Pengertian Yama Brata dan Penjelasannya

MUTIARAHINDU.COM Kita telah bahas mengenai indra-brata dimana diharapkan pemerintah atau pemimpin dapat menghujani rakyat atau pengikutnya dengan materi, utamanya sandang pangan dan papan yang murah, menyelenggarakan pendidikan yang murah dan keamanan yang mantap sebagai perwujudan dari istilah Sudana dalam ramayana sargha XXIV, 53. Karena istilah Dana dalam agama hindu mencakup artha dana, brahma dana dan abhaya dana kini kita meningkat ke brata yang ke dua yaitu yama brata yang membawa kita pada ketentuan-ketentuan yang menyangkut hukum. 

Pengertian Yama Brata dan Penjelasannya

Sloka no. 54 dari sargha XXIV Ramayana berbunyi sbb : 

Yamabrata dumanda karmmahala, 

Sirekana malung maling yar pejah, 

Umilwa kita malwang olah salah 

Asing umawarang sarat prih pati. 

Terjemahan:

Dalam menghadapi perbuatan jahat (karmmahala) hendaknya diterapkan ajaran yama brata (tugas kewajiban, azas/ laku utama, keteguhan hati dari dewa yama) yaitu menghukum setiap tingkah (perilaku) pencurian apalagi bila sampai menyebabkan kematian (yar pejah). Diikutkan pula hukuman kepada mereka yang ikut ikutan berbuat salah, setiap orang yang mengacaukan negara (umawarang sarat) patut mendapatkan hukuman mati (prih pati), (Sudharta, 2015: 6). 

Jelas di sini kewajiban yang ditugaskan kepada para pemimpin atau penyelenggara negara ialah menegakkan hukum sebagai yang diamanatkan kepada dewa yama. Penugasan ini kiranya dapat dipegang oleh para pemimpin, penegak hukum di negara kita karena di dalam penjelasan undang-undang dasar tahun1945 kita jelas-jelas dituliskan bahwa : 

Sistim pemerintahan negara yang ditegaskan dalam U.U.D. ialah : 

1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat). Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). 

Kita semua, termasuk para penyelenggara pemerintahan dan rakyat jelata, hendahnya selalu berpegang pada hukum yang ada (tertulis maupun tidak tertulis) kalau ingin mengantarkan negara dan rakyat ke jalan yang lurus, aman dan bahagia. Kalau ajaran Indra Brata di atas sudah diusahakan pelaksanaannya, tetapi kalau masih juga ada penyelewengan hukum, masih juga ada perbuatan-perbuatan jahat (olah salah), masih ada pencurian-pencurian apalagi bila sampai mengakibatkan kematian (maling yar. pejah) terutama kalau sampai menimbulkan kekacauan dalam masyarakatdan negara (umawaran sarat) hukuman mati itu sudah pada tempatnya diterapkan (prih pati). 

Yang dimaksud dengan pencurian ialah pencurian kecil sebagai pencurian ayam sampai kepada pencurian uang negara yang ber-miliar-miliar dengan jalan korupsi dan penyelewengan-penyelewengan lain yang merugikan keuangan negara. Apalagi kalau kejahatan itu disengaja untuk menjatuhkan wibawa pemerintah, untuk subversi dan lain lainnya. Tindakan hukum yang berat sampai hukuman mati, tidaklah salah jika diterapkan. Sebagai halnya dewa Yama sebagai dewa maut yang tidak pilih bulu kepada siapa ia akan datang, maka pelaksanaan hukum itupun hendaknya diterapkan kepada siapapun yang bersalah, secara tidak pilih bulu. Walaupun kepada teman ataupun kepada saudara atau kepada anak istri sendiripun harus dilaksanakan. Karena hukum itu tidak diterapkan kepada perasaan anak istri atau saudara dan teman itu, tetapi hukum itu diterapkan kepada kesalahannya melulu. Bukan kepada orangnya, tetapi kepada tindakan kejahatannya itu sendiri yang harus dikenakan sanksi sanksi hukum yang telah disepakati bersama melalui undang-undang atau peraturan peraturan yang ada. 

Hukum itu harus diterapkan, hal ini adalah mutlak. Tetapi walaupun demikian, sebelum hukum itu dijalankan, ada tahap tindakan yang perlu dilakukan sebelumnya, sesuai dengan ajaran Yamabrata itu sendiri. Memang dewa Yama itu adalah dewa maut yang bertugas untuk menegakkan hukum, menjatuhkan hukuman (dumanda), malahan kalau terpaksa sampai hukuman matipun harus diterapkan (prih pati). Tetapi pada hakekatnya dewa Yama itu tidak demikian saja dengan semena-mena melaksanakan tugasnya tanpa usaha usaha yang mengarah pada perbaikan sebelumnya, (Sudharta, 2015: 7).

Kita harus tahu bahwa kata Yama itu sendiri membawa makna yang lebih dari itu. Kata Yama adalah kata bahasa Sanskerta berasal dari akar kata YAM yang mengandung banyak arti a.I. Berarti : mengendalikan (to rest. rain), mengontrol diri sendiri (self control), memerintah (to govern), menenangkan (to subdue), mengembalikan pada keadaan semula (to restore) meningkatkan (to uplift), memperjuangkan (to exert), memperluas (tostretch), mencegah (to ever check), menghentikan (to stop), meng. Hukum (to punish), dewa maut (the god of death). 

Demikian banyak arti kata Yama itu sehingga dapat ditafsirkan bahwa sebelum menjatuhkan hukuman apalagi sampai hukuman mati, masih ada tindakan-tindakan yang dapat diambil untuk menegakkan hukum itu sendiri. Tindakan pertama ialah para penegak hukum sendiri dan juga masyarakat hendaknya bisa mengendalikan suasana, terutama mengendalikan diri atau menahan diri sendiri. Seorang penegak hukum, walaupun benar-benar sedang menjalankan tugas menegakkan hukum, umpamanya sedang mengejar penjahat, harus mampu mengendalikan diri. Dia tidak menembak penjahat itu begitu saja, sebelum diadakan penembakan peringatan sebanyak yang telah ditentukan. Kalau sudah diperingati sesuai dengan peraturan, tetapi masih tetap membandel, penjahat itu atau kalau ada penjahat yang tingkah lakunya sudah keterlaluan yang tidak akan bisa diperbaiki lagi secara apapun juga, demi untuk ketentraman masyarakat dan tegaknya hukum, tindakan penembakan itu dapat dimengerti. 

Demikian juga sebaliknya bagi masyarakat luas, terutama mereka yang tergolong orang yang berpunya (the haves) hendaknya bisa mengendalikan diri atau menahan diri dalam tingkah laku dan penampilannya agar jangan sampai memamerkan kekayaan sehingga menyolok/menyakitkan hati mereka yang tidak punya (the haves-not). Karena hal itu akan bisa membangkitkan perasaan yang tidak enak yang bisa mengundang tindakan tindakan kejahatan karena frustasi dari mereka itu. Apalagi kalau diketahui bahwa kekayaan itu didapat dengan jalan yang tidak halal tetapi tangan hukum belum bisa menjengkaunya untuk menyeretnya ke depan pengadilan. Ataupun jika sudah sampai ke hadapan meja hijau, kemudian terjadi hal hal yang tidak diketahui sebab sebabnya oleh masyarakat, seorang koruptor kakap misalnya bisa lolos dari tangan para hakim atau ia mendapat ganjaran hukuman yang setimpal dengan hukuman seorang pencuri kecil-kecilan, (Sudharta, 2015: 8).

Hal-hal yang demikian, benar atau salah dalam pandangan hukum, dapat menggoncangkan suasana dalam masyarakat. Demikian juga sebaliknya masyarakat, terutama the haves-not, hendaknya kuat-kuat mengendalikan diri juga agar dapat membedakan dengan cermat mana orang-orang kaya yang memang dari jerih payah mereka yang halal dan mana yang O.K.B. (Orang Kaya Baru) yang mendapatkan kekayaannya dari jalan belakang yang tidak halal. Ketidak cermatan penilaian ini bisa juga menyuburkan benih-benih kekacauan yang tidak diingini. Jadi pengendalian diri dan pengendalian suasana dalam masyarakat yang dibayangkan oleh Yama-brata perlu kiranya ditumbuhkan dalam masyarakat oleh semua pihak sehingga ada tenggang rasa antara the haves dengan the haves not. Mudah-mudahan setelah tercapainya tujuan negara Pancasila kita yakin, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, kesenjangan antara the-haves dengan the-haves-not, dapat terhapus dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa.

Setelah tahap pengendalian dan kontrol ini diusahakan namun terjadi juga kejahatan-kejahatan, resep dari Yama brata ialah agar pemerintah berusaha menenangkan (to subdue) rakyat dengan berusaha memerintahkan pembersihan di dalam pemerintahan sendiri. Mengembalikan keadaan kepada kedudukan semula (to restore) serta meningkatkan (to uplift) kewibawaan pemerintah dan kepercayaan masyarakat kepada aparat pemerintah terutama kepada penegak hukum. Kepercayaan ini hendaknya diperjuangkan kemantapannya (to exert) di antara para aparat penegak hukum sendiri. Berusaha untuk memperluas (to stretch) kepada seluruh masyarakat sehingga terjadilah gayung bersambut karena berhasilnya suatu pemerintahan/penegak hukum/keamanan tidak terlepas dari partisipasi dan sambutan yang aktif dari masyarakat itu sendiri. 

Dengan demikian ketentuan-ketentuan hukum akan bisa ditegakkan. Pelaksanaan hukum akan bisa ditingkatkan. Malah dapat diperluas jengkauannya, bukan saja bergumul di dalam kota saja, tetapi juga bisa sampai ke desa desa terpencil dan malah bisa sampai ke laut. Sehingga benar benar negara kita berlandaskan hukum, baik di darat maupun di laut ataupun nantinya sampai ke udara untuk menjaga ketertiban di udara kita pada masa kini dan masa mendatang pada saat angkasa luar sudah mulai mendapat incaran. Dengan tegaknya hukum, keamanan akan juga dapat dipertahankan karena keduanya ini tidak dapat dipisahkan. Rakyat jelata yang cara berpikirnya sederhana tetapi logis akan berpikir : 

"Apa gunanya saya menjaga keamanan, toh kalau saya dapat menangkap penjahat itu, ia mungkin akan dibebaskan oleh penegak hukum atau hukumannya tidak setimpal, jauh amat ringan dari pada kadar kejahatannya”, (Sudharta, 2015: 9).

Jika pemikiran begini sudah merata dalam masyarakat, kemantapan keamanan akan sulit dapat dipertahankan, dan akan membawa akibat yang luas. Dalam penanggulangan kejahatan itu sendiri Yama Brata mempunyai petunjuk lagi yaitu hendaknya pemerintah atau pemimpin mencegah (to check, to prevent) terjadinya sesuatu tindakan kejahatan, apakah itu berbentuk pencurian, perampokan, persengkokolan jahat terhadap negara dan lain lainnya. 

Karena pencegahan sedini mungkin akan lebih bermanfaat dari pada usaha penumpasan jika terjadi. Sama dengan menghadapi suatu penyakit yaitu mencegahnya jauh lebih baik dari pada mengobati setelah sakit. Kalau usaha pencegahan ini terlambat atau tidak berhasil, Yama brata menganjurkan agar diambil segala cara, lunak ataupun keras untuk menghentikan (to stop) kegiatan kegiatan yang tercela itu, yang membahayakan seseorang apalagi yang membahayakan keselamatan negara. 

Pada saat inilah kekuasaan hukum harus dijalankan yaitu dengan menangkap dan mengadili para pelaku kejahatan itu. Kalau pun usaha penegakkan hukum ini tidak bisa berhasil baik, mungkin karena pelakunya tidak bisa ditangkap dan diadili ke meja hijau secara legal dan biasa. Ataupun karena pelakun yaitu dapat lolos dari kuasa pengadilan dengan cara illegal atau pun secara luar biasa. Kalau bebasnya dari hukuman dengan cara biasa tetapi setelah bebas ia bertindak lagi sebagai orang yang luar biasa yang tidak bisa dididik setelah dikembalikan ke masyarakat secara biasa, maka kalau ada tindakan hukum yang luar biasa yang terjadi terhadap dirinya, kiranya dapat dimengerti. Ia seolah-olah sudah “prihpati, menginginkan kematiannya sendiri, apapun alasan dan motivasinya. Hukum luar biasa itu dapat dimengerti asal saja betul-betul dapat terkendalikan agar jangan menjadi sebagai bumerang, berubah menjadi hukum rimba yang malah lebih meresahkan masyarakat. 

Kesimpulannya, bahwa ajaran Yamabrata ialah agar hukum itu ditegakkan oleh siapapun yang berkewajiban sebagai penegak hukum, dan harus dikenakan terhadap semua orang yang melanggar hukum tanpa pandang bulu. Tetapi sebelum hukuman di jatuhkan, apalagi hukuman bagi yang “prih-hati”, hendaknya dilakukan usaha-usaha pencegahan schingga orang-orang menjadi Malu melanggar hukum, tidak malah Bangga jika melanggar hukum, hukum sebagaimana disinyalir belakangan ini di sementara orang. Hanya dengan tegaknya hukum, pembangunan manusia seutuhnya akan dapat dilaksanakan sampai berhasil. Karena hukum merupakan pagar kehidupan, baik hukum agama ataupun hukum negara. Inilah Yama Brata, brata yang ke dua dari Asta Brata, (Sudharta, 2015: 10).

Referensi

Sudharta, Tjok Rai. Asta Brata di abad Millenium. Denpasar: ISBN

0 Response to "Pengertian Yama Brata dan Penjelasannya"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel