3 Cerita Tentang Pentingnya Guru dalam Sastra

MUTIARAHINDU.COM -- Guru merupakan orang yang dapat menuntuk kita ke arah yang benar. Di tulisan ini akan dibahas beberapa cerita yang menggambarkan penting seorang guru. Ada pun cerita-cerita tersebut adalah sebagai berikut:

3 Cerita Tentang Pentingnya Guru dalam Sastra

Cerita singkat Bambang Ekalaya bhakti kepada Resi Drona

Ada sebuah kerajaan bernama Astina Pura dengan Raja Drestarastra. Di dalam kerajaan ini terdapat dua keluarga besar yakni Keluarga Panca Pandawa dan keluarga Seratus Korawa. Dari segi sifat Panca Pandawa adalah keluarga damai, jujur, taat, dan patuh terhadap perintah. Sedangkan keluarga Seratus Korawa sifatnya loba, tamak, curang, tidak taat kepada perintah, egois, dan selalu ingin berkuasa, (Duwijo dan Darta, 2014:61).

Sang Prabhu mengajarkan ilmu perang dan memanah kepada semua putra-putranya baik Pandawa maupun Korawa. Pada suatu saat ketika sedang dilakukan latihan ilmu memanah datang Bambang Ekalaya dari kejauhan. Dia sangat tertarik dan berminat sekali belajar memanah. Datanglah dia untuk ikut belajar bersama dengan Pandawa dan Korawa. Oleh Resi Drona permohonan Bambang Ekalaya ditolak karena Bambang Ekalaya bukan dari kaum bangsawan. Pergilah Bambang Ekalaya dan pulang ke rumahnya. Sampai di rumah atas kreativitasnya sendiri Ekalaya membuat patung Resi Drona, karena mereka sangat kagum dengan keahlian dan kepintaran Resi Drona saat memanah. Setiap hari patung itu dipuja dan dihormati oleh Bambang Ekalaya sebelum belajar memanah. Akibat dari keyakinan dan tujuannya yang mulia, maka Bambang Ekalaya mendapat anugrah berupa kepandaian dalam memanah.

Singkat cerita suatu saat Resi Drona mengajak murid-muridnya pergi memanah. Saat itu Bambang Ekalaya juga melihat dan ingin ikut menguji kemam-puannya. Setelah diadakannya uji coba terhadap muridnya Bambang Ekalaya mencoba memanah dan selalu tepat pada sasarannya. Melihat kejadian itu, semua murid Resi Drona heran, termasuk Resi Drona pun heran dan bertanya kepada Bambang Ekalaya, “Siapakah yang mengajarimu memanah?” Bambang Ekalaya pun bercerita tentang kisah-nya di rumah sampai pada membuat patung Resi Drona untuk disembah karena mengagumi Resi Drona. Oleh Resi Drona hal itu dianggap salah karena tanpa seijinnya Bambang Ekalaya mem-buat patung dirinya. Oleh karena itu, dihukumlah

Bambang Ekalaya dengan memotong ibu jari tangannya. Dengan maksud agar tidak ada yang mengalahkan muridnya dalam memanah terutama Sang Arjuna.

Menyimak ceritra Bambang Ekalaya, maka kita lebih meyakini lagi bahwasanya yang memberikan panugrahan kepada Bambang Ekalaya adalah Guru Swadyaya/ Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Penyayang terhadap umatnya, (Duwijo dan Darta, 2014:62).

Cerita Sang Bima mencari Tirta Kamandalu

Cerita singkat Panca Pandawa dan Seratus Korawa berguru kepada Resi Drona. Dalam hal berguru sikap Panca Pandawa selalu jujur be-rani dan benar, taat dan patuh serta selalu hor-mat kepada perintah guru (Guru Susrusa), se-hingga apa yang diharapkan dalam belajar dapat dicapai terutama dalam Ilmu Danur Dara (ilmu menggunakan panah), sopan santun, sikap susila dan etika. Panca Pandawa akhirnya menjadi keluarga panutan terutama sekali da-lam menjalankan ajaran Panca Satya yaitu: Satya Hradaya, Satya Wacana, Satya Laksana, Satya Mitra dan Satya Semaya. Satya Hredaya artinya setia pada pikiran, Satya Wacana artinya setia pada kata-kata, Satya Laksana artinya setia pada perbuatan, Satya Mitra artinya setia pada saudara/ teman, Satya Semaya artinya setia pada janji.

Sedangkan Seratus Korawa yang bersifat egois dan angkuh selalu ingin menang sendiri dengan tidak punya sikap sopan-santun akibatnya selalu dikalahkan oleh Panca Pandawa dalam hal kualitas pendidikan. Oleh karena itu, lalu mereka memikirkan niat-niat jahatnya untuk menaklukan Panca pandawa. Terutama Sang Bima yang dianggap paling kuat agar bisa ditaklukkan oleh Duryodana. Duryodana minta kepada Resi Drona agar memerintahkan Bima untuk mencari Tirta Kamandalu di dalam lautan dengan tujuan agar sang Bima mati terseret arus gelombang laut. Resi Drona pun memerintahkan Sang Bima mencari Tirta Kamandalu ke dalam laut. Sebelum berangkat Sang Bima tidak lupa minta restu pada ibunya Dewi Kunti, kakanda Yudhistira, serta adik-adiknya. Setelah mendapat restu barulah Sang Bima berangkat. Mendengar keberangkatan Bima tersebut Korawa merasa senang karena yang paling ditakuti tersebut sudah pasti akan mati. Oleh karena Sang Bima menghormati perintah guru dan menjalankan ajaran Satya Laksana sedikitpun tidak punya perasaan curiga selalu tulus menjalankan perintah Guru. Pertama, Bima disuruh mencari Tirta Kamandalu di dalam Sumur Sidurangga.Namun yang ada di sana dua ekor Naga Besar yang melilit Sang Bima tapi dapat dipotong lehernya kemudian menjelma menjadi Widyadara dan Widyadari. Kepala naga itu dibawa pulang, (Duwijo dan Darta, 2014:63).

Kedua, Bima disuruh pergi ke sebuah tempat berupa ladang yang dijaga oleh Raksasa Indrabapu yang ingin mencelakai Bima, namun berkat kesigapan Bima, Indrabapu dipotong lehernya dan dibawa ke Hastina. Seisi kerajaan merasa takut melihat kepala Raksasa Indrabapu yang menyeramkan. Bima disuruh membuang kepala raksasa itu oleh Resi Drona. Ketiga, Bima disuruh mencari Tirta Kamandalu ke tengah laut dan tidak boleh memakai perahu. Baik kalau begitu akan saya lakukan, atas dasar kebenaran menjalankan ajaran satya dan guru susrusa. Bima menceburkan dirinya ke laut. Ombak yang begitu besar menyeretnya namun Sang Bima tetap konsentrasi mencari di mana Tirta Kamandalu itu berada. Dalam keadaan setengah sadar akhir-nya Bima mendapat anugrah dari Sang Hyang Nawa Ruci sehingga Bima bangkit kembali. Tak lama kemudian setelah dilihat tidak sadarkan diri lagi akhirnya Bima diberi anugrah lagi dan diberitahu bahwa dia telah ditipu oleh Resi Drona dan Duryodana. Bima disuruh masuk keperutnya untuk mengetahui kehidupan manusia. Akhirnya Bima diantarkan ke tempat Sang Hyang Semara. Sang Hyang Semara memberitahu bahwa Tirta Kamandalu adalah untuk menjaga kehidupan Para Dewata, tetapi dapat diambil oleh Bima. Akhirnya diketahui oleh para Dewata, kemudian Bima direbut dan mati lagi, dan dihidupkan kembali oleh Sang Hyang Nawa Ruci.

Bima diganti namanya menjadi Sang Wirota, dia rebut kembali Tirta Kamandalu dari Sang Hyang Bayu dan dibawa pulang ke Astina. Astina menyangkal bahwa yang dibawa Bima bukan Tirta Kamandalu. Resi Drona tidak menghargai jerih payah muridnya akhirnya dikutuk agar diseret oleh air laut. Tidak lama kemudian ada angin ribut menyeret Resi Drona hingga jatuh di laut dan diseret gelombang besar. Melihat kejadian seperti Itu Bima tidak sampai hati membiarkan gurunya terombang ambing oleh ombak. Bima kembali menolong gurunya Resi Drona. Bima tidak memiliki rasa dendam terhadap gurunya. Resi Drona tertolong lagi oleh Bima sekalipun dia telah menipu dan membunuh secara halus. Sifat Bima adalah ksama artinya memaafkan.

Cerita ini mengajarkan kepada kita agar kita memiliki sifat ksama/memaafkan. Sesungguhnya Bima mencari benda yang tidak diketahui, tetapi karena memiliki jiwa berani dan merasa benar untuk bhakti kepada guru, sehingga Bima menjalani semua perintah gurunya dengan rasa yang tulus iklas. Atas dasar ketulusan menjalankan perintah guru akhirnya Sang Hyang Nawa Ruci memberikan tuntunan mencarinya,  (Duwijo dan Darta, 2014:64).

Cerita Arjuna Bertapa di Gunung Indrakila 

Dalam Kitab Bharata Yudha disebutkan saat sang Arjuna melakukan Tapa Brata Yoga Samadi di Gunung Indrakila para Dewata di Sorga telah mengetahuinya. Di saat itu pula sorga dikacau oleh Raksasa Niwata Kuaca. Semua dewa merasa kewalahan. Oleh karena itu, Dewa Indra memohon kepada Dewa Siwa agar segera mengabulkan permintaan Arjuna atas tapanya.  Mendengar  permohonan  Dewa Indra, kemudian Dewa Siwa memenuhinya dengan memberikan Arjuna anugrah berupa Panah Pasupati setelah diuji terlebih dahulu keteguhan imannya dalam memanah seekor babi. Saat itu Dewa Siwa menjelma menjadi seorang pemburu.

Pada saat itu Arjuna memanah babi yang merusak tempat tapanya. Dalam waktu yang sama pemburu itu juga me-manah babi tersebut dengan sasaran yang sama antara panah Arjuna dengan panah pemburu tersebut dan panah itu-pun menjadi satu. Di saat Arjuna mau mengambil panah datanglah pemburu itu mau mengambil panahnya juga. Sempat terjadi perang mulut antara Arjuna dengan Pemburu, karena sama-sama mengakui panah tersebut adalah miliknya. Berkali-kali pemburu itu minta panah tersebut, tetapi Arjuna tetap tidak memberikannya. Di kala itulah pemburu itu baru memperlihatkan wujud aslinya sebagai Dewa Siwa. Akhirnya Arjuna seketika pula duduk bersila dan menghaturkan sembah dan mohon maaf karena terlalu lancang berbicara. Melihat sikap Arjuna yang jujur dan kesatria tersebut Dewa Siwa barulah menyampaikan maksudnya kepada Arjuna. Wahai Arjuna anakku, engkau adalah kesatria sejati, sudah sepantasnya engkau mendapatkan anugrah dariku. Anugrahku padamu tiada lain adalah bernama Cadhu Sakti berupa senjata yang telah menyatu dengan panahmu, yang memiliki kekuatan yang sangat utama untuk menghadapi adharma di kemudian hari. Dengan demikian lalu Arjuna menghaturkan sembah dan berterima kasih ke hadapan Dewa Siwa atas anugrahnya. Dewa Siwa menerima sembah Arjuna dan selanjutnya menghilang dari hadapan Arjuna,  (Duwijo dan Darta, 2014:65).

Setelah mendapatkan Panah Pasupati dari Dewa Siwa tidak lama kemudian Arjuna dijemput oleh Dewa Indra dan Dewata lain untuk membunuh Raksasa Niwatakawaca yang telah membuat sorga menjadi resah dan gundah gulana. Setelah sampai di sorga sang Arjuna memikirkan cara yang harus dilakukan agar dapat mengalahkan Raksasa Niwatakawaca. Tidak lama kemudian Arjuna menemukan cara untuk membunuh Raksasa Niwatakawaca. Mereka pasti senang pada wanita yang cantik. Untuk itu Arjuna akhirnya memohon Bidadari yang paling cantik untuk menjalankan tipu dayanya menaklukan musuh. Mendengar permohonan Arjuna seperti itu kemudian Dewa Indra mengabulkan permintaanya. Dihadirkanlah Dewi Suprabha bidadari tercantik di sorga dan dibawa ke hadapan Arjuna. Dewi Suprabha diperintahkan oleh Arjuna untuk merayu dan mendekati Raksasa Niwata Kuaca. Dewi Suprabha belum tahu maksud dan tujuan Arjuna. Untuk apa saya menghampiri Raksasa Niwatakawaca, jangan-jangan nanti saya dibunuh olehnya? Kemudian Arjuna menjelaskan bahwa Raksasa Niwatakawaca tidak mungkin akan membunuh Dewi. Raksasa pasti akan tertarik dengan ke-cantikan Dewi. Apabila mereka mengatakan jatuh cinta pada Dewi, sanjunglah dia, pujilah dia karena kesaktinya mengalahkan Dewa. “Oh Kakanda, kalau kakanda mencintai dinda, dinda khawatir dengan kesaktian kakanda yang terkenal itu. Takut apabila nanti dinda salah memegang kakanda”, begitulah Arjuna memberitahu Dewi Suprabha.

Dewi Suprabha mengerti akan maksud tersebut lalu Dewi Suprabha mejalankan perintah Arjuna. Tidak lama kemudian Dewi Suprabha tersenyum manis mendekati Raksasa Niwatakawaca. Melihat Dewi Suprabha yang cantik mendekatinya Raksasa Niwatakawaca semakin percaya diri dan berkata, “Oh Dewiku sudah lama kanda menunggu kedatangan dinda, kanda sangat merindukan kasih sayangmu, kemarilah mendekat.”

Oh kanda, dinda khawatir dengan kesaktian kakanda. Mendengar pertanyaan Dewi akhirnya Raksasa Niwatakawaca tertawa. Oh dinda Dewi itu tidak akan terjadi, karena kesaktian kakanda berada di dalam dan tidak keliatan dari luar, tidak mungkin dinda akan merabanya. Dewi bertanya lagi, oh kakanda tolong beritahu dinda agar dinda tidak ragu. Wah kalau itu kehendak dinda kanda beritahu, kesaktian kakanda ada di pangkal lidah. Oh ya, terimakasih kanda. Setelah Dewi Suprabha mengetahui letak kesaktian Raksasa Niwatakawaca kemudian dia mohon pamit. Dewi Suprabha menuju ke tempat Arjuna. Dewi Suprabha sayang dan tertarik ketampanan Arjuna tidak ragu lagi untuk menyampaikan letak kesaktian Raksasa Niwatakawaca agar terbunuh dan mendapatkan ketampanan Arjuna. Begitu selesai mendengar penyampaian Dewi Suprabha seketika itu pula Arjuna menantang Raksasa Niwatakawaca. Ringkas ceritra, lama terjadi pertarungan di saat Arjuna dipukul oleh Niwatakawaca pura-pura jatuh,  (Duwijo dan Darta, 2014:66).

Raksasa Niwatakawaca merasa puas dan tertawa terbahak-bahak merasa dirinya sudah menang, Arjuna kemudian menggunakan kesempatan yang baik itu untuk memanah pangkal lidah Raksasa Niwatakawaca. Akhirnya tamatlah riwayat Raksasa Niwatakawaca yang terlalu bangga akan kesaktiannya. Selanjutnya Arjuna mohon pamit kepada Para Dewata, karena Arjuna telah menyelamatkan Sorga, oleh para Dewa dihadiahkanlah Dewi Suprabha kepada Arjuna sebagai istrinya.Pepatah mengatakan pucuk dicinta ulam tiba, suatu pertemuan yang tidak terduga antara Arjuna dengan Dewi Suprabha. Kemudian kembalilah Arjuna dengan membawa hadiah besar berupa bidadari cantik Dewi Suprabha dari sorga yang telah lama ditunggu dengan penuh kegelisahan oleh saudara-saudaranya.

Hikmah yang dipetik dari cerita ini adalah keyakinan Arjuna terhadap adanya Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa Yang Maha Pengasih dan Penyayang untuk mendapatkan Panah Pasupati melalui Tapa Brata Yoga Samadhi. Dengan keteguhan iman dan mental, siap menghadapi rintangan dan rela mengorbankan diri terhadap apapun yang akan terjadi. Kalau dikaitkan dengan kemajuan jaman, panah Pasupati itu tak ubahnya adalah ijazah yang diperoleh dengan nilai amat baik setelah mengikuti pelajaran di sekolah, (Duwijo dan Darta, 2014:67).

Renungan :

Mari kita renungkan, adakah keberhasilan bagi orang yang malas? Seseorang akan berhasil, apabila telah melakukan suatu usaha dengan sungguh-sungguh sekalipun menghadapi berbagai rintangan dan cobaan, seperti apa yang telah dilakukan oleh Arjuna.

Rangkuman

Catur guru berarti empat guru yang patut dihormati yaitu: Guru Rupaka, Guru Pengajian, Guru Wisesa, dan Guru Swasyaya. Guru Rupaka yaitu orang tua yang melahirkan dan memelihara kita dari kecil sampai dewasa. Guru Pengajian yaitu guru atau orang tua yang mendidik, mengajar dan melatih kita di sekolah. Guru Wisesa yaitu pemerintah seperti perangkat desa, pe-merintah di tingkat kecamatan (camat). Pemerintah di tingkat kabupaten (bupati), Pemerintah di tingkat provinsi dan Pemerintah Pusat. Kemudian yang terakhir adalah Guru Swadhyaya yaitu Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Kita yakini sebagai sumber dari segala-galanya karena memiliki empat sifat yang maha sakti yang disebut Cadhu Sakti/Catur Sakti.

Catur Guru bermanfaat untuk mendidik kita agar memiliki etika dan mo-ralitas yang baik sehingga dapat mewujudkan kehidupan yang aman, nyaman baik berada di rumah, di sekolah, di masyarakat, dan di manapun kita berada. Apabila ajaran catur guru dapat dipahami dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari akan mencerminkan suatu kebahagian dan kebanggaan pada setiap orang dan lingkungan di mana berada. Keberhasilan menerapkan ajaran Catur Guru merupakan tujuan kita semua untuk meningkatkan kehidupan yang beriman, berbudi pekerti yang luhur, santun dalam bertutur kata dan selalu ramah terhadap siapa saja dengan tidak pernah meremehkan orang lain.

Mempraktikkan ajaran Catur Guru artinya melaksanakan perintah Guru Ru-paka, Guru Pengajian, Guru Wisesa, dan Guru Swadhyaya. Melaksanakan perintah Guru Rupaka antara lain adalah belajar dengan tekun dan ber-tanggung jawab agar biaya yang diberikan oleh orang tua tidaklah sia-sia, sebab keberhasilan anak dalam belajar merupakan suatu kebanggaan dan kebahagian yang dirasakan oleh orang tua. Apabila kita mampu menjadi anak yang berprestasi disebut sebagai anak suputra. Dalam cerita di atas keluarga Panca Pandawa yang hormat kepada ibu kandung dan saudara. Keluarga Panca Pandawa yaitu ayah bernama Sang Pandu, ibu Dewi Kunti dan Dewi Madrim, anak tertua Yudhistira yang Dharma, Bima yang kuat, Arjuna yang tampan, dan Nakula, serta Sahadewa, (Duwijo dan Darta, 2014:68).

Melaksanakan ajaran Guru Pengajian antara lain datang ke sekolah de-ngan rajin dan tepat waktu, melaksanakan kewajiban dengan baik, taat dan patuh terhadap perintah guru baik di sekolah, maupun di luar sekolah, seperti belajar penuh perhatian, mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik dan sebagainya. Melaksanakan perintah Guru Wisesa di antaranya adalah, berjalan di sebelah kiri, mengendarai sepeda motor setelah memiliki SIM.Mentaati Guru Swadhyaya adalah rajin sembahyang dan memelihara tempat suci.

Dalam buku Dainika Upasana disebutkan salah satu pemujaan terhadap Guru Swadhyaya:

“Om Guru Brahman,Guru Wisnu,Guru Dewa Maheswaram, Guru Saksat Param Brahman, Tasmai Sri Guruwe namah," (Duwijo dan Darta, 2014:69).

Referensi

Duwijo dan Darta, I Ketut. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas V. Jakarta: Pusat                  Kurikulum dan Perbukuan. Balitbang Kemdikbud

0 Response to "3 Cerita Tentang Pentingnya Guru dalam Sastra"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel