan bahwa wanita yang mempunyai nama yang berkaitan dengan naksatra, pohon, sungai, gunung, burung, dan ular sebaiknya dihindari, (Suhardi dan Sudirga, 2015:91).

Hal tersebut disebabkan karena nama-nama tersebut tidak bisa memberikan sesuatu, sehingga nama-nama tersebut perlu dihindari. Dengan demikian, nama-nama yang perlu diberikan kepada anak adalah nama-nama yang dalam pengucapannya enak dan tidak sulit diucapkan.

3. Nickramaca Sanskǎra

Niskramaca Sanskǎra merupakan upacara yang dilakukan setelah anak  itu mencapai umur 105 hari (3 bulan Bali/kalender Hindu) sebagai simbol penjemputan atma/jiwa bayi agar benar-benar memberi hidup yang mem- bahagiakan (Titib, 2003: 69). Saat itu merupakan hari pertama bayi untuk berhubungan dengan kekuatan-kekuatan alam atau kontak dengan dunia luar. Pada umat Hindu di Jawa, dikenal dengan tedak sinten atau menginjak tanah pertama di dalam sangkar. Di Bali dikenal dengan upacara nyambutin yang dilaksanakan 3 bulan setelah kelahiran bayi.

Niskaramaca, berarti bebas ke luar. Maksudnya, bayi yang selalu berada di dalam rumah bersama sang ibu, bisa dibawa ke luar rumah setelah di laksanakan upacara Niskaramaca Sanskǎra. Dengan dilaksanakannya upacara tersebut, anak akan memperoleh udara segar dan cahaya Deva Surya. Deva Surya memberikan kehidupan baru bagi setiap orang  di dunia ini. Melalui Sanskǎra tersebut, anak akan melihat surya (matahari). Saat upacara, orang tua sang anak harus mengucapkan gayantri mantra. Dengan mantra tersebut diharapkan Tuhan berkenan memberikan sang anak kehidupan selama seratus tahun. Pada malam hari setelah upacara selesai, sang ibu menyerahkan anaknya kepada sang ayah. Kemudian sambil membawa air di tangan, sang ayah berdiri menghadap bulan dan mengucapkan mantra: Om yadadascandramasi krsnam prthivya hrdayam sritam tadaham vidvanstatpasyan maham pautramagham rudam (Mantra Brahman : l-5-l3), (Suhardi dan Sudirga, 2015:92).

Menurut Gobhil Gnhyasutra Nisknamaca, sebaiknya dilaksanakan pada bulan ketiga setelah kelahiran. (jannat yahtratiyah jautsnah tasya tra- tiyayam).  Namun,  Paraskara  Gnhyasutra  mengijinkan  bila  Sanskǎra tersebut dilaksanakan pada bu- lan keempat. Tujuan di laksa- nakannya Nisknamaca Sans- kǎra adalah agar anak yang baru berumur beberapa bulan dapat diajak ke luar rumah me- ngenal lingkungan hidupnya. Selain itu, diharapkan pula sang anak akan mampu hidup lebih dari seratus tahun. Supaya anak tidak    meninggal    dunia  atau tidak mendapat kesulitan dalam kehidupannya, orang tua perlu mengucapkan mantra demi ke- selamatannya sebagai berikut: ma aham pautram agham nigam, ma aham pautram agham risam, yang berarti semoga putraku berumur panjang dan tidak meninggal sebelum kami.

4. Annaprǎsana Sanskǎra

Annaprǎsana Sanskǎra merupakan upacara pemberian makanan yang per- tama kali, yaitu pada waktu umur anak mencapai 7 bulan (6 bulan Bali). Anak yang diupacarai ditanakkan nasi lembek berisi telur ayam, kemudian di pagi buta, anak itu diturunkan ke tanah (menginjak tanah). Annaprǎsana Sanskǎra ini dilaksanakan saat anak berusia enam bulan, seperti disebutkan dalam Asvalayana Grhasutra l-l6-l: sasthe massi annaprasanam. Anna- prǎsana, berarti makanan yang dimakan oleh anak pertama kali sejak kelahirannya. Dengan melaksanakan samskara tersebut, anak dapat disapih dari air susu ibu dan mulai diberi makanan yang lem- but, misalnya bubur. Pada usia enam bulan, biasanya anak sudah mulai tumbuh gigi sehingga makanan halus yang diberikan bisa dicerna dengan baik. Sedikit demi sedikit sang anak pun dapat disapih. karena bila ibu terus- menerus menyusui, kesehatannya bisa terganggu, (Suhardi dan Sudirga, 2015:93).

Sanskǎra tersebut perlu di lak- sanakan karena dalam Veda di tulis: annam vai prana, yang berarti makanan adalah prana (napas) itu sendiri. Berkat makananlah pikiran dapat berkembang.

Makanan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Makanan yang dimakan oleh seseorang berpengaruh terhadap pikiran. Jika dia seorang vegetarian (makanan sattvika), maka pikirannya juga sattvika (baik). Karena itu saat sanskǎra tersebut dilaksanakan, anak yang berusia enam bulan bisa diberikan makanan sattvika dengan mengucapkan mantra dari Veda sehingga ia selalu makan makanan yang sattvika (Titib, 2003: 70).

5. Chuaakaraca Sanskǎra

Chuaakaraca Sanskǎra merupakan upacara potong rambut yang pertama, biasanya dilakukan pada waktu anak berumur antara satu sampai tiga tahun. Rambut di bagian ubun-ubun tidak dipotong (disisakan sebagai jambul). Namun, dewasa ini kebiasaan seperti ini sudah pudar dan anak-anak dicukur biasa saja, ubun-ubun masih tetap terlindung. Di dalam kitab Manu Smerti dikatakan bahwa upacara ini dimaksudkan untuk memperoleh kebajikan spiritual bagi anak itu. Chuaakaraca samskara berhubungan pula dengan perkembangan otak, terutama celebrum dan cerebellum, sampai sempurna. Setelah tiga tahun, rambut yang dianggap kotor tersebut bisa dipotong sehingga tumbuh rambut yang baru serta berbagai macam penyakit kulit dapat dihindari, (Suhardi dan Sudirga, 2015:94).

Pentingnya rambut bayi dipotong dijelaskan dalam Atharvaveda bahwa untuk mendapatkan umur panjang, rambut sebaiknya dipo- tong terlebih dahulu (6-8-2: Dir- ghayutvaya).

Dalam agama Hindu, konsep gundul memiliki  makna  khu- sus karena terdapat dalam salah satu Upanisad, yaitu Munda- kopanisad. “Mundaka” berarti orang yang telah menjadi gundul. Dalam konsep Catur Asrama, seorang samnyasi tidak boleh memelihara rambut. Bahkan da- lam Upanisad disebutkan bahwa Brahmavidya (pengetahuan ten- tang Tuhan) boleh diberikan ke- pada orang yang telah gundul (Sirovrata: 3-l0).

Orang gundul yang dimaksud adalah sebagai simbol orang yang sudah melepaskan segala ikatan keduniawian dan memperoleh Vairagya (Titib, 2003:73).

Chuaakaraca Sanskǎra dilaksanakan untuk memohon supaya para Brahmacari, yakni Aditya, Rudra, dan Vasu yang memiliki kekuatan isti- mewa, memberikan anugerah kepada sang anak agar selalu bahagia dan memperoleh ketenangan dalam kehidupannya.

6. Karcavedha Sanskǎra

Karcavedha Sanskǎra berarti menusuk telinga. Pada masyarakat tradisional, biasanya hal ini dilakukan dengan menggunakan duri tertentu. Setelah itu mentega dioleskan pada luka. Hal ini berlaku untuk baik untuk anak laki-laki maupun perempuan. Dalam buku Cakrapani ditulis karnavyadhe krte balo na grahair abhibhutyate, yang artinya: dengan menindik telinga, pengaruh per- bintangan (astrologi) yang jahat tidak bisa menyerang anak. Pen- dapat ini tidak sesuai dengan veda. Namun beberapa penyakit dapat dicegah dengan melaksa- nakan sanskǎra, seperti yang di tulis dalam Susruta, bahwa anak laki-laki akan terhindar dari pe- nyakit hernia (Titib, 2003:75). Akan tetapi, pada umunya yang ditindik adalah anak wanita dan tidak ada upacara agama, (Suhardi dan Sudirga, 2015:95).

Menurut Susruta, sebuah urat akan terpotong saat telinga di tindik yang menyebabkan pe- nyakit hernia bisa dihindari. Ula- san Susruta yang merupakan bu- ku terkuno tentang ilmu bedah (surgery) belum mendapat perhatian para dokter modern. Melalui sanskǎra tersebut, anak laki-laki maupun perempuan bisa mengenakan perhiasan. Perhiasan dikenakan dengan dua tujuan, yaitu untuk tampil menarik dan mendapatkan rasa nyaman (karena emas memiliki kekuatan sehingga mempengaruhi kesehatan pemakainya).

Oleh karena itu, karcavedha sanskǎra dapat dilakukan bagi anak laki-  laki maupun perempuan. Hal itu terbukti sampai sekarang sehingga kaum perempuan menindik telinga mereka. Bahkan pada zaman dahulu, pria pun, khususnya para ksatriya melakukannya. Ada kemungkian sanskǎra tersebut juga berkaitan dengan upacara potong gigi yang ada di Bali.

7. Vidyǎrambha Sanskǎra

Vidyǎrambha atau pendidikan awal. Vidya adalah pengetahuan dan aram- bhana ini dimulai. Hal ini biasanya dilakukan sekitar usia empat atau lima tahun, (Suhardi dan Sudirga, 2015:96). Pada penjelasan lain yang tertuang dalam kitab Yajur Veda 36-3 bahwa:

"Tuhan sebagai pemberi kehidupan, menjauhkan dari segala duka dan memberikan kebahagiaan. Sebagai pencipta jagat raya dan sumber dari segala cahaya dan pemberi kemakmuran, yang di inginkan oleh semua umat manusia. Tuhan yang selalu memberi kemenangan kepada manusia, yang merupakan Mahabaik dan menjadi pusat pikiran, penebus dosa yang Mahasuci, kami menerima Tuhan yang seperti itu. Oh Tuhan anugerahkanlah kepada kami budi yang baik", (Maswinara, 2008)

Setelah sanskǎra tersebut dilaksanakan, anak akan disebut brahmacari dan berhak mendapat pelajaran tentang Veda dan brahmacari. Brahmacari mempunyai makna mencari Tuhan (“brahma” berarti Tuhan, “cari” berarti mencari). Salah satu caranya adalah dengan bertapa di gurukula. Anak yang baru pertama kali belajar di sekolah (gurukula) bersumpah untuk tinggal dengan setia di asrama yang pertama, yang disebut brahamcari. Menjalani pendidikan seorang brahmacari harus mengendalikan semua indra dan tidak boleh berhubungan dengan wanita. Hal ini bertujuan agar dasar yang membentuk kepribadiannya kuat sehingga mampu menghadapi dunia setelah menyelesaikan pendidikan di gurukula (Titib, 2003: 76), (Suhardi dan Sudirga, 2015:97).

Dalam sanskǎra tersebut guru memberikan beberapa nasihat: satyam vada, dharmam cara, svadhyayanma pramad, matr devo bhava, pitr devo bhava, acarya devo bhava, atithi devo bhava (Taittiriya: 7-11-1- 4), yang berarti: Wahai anak, ucapkanlah selalu yang benar, selalu mengikuti dharma, jangan malas belajar, hormat kepada orang tua, guru, dan para tamu yang datang meskipun tidak diundang. Karman kuru, diva ma svapsih, krodhanrte var- jaya, upari sayyam varjaya, berarti bekerjalah dengan rajin, jangan tidur pada siang hari, kendalikan kemarahan, jangan tidur di atas kasur yang empuk. Nasihat guru yang lain adalah engkau adalah seorang brahmacari, laksanakan selalu sandhya (sembahyang), minumlah acamana, pelajarilah Veda selama dua belas tahun, patuh pada ucapan guru yang benar, jangan ikuti ucapan yang tidak benar, jangan berhubungan kelamin, makan ma- kanan sattvika, bersikaplah sopan, bicara seperlunya dan senantiasa hormat kepada guru. Pelaksanaan sanskǎra ini jika di Indonesia dilakukan dengan melakukan tahapan sekolah yang pertama yaitu memasuki usia pendidikan usia dini (PAUD).

8. Upǎnayana Sanskǎra

Upǎnayana Sanskǎra merupakan upacara untuk mulai bersekolah dalam batas umur paling awal 5 tahun dan paling lambat 12 tahun. Masa belajar ini disebut dengan Brahmacari asrama (Titib, 2003: 78). Upacara yang sejenis dengan Upǎnayana Sanskǎra yang biasa dilakukan oleh orang-orang Bali dan Jawa yang beragama Hindu adalah upacara “Pawintenan.” Upa- cara ini berfungsi sebagai pem- bersihan diri dalam rangka mem- pelajari ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan keagamaan.

Sedangkan upacara pawintenan yang lebih besar (untuk menjadi pendeta) disebut “Diksa Widhi.” Upǎnayana berasal dari kata “Upǎ” berarti dekat dan “nayan” berarti membawa, yang maksudnya adalah mendekatkan anak kepada guru, (Suhardi dan Sudirga, 2015:98).

Melalui Sanskǎra tersebut, guru menerima anak sebagai muridnya. Dalam upǎnyana sanskǎra, orang tua akan berkata kepada guru (acarya) “Kami telah melahirkan anak ini dan berusaha memberikan kehidupan yang baik. Sekarang kami ingin anak ini berkembang dalam masyarakat supaya ia bisa menjadi orang yang baik. Oleh karena itu, anak ini kami serahkan kepada guru.” Saat itu guru akan memberikan tiga helai benang, yang disebut yajnopavita, sebagai simbol anak itu boleh mempelajari Veda dan ilmu pengetahuan yang lain. Tiga benang tersebut merupakan simbul dari tiga rna (hutang), yaitu rsi rna, pitr rna, dan deva rna (Titib, 2003).

Rsi rna berarti berhutang kepada leluhur, yaitu para rsi, sehingga ajaran yang mereka berikan diteruskan kepada generasi berikutnya. Pitr rna, berarti berhutang kepada orang tua sehingga kita harus menghormati mereka. Deva rna, berarti berhutang kepada dewa-dewa sehingga kita harus memuja para dewa. Tiga helai benang tersebut akan selalu meng- ingatkan kita agar melunasi ketiga hutang tersebut. Dalam upǎnyana sanskǎra, guru berkata kepada murid. “Wahai muridku, aku menyatukan hatimu dan hatiku, pikiranmu akan selalu mengikutiku, kamu juga akan selalu mematuhi ucapanku, dan mulai hari ini Deva Brhaspati menyatukan kita berdua.” (Paraskar Gihyasutra: 2-2-16).

Gihasutra menjelaskan bahwa sanskǎra tersebut dilaksanakan pada tahun kedelapan untuk seorang anak brahmana, tahun kesebelas untuk ksatriya, dan tahun keduabelas untuk vaisya (astame varse brahmanam upanayet). Jika sanskǎra tersebut tidak dilaksanakan pada tahun yang sudah ditentukan, orang itu disebut Patita, yaitu orang yang nama baiknya tercemar dalam masyarakat (ata urdhvam patita savitrikabhavanti), (Suhardi dan Sudirga, 2015:99).

Anak yang telah mendapatkan upǎnyana sanskǎra disebut dvija, yang artinya mengalami kelahiran yang kedua melalui  guru,  karena  sang  guru yang akan membuka mata anak itu sehingga dapat melihat dengan benar. Pelaksanaan upǎnyana sanskǎra juga dilaksanakan di Indonesia. Pelaksanaan ini biasanya dilakukan ketika seorang sisya memasuki masa untuk belajar di Pasraman atau lembaga sekolah yang pelaksanaannya dipimpin oleh rohaniawan agama Hindu.

9. Vedǎrambha Sanskǎra

Praishartha atau Vedarambha adalah proses pembelajaran Weda dan Upanishad. Pada awal setiap periode akademik, ada upacara yang disebut Upakarma dan pada akhir setiap periode akademik ada lagi upacara yang disebut Upasarjanam. Sanskǎra ini jarang ditemui pada masyarakat Hindu pada umumnya, dan lebih sering diterapkan pada keluarga brahmana. “Vedǎrambha”, yang terdiri dari kata “Veda” (pengetahuan) dan “arambha” (mulai), berarti mulai menerima pengetahuan dari guru. Sanskǎra tersebut sebaiknya dilaksanakan di sekolah oleh para guru (Titib,  2003:  80).  Pada zaman dahulu, sanskǎra tersebut biasa dilakukan di asrama atau di gurukula (keluarga guru) seperti yang terdapat di India sampai sekarang. Vedǎrambha sanskǎra penting bagi seorang anak karena melalui samskara tersebut ia mendapat Gayatri Mantra yang merupakan sumber segala Veda, (Suhardi dan Sudirga, 2015:100).

10. Samǎvartana Sanskǎra

Samǎvartana berarti wisuda adalah upacara yang berhubungan dengan akhir pendidikan formal. Upacara ini menandai akhir dari masa menuntut ilmu. Hal ini juga menandai akhir dari masa brahmacari. Samǎvartana, berarti kembali ke rumah setelah menyelesaikan pendidikan. Anak, yang diharapkan bertapa dan dilarang hidup mewah saat dalam masa pendidikan, dapat berkumpul kembali bersama keluarga dan menikmati kehidupan duniawi.

Dalam Chandogya Upanisad dibahas tentang konsep brahmacari. Ada tiga macam brahmacari, yaitu vasu brahmacari adalah murid yang menjalani kehidupan brahmacari selama 24 tahun, rudra brahmacari selama 36 tahun, dan aditya brahmacari selama 48 tahun. Dengan konsep tersebut, guru dapat memberi beberapa pilihan kepada murid. Jika seorang murid hanya ingin menjalani kehidupan brahmacari selama 24 tahun, kemudian kembali ke rumah dan menikah, akan disebut vasu. Setelah itu, ia dapat hidup bermasyarakat dengan baik (Titib, 2003: 81).

Dalam sanskǎra tersebut murid akan mengembalikan danda (tongkat) dan mekhala (sabuk sutera) yang didapat dalam upǎnyana sanskǎra. Dengan demikian, samǎvartana sanskǎra bertujuan agar anak yang telah selesai mempelajarai veda dan ilmu pengetahuan lain kembali ke rumah, bekerja, dan menikah. Wisuda merupakan contoh pelaksanaaan samǎvartana sanskǎra. Pada zaman sekarang, hal ini biasanya dilakukan pada akhir masa belajar, baik yang dilakukan pada tingkat sekolah menengah atas dan perguruan tinggi Hindu yang ada di Indonesia, (Suhardi dan Sudirga, 2015:101).

11. Rajaswala dan Mapandes

Rajaswala dan Mapandes merupakan upacara yang dilakukan oleh seorang wanita sebagai tanda sudah memasuki masa dewasa yang ditandai dengan menstruasi pertama. Tujuan upacara ini adalah untuk memohon kepada Hyang Semara Ratih untuk melindungi gadis dari berbagai godaan terutama terhadap nafsu seks. Upacara untuk laki-laki dilakukan dengan ditandai munculnya jakun dan peru- bahan suara atau rajasingha (Titib, 2003: 82). Selanjut- nya, adalah upacara potong gigi atau mapandes (pa- ngur) yang di tunjukan ke- pada anak laki-laki dan perempuan yang mulai me- masuki usia dewasa. Tujuan upacara potong gigi ini ada- lah  untuk  lebih mengendalikan diri dari pengaruh lingkungan.

Pelaksanaan upacara ini dimaksudkan untuk memohon kepada Hyang Widhi agar anak-anak dapat mengendalikan dirinya dari dorongan nafsu yang disebut dengan sad ripu. Sad ripu terdiri atas; kama (dorongan nafsu seks yang menjerumuskan), lobha (rakus), krodha (emosi), matsarya (irihati), moha (bingung), dan mada (minuman keras). Keenam dorongan nafsu ini dilambangkan dengan memotong dua gigi taring dan empat gigi seri. Pemotongan gigi-gigi tersebut dimaksudkan agar kelak menjadi anak bertanggung jawab dan memancarkan sifat kedewataan.

12. Vivǎha Sanskǎra

Vivǎha sanskǎra merupakan upacara perkawinan untuk memasuki tingkat hidup grihastha asrama. Vivǎha sanskǎra bertujuan untuk melanjutkan garis keturunan dan memenuhi kewajiban secara sempurna. Pelaksanaan vivǎha sanskǎra harus bersaksi kepada Sang Hyang Widhi Wasa melalui agni homa atau semacam widhi wedana sehingga kedua mempelai dianggap bersih jasmani dan rohaninya, selanjutnya dapat hidup sah sebagai suami istri baik secara duniawi maupun spiritual (Titib, 2003: 84), (Suhardi dan Sudirga, 2015:102).

13. Antyesthi Sanskǎra

Antyesthi berarti pemakaman, sanskǎra akhir adalah antyesthi atau upacara terakhir. Sanskǎra ini tidak disebutkan dalam daftar sanskǎra di sebagian besar Gnhya Sutra dan teks-teks lain yang berbicara tentang sanskǎra. Alasan untuk meninggalkan ritual ini keluar adalah bahwa hal ini tidak dianggap sebagai suatu ritual yang murni dan menguntungkan, dan tidak boleh disebutkan bersama dengan samskara yang lain. Upacara ini di Bali dikenal dengan ngaben.

Di dalam panca yajña, upacara ini termasuk dalam Pitra yajña, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur. Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya (Wiana, 1995), (Suhardi dan Sudirga, 2015:103).

Dalam ajaran agama Hindu, diyakini bahwa Dewa Brahma, di samping sebagai dewa pencipta juga adalah dewa api. Dengan demikian, Ngaben adalah proses penyucian roh dengan menggunakan sarana api, sehingga dapat kembali ke sang pencipta, yaitu Brahma. Api yang digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api abstrak berupa mantra pendeta untuk mempralina yaitu membakar kekotoran yang melekat pada atma.

Selanjutnya di Tana Toraja di kenal dengan Upacara Adat Rambu Solo, yaitu upacara adat kematian (upacara penyempur- naan kematian). Upacara ini untuk menghormati dan meng- antarkan arwah orang yang me- ninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan yang disebut Puya, di bagian se- latan tempat tinggal  manu-  sia. Puncak acara ini disebut Upacara Rante serta acara lain seperti Adu Kerbau dan Adu Kaki. Upacara Adat Rambu Solo sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini lengkap. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang “sakit” atau “lemah.” Oleh sebab itu, ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu diajak berbicara.

Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap Upacara Adat Rambu Solo ini sangat penting. Kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi arwah orang yang meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa pelindung (dewata). Dengan demikian, upacara Rambu Solo menjadi sebuah “kewajiban” bagi keluarga yang ditinggalkan. Oleh karena itu, dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja akan mengadakannya sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua mereka yang meninggal dunia, (Suhardi dan Sudirga, 2015:104).

Itulah pembagian sanskǎra yang biasanya paling sering dilaksanakan  oleh umat Hindu secara umum. Adapun sanskǎra ini, jika dikaitkan dengan kehidupan keagamaan yang ada di Indonesia menyesuaikan dengan daerah masing-masing mengikuti kearifan lokal yang ada. Selanjutnya, pelaksanaan sanskǎra tersebut juga akan disesuaikan dengan kondisi keluarga dan daerah tempat tinggal. Pada hakikatnya, sanskǎra merupakan prosesi ritual yang dilaksanakan oleh manusia sejak dalam kandungan sampai dengan meninggal dunia berdasarkan atas keikhlasan dan kemampuan, (Suhardi dan Sudirga, 2015:105).


Referensi:

Suhardi, Untung dan Sudirga, Ida Bagus. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas IX (Cetakan Ke-1, 2015). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

0 Response to "13 Rangkaian Upacara Postnatal Mulai Dari Kelahiran, Perkawinan dan Pembakaran Jenazah"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel