Pengembangan Iman Anak Melalui Pendidikan Agama Berbasis Pengalaman Dalam Komunitas
Friday, October 29, 2021
Add Comment
MUTIARAHINDU.COM -- Pengembangan Iman Anak Melalui Pendidikan Agama Berbasis Pengalaman Dalam Komunitas. Sebagai bagian yang sangat fundamental dalam pembentukan kepribadian manusia, pendidikan agama merupakan kunci yang tidak bisa diabaikan, karena merupakan salah satu faktor penunjang dalam pendidikan moral manusia. Manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan tidak dapat terwujud secara tiba-tiba, melainkan melalui proses pendidikan yang berkelanjutan. Pengembangan iman melalui pendidikan agama berlangsung seumur hidup manusia baik di dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Pengalaman dalam komunitas keluarga, sekolah dan masyarakat merupakan pengalaman-pengalaman bermakna yang mampu mewujudkan iman manusia secara utuh baik sebagai individu maupun makhluk sosial. Iman sosial terealisasi dalam kehidupan berkomunitas. Kehidupan berkomunitas akan meningkatkan kualitas relasi antar manusia dan sekaligus mewujudkan kehidupan bersama yang saling menghidupkan dan mengembangkan. Relasi hubungan antar manusia yang harmonis adalah wujud keharmonisan relasi manusia dengan Tuhan. Pendidikan agama yang berkualitas diyakini menjadi perisai yang ampuh untuk menangkal berbagai tantangan zaman, seperti konsumerisme, hedonisme, dan sekularisme. Setiap pribadi akan tumbuh dan berkembang imannya melalui kehidupan komunitas yang kondusif dan menyenangkan yang mampu membawa perubahan iman yang semakin dewasa. Pendidikan agama yang berkualitas tentu akan mendukung setiap pribadi untuk mewujudkan imannya secara konkret baik secara individual maupun sosial. Bagaimanakah pendidikan agama di Indonesia dalam konteks pendidikan nasional? Bagaimanakah pendidikan agama yang berbasis pada pengalaman mampu mengembangkan iman anak? Bagaimanakah pendidikan agama yang memerhatikan aspek-aspek pengembangan iman anak? Kehidupan komunitas macam apakah yan mampu mengembangkan kehidupan iman anak? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab dalam uraian berikut ini.
II. METODE
Jenis penelitian ini menggunakan metode library research atau penelitian pustaka. Penelitian ini ditulis berdasarkan hasil kajian terhadap berbagai bahan pustaka yang relevan, baik berupa buku, jurnal, maupun artikel yang terkait dengan fokus masalah di atas. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang bersifat tekstual yang berupa pandangan dan pemikiran yang berada dalam bahan pustaka yang dimaksud. Sejalan dengan metode yang dipakai, maka teknik pengumpulan data yang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini adalah teknik dokumenter. Artinya, data dikumpulkan melalui dokumen-dokumen seperti yang dimaksud sebagai bahan pustaka. Data yang terkumpul dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis isi (content analysis). Dengan teknik ini, data kualitatif tekstual dipilah pilah dan dipilih, dikelompokkan antar data yang sejenis, dan selanjutnya dianalisis isinya secara kritis untuk mendapatkan suatu formulasi yang konkret. Selanjutnya formulasi tersebut dideskripsikan secara mendalam.
III. PEMBAHASAN
3.1. Pendidikan Agama dalam Konteks Pendidikan Nasional
Pendidikan agama di sekolah memiliki peranan penting dalam pembinaan iman peserta didik. Dalam Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan dengan ketentuan umum pasal 1, berisi bahwa Pendidikan Agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, serta keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/mata kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan agama di Indonesia dimasukkan ke dalam kurikulum nasional yang wajib diikuti oleh semua peserta didik mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. Adapun tujuannya adalah untuk mendidik peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, berilmu, kreatif, mandiri, serta bertanggung jawab (UU Sisdiknas, 2003).
Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses pendewasaan manusia menjadi manusia seutuhnya. Manusia seutuhnya meliputi keseluruhan dimensi kehidupan manusia: fisik, psikis, mental/moral, spiritual dan religius. Pendidikan agama di sekolah merupakan salah satu upaya pendewasaan manusia pada dimensi spiritual-religius. Adanya pelajaran pendidikan agama di sekolah merupakan upaya pemenuhan hakikat manusia sebagai makhluk religius (homo religiousus). Pelaksanaan pelajaran agama di sekolah selama ini sudah berjalan dengan baik di Indonesia dengan memberlakukan/ memasukkan pelajaran agama dalam kurikulum. Pelajaran Pendidikan Agama merupakan salah satu pelajaran ‘wajib’ yang harus ada dan diterima oleh para peserta didik.
Pendidikan agama memiliki kedudukan yang penting dalam pendidikan nasional. Pertama, selaras dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” (UU 20/2003, pasal 3). Kedua, tentang pengembangan kurikulum: Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memerhatikan: (a) peningkatan iman dan takwa, (b) peningkatan akhlak mulia, (c) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik, (d) keragaman potensi daerah dan lingkungan, (e) tuntutan pengembangan daerah dan nasional, (f) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, (g) agama, (h) dinamika perkembangan global, (i) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.” (UU 20/2003, pasal 36).
Menurut Prasetya (2009: 20-22), pendidikan agama perlu mendapat perhatian serius di zaman sekarang ini. Hal ini tidak lepas dari tantangan bangsa Indonesia di masa mendatang yang semakin besar. Berbagai tantangan yang mulai muncul antara lain gaya hidup manusia yang semakin sekular dan hedonis, perkembangan teknologi yang semakin pesat dan semakin menantang, bentuk pendidikan agama yang kontekstual, dunia kaum muda yang semakin marak dengan kasus-kasus narkoba, pergaulan bebas, perkelahian, dan lain sebagainya.
Berhadapan dengan situasi tersebut, pendidikan agama sebagai dasar moralitas bagi peserta didik pada khususnya perlu mendapat perhatian yang serius. Sebab peserta didik merupakan generasi penerus bangsa, bahkan tumpuan yang dapat diharapkan dan dibanggakan bagi kehidupan dan perkembangan bangsa. Mereka perlu dipersiapkan dengan pendidikan agama yang baik dan memadai bagi kehidupan di masa yang akan datang.
Dalam proses pembinaan peserta didik di sekolah, menciptakan suasana belajar yang menyenangkan merupakan kunci utama yang perlu diwujudkan. Oleh karena itulah, apabila sejak dini anak-anak mengalami berbagai kegiatan yang menyenangkan dalam proses belajar, dapat dipastikan bahwa mereka akan senantiasa hadir dalam setiap pertemuan dengan setia. Mereka tidak hanya akan setia, tetapi juga akan merasa senang dan bersemangat untuk mengikutinya. Selain menciptakan kegiatan yang menyenangkan, perlu juga senantiasa memerhatikan perkembangan kepribadian dan iman anak.
Pendidikan agama yang berkualitas mengandaikan tersedianya tempat persemaian yang khusus dan berkesinambungan, agar anak-anak dapat mengembangkan iman dan kepribadian mereka seturut nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Tersedianya tempat persemaian yang tepat dapat diartikan dengan tersedianya komunitas yang dapat memberikan pendidikan dan pembinaan iman bagi anak-anak. Melalui tempat penyemaian inilah, anak-anak mendapat pembinaan untuk berkembang menjadi pribadi yang dewasa dalam iman baik dalam cara berpikir, merasa, dan bertindak.
3.2. Pendidikan Agama yang Berbasis pada Pengalaman
John Dewey (2002: 12) menganjurkan agar pendidikan sebaiknya berangkat dari pengalaman. Melalui pendidikan berbasis pengalaman diharapkan proses pembelajaran dapat lebih menarik dan berkesan. Ia mengatakan bahwa sesungguhnya semua pendidikan sejati tejadi melalui pengalaman, meskipun demikian, tidak berarti bahwa setiap pengalaman sungguh-sungguh bersifat edukatif atau memiliki nilai pendidikan. Sebab pengalaman dan pendidikan tidak dapat secara langsung disamakan begitu saja. Beberapa pengalaman juga berpotensi salah didik, dimana pengalaman tersebut dapat mengakibatkan rusaknya proses pertumbuhan pengalaman selanjutnya.
Apa yang diperoleh anak di bangku sekolah masih kurang bagi pertumbuhan imannya. Proses pendidikan agama yang terjadi di sekolah selama ini cenderung menekankan aspek kognitif. Anak-anak lebih banyak memeroleh berbagai teori yang pada akhirnya diuji melalui tes dengan soal-soal yang cenderung menyentuh ranah kognitif. Adapun pendidikan yang menyentuh ranah afektif dan psikomotorik masih sangat kurang. Dengan demikian, pendidikan iman melalui Pelajaran Agama perlahanlahan menjadi pelajaran yang kurang menyenangkan. Oleh karena itu, memperkenalkan iman melalui kegiatan yang menarik dan tidak kaku kiranya menjadi pilihan yang lebih baik.
Meskipun menekankan aspek pengalaman, hal itu tidak berarti boleh sembarang pengalaman, namun haruslah pengalaman yang berkualitas. Oleh karena itu, hal yang harus dipikirkan adalah sejauh mana kualitas pengalaman itu akan diberikan bagi mereka. Menurut Dewey (2002: 14), kualitas pengalaman sendiri memiliki dua aspek: pertama aspek langsung, yaitu menyenangkan atau tidak menyenangkan; dan yang kedua adalah aspek pangaruh terhadap pengalaman selanjutnya atau nilai kontinuitas dari pengalaman yang diperolehnya.
Pada aspek pertama, John Dewey ingin mengingatkan bahwa setiap pengalaman sebaiknya mampu membawa suasana yang menyenangkan bagi para peserta didik. Pengalaman yang menyenangkan sangat banyak, namun Dewey ingin mengingatkan bahwa tidak semua pengalaman yang menyenangkan itu baik bagi proses pembelajaran. Hal ini tentu menjadi tugas para guru untuk menata kembali beberapa jenis pengalaman belajar. Pengalaman tersebut hendaknya tidak menjemukan dan mampu mendorong peserta didik untuk belajar. Pengalaman yang demikian tentunya tetap lebih baik daripada hanya sekadar memberikan pengalaman yang menyenangkan saja. Dengan pengalaman yang menyenangkan dan mampu mendorong semangat belajar, peserta didik akan belajar lebih banyak dari yang diberikan. Mereka akan belajar dengan lebih mandiri, bersemangat serta menumbuhkan daya kreatif (Dewey, 2002: 15). Dengan melihat hal tersebut, maka setiap pengalaman harus senantiasa berpengaruh bagi pengalaman selanjutnya. Bagi para pendidik sendiri, ia harus mampu memilih jenis pengalaman saat ini yang berpengaruh secara kreatif dan produktif pada seluruh pengalaman berikutnya.
Dalam prinsip kontinuitas pendidikan berdasarkan pengalaman, perlu diingat bahwa pendidikan merupakan suatu perkembangan di dalam pengalaman, melalui pengalaman dan untuk pengalaman (Dewey, 2002: 16). Pendidikan hendaknya tetap berpegang pada prinsip pertumbuhan. Pendidikan hendaknya juga semakin membantu setiap peserta didik untuk semakin berkembang ke arah kedewasaan. Dengan demikian, hal itu berarti bahwa setiap usaha pengajaran yang dilakukan harus senantiasa dilakukan dalam kerangka pengalaman melalui berbagai bentuk kegiatan, sehingga membantu dan bermanfaat bagi perjalanan hidupnya di masa mendatang.
Pendidikan yang disampaikan dengan berbasis pengalaman nyata itu akan menghantar pada pembelajaran yang holistik. Maksudnya ialah bahwa pembelajaran yang dilakukan tidak hanya mengasah pada ranah kognitif atau mengasah kecerdasan intelektual saja, namun juga mengasah pada aspek afektif dan psikomotorik. Melalui pendidikan yang diupayakan tersebut, bisa diharapkan bahwa setiap peserta didik akan dapat tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang utuh.
3.3. Pendidikan Agama yang Memerhatikan Perkembangan Iman Anak
Terdapat berbagai hasil penelitian tentang perkembangan manusia. Hasil penelitian perkembangan manusia tersebut dikenal dengan teori perkembangan mental kognitif yang ditemukan oleh Jean Piaget. Sementara teori perkembangan moral ditemukan oleh L. Kohlberg, teori perkembangan psikososial atau kepribadian ditemukan oleh Erik H. Erikson, dan teori perkembangan kepercayaan ditemukan oleh James W. Fowler.
Dalam mengembangkan pola pendidikan yang berbasis pada pengalaman, perlu diperhatikan tahap-tahap perkembangan dari setiap pribadi. Entah itu mereka yang masuk dalam kelompok anak-anak maupun kaum muda, semuanya perlu mendapat perhatian khusus. Pada proses perkembangan iman/kepercayaan berdasarkan penelitian James W. Fowler, hal tersebut akan memengaruhi terhadap model pembelajaran yang harus diberikan, agar sesuai dengan usia dan kebutuhan peserta didik.
Dalam teorinya, Fowler berusaha memanfaatkan hasil penemuan ketiga tokoh besar yang lain untuk sampai pada teori perkembangan kepercayaan seseorang. Menurut Fowler dalam Atmadja (1990: 233), kepercayaan (faith) adalah:
Faith, as approached here, is not necessarily religious,’ nor is to be equated with belief. Rather faith is a person’s way of leaning into and making sense of life. More verb than noun, faith is dynamic system of image, values, and commitments that guide one's life. It is thus universal: everyone who chooses to go on living operates by some basic faith.
Dengan demikian, Fowler memandang kepercayaan merupakan kegiatan “relasional”. Sebab cara pemberian arti dalam kepercayaan tersebut berakar dalam relasi rasa percaya antar pribadi, yang mengandung nilai orientasi bersama (Fowler, 1995:21).
Berdasarkan pengertian tersebut, ditemukan bahwa hal yang paling utama adalah tumbuhnya rasa percaya. Dalam relasional kepercayaan, Fowler membedakannya dalam tiga aspek. Pertama, kepercayaan sebagai cara seorang pribadi (atau kelompok) melihat hubungannya dengan orang lain, dengan siapa ia merasa diri bersatu berdasarkan latar belakang sejumlah tujuan dan pengertian yang dimiliki bersama. Kedua, kepercayaan sebagai cara tertentu dari pribadi tersebut dalam menafsirkan dan menjelaskan seluruh peristiwa dan pengalaman yang berlangsung di segala bidang dan daya kehidupan yang majemuk dan kompleks. Ketiga, kepercayaan sebagai cara pribadi tersebut dalam melihat seluruh nilai dan kekuatan sebagai realitas paling akhir dan pasti bagi sesamanya.
Dari hasil penelitiannya, Fowler membedakan tahap perkembangan kepercayaan manusia menjadi tujuh tahap. Pertama, tahap 0: masa kanak-kanak dan kepercayaan eksistensial yang tak terdiferensiasi. Kedua, tahap 1: kepercayaan eksistensial yang intuitif-proyektif. Ketiga, tahap 2: kepercayaan eksistensial yang mitis harfiah. Keempat, tahap 3: kepercayaan eksistensial sintesis-konvensional. Kelima, tahap 4: kepercayaan eksistensial individuatif-reflektif. Keenam, tahap 5: kepercayaan eksistensial konjungtif. Ketujuh, tahap 6: kepercayaan eksistensial yang mengacu pada universalitas.
Anak-anak yang terlibat dalam kegiatan pembinaan iman anak itu umumnya berusia 6-12 tahun. Menurut Fowler usia ini termasuk pada tahap 2, yaitu kepercayaan mitis-harfiah. Menurut Fowler (1995:29), perkembangan kepercayaan pada masa ini,
Operasi-operasi logis tersebut masih bersifat “konkret”, tetapi sudah memungkinkan daya pikir logis dengan menggunakan kategori-kategori sebabakibat, ruang dan waktu. Hubungan sebab-akibat tersebut kini dimengerti secara jelas, dan dunia spasial temporal disusun menurut skema “linier” (garis sebabakibat) serta sifat “dapat diramalkan”.
Pada masa ini anak juga belajar melepaskan diri dari sikap egosentrismenya, dan mulai membedakan antara perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain, serta memerluas pandangannya dengan mengambil alih pandangan orang lain. Berkat halha1 tersebut, anak sanggup memeriksa dan menguji gambaran serta pandangan religiusnya dengan tolak ukur logikanya sendiri, pengecekan atau pengamatannya, dan pandangan religius orang dewasa yang diandalkannya sebagai sumber otoritas. Pada tingkat moral, anak belum mampu menyusun dunia batinnya sendiri. Pandangan moral yang muncul adalah bahwa yang baik itu harus mendapat hadiah dan yang jahat harus dihukum. Pola pembinaan tahap ini menggunakan media cerita guna mengumpulkan berbagai arti menurut sifat keterkaitannya dan untuk membentuk pendapatnya (Fowler, 1995:29-30).
Dalam rangka pendidikan agama, pada masa ini sebaiknya lebih bersifat mendidik dan berusaha mengembangkan sumber daya manusia. Pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia hendaknya mampu memberikan basis antropologis bagi kehidupan iman, menumbuhkan rasa percaya, kebebasan, bersedia memberikan diri atau berkorban, mengungkapkan doa, bersedia ambil bagian dalam sebuah kegiatan atau kesediaan berpartisipasi dan menciptakan suasana yang menggembirakan. Pada masa anak-anak, aspek-aspek penting dalam pembinaan adalah latihan doa dan pengenalan Kitab Suci (Komkat KWI, 2000: 162).
Karya pendidikan agama juga perlu memberikan perhatian akan pentingnya dua ranah pendidikan yang vital. Menurut Petunjuk Umum Katekese, kedua ranah tersebut Karya pendidikan agama juga perlu memberikan perhatian akan pentingnya dua adalah keluarga dan sekolah (Komkat KWI, 2000: 162). Hal ini berarti bahwa pendidikan teologis hendaknya memerhatikan kedua ranah pembinaan ini. Keluarga dan sekolah merupakan komunitas atau tempat di mana anak-anak banyak menghabiskan waktunya untuk menjalin relasi. Oleh karena itu, pendidikan yang memberikan keteladanan nilai-nilai religiositas perlu diciptakan dan dijaga. Secara khusus dan utama keluarga hendaknya bertanggung jawab terhadap mutu pendidikan tersebut. Dalam arti tertentu, tidak ada sesuatupun yang mampu menggantikan katekese keluarga, khususnya karena lingkungannya yang positif dan reseptif, karena teladan orang dewasa, dan karena pengalaman eksplisit dan praksis iman.
3.4. Pendidikan Agama yang Membangun Komunitas Iman
Jack L. Seymoure (1997:18) menjelaskan bahwa pendidikan agama merupakan suatu percakapan untuk kehidupan, suatu pencarian untuk menggunakan sumbersumber iman dan tradisi-tradisi budaya, untuk bergerak ke arah masa depan yang terbuka terhadap keadilan dan pengharapan. Dengan demikian, setiap usaha pendidikan agama sedapat mungkin mampu memberi perubahan terhadap pribadi-pribadi yang turut serta dalam proses pendidikan. Menurut Seymoure (1997:21), pendidikan iman yang ada saat ini dapat dikelompokkan ke dalam empat pendekatan, yaitu: pendekatan instruksional, pendekatan perkembangan spiritual, pendekatan komunitas iman dan pendekatan transformasi.
Di sisi lain, setiap orang membutuhkan pengalaman persaudaraan, pengalaman diterima dan menerima orang lain dalam kelompok. Pengalaman persaudaraan yang mendalam terjadi dalam kelompok-kelompok kecil. Dalam kelompok kecil ini setiap anggota tidak merasa berbeda, namun diakui sebagai pribadi yang dikenal dan mengenal saudara-saudaranya. Demikianlah keberadaan komunitas tidak dapat dilepaskan dari proses pertumbuhan dan perkembangan anak-anak dan kaum muda.
Berdasarkan apa yang telah diungkapkan Seymoure dan akan pentingnya komunitas itulah anak-anak dan kaum muda diajak untuk membangun komunitas iman. Dalam membangun komunitas iman, tentu harus memiliki tujuan. Menurut Seymoure (1997:21), tujuan dari komunitas iman adalah “Buildings communities that promote authentic human development; helping person enact community”. Dalam pendekatan pendidikan komunitas iman, proses pendidikan yang dilakukan itu melalui pelayanan (service), refleksi (reflection) dan komunitas (communion). Berkaitan dengan ketiga hal tersebut, Jack L. Seymoure (1997: 50) mengatakan:
Service is action to generate and develop community life to enact transformative change, reflection is the interpretation of the word of God in the present and an articulation of our identity, and communion is the creation an maintenance of the bond within a particular church community and among other such communities.
Dengan demikian, dalam pendidikan komunitas iman terdapat berbagai upaya yang harus dilakukan. Pasalnya, pendidikan komunitas iman sendiri pertama-tama bukan hanya bertujuan bagi kelompok itu saja, namun juga sejauh mana keberadaan komunitas tersebut mampu menjadi garam dan terang bagi kelompok lain.
Melalui komunitas setiap anggota dapat saling berkomunikasi demi perkembangan keutuhan setiap pribadi dan diharapkan setiap pribadi dalam kelompok dapat mengembangkan komunitasnya. Dengan demikian, pendidikan melalui pengalaman berkomunitas dapat menjadi pengalaman yang sangat berkesan bagi mereka. Hanya melalui komunitas, anak-anak dapat menunjukkan berbagai bakat dan keterampilan yang mereka miliki.
Terdapat berbagai bentuk pendidikan agama melalui pengalaman berkomunitas bagi anak-anak. Beberapa kegiatan dapat dilakukan dalam kerangka pembinaan iman anak. Dalam pelajaran pendidikan agama, anak-anak diajak untuk berkumpul agar iman mereka semakin diperdalam, diteguhkan, dan diperkaya. Untuk itu, hendaknya pembelajaran sedapat mungkin dilaksanakan dalam suasana yang menggembirakan dan menyenangkan melalui berbagai kegiatan, seperti: bermain, membaca cerita-cerita Kitab Suci, berdoa, tanya-jawab seputar bahan pertemuan serta melakukan aktifitas kreatif tertentu. Aktifitas yang dilakukan hendaknya bertujuan mendukung proses pendampingan, misalnya dengan menggambar, mewarnai, membuat hiasan foto keluarga, dan lain sebagainya.
Setiap kegiatan tersebut apabila diperhatikan sesungguhnya merupakan kegiatan yang sederhana. Saat mengadakan kegiatan pembinaan bagi anak-anak, hendaknya ditanamkan pemikiran bagaimana memerkenalkan kepada mereka sebanyak mungkin tradisi iman dengan lebih menarik, sehingga pengalaman yang mereka dapatkan memiliki aspek kontinuitas.
Melalui kegiatan tersebut diharapkan anak-anak menjadi semakin bersemangat dan antusias dalam kegiatan pembelajaran agama. Salah satu faktor yang semakin jelas terlihat yaitu keaktifan mereka dalam setiap kegiatan, yang mungkin mereka tunjukkan dengan terlibat memimpin doa dalam pertemuan, bersedia ambil bagian dalam memersiapkan tempat pertemuan sekaligus membersihkan tempat pertemuan, dan lain sebagainya.
Selain pembinaan yang demikian, anak-anak juga perlu dikenalkan dengan komunitas-komunitas lain. Komunitas-komunitas tersebut antara lain, komunitas orang muda, komunitas disabilitas, komunitas kaum bapa, komunitas kaum ibu, dan komunitas kategorial lainnya. Dalam usaha ini, kelompok yang hendaknya paling berperan adalah yang memiliki usia lebih tua. Hal ini perlu diperhatikan mengingat bahwa nantinya diharapkan anak-anak akan masuk, tergabung dan turut terlibat dalam kelompok-kelompok tersebut. Oleh karena itu, bentuk keteladanan dari pihak-pihak lainnya sangat berperan. Hal ini mengingat bahwa anak-anak belajar dari pengalalam dan meniru pengalaman yang berkesan bagi mereka. Perlu disadari pula bahwa sesunguhnya upaya memberikan keteladanan bagi anak-anak bukanlah hal yang mudah. Pemberian keteladanan membutuhkan komitmen yang tinggi dan sikap rela berkorban.
IV. SIMPULAN
Anak-anak merupakan harapan bagi bangsa, negara dan agama. Selain itu, mereka juga dipandang sebagai tantangan dan peluang yang besar untuk diperhatikan. Perubahan sosio budaya yang cepat dan menggebu-gebu itu merupakan tantangan yang perlu disikapi secara bijaksana demi perkembangan anak-anak dan juga masa depannya. Sangat penting memberikan pengalaman yang berharga bagi mereka di saat mereka masih anak-anak. Pengalaman yang perlu diberikan kepada mereka tentunya yang bermanfaat bagi masa depan mereka, yaitu pengalaman yang senantiasa bersifat kontinuitas dan menyenangkan. Pengalaman yang berharga dan bermanfaat itu tentu akan lebih berharga dibandingkan dengan apapun juga. Pengalaman yang berharga dan membahagiakan itu dengan sendirinya juga akan tetap terpatri dalam memori mereka. Salah satu bentuk belajar melalui pengalaman yang membahagiakan dan menyenangkan dapat dilakukan melalui komunitas. Melalui pendidikan yang berbasis pada pengalaman dalam berkomunitas itu setiap pribadi diajak untuk bersedia memberikan diri bagi orang lain dan saling mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan setiap pribadi secara utuh.
Oleh: Hermawan Winditya
Universitas Bina Nusantara
Judul: Pengembangan Iman Anak Melalui Pendidikan Agama Berbasis Pengalaman Dalam Komunitas
0 Response to "Pengembangan Iman Anak Melalui Pendidikan Agama Berbasis Pengalaman Dalam Komunitas"
Post a Comment