Jenis-jenis atau Tipilogi Kepemimpinan dalam Ajaran Hindu
Monday, December 2, 2019
Add Comment
MUTIARAHINDU.COM -- Kata Tipologi dalam KBBI adalah ilmu watak bagian manusia golongan- golongan menurut corak watak masing-masing (KBBI, 2003). Jadi, tipologi kepemimpinan Hindu disini adalah jenis-jenis kepemimpinan dalam ajaran Hindu. Dalam konsep kepemimpinan Barat yang lebih banyak dijadikan dasar adalah sikap dan tingkah laku dari para pemimpin-pemimpin besar di dunia. Oleh karena itu, mereka banyak mengemukakan jenis-jenis kepemimpinan yang sesuai dengan tokoh personalnya (Sutedja, 2007: 12), seperti: kepemimpinan Karismatik, Paternalistik, Maternalistik, Militeristik, Otokrasi, Lassez Faire, Populistik, Eksekutif, Demokratik, Personal, dan Sosial.
Lain halnya dengan konsep kepemimpinan dalam ajaran Hindu. Selain dasar tersebut, yang terutama sekali kepemimpinan Hindu bersumber dari kitab suci Weda dan diajarkan oleh para orang-orang suci. Kepemimpinan Hindu juga banyak mengacu pada tatanan alam semesta yang merupakan ciptaan dari Tuhan Yang Maha Esa. Adapun konsep-konsep kepemimpinan Hindu yang banyak diajarkan dalam sastra dan susastranya antara lain: Sad Warnaning Rajaniti, Catur Kotamaning Nrpati, Tri Upaya Sandi, Pañca Upaya Sandi, Asta Brata, Nawa Natya, Pañca Dasa Paramiteng Prabhu, Sad Upaya Guna, dan Pañca Satya (Ngurah, 2006: 194). Berikut ini rincian dari konsep-konsep kepemimpinan Hindu.
1. Sad Warnaning Rajaniti
Sad Warnaning Rajaniti atau Sad Sasana adalah enam sifat utama dan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang raja (Ngurah, 2006: 196). Kon- sep ini ditulis oleh Candra Prkash Bhambari dalam buku “Substance of Hindu Politiy.” Adapun bagian-bagian Sad Warnaning Rajaniti sebagai berikut.
2. Catur Kotamaning Nrpati
Catur Kotamaning Nrpati merupakan konsep kepemimpinan Hindu pada zaman Majapahit sebagaimana ditulis oleh M. Yamin dalam buku “Tata Negara Majapahit” (Ngurah, 2006: 196). Catur Kotamaning Nrpati adalah empat syarat utama yang harus dimiliki seorang pemimpin. Adapun keempat syarat utama tersebut adalah:
3. Tri Upaya Sandhi
Di dalam Lontar Raja Pati Gundala disebutkan bahwa seorang raja harus memiliki tiga upaya agar dapat menghubungkan diri dengan rakyatnya. Ada- pun bagian-bagian Tri Upaya Sandi adalah:
4. Pañca Upaya Sandhi
Dalam Lontar Siwa Buddha Gama Tattwa disebutkan ada lima tahapan upaya yang harus dilakukan oleh seorang raja dalam menyelesaikan persoalan- persoalan yang menjadi tanggung jawab raja (Ngurah, 2006: 196). Adapun bagian-bagian dari Pañca Upaya Sandi ini adalah:
5. Asta Brata
Asta Brata adalah ajaran kepemimpinan yang diberikan oleh Sri Rama kepada GunawanWibhisana. Ajaran ini diberikan sebelum GunawanWibhisana memegang tampuk kepemimpinan Alengka Pura pasca kemenangan Sri Rama melawan keangkaramurkaan Rawana. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pustaka Suci Manu Smrti IX.303 berikut ini, “Hendaknya raja berbuat seperti perilaku yang sama dengan dewa-dewa, Indra, Surya, Wayu, Yama, Waruna, Candra, Agni dan Prthiwi (Pudja dan Sudharta, 2002: 607).” Hal itu kemudian ditegaskan dalam Kakawin Ramayana XXIV.52 sebagai berikut: Sang Hyang Indra, Yama, Surya, Candra dan Bayu, Sang Hyang Kwera, Baruna dan Agni itu semuanya delapan hendaknya semua itu menjadi pribadi sang raja. Oleh karena itulah beliau harus memuja Asta Brata untuk mewujudkan kepemimpinan yang makmur untuk rakyat (Tim Penyusun, 2004: 98).
Ada perbedaan sedikit antara konsep Asta Brata dalam Pustaka Suci Manu Smrti dan Kakawin Ramayana. Pada Pustaka Suci Manu Smrti konsep Asta Brata disebut Prthiwi Brata. Sementara itu, pada Kakawin Ramayana konsep Asta Brata disebut Kwera Brata. Semua raja harus memuja Asta Brata ini. Asta Brata merupakan delapan landasan sikap mental bagi seorang pemimpin. Adapun delapan bagian Asta Brata tersebut adalah:
6. Nawa Natya
Dalam Lontar Jawa Kuno yang berjudul “Nawa Natya” dijelaskan tentang seorang raja dalam memilih pembantu-pembantunya (menterinya). Ada sem- bilan kriteria yang harus diperhatikan oleh seorang raja dalam memilih para pembantunya (Ngurah, 2006: 197). Sembilan kriteria inilah yang dikenal sebagai Nawa Natya. Adapun kesembilan kriteria itu adalah:
7. Pañca Dasa Pramiteng Prabhu
Dalam Lontar Negara Kertagama, Rakawi Prapañca menuliskan keutamaan sifat-sifat Gajah Mada sebagai Maha Patih Kerajaan Majapahit (Ngurah, 2006: 196). Sifat-sifat utama itu pula yang mengantarkan Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Sifat-sifat utama tersebut ada 15 yang disebut sebagai Pañca Dasa Pramiteng Prabhu, (Suhardi dan Sudirga, 2015:118).
Adapun kelima belas bagian dari Pañca Dasa Pramiteng Prabhu tersebut adalah:
8. Sad Upaya Guna
Dalam Lontar Rajapati Gondala dijelaskan ada enam upaya yang harus dilakukan oleh seorang raja dalam memimpin negara. Keenam upaya ini disebut juga sebagai Sad Upaya Guna (Sutedja, 2007). Adapun keenam upaya tersebut adalah: Siddhi (kemampuan bersahabat); Wigrha (memecahkan setiap persoalan yang ada dalam kehidupan); Wibawa (menjaga kewibawaan diri sendiri dan rakyatnya); Winarya (cakap dalam memimpin); Gascarya (mampu menghadapi lawan yang kuat), dan Stanha (menjaga hubungan baik). Dalam lontar yang sama disebutkan pula ada 10 macam orang yang bisa dijadikan sahabat oleh Raja pemimpin. Kesepuluh macam tersebut adalah orang yang:
Pura Aditya Jaya Rawamangun (Foto:mutiarahindu.com) |
1. Sad Warnaning Rajaniti
Sad Warnaning Rajaniti atau Sad Sasana adalah enam sifat utama dan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang raja (Ngurah, 2006: 196). Kon- sep ini ditulis oleh Candra Prkash Bhambari dalam buku “Substance of Hindu Politiy.” Adapun bagian-bagian Sad Warnaning Rajaniti sebagai berikut.
- Abhigamika, artinya seorang raja atau pemimpin harus mampu menarik perhatian positif dari rakyatnya.
- Prajña, artinya seorang raja atau pemimpin harus bijaksana.
- Utsaha, artinya seorang raja atau pemimpin harus memiliki daya kreatif yang tinggi.
- Atma Sampad, artinya seorang raja atau pemimpin harus bermoral yang luhur, (Suhardi dan Sudirga, 2015:114).
- Sakya samanta, artinya seorang raja atau pemimpin harus mampu mengontrol bawahannya dan sekaligus memperbaiki hal-hal yang di anggap kurang baik.
- Aksudra Parisatka, artinya seorang raja atau pemimpin harus mampu memimpin sidang para menterinya dan dapat menarik kesimpulan yang bijaksana sehingga diterima oleh semua pihak yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda.
2. Catur Kotamaning Nrpati
Catur Kotamaning Nrpati merupakan konsep kepemimpinan Hindu pada zaman Majapahit sebagaimana ditulis oleh M. Yamin dalam buku “Tata Negara Majapahit” (Ngurah, 2006: 196). Catur Kotamaning Nrpati adalah empat syarat utama yang harus dimiliki seorang pemimpin. Adapun keempat syarat utama tersebut adalah:
- Jñana Wisesa Suddha, artinya raja atau pemimpin harus memiliki pengetahuan yang luhur dan suci. Dalam hal ini ia harus memahami kitab suci atau ajaran agama (agama agëming aji).
- Kaprahitaning Praja, artinya raja atau pemimpin harus menunjukkan belas kasihnya kepada rakyatnya. Raja yang mencintai rakyatnya akan dicintai pula oleh rakyatnya. Hal ini sebagaimana perumpamaan singa (raja hutan) dan hutan dalam Kakawin Niti Sastra I.10 berikut ini: Singa adalah penjaga hutan, akan tetapi juga selalu dijaga oleh hutan. Jika singa dengan hutan berselisih, mereka marah, lalu singa itu meninggalkan hutan. Hutannya dirusak manusia, pohon-pohonnya ditebangi sampai menjadi terang, singa yang lari bersembunyi dalam curah, di tengah-tengah ladang, diserbu dan dibinasakan (Darmayasa, 1995).
- Kawiryan, artinya seorang raja atau pemimpin harus berwatak pemberani dalam menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan pengetahuan suci yang dimilikinya.
- Wibawa, artinya seorang raja atau pemimpin harus berwibawa terhadap bawahan dan rakyatnya. Raja yang berwibawa akan disegani oleh rakyat dan bawahannya, (Suhardi dan Sudirga, 2015:115).
3. Tri Upaya Sandhi
Di dalam Lontar Raja Pati Gundala disebutkan bahwa seorang raja harus memiliki tiga upaya agar dapat menghubungkan diri dengan rakyatnya. Ada- pun bagian-bagian Tri Upaya Sandi adalah:
- Rupa, artinya seorang raja atau pemimpin harus mengamati wajah dari para rakyatnya. Dengan demikian, ia akan mengetahui kondisi rakyatnya, apakah sedang dalam kesusahan atau tidak.
- Wangsa, artinya seorang raja atau pemimpin harus mengetahui susunan masyarakat (stratifikasi sosial) agar dapat menentukan pendekatan apa yang harus digunakan.
- Guna, artinya seorang raja atau pemimpin harus mengetahui tingkat peradaban atau kepandaian dari rakyatnya sehingga ia bisa mengetahui apa yang diperlukan oleh rakyatnya.
4. Pañca Upaya Sandhi
Dalam Lontar Siwa Buddha Gama Tattwa disebutkan ada lima tahapan upaya yang harus dilakukan oleh seorang raja dalam menyelesaikan persoalan- persoalan yang menjadi tanggung jawab raja (Ngurah, 2006: 196). Adapun bagian-bagian dari Pañca Upaya Sandi ini adalah:
- Maya, artinya seorang pemimpin perlu melakukan upaya dalam me- ngumpulkan data atau permasalahan yang masih belum jelas duduk perkaranya.
- Upeksa, artinya seorang pemimpin harus meneliti dan menganalisis semua data-data tersebut dan mengodifikasikan secara profesional dan proporsional.
- Indra Jala, artinya seorang pemimpin harus bisa mencarikan jalan keluar dalam memecahkan persoalan yang dihadapi sesuai dengan hasil analisisnya.
- Wikrama, artinya seorang pemimpin harus melaksanakan semua upaya penyelesaian dengan baik sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
- Logika, artinya seorang pemimpin harus mengedepankan pertimbangan- pertimbangan logis dalam menindaklanjuti penyelesaian permasalahan yang telah ditetapkan, (Suhardi dan Sudirga, 2015:116).
5. Asta Brata
Asta Brata adalah ajaran kepemimpinan yang diberikan oleh Sri Rama kepada GunawanWibhisana. Ajaran ini diberikan sebelum GunawanWibhisana memegang tampuk kepemimpinan Alengka Pura pasca kemenangan Sri Rama melawan keangkaramurkaan Rawana. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pustaka Suci Manu Smrti IX.303 berikut ini, “Hendaknya raja berbuat seperti perilaku yang sama dengan dewa-dewa, Indra, Surya, Wayu, Yama, Waruna, Candra, Agni dan Prthiwi (Pudja dan Sudharta, 2002: 607).” Hal itu kemudian ditegaskan dalam Kakawin Ramayana XXIV.52 sebagai berikut: Sang Hyang Indra, Yama, Surya, Candra dan Bayu, Sang Hyang Kwera, Baruna dan Agni itu semuanya delapan hendaknya semua itu menjadi pribadi sang raja. Oleh karena itulah beliau harus memuja Asta Brata untuk mewujudkan kepemimpinan yang makmur untuk rakyat (Tim Penyusun, 2004: 98).
Ada perbedaan sedikit antara konsep Asta Brata dalam Pustaka Suci Manu Smrti dan Kakawin Ramayana. Pada Pustaka Suci Manu Smrti konsep Asta Brata disebut Prthiwi Brata. Sementara itu, pada Kakawin Ramayana konsep Asta Brata disebut Kwera Brata. Semua raja harus memuja Asta Brata ini. Asta Brata merupakan delapan landasan sikap mental bagi seorang pemimpin. Adapun delapan bagian Asta Brata tersebut adalah:
- Indra Brata, kepemimpinan bagaikan Dewa Indra atau Dewa Hujan; Di mana hujan itu berasal dari air laut yang menguap. Dengan demikian, seorang pemimpin berasal dari rakyat harus kembali mengabdi untuk rakyat.
- Yama Brata, kepemimpinan yang bisa menegakkan keadilan tanpa pandang bulu bagaikan Sang Hyang Yamadipati yang mengadili Sang Suratma.
- Surya Brata, kepemimpinan yang mampu memberikan penerangan kepada warganya bagaikan Sang Surya yang menyinari dunia.
- Candra Brata, mengandung maksud pemimpin hendaknya mempunyai tingkah laku yang lemah lembut atau menyejukkan bagaikan Sang Candra yang bersinar di malam hari.
- Bayu Brata, mengandung maksud pemimpin harus mengetahui pikiran atau kehendak (bayu) rakyat dan memberikan angin segar untuk para kawula alit atau wong cilik sebagimana sifat Sang Bayu yang berhembus dari daerah yang bertekanan tinggi ke rendah, (Suhardi dan Sudirga, 2015:117).
- Baruna Brata, mengandung maksud pemimpin harus dapat menang- gulangi kejahatan atau penyakit masyarakat yang timbul sebagaimana Sang Hyang Baruna membersihkan segala bentuk kotoran di laut.
- Agni Brata, mengandung maksud pemimpin harus bisa mengatasi musuh yang datang dan membakarnya sampai habis bagaikan Sang Hyang Agni.
- Kwera atau Prthiwi Brata, mengandung maksud seorang pemimpin harus selalu memikirkan kesejahteraan rakyatnya sebagaimana bumi memberikan kesejahteraan bagi umat manusia dan bisa menghemat dana sehemat-hematnya seperti Sang Hyang Kwera dalam menata kesejahteraan di kahyangan.
6. Nawa Natya
Dalam Lontar Jawa Kuno yang berjudul “Nawa Natya” dijelaskan tentang seorang raja dalam memilih pembantu-pembantunya (menterinya). Ada sem- bilan kriteria yang harus diperhatikan oleh seorang raja dalam memilih para pembantunya (Ngurah, 2006: 197). Sembilan kriteria inilah yang dikenal sebagai Nawa Natya. Adapun kesembilan kriteria itu adalah:
- Prajña Nidagda (bijaksana dan teguh pendiriannya).
- Wira Sarwa Yudha (pemberani dan pantang menyerah dalam setiap medan perang).
- Paramartha (bersifat mulia dan luhur)
- Dhirotsaha (tekun dan ulet dalam setiap pekerjaan)
- Wragi Wakya (pandai berbicara atau berdiplomasi)
- Samaupaya (selalu setia pada janji)
- Lagawangartha (tidak pamrih pada harta benda)
- Wruh Ring Sarwa Bastra (bisa mengatasi segala kerusuhan)
- Wiweka (dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk).
7. Pañca Dasa Pramiteng Prabhu
Dalam Lontar Negara Kertagama, Rakawi Prapañca menuliskan keutamaan sifat-sifat Gajah Mada sebagai Maha Patih Kerajaan Majapahit (Ngurah, 2006: 196). Sifat-sifat utama itu pula yang mengantarkan Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Sifat-sifat utama tersebut ada 15 yang disebut sebagai Pañca Dasa Pramiteng Prabhu, (Suhardi dan Sudirga, 2015:118).
Adapun kelima belas bagian dari Pañca Dasa Pramiteng Prabhu tersebut adalah:
- Wijayana (bijaksana dalam setiap masalah).
- Mantri Wira (pemberani dalam membela negara).
- Wicaksananengnaya (sangat bijaksana dalam memimpin).
- Natanggwan (dipercaya oleh rakyat dan negaranya).
- Satya Bhakti Prabhu (selalu setia dan taat pada atasan).
- Wagmiwak (Pandai bicara dan berdiplomasi).
- Sarjawa Upasama (sabar dan rendah hati).
- Dhirotsaha (teguh hati dalam setiap usaha).
- Teulelana (teguh iman dan optimistis).
- Tan Satrsna (tidak terlihat pada kepentingan golongan atau pribadi).
- Dibyacita (lapang dada dan toleransi).
- Nayakken Musuh (mampu membersihkan musuh-musuh negara).
- Masihi Samasta Bawana (menyayangi isi alam).
- Sumantri (menjadi abdi negara yang baik).
- Gineng Pratigina (senantiasa berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk).
8. Sad Upaya Guna
Dalam Lontar Rajapati Gondala dijelaskan ada enam upaya yang harus dilakukan oleh seorang raja dalam memimpin negara. Keenam upaya ini disebut juga sebagai Sad Upaya Guna (Sutedja, 2007). Adapun keenam upaya tersebut adalah: Siddhi (kemampuan bersahabat); Wigrha (memecahkan setiap persoalan yang ada dalam kehidupan); Wibawa (menjaga kewibawaan diri sendiri dan rakyatnya); Winarya (cakap dalam memimpin); Gascarya (mampu menghadapi lawan yang kuat), dan Stanha (menjaga hubungan baik). Dalam lontar yang sama disebutkan pula ada 10 macam orang yang bisa dijadikan sahabat oleh Raja pemimpin. Kesepuluh macam tersebut adalah orang yang:
- Satya, artinya kejujuran
- Arya, artinya orang besar
- Dharma, artinya kebajikan, (Suhardi dan Sudirga, 2015:119).
- Asurya, artinya orang yang dapat mengalahkan musuh
- Mantri, artinya orang yang dapat mengalahkan kesusahan
- Salyatawan, artinya orang yang banyak sahabatnya
- Bali, artinya orang yang kuat dan sakti
- Kaparamarthan, artinya kerohanian
- Kadiran, artinya orang yang tetap pendiriannya
- Guna, artinya orang yang pandai
Selain upaya, sifat dan kriteria sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, masih ada satu lagi landasan bagi pemimpin Hindu dalam me- laksanakan tugasnya sehari-hari. Landasan ini ada lima yang dikenal sebagai Pañca Satya. Lima satya ini harus dijadikan sebagai landasan bagi seorang pemimpin Hindu di manapun dia berada. Kelima landasan itu adalah :
- Satya Hrdaya (jujur terhadap diri sendiri/setia dalam hati)
- Satya Wacana (jujur dalam perkataan/setia dalam ucapan)
- Satya Samaya (setia pada janji)
- Satya Mitra (setia pada sahabat)
- Satya Laksana (jujur dalam perbuatan)
Kelima landasan ini juga harus dijadikan pedoman dalam hidupnya, sehingga ia akan menjadi seorang pemimpin yang hebat, berwibawa, disegani dan sebagainya. Tingkat keberhasilan dari seorang pemimpin dalam memimpin ditentukan oleh dua faktor, yaitu: faktor usaha manusia (Manusa atau jangkunging manungsa) dan faktor kehendak Tuhan (Daiwa atau jangkaning Dewa). Sementara tingkat keberhasilannya bisa berupa penurunan (Ksaya), tetap atau stabil (Sthana), dan peningkatan atau kemajuan (Vrddhi) (Kautilya, 2004: 392-393).
Sifat dan sikap yang dimiliki oleh seorang pemimpin merupakan pe- nentu berhasil atau tidaknya seorang pemimpin dalam menjalankan roda pemerintahan. Sifat dan sikap yang dimiliki oleh pemimpin dapat di sempurnakan dengan mendalami, memedomani, dan mengamalkan ajaran- ajaran, serta berbagai ilmu pengetahuan yang dipelajari, (Suhardi dan Sudirga, 2015:120).
Menurut Arifin Abdul Rachman (1971: 102) dalam bukunya yang berjudul “Kerangka Pokok-pokok Mengenai Manajemen Umum” menyebutkan bahwa terdapat tiga golongan sifat-sifat para pemimpin, antara lain:
- Sifat-sifat pokok, yaitu sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh setiap pemimpin, antara lain adil, suka melindungi/mengayomi, penuh inisiatif, penuh daya tarik, dan penuh kepercayaan pada diri sendiri.
- Sifat-sifat khusus karena pengaruh tempat, yaitu sifat-sifat yang pada pokoknya sesuai dengan kepribadian bangsa, seperti bangsa Indonesia dengan Pancasila sebagai kepribadiannya, sebagai dasar negara, dan cita- cita bangsa.
- Sifat-sifat khusus karena pengaruh dari berbagai macam atau golongan pemimpin, seperti pemimpin partai politik, pemimpin keagamaan, dan pemimpin serikat buruh.
Demikianlah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin agar dapat memimpin masyarakatnya dengan baik sehingga tercapai tujuan bangsa dan negara yang dipimpinnya. Konsep kepemimpinan yang ada ini sebagai pandangan untuk membangun mental manusia seutuhnya dalam bidang materiil dan spiritual berdasar Pancasila. Kita sebagai warga negara Indonesia yang menganut paham demokrasi, menjadikan rakyat sebagai hal yang utama, artinya segala keputusan, saran, dan pendapat dijadikan landasan dalam me- nentukan kebijakan yang akan ditempuh pada masa mendatang. Pedoman kepemimpinan ini akan melahirkan pemimpin yang bukan semata-mata di nilai dari kepandaian dalam membangkitkan semangat emosi masyarakat untuk memenangkan dalam pertarungan politik demi kepentingan pribadi atau golongan. Melainkan pemimpin yang menyentuh semangat dan jiwa terdalam masyarakat yang dipimpinya. Sifat dalam me-mimpinnya selalu mengutamakan kepentingan rakyat demi kesejahteraan dalam segala segi kehidupan. Pemimpin inilah yang tidak hanya berani secara intelektual dan emosional, melainkan oleh faktor jiwa yang terdalam, (Suhardi dan Sudirga, 2015:121).
Referensi:
Suhardi, Untung dan Sudirga, Ida Bagus. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas IX (Cetakan Ke-1, 2015). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
0 Response to "Jenis-jenis atau Tipilogi Kepemimpinan dalam Ajaran Hindu"
Post a Comment