Jenis-Jenis Samskara Dalam Agama Hindu
Monday, December 2, 2019
Add Comment
MUTIARAHINDU.COM -- Perjalanan umat manusia mengalami proses mulai dari kelahiran sampai meninggal. Berkaitan dengan itu, berbagai upacara/ritual mulai dari pernikahan, prenatal/kehamilan, kelahiran sampai ketika meninggal, dilaksanakan oleh umat Hindu di India maupun di Indonesia. Pelaksanaan ritual ini yang disebut dengan sarira sanskǎra atau vidhi-vidhana yang kemudian di Indonesia dikenal dengan upacara manusa yajña (Titib, 2003: 45). Ritual ini pernah diuraikan oleh Rajbali Padey (1991), pelaksanaan sanskǎra dilakukan pada saat prenatal atau bayi dalam kandungan yang terdiri atas: garbhǎdhǎna, punsavana dan simantonayana, saat postnatal atau setelah kelahiran bayi terdiri atas: jǎtakarma, nǎmakǎraca, niskramaca, annaprǎsana, chuaakaraca, dan karcavedha. Saat mengikuti pendidikan baik formal maupun informal, meliputi: vidyǎrambha, upǎnayana, vedǎrambha, dan samǎvartana dan pelaksanaan ini berakhir dengan vivǎha yang dilakukan pada masa berumah tangga (gnhasta). Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan tentang pelaksanaan upacara dalam kandungan (prenatal) tersebut, (Suhardi dan Sudirga, 2015:82).
1. Garbhǎdhǎna Sanskǎra
Garbhǎdhǎna sanskǎra merupakan upacara persem- bahyangan pembenihan per- tama sebagai sakramen atau pembersihan terhadap kama- jaya dan kama-ratih. Kama- jaya adalah benih laki-laki yang disebut sukla (sperma) dan kama-ratih adalah benih mempelai wanita yang di sebut swanita (ovum). Pem- bersihan dilakukan secara rohaniah, dengan harapan apabila terjadi pembuahan dan menjadi janin, maka roh yang akan menjelma adalah roh yang baik dan suci. Hal ini kemudian dijelaskan dalam Atharvaveda: 6.l7.l yang dijelaskan bahwa:
"Yatheyan pcthivi mahi bhutǎnǎn garbhamǎdadhe, Eva te dhriyatǎn garbho anu sutun savite".
Terjemahan:
"Seperti halnya bumi yang luas ini, mengandung semua makhluk, demikian juga oh istriku engkau menjadi hamil dan dari kehamilan tersebut dapat melahirkan seorang yang seperti sang surya penuh dengan cahaya dan sinar", (Sayanacarya, 2005).
Mantra tersebut berasal dari Atharvaveda yang membicarakan tentang Garbhǎdhǎna sanskǎra atau upacara sebelum kehamilan. Mantra ter- sebut perlu diucapkan sebelum suami istri mempunyai keinginan untuk mendapatkan keturunan atau anak. Dalam Susruta l.35, dikatakan bahwa waktu untuk pernikahan pria di atas 25 tahun dan wanita di atas 16 tahun dan tidak boleh di bawah umur ini. Jika seorang anak lahir dari kandungan ibu di bawah umur ini, anak yang akan lahir kurang sempurna dan petumbuhannya akan terganggu. Bayi dalam kandungan ini dijaga oleh Catur sanak, yaitu air ketuban (yeh nyom), lendir (lamas), darah (getih), dan placenta (ari-ari) sebagai penyalur utama makanan kepada bayi. Di samping itu dikenal dengan nyama bajang yang berjumlah 108. Keduanya yang berfungsi sebagai rumah bagi bayi dalam kandungan ibunya (Wiana, 2002: 242), (Suhardi dan Sudirga, 2015:83).
2. Punsavana Sanskǎra
Punsavana Sanskǎra merupakan upacara yang bertujuan sebagai pembersihan dan pemeliharaan atas keselamatan ibu dan kandungannya, disertai harapan agar anak yang akan lahir kelak menjadi orang yang berguna bagi masyarakat dan dapat memberi harapan orangtuanya. Hal ini juga dijelaskan dalam Yajurveda: 12-4 bahwa:
"Wahai bayi yang ada dalam kandungan ibu, kamu diibaratkan seekor burung yang memiliki sayap yang indah dan dalam pikiranmu terdapat tiga pengetahuan, yaitu jnana, karma dan bhakti. Dalam jnana marga, Gayatri Mantra merupakan tujuanmu, dalam karma marga seperti kereta kuda di mana terdapat roda- roda kereta yang meluncur dengan cepatnya, demikian juga kamu menjalankan karma. Dalam bhakti marga, atmamu selalu memuja Tuhan", (Maswinara, 1999)
Tujuan dari Punsavana Sanskǎra adalah agar ibu memperhatikan bayi di dalam kandungan. Pada waktu bulan kedua atau ketiga kehamilan ibu, biasanya muncul dua permasalahan, yaitu jangan sampai kehamilan tersebut gagal dan bayi yang dikandung tidak sempurna. Supaya kedua hal itu tidak terjadi, para rsi memperkenalkan Punsavana Sanskǎra agar bayi yang dikandung berkembang dengan baik dan tidak ada hal yang negatif. Hal ini terdapat dalam petikan Mahǎbhǎrata yang terjadi ketika Arjuna mengkisahkan padmavyuha kepada istrinya, Subhadra. Hal ini diberitahu oleh Kiisna bahwa bayi yang dikandungnya terkena pengaruh cerita Arjuna. Seperti diketahui ketika Abhimanyu sedang dalam kandungan, Arjuna bercerita kepada istrinya tentang sebuah Cakra Vyuha, yaitu salah satu strategi peperangan, (Suhardi dan Sudirga, 2015:84).
Pada waktu Arjuna menceritakan kepada istrinya, Abhimanyu yang masih berada dalam kandungan mendengar semua. Setelah hampir semua cerita strategi peperangan itu selesai, istrinya tertidur, sehingga tidak sempat mendengar secara lengkap. Abhimanyu, yang sudah dewasa ketika menghadapi lawan-lawannya akan masuk ke dalam Cakra Vyuha. Karena ibunya tertidur pada waktu ia masih dalam kandungan, Abhimanyu tidak tahu bagaimana caranya untuk ke luar sehingga, Abhimanyu dibunuh dalam Cakra Vyuha (Subramanyam, 2003: 566).
Fakta ini kemudian diteliti oleh ilmuan barat bahwa makanan yang dimakan oleh ibu hamil, pikiran, gagasan dan kata yang didengar memengaruhi janin dalam kandungan (Jareonsettasin, 2002: 3). Para rsi juga percaya bahwa bayi yang akan lahir bukanlah anak biasa karena telah dilaksanakan upacara punsavana sesuai dengan Veda. Melalui sanskǎra tersebut ibu akan selalu sehat dan bayi yang akan lahir tanpa gangguan serta ibu yang mengikuti upacara tersebutpun dapat membersihkan pikiran dan selalu tenang supaya bayi yang dikandung dapat dipengaruhi oleh sifat- sifat baik. Para rsi percaya, melalui sanskǎra, manusia bisa diubah menuju ke jalan yang benar. Demikian juga bayi yang dikandung yang membawa karma-nya sendiri agar menuju kebaikan dan lahir menjadi manusia sejati. Punsavana Sanskǎra dilakukan setelah sanskǎra kehamilan, yaitu garbhadhana. Punsavana Sanskǎra perlu dilakukan agar bayi yang dikandung berkembang secara sempurna dan sehat. Menurut Jatukarnya dan Saunaka Viramitrodaya Samskara Prakasa (I.166), upacara punsavana dilakukan setelah janin dalam kandungan berumur tiga bulan, ketika sudah nampak terjadinya pembuahan (Titib, 2003: 51).
Dalam Caraka Samhita terdapat beberapa hal penting. Buku yang ditulis oleh Rsi Caraka itu menyatakan pada sutra ke-42. Jika dia suka bertengkar, bayi yang lahir akan berpenyakit. Jika dia selalu berhubungan badan, bayi yang lahir juga akan demikian. Jika dia selalu berpikir dan sedih, bayi yang lahir akan kurus dan takut. Jika dia makan terlalu banyak asam, bayi yang lahir akan punya penyakit kulit. Jika dia makan banyak garam, bayi yang lahir akan berambut cepat putih. Supaya yang dijelaskan oleh Caraka tersebut tidak terjadi, hal-hal tersebut perlu diperhatikan.
Dalam Caraka sutra ke-44 menjelaskan bahwa sejak awal kehamilan, ibu hendaknya selalu berbahagia, memakai busana dan kain putih, berpikiran yang tenang, dan dalam pikirannya selalu ada keinginan untuk menolong orang lain, seperti ayah, suami, dan guru. Dia harus menjauhi diri dari wajah-wajah jelek, menghindari makan makanan basi, menghindari pergi ke rumah yang kosong, demikian juga tempat pembakaran mayat. Hal-hal tersebut juga perlu diperhatikan supaya bayi yang dikandung berkembang dengan baik tanpa gangguan, (Suhardi dan Sudirga, 2015:85).
3. Simantonayana Sanskǎra
Upacara ini dilakukan pada bulan keempat atau kelima kehamilan per- tama seorang wanita. Pada saat itu, sisiran rambut dari istri, bentuknya terbelah menjadi dua, yaitu kiri dan kanan yang posisinya tengah di atas kepala. Simantonayana dilakukan untuk melindungi ibu pada masa kritis kehamilan. Samskara ini bermakna sebagai me- mohon perlindungan bagi ibu dan bayi yang belum lahir. Upacara ini juga bertujuan untuk mengusir roh jahat yang mungkin ingin membahayakan ibu dan bayinya. Selain itu, juga bertujuan untuk memastikan kesehatan ke- duanya dalam keadaan baik, keberhasilan dan ke-makmuran bagi anak yang belum lahir. Hal ini dijelaskan dalam Rgveda: 2.32.4 bahwa:
"Rǎkǎm ahan suhavǎn sucIuti huve sccoti na? subhagǎ bodhatu tmanǎ, Sivyatvapa? sucya-cchidyamǎnayǎ dadǎtu viran sata dǎyamukthayam".
Terjemahan:
"Saya sebagai seorang suami dengan sopan dan dengan bahasa yang lemah lembut, memanggil istriku yang bercahaya bagaikan bulan purnama. Demikian pula halnya yang telah mendengarkan kata-kata kami dan menerima keinginan kami dalam hati yang tulus ikhlas. Seperti halnya jarum yang menjahit kain tebal, demikian juga dengan istriku yang menjalankan tugas grihastha sehari-hari dengan baik", (Suhardi dan Sudirga, 2015:86).
"Seperti halnya seorang istri melahirkan anak yang dapat menolong dunia dengan ratusan tangan dan mendapatkan pujian dari masyarakat. Semoga lahir putra yang kuat agar nanti dapat menyumbangkan kemampuannya untuk masyarakat". (Maswinara, 2008: 5l7).
Berangkat dari pemahaman ini simantonayana sanskǎra perlu dilakukan demi perkembangann mental bayi, agar sehat (mental development). Simant berarti perkembangan pikiran, dengan demikian simantonayana berarti melalui sanskǎra tersebut ibu memperhatikan bayinya supaya dapat berkembang dengan mental yang sehat. Para rsi percaya bahwa melalui sanskǎra (upacara) tersebut, manusia bisa diubah sesuai dengan keinginan ayah ibu mereka. Susruta menjelaskan bahwa samskara tersebut perlu dilakukan pada bulan keempat atau kedelapan. Dikatakan bahwa pada bulan kelima, pikiran bayi yang berada dalam kandungan mulai berkembang, sedangkan pada bulan keenam budi, bulan ketujuh anggota badan, dan bulan kedelapan cahaya ojas (pancamane manah prati budhataram bhavati). Dengan demikian, sampai bulan kedelapan bayi yang ada dalam kandungan telah memiliki pikiran, budi, dan hati sebagai bekal kehidupan (Titib, 2003: 55).
Dalam bahasa Sansekerta, ibu disebut dauhrda yang berarti memiliki dua hati. Hati yang dimaksud yaitu hatinya sendiri dan bayi yang berada dalam kandungannya, karena bayi hanya memiliki karma dari kehidupan sebelumnya dan sekarang akan bergabung dengan karma ibu. Supaya pengaruh terhadap bayi menjadi baik, perlu dilakukan upacara simantonayana, karena apa pun yang dirasakan oleh ibu akan memengaruhi bayinya.
Dalam Susruta dikatakan, jika ibu yang sedang mengandung anak melakukan upacara-upacara keagamaan, ia akan melahirkan anak yang tertarik terhadap agama. Demikian juga jika ibu selalu memikirkan tentang dewa-dewa, anak yang akan lahir akan memiliki sifat kedewataan: devata pratimayam tu prasute parsado pamam. (Som-vir, 200l dalam Titib, 2003: 58). Begitu besar pengaruh pemikiran ibu terhadap bayinya, sehingga apa pun yang dilakukan oleh ibu, sangat berpengaruh terhadap bayinya. Perlu di upaya-kan agar anak berkembang dalam kandungan dengan sempurna dan lahir dengan kekuatan mental yang sehat, (Suhardi dan Sudirga, 2015:87).
Untuk itu, perlu diucapkan mantra: yatheyam prthivi mahyuttana garbhma dadhe, vam tam garbhama dhehi dasame masi sutave. (Asvalayana : 1.14). Artinya, seperti ibu prthivi yang luas dan besar mempunyai banyak tumbuhan dalam kandungannya, istriku mempunyai bayi dalam kandungan selama sepuluh bulan dengan baik.
Upacara simantonayana sanskǎra yang ada di Indonesia terutama yang ada di Jawa dikenal dengan tingkepan atau pitungwulanan dan di Bali disebut dengan magedong-degongan. Tujuan upacara ini adalah memohon ke hadapan Hyang Widhi Wasa agar janin yang telah berbentuk bayi semakin sempurna dan kemudian lahir sebagai anak yang suputra, karena janin yang berumur 6 sampai 7 bulan sudah mempunyai bentuk tubuh yang lengkap.
Di samping itu, istri perlu diberikan doa oleh para brahmana: Semoga kamu mempunyai keturunan yang perwira, semoga kamu melahirkan anak yang hidup, dan semoga kamu menjadi istri suami yang hidup. Demikian pelaksanaan garbhǎdhǎna, punsavana, dan simantonayana sanskǎra yang dilakukan ketika janin dalam kandungan, dengan tujuan untuk memohon keselamatan dan anugerah dari Hyang Widhi agar menjadi anak yang suputra, (Suhardi dan Sudirga, 2015:88).
Referensi:
Suhardi, Untung dan Sudirga, Ida Bagus. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas IX (Cetakan Ke-1, 2015). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
0 Response to "Jenis-Jenis Samskara Dalam Agama Hindu"
Post a Comment