Gratifikasi dalam Perspektif Agama Hindu
MUTIARAHINDU.COM -- Setiap orang yang dilahirkan memiliki kewajiban (svadharma) untuk memenuhi tuntutan dan tujuan hidup yang mulia. Oleh karena itu, setiap orang wajib berperan memutar roda kehidupan di dunia ini melalui pengabdian kerja (karma bhakti). Pengabdian kerja seseorang akan menjadi berkualitas apabila ia memiliki pengetahuan yang memadai dan keseimbangan antara raga, rasio, rasa, dan ruh atau kejiwaan dalam menghadapi berbagai permasalahan hidupnya.
Beragama bukan hanya memuja Tuhan dengan berbagai ritual keagamaan, melainkan menerapkan ajaran agama dalam semua aspek kehidupan, bahkan semua sisi kegiatan dan tindakan. Oleh karena itu, agama Hindu mengajarkan agar manusia mengamalkan asih, puniya, dan bhakti di dalam semesta ciptaan-Nya. Asih bermakna mencintai sesama dengan menjauhkan sifat egosentrisme yang mengakibatkan penderitaan bagi orang lain sehingga setiap tindakan individu mengarah pada prinsip mutualisme, saling menguntungkan. Puniya adalah keikhlasan mendermakan sebagian kekayaan pribadi untuk kepentingan umum dan tidak semata-mata memenuhi kepentingan pribadinya sendiri. Bhakti artinya kesungguhan dan kejujuran dalam mendarmabaktikan potensi diri bagi kemajuan dan ketertiban sosial, dengan kesadaran bahwa seluruh karya individu sesungguhnya diabdikan sebagai wujud yajna (pengorbanan suci) kepada Hyang Widhi Wasa beserta seluruh ciptaan-Nya.
Tujuan hidup umat Hindu adalah "Moksartham Jagadhita ya ca iti dharmah" (mencapai jagadhita dan moksa, dengan kata lain mencapai kebebasan jiwatman atau kebahagiaan rohani yang kekal). Dalam kehidupan manusia, agama Hindu memiliki konsep jenjang kehidupan yang jelas dan telah tersusun secara sistematis dalam Catur Asrama. Catur Asrama adalah empat jenjang kehidupan yang harus dijalani untuk mencapai moksa, atau empat tingkatan hidup manusia atas dasar keharmonisan hidup. Di tiap-tiap tingkat ini, kehidupan manusia diwarnai oleh tugas dan kewajiban yang berbeda antara satu masa dan masa lainnya, tetapi semuanya merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Keempat tingkat tersebut yakni: Brahmacari, Grehasta, Wanaprasta, dan Sanyasin, yang tujuannya masing-masing berbeda. Brahmacari tujuannya adalah darma: Grehasta tujuannya adalah darma. arta, dan kama: Wanaprasta tujuannya adalah darma, sedangkan Bhiksuka/ Sanyasin tujuannya adalah moksa.
Dalam ajaran Hindu, darma adalah ajaran kebenaran, pandangan hidup, atau tuntunan hidup manusia. Sementara itu. arta merupakan materi sebagai penopang kehidupan: sedangkan kama adalah keinginan: dan moksa bersatunya sang diri atau jiwatman dengan Paramaatman.
Jadi, jelas bahwa dalam hidupnya manusia selalu memerlukan arta dan karma. Namun, dalam memenuhi kebutuhan akan arta dan kama, manusia harus berdasarkan darma, Bukan ahamkara. Pembangkitan kesadaran bahwa kita Merupakan salah satu bagian dari esensi dunia ini merupakan hal yang harus dicapai agar pikiran dapat terbuka menyadari hakikat sang diri. Harapan tersebut dapat terwujud dengan Mengimplementasikan ajaran darma.
Dalam pustaka suci Hindu, telah disebutkan bahwa menjelma menjadi manusia Merupakan suatu keberuntungan dan hal yang utama Dengan manas atau p kiran yang dimiliki, maka manusia dapat Menolong dinnya sendin dari keadaan samsara dengan jalan subha karma yaitu berkarma/berbuat yang baik. Kesadaran akan mampu meluruskan pikiran yang selalu hanya mementingkan kehidupan duniawi.
Dalam Sarasamuccaya (8) disebutkan:
Manusyam durlabham prapya vidyullasita cancalam, bhavakuayem atia kaya bhavopakaraoesu ca.
Artinya;
"Menjelma menjadi manusia itu sebentar sifatnya, tidak berbeda dengan kedipan petir, sungguh sulit (didapat), karenanya pergunakanlah penjelmaan itu untuk melaksanakan darma yang menyebabkan musnahnya penderitaan. Sorgalah pahalanya."
Kitab Sarsamuccaya menjelaskan bahwa kelahiran menjadi manusia merupakan suatu kesempatan terbaik untuk memperbaiki diri. Hanya manusialah yang dapat memperbaiki segala tingkah lakunya yang dipandang tidak baik menjadi baik, guna menolong dirinya dari penderitaan dalam usahanya untuk mencapai kebahagian yang abadi.
Apapun yang kita perbuat, seperti itulah hasil yang akan kita terima. Yang menerima yaitu yang berbuat. Inilah Karma Phala, hukum kausalitas bahwa setiap perbuatan akan mendatangkan hasil. Maka, dalam memperoleh harta pun harus berdasarkan darma, seperti yang tertera dalam Sarsamuccaya:
"Yan paramartanya yan arta kama sadyan dharma juga lekasakna rumuhun, niyata katemuaning arta kama, mene tan paramarta wikatemuaning arta kama dening anasar sakeng dharma."
Artinya:
"Dalam usaha mencari arta dan kama hendaknya berdasarkan darma, tidak ada manfaatnya jikalau arta dan kama didapatkan dari hal yang menyimpang dari darma."
Jelas sekali dikatakan oleh Sarasamuccaya bahwa umat Hindu hendaknya mencari arta dan kama berdasarkan darma. Mendapat arta dan kama dari perbuatan yang menyimpang dari darma maka tidak ada manfaatnya bagi kehidupan. Contohnya, mencari arta dari korupsi, gratifikasi, dan sebagainya. Perilaku korupsi adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan Karma yang dilarang oleh ajaran Hindu, dan akan membawa pelakunya pada penderitaan. Inilah konsep hukum karma dalam Hindu.
Bagaimana menghindari hukum karma atas perbuatan yang tidak benar? Manusia lahir dibekali dengan wiweka, yaitu kebijaksanaan atau daya nalar seseorang untuk dapat mempertimbangkan benar dan salah, amal dan dosa, baik buruk (subha karma asubha karma), yang sejati dan yang palsu. Wiweka sebagai dasar-dasar etika agama Hindu sangatlah menentukan "keputusan hati", yang disebut juga 'niscaya Jnana", Untuk itu, manusia selalu dapat meningkatkan pengetahuan, baik pengetahuan secara umum maupun tentang ketuhanan, serta mengamalkan pengetahuan itu bagi kesejahteraan umat dan kelestarian alam semesta.
Kedua jenis pengetahuan di atas diperoleh dari pendidikan, baik formal maupun non-formal. Dengan kecerdasan yang dimilikinya, diharapkan manusia dapat memilih dan melaksanakan perilaku baik berdasarkan susila yang dapat menimbulkan kebahagiaan hidup. Tidak sedikit orang yang celaka karena kurang bersikap hati-hati dalam berpikir, berkata, dan berbuat yang akan menimbulkan dosa. Dan di antara pikiran, perkataan, dan perbuatan, yang paling menentukan adalah pikiran/manas, karena segala sesuatu yang akan diperbuat dan diucapkan awalnya bersumber dari pikiran. Jadi, dalam agama Hindu latihan pikiran adalah hal yang utama, setelah itu barulah penguasaan kata-kata dan yang terakhir pelaksanaan perbuatan.
Manusia juga memiliki alat untuk dapat menikmati hidup. yaitu indria atau indra, yang membuat manusia terikat dengan unsur-unsur duniawi. Namun, kalau berbalik memperalat manusia, indria ini pula yang membawa manusia hidup sengsara. Dalam Upanisad dinyatakan, indria ibarat kuda kereta sedangkan keretanya adalah badan dan tali kekang adalah pikiran. Kesadaran budi atau intelek maka kusir keretanya, sementara atman sang pemilik kereta. Kita tahu, kereta tidak dapat mencapai tujuan tanpa ditarik oleh kuda. Namun, kalau tidak dikendalikan dengan tali oleh kusir kereta, kuda itu bisa menyesatkan kereta. Bahkan kuda itu akan membawa kereta masuk jurang atau menabrak sana-sini.
Meski demikian, kalau dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya, indria akan membawa manusia sampai pada tujuan hidup mencapai kebahagiaan. Karena itu, dalam berbagai sastra suci agama Hindu, selalu ditekankan agar manusia memelihara dan mengendalikan indria sebaik-baiknya.
Raja indria adalah pikiran. Oleh karena itu, pikiran hendaknya dapat mengemudikan indria dan harus bersih dan murni. Pikiran harus dilatih untuk mencapai kebajikan, seperti yang diajarkan dalam kitab-kitab Suci. Kebajikan pada dasarnya adalah cinta kebenaran, kejujuran, keikhlasan, dan keadilan.
Dalam kitab Manu Srnrti, disebutkan: "Orang-orang bijaksana harus berusaha mengemudikan indria-nya yang berkeliaran, di tengah-tengah benda pemuasnya, yang menarik nafsu, sebagai kusir kuda yang banyak." Dalam Upanisad, disebutkan: "Ketahuilah bahwa Atma bagaikan pengendara kereta dan tubuh bagaikan kereta. Ketahuilah juga, budi (kecerdasan) laksana kusir dan pikiran sebagai kendalinya."
Maka, indria ibarat kuda sedangkan benda-benda pemuas nafsu adalah lapangannya (di mana kuda itu berkeliaran). Atma bersekutu dengan indria dan pikiran menjadi penikmatnya. Orang bijaksana yang selalu mempergunakan pikirannya, mengendalikan indria-nya hingga tak ubahnya kuda yang baik. Dengan demikian, kusir yang bijaksana, yang dapat mengendalikan tali kekangnya, akan menuju tempat yang terakhir dan tertinggi, yakni Sanghyang Widhi Wasa.
Dalam kitab suci Sarasamuccaya, disebutkan bahwa indria adalah jalan menuju surga dan neraka. Jika indria dapat dikendalikan dengan baik, maka kebahagiaan akan tercapai dan jika tidak nestapa atau neraka yang akan dijumpai. Godaan yang terhebat bagi indria adalah harta benda dan birahi. Maka itulah, umat Hindu mesti bersama-sama melatih pikiran amulat sarira, yakni melihat ke dalam diri kita, dengan mendidik diri secara disiplin, agar pikiran dapat menguasai indria.
Ajaran agama Hindu sangat meyakini hukum karma yang mempengaruhi eksistensi kehidupan manusia, baik di dunia maupun akhirat. Hukum karma sebagai hukum yang mutlak memberikan keyakinan kepada umat Hindu agar senantiasa berusaha berbuat, berpikir, dan berkata berdasarkan darma. Dalam mencari sarana hidup dan penghidupan, apakah berupa harta ataupun pemenuhan keinginan, manusia tidak boleh menyimpang dari darma. Perbuatan seperti menerima gratifikasi, yang mempengaruhi pengambilan keputusan hingga merugikan orang banyak, melanggar norma hukum dan norma agama: ini sangat dilarang oleh ajaran Hindu karena termasuk dalam adharma yang bertentangan dengan darma.
Kisah Prabu Salya barangkali dapat menjadi pelajaran. Prabu Salya menyantap jamuan dari Kurawa dalam perjalanan menuju Upaplawya untuk menemui Pandawa. Tanpa rasa curiga, Prabu Salya menghabiskan makanan dan minuman pemberian Duryudana dan adik-adiknya. Namun, santapan ini harus dibayar dengan imbalan keberpihakan ke kubu Kurawa dalam laga di Kurusetra, sesuai permintaan Duryudana. Dalam hal ini, keputusan Prabu Salya tidak didasarkan pada darma tetapi pada perasaan berutang kepada Duryudana.
Inilah contoh kisah cerita dalam ajaran agama Hindu yang membuktikan bahwa gratifikasi dapat berdampak sangat negatif terhadap kehidupan dan peradaban Hindu. Jalan pemberian gratihkasi sangat beragam dan dewasa ini semakin kompleks, sehingga semua umat beragama harus berhati-hati dalam menjalani kehidupan agar tidak terjebak dalam penerimaan gratifikasi yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Renungan:
"Dalam mencari sarana hidup dan penghidupan, apakah berupa harta ataupun pemenuhan keinginan, manusia tidak boleh menyimpang dari dharma. Perbuatan yang merugikan orang lain, melanggar norma hukum dan norma agama; sangat dilarang oleh ajaran Hindu karena termasul dalam Adharma yang bertentangan dengan Dharma".
Referensi:
Tim Penyusun KPK. 2020. Gratifikasi dalam Perspektif Agama (Edisi Revisi) (Hal. 45-53). Jakarta: Kementerian Agama RI
0 Response to "Gratifikasi dalam Perspektif Agama Hindu"
Post a Comment