Teologi Tat Tvam Asi Dan Garansi Terwujudnya Persaudaraan Semesta

MUTIARAHINDU.COM -- Manusia patut merasa bangga dan besar kepala atas keberhasilan yang luar biasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun manusia yang menggunakan nalar logis yang sehat fisik, mental dan spiritual pasti merasa sakit kepala, kecil kepala bahkan merasa tidak punya kepala, serta merasa kecil hati ketika melihat realitas hubungan antar sesama manusia semakin hari semakin memburuk. Suasana hubungan yang semakin tidak baik itu harus diakui secara jujur disebabkan oleh adanya ranjau pagar besi berduri dan berapi yang dibangun atas dasar kefanatikan agama yang membabi buta.






Terkait dengan realitas di atas, dr. Wayan Mustika (2017) seorang dokter medis lulusan dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar, kemudian atas kehendak sang waktu kemudian ia menjadi guru spiritual lintas agama. Mustika (2017:107) dalam bukunya berjudul Tuhan Segala Agama menyatakan bahwa: mata ini telah melihat begitu banyak pertikaian manusia demi agama, sebuah jalan indah yang semestinya membawa jiwa-jiwa manusia dalam keharmonisan dan kedamaian. Telinga ini terlalu lama mendengar begitu banyak perdebatan yang saling menyalahkan tentang kebenaran, yang semestinya dicari dengan jalan-jalan kebenaran. Batin ini terlalu lelah merasakan kepedihan saat begitu banyak korban kekerasan di jalan-jalan menuju Tuhan yang semestinya dipenuhi sukacita dan keindahan di sepanjang perjalanan. Pikiran ini dipenuhi tanda tanya, “kenapa jalan-jalan agama justru membawa manusia pada kesengsaraan, bukan kepada suasana batin yang lebih tenang dan kian mendamaikan?” Apakah agama-agama sengaja diciptakan berbeda agar mereka serupa air dan api yang saling mematikan? Ataukah agar mereka saling menyejukkan, saling menghangatkan, dan saling melengkapi?”

Dokter Wayan Mustika adalah seorang intelektual saintifik yang senantiasa berpikir rasional dan logis, ia secara logis menilai bahwa kondisi hubungan antar umat beragama saat ini di seantero dunia sudah cukup memprihatinkan. Sedikit saja ada kesalahpahaman terhadap salah satu agama, maka hal itu akan cepat sekali menyulut bentrok antar umat beragama. Lebih parahnya lagi adalah bahwa kerap sekali penyulut konflik itu adalah para tokoh agama. Untuk itu, Mustika mengingatkan bahwa: “pikiran begitu sangat terbatas, jangankan untuk memahami sesuatu yang bersifat rohani dan abstrak, untuk memahami kenyataan duniawi yang tidak sesuai harapan saja, amat sulit. Terutama ketika agama, kitab suci, dan ajaran tentang Tuhan justru kerap menimbulkan kekacauan di bumi ini (Mustika, 2017:108). Apa yang diuraikan oleh Mustika adalah realitas yang patut direnungkan dan dicarikan solusinya, jika tidak agama yang konon sebagai pedoman hidup berubah menjadi penghancur kehidupan. 

Melihat realitas hubungan antar sesama manusia beragama yang semakin kurang baik tersebut, maka bahwasanya adalah benar kata-kata Osho seorang Guru Spiritual kaliber dunia mengkritik perilaku orang beragama. Osho menyatakan: “All religions teach the brotherhood of man, but the only create enemies of each other. All religions teach that every man has a potential right to reach God, but practically they say: Only our religion is the true religion” (“Semua agama mengajarkan persaudaraan kepada semua umat manusia, tapi dalam realitasnya, mereka hanya menciptakan musuh antara satu dengan lainnya. Semua agama mengajarkan bahwa setiap orang memiliki potensi dan hak yang sama untuk mencapai Tuhan, tetapi realitasnya mereka mengatakan: Hanya agama kami adalah agama yang benar.” (https://id.pinterest.com/pin/ 24488391703192885/, Unduh 02-04-2021). Jika diakui secara jujur, maka pernyataan Osho itu pasti dapat diterima, karena itulah realitas hubungan manusia dewasa ini yang setiap saat dibanjiri dengan kata-kata bijak dari sorga, tetapi dalam praktiknya sangat jauh dari apa yang diuraikan. Mirip dengan penggalan lagu dulu yang menyatakan “lain di bibir lain di hati”. 

Selain kritik Osho atas praktik agama oleh sebagian umat beragama, kritik yang lebih keras terhadap hipokritisasi atas praktik umat beragama juga diberikan oleh Sankar Saranam seorang guru, dosen, penjelajah dunia, penyair dan composer yang tinggal di Georgia Utara. Saranam terlahir dari orangtua Irak dan Yahudi, ia mendapat gelar sarjana muda (BA) dalam bidang agama dari Columbia University dan gelar master (MA) dalam bidang teks-teks Sanskerta dan teks-teks klasik Timur dari St. John’s College di Santa Fe, New Mexico. Kritik intelektual bersifat logis analitis dan konstruktif oleh Saranam (2009) dapat dibaca pada bukunya berjudul God without Religion Questioning Centuries of Accepted Truth yang telah diterjemahkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Saranam adalah murid seorang rsi atau yogi sangat terkenal di seluruh dunia, yaitu Paramahamsa Yogananda, telah menguasai teknik-teknik lanjutan tentang pranayama raja yoga di institusi Self-Realization Felloship Ordo Swami Kriya Yogis. Paramahamsa yang telah mencapai Self-Realization (mencapai keinsafan Sang Diri yang merealisasikan bahwa Atma-nya tidak berbeda dengan Brahman), sehingga Paramahamsa telah mencapai kesadaran kosmis pada saat ia masih hidup. Vibrasi energi cinta kasih sayang Paramahamsa mengalir secara otomatis kepada seluruh umat manusia tanpa melihat suku, ras, golongan, dan agama; sebaliknya cinta kasihnya meliputi ciptaan. Vibrasi energi kasih sayang Paramahamsa inilah yang tertransmisikan dan direalisasikan oleh Saranam, sehingga ia memiliki kemampuan melihat agama sebagai satu kesatuan yang memberi spirit yang sama dengan cara berbeda-beda pada setiap agama. Cara para penganut agama menyampaikan ajarannya melalui metode yang berbeda-beda melampaui perbedaan yang natural. Atau dengan kata lain para pimpinan agama karena didorong oleh emosi keagamaannya dan ingin menyebarkan agama seluas-luasnya untuk menjangkau seluruh umat manusia, maka para pemimpin agama kerap menggunakan logika-logika yang bertentangan dengan nalar. Janjijanji kehidupan di sorga dengan gambaran fasilitas-fasilitas kemewahan materialistis seperti hidup di dunia material. Hal itu membuat keyakinan membabi-buta yang irasional dan membuat fanatisme buta yang sempit, mendiskritkan, melecehkan keyakinan orang lain dianggap sebagai sebuah prestasi rohani. Hal ini dalam Hindu disebut sebagai kebodohan yang akhirnya menjadi sumber berbagai macam konflik yang sangat sulit dicarikan solusinya. Sehingga agama yang spirit awalnya adalah kebaikan, keindahan, dan kemulian, tetapi realitasnya menjadi sesuatu yang menakutkan bahkan mengerikan. 

Saranam menguraikan bahwa umat manusia telah mengalami sejarah panjang pertumpahan darah karena kepentingan politik dan ekonomi agama terorganisir. Tuhan dipakai untuk mengkuduskan konflik atas tanah dan pemerintahan, dimulai pada zaman-zaman Alkitabiah, berlanjut dengan penaklukan Arab oleh Muhammad, penyerbuan Jenghis Khan ke Mongolia, Perang Salib, Inkuisisi, dan Perang Agama di Prancis, dan pendudukan Amerika. Sejak masa-masa itu, rajaraja, jenderal-jenderal, dan para Paus telah merestui pemakaian kekerasan dengan keputusan Ilahi jika kekerasan ini melayani kepentingan mereka.
Para pemimpin keagamaan juga berdoa untuk kemenangan militer dan jarang mendorong orang mempertanyakan kerusuhan sosial akibat perang, sementara rumah-rumah ibadah, yang mengharapkan keuntungan finansial dari konflik bersenjata, telah berulang kali gagal memperjuangkan kehendak baik dan perdamaian di bumi. Karena dikendalikan oleh ambisi politik dan militer, agama terorganisir terus merongrong kaidah-kaidah etis dan mendukung kekerasan atas nama Tuhan – suatu kontradiksi yang jelas. Kejadian-kejadian belakangan ini menggambarkan cara-cara ekstrem yang agama dapat gunakan untuk membenarkan kekerasan (Saranam, 2009:74-75).. 

Berdasarkan uraian Saranam di atas bahwa kisruh, konflik dan kerusuhan atas nama agama sudah terjadi cukup lama, bahkan belakangan semakin terbuka peluang terjadinya konflik antar agama. Sebab, jika pada beberapa dekade yang lalu, konflik-konflik atas nama oleh para pimpinan agama senantiasa ditutupi agar tidak semakin meluas. Tetapi, sekarang ini di era teknologi 4.0 justru timbul “tradisi baru” yaitu “tradisi debat terbuka keyakinan antar tokoh agama”. Tradisi baru lainnya, semakin menjamur pengakuan sebagai ahli non-Hindu yang menafsirkan ajaran Hindu melalui pengetahuan otodidak mereka dan hasil pengamatan mereka yang tidak komprehensif. 

Agama adalah pengalaman manusia terhadap hal yang transendental yang dibangun atas dasar pedoman kitab suci agama yang diyakini. Karena itu adalah suatu yang tidak komprehensif jika seorang hanya melalui membaca dan melihat Hindu dari kejauhan, lalu mengatakan diri sebagai pakar Hindu. Itu adalah klaim intelektual yang apologis. Mendebat ajaran agama dari umat lain melalui perspektif ajaran agama sendiri apalagi menonjolkan perbedaan-perbedaan adalah benih-benih konflik yang tidak ada gunanya. Karena itu Osho dengan sangat sinis mengkritik cara-cara para tokoh agama yang menyebarkan agamanya secara tendensius materialistis sebagaimana pernyataan Osho di atas. Demikian juga Sankar Saranam yang seorang penulis buku, gitaris, dosen, penulis puisi, mengkritik cara-cara umat manusia dalam beragama, sbb:

Sekali Anda tidak lagi memerangi waktu dan mulai menerima siklus kehidupan dan perubahan-perubahan yang didatangkannya, Anda dapat memperluas penghayatan diri Anda dengan membayangkan diri Anda membentang luas membelah jagat raya lewat nafas lambat dan teratur Anda yang mencerminkan siklus-siklus kehidupan yang luar biasa. Akhirnya, jika Anda memusatkan perhatian Anda pada serebrum, dan dengan bertahap mengurangi pengaruh waktu sementara Anda mengembangkan kapasitas intuisi Anda, Anda dapat melepas beban yang diletakkan waktu pada indra persepsi Anda.

Kalau pola-pola siklik diakui, hal ini akan memperjelas perbedaan mendasar dalam latar belakang budaya antara agama-agama Timur yang berdasar pada Veda dan agama-agama Barat yang berdasarkan pada Alkitab Ibrani, dan menolong menjelaskan minat yang berkembang terhadap pemikiran Timur di antara orang Barat dalam kurun waktu progresif sekarang ini. Menarik untuk dicatat, kendatipun tradisi Vedik India mendahulu tradisi Ibrani hanya beberapa ribu tahun, rentang waktu yang pendek ini membawa perbedaan antara suatu zaman yang lebih tinggi dan suatu zaman kegelapan. Meskipun Hinduisme dan Buddhisme secara bertahap terbentuk dan mengalami kemunduran ribuan tahun kemudian, akar kedua agama ini yang terdapat dalam Veda pada zaman yang lebih tinggi dapat menjelaskan mengapa keduanya kini menerima lebih banyak perhatian di Barat dan bagaimana dua agama ini menciptakan kebudayaan-kebudayaan yang lebih kontemplatif ketimbang masyarakat-masyarakat Eropa.

Juga menarik untuk dicatat adalah fakta bahwa sementara pencarian spiritual Timur dari zaman yang lebih tinggi mengalami kemunduran selama Zaman Kegelapan menjadi metode-metode meditasi dan ritual-ritual lahiriah yang mematikan pikiran, serta kepasrahan tanpa pengharapan kepada nasib, perang agama relatif jarang muncul di Timur. Bahkan, orang China dapat menempatkan Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme bersama-sama dalam kedamaian. Klimaks antagonism antara Hinduisme dan Buddhisme muncul dalam tulisantulisan abad ke-9 M buah tangan Adi Sankara, ketika melihat telah terjadi kemunduran secara perlahan masuk ke dalam Buddhisme, bekerja untuk mengasimilasi kembali orang Buddhis pada lingkungan Vedanta, filsafat kuno yang diajarkan Sang Buddha. Konflik antara Hinduisme dan Buddhisme membantu mempersiapkan kemunculan salah seorang filsuf terbesar dunia, dan ini menyiratkan bahwa meskipun dua agama ini berbeda dan telah mengalami kemunduran, akar-akar keduanya dalam Veda dari zaman yang lebih tinggi menginspirasi suatu kemampuan untuk mencari pemecahan damai di Timur.

Kontras dengan itu, perang agama telah menjadi tidak terkendali di Barat yang monoteistik, dan ini menimbulkan kekerasan dan bencana tanpa akhir. Bahkan ideal-ideal universal Yesus tidak dapat mencegah keikutsertaan Kristianitas dalam Perang Salib, Inkuisisi, ekspedisi konkuistador, kecenderungan antisains, kolonialisme, kampanye misionaris yang dilakukan dengan cara yang buruk, perbudakan, genosida dan holokaus, serta Perang Dunia. Pada bagiannya, Islam mengembang-kan jihad secara formal membagi dunia ke dalam satu kawasan kaum mukmin dan suatu kawasan perang. Antagonisme yang terus berlanjut yang dipicu oleh agama-agama ini tidaklah mengejutkan, mengingat bahwa akar agamaagama ini berpangkal bukan pada Veda dari zaman yang lebih tinggi, melainkan pada Alkitab Ibrani yang lahir dalam Zaman Kegelapan, sebuah kitab yang mengisahkan suatu Tuhan suku yang suka berperang yang berambisi untuk dipandang sebagai Tuhan jagat raya.

Menurut Teori Siklus dan catatan sejarah, kurun waktu 700 SM sampai 499 M adalah kurun waktu masyarakat yang sedang merosot. Agama-agama yang didirikan dalam kurun waktu ini harus dengan saksama dianalisis jika kita mau melampaui kebenaran-kebenaran mapan mereka. Mengingat bahaya yang kini sedang dihadapi umat manusia sebagai akibat keberadaan agama-agama itu, kegagalan untuk mempertanyakan agama-agama tersebut ekuivalen dengan persetujuan terhadap pembunuhan. Penerimaan membuta terhadap antara lain skenario tentang akhir zaman akan mengubah skema waktu ini menjadi nubuat yang menggenapkan diri sendiri.

Sama seperti sains telah dengan cepat menghapus antagonisme keagamaan yang telah berlangsung berabad-abad terhadap penyelidikan ilmiah, begitu juga spiritualitas, ketika didekati secara metodis, dapat dengan cepat menyingkirkan kegelapan mitos-mitos keagamaan. Jika teori siklus benar, tanggung jawab untuk melenyapkan kegelapan ini telah ditempatkan langsung pada pundak kita, dan dengan didukung kebangkitan global kemampuan diri untuk berkembang, kita akan mencapai sesuatu yang generasi-generasi sebelumnya tidak dapat capai. Jika teori siklus salah, kita masih dapat dengan efektif memegang janjinya sebagai nubuat yang menggenapkan perluasan diri kita (Saranam, 2009:119-121). 

Berdasarkan uraian Saranam di atas, dapat diketahui bahwa apa yang terjadi di dunia ini termasuk peristiwa-peristiwa keagamaan bersifat siklikal. Muncul dan tenggelamnya suatu paham keagamaan serta munculnya kembali dalam era waktu lainnya adalah suatu hal yang bersifat natural. Jika pada zaman tertentu di tempat tertentu muncul paham tertentu yang dianggap sebagai paham yang mampu memberi solusi tertentu, akhirnya pada saat lain paham tersebut tidak menjadi solusi di tempat yang lebih luas dalam masyarakat yang lebih luas. Salah satu contoh, cara-cara yang keras dan pengawasan yang ketat untuk menanamkan keyakinan pada suku bangsa tertentu yang berperilaku barbar, mungkin cara itu di tempat itu pada zaman itu bisa dianggap penting dan fungsional. Tetapi cara-cara itu menjadi tidak fungsional bagi masyarakat yang telah berpikir maju yang telah menyadari dan mempraktikan dasar-dasar kemanusiaan yang dijiwai oleh kesadaran teologi Tattvam Asi suatu kesadaran natural universal. Disebut sebagai kesadaran natural universal sebab sesungguhnya manusia adalah mahluk percikan Tuhan yang membawa sifat-sifat dan atau karakter ketuhanan. Kebodohan adalah penyebab hilangnya kesadaran ketuhanan pada manusia.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk memberi solusi konflik akibat kesalahpahaman interpretasi teologi antar banyak agama. Struktur dan isi teologi setiap agama bersifat mandiri, karena itu makna-makna teologis suatu agama tidak dapat diintervensi pemaknaannya oleh pihak yang tidak meyakini. Berdasarkan disiplin antroplogi agama, sejarah agama, sejarah teologi, dan sebagainya, ada banyak macam dasar kepercayaan yang kemudian menjadi fondasi teologis setiap agama. Misalnya kepercayaan animis, politis, monistis, panteistis, monoteistis, dan sebagainya. Hindu sebagai ibu agama-agama memayungi semua dasar keyakinan sehingga tidak ada satupun keyakinan ditampik. Karena itu Hindu sejak dahulu hingga saat ini terkenal sebagai agama paling toleran dan menerima secara terbuka wacana pluralisme agama-agama. Walaupun demikian, Hindu di India belakangan mulai tampak sedikit membatasi toleransinya karena mereka merasa berabadabad dibuli dengan tudingan kafir, politistis, berhala, dsb., oleh pihak Islam dan Kristen yang membuat banyak umat Hindu yang konversi. 

Melihat realitas itu seorang tokoh besar dalam bidang filsafat dan teologi Hindu sekaligus mantan Presiden II India, Prof. Radhakrishnan menganjurkan agar umat Hindu tidak perlu toleransi yang berlebihan terhadap agama lain hingga konversi kepercayaan. Saat ini ketika konflik teologi antar agama semakin terbuka, maka teologi Hindu menawarkan salah satu jalan tengah untuk menanggulangi konflik. Teologi Tattvam Asi yaitu salah satu teologi universal yang mengajarkan bahwa semua yang ada di dunia ini adalah satu kesatuan dengan setiap individu. Teologi Tattvam Asi akan membuat manusia memiliki wawasan dan kesadaran ketuhanan yang universal atau semesta.

Manfaat
Manfaat terbesar dan manfaat paling nyata dari hasil penelitian ini adalah terwujudnya toleransi universal umat manusia secara global. Suatu kesadaran teologis yang tidak disekat oleh perbedaan suku, ras, agama dan golongan. Singkatnya, hasil penelitian ini akan memberi wawasan kepada para tokoh agama dan intelektual agama bahwa tidak perlu melakukan provokasi teologis dengan cara melecehkan teologi agama lain karena kecemasan umatnya akan konversi ke agama lain.

Teori
Membahas persoalan agama ada banyak teori yang dapat digunakan secara eklektikpada penelitian ini,  antara lain teori fungsional struktural, terutama digunakan dalam membahas sistem pengajaran agama yang harus terstruktur dan juga terkait dengan fungsi ajaran serta kualifikasi tertentu yang dihubungkan dengan pemilikan otoritas yang dapat menyampaikan system pengajaran tersebut. Selain teori fungsional struktural di atas, maka teori makna juga dapat digunakan dalam penelitian ini, sebab penelitian agama adalah masalah pencarian makna dan pemberian makna atas teks dan fakta religius.

Metode dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan teologi Hindu. Ada dua macam dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder; data primer didapatkan dalam teks-teks Hindu baik teks teologis maupun teks filosofis. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hal-hal yang bersifat empirik berupa konflik-konflik yang dilatarbelakangi oleh kesalahpahaman religius dan atau kesalahpahaman teologis antar pemeluk agama, kemudian tragedi konflik itu dipublikasikan oleh media masa (seperti: TV,  Facebook, dan Youtube dan media elektronik lainnya), juga diperoleh melalui media cetak, seperti, surat kabar, majalah, tabloid, dsb.

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis menulis baik yang elektronik maupun alat tulis manual, juga jaringan internet untuk digunakan mengakses data-data elektronik. Data-data yang telah diperoleh disajikan dan diolah sedemikian rupa dengan cara menyajikan secara formal dan diverifikasi, dipilah-pilah dan direduksi sesuai dengan prinsip data kualitatif yang mencapai tingkat jenuh. Setelah itu dilakukan penyimpulan. Data-data kualitatif yang telah diperoleh kemudian dianalisis sedemikian rupa dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dibantu dengan teknik analisis Vedic Interpretation yang kemudian dibandingkan dengan teks-teks Vedanta. Selanjutnya, diambil suatu kesimpulan sesuai rumusan masalah dan atau yang sesuai dengan tujuan penelitian.

PEMBAHASAN
Hakikat Agama, Agama Hindu dan Teologi Hindu

Hakikat Agama
Kata agama merujuk pada kosa kata Sanskerta, yaitu dari kata a dan kata ga, atau dapat ditulis a + ga menjadi aga kemudian menjadi agam seterusnya menjadi kata agama. Kata a berarti ‘tidak’, dan kata ga atau gam berarti pergi, sehingga kata agama berarti ‘tidak pergi’; hakikat makna kata ‘tidak pergi” yang dimaksudkan adalah ‘kepercayaan yang teguh atau keyakinan tangguh dan diwariskan secara turun-temurun. Belakangan banyak penulis memberi makna bahwa kata agama berasal dari bahasa Sanskerta yang langsung diartikan dengan religion. Walaupun arti tersebut tidak salah, namun makna seperti itu menghilangkan jejak asal-usul makna kata agama. Jelasnya sampai saat ini semua pakar dan semua kamus bahasa Indonesia mengakui jika kata agama itu berasal dari bahasa Sanskerta. Oleh sebab itu, makna kata tersebut seyogyanya mendekati makna kata Sanskerta, yaitu ‘kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi’. Agar pewarisan ajaran agama berlangsung terus, benar dan bertanggungjawab, maka perlu diajarkan secara benar oleh para orangtua dari generasi ke generasi selain juga mendapatkan tambahan dari para guru di sekolahnya. Ada beberapa pandangan pakar ilmu agama tentang hakikat agama, sbb:

Agama (Wach, 1984) adalah perbuatan manusia paling mulia dalam kaitannya dengan Tuhan Maha Pencipta, sebab kepada-Nya manusia menaruh kepercayaan dan keterikatannya  yang sesungguhnya. Lebih jelasnya agama dinyatakan sebagai suatu yang dalam praktiknya seorang benar-benar percaya secara total dan hanya dengan totalitas itu saja manusia sudah merasa cukup dalam beragama. Terkait dengan penerimaan agama, manusia tidak bersikeras atau mempertahankan intelektualnya. Agama mungkin saja sebagai suatu yang tidak berarti bagi orang lain, tetapi bagi yang lainnya agama adalah sesuatu yang ditaruh secara mendalam di dalam lubuk hati supaya bisa mengenalnya dengan pasti karena agama bersentuhan dengan hal-hal yang mutlak dalam alam penuh kerahasiaan ini, di samping kewajiban serta nasibnya ditetapkan di sana yang dalam semua hal merupakan sesuatu yang utama, yang secara kreatif menentukan segala yang lain.

Selanjutnya agama menurut (Schuon, 1987:116) adalah suatu keseluruhan yang bersifat integral yang dapat dibandingkan sebagai mahluk hidup yang berkembang menurut hukum-hukum yang seharusnya dan pasti sifatnya. Karena itu, agama dapat dinamakan suatu organisme rohani atau organisme sosial dalam aspeknya yang paling lahiriah. Dalam arti tertentu, agama adalah organisme dan bukan bangunan unsur-unsur yang merupakan bagian suatu agama yang lepas dari kesatuan rohaninya atau seolah-olah kita sedang menghadapi suatu himpunan fakta belaka. Berdasarkan pandangan Schoun, agama dipandang sebagai suatu sistem, oleh karena itu adalah tepat menghubungkannya dengan teori Struktual Fungsional yang mampu menjelaskan fungsi setiap bagian struktur sistem.

Hal ini tentu telah masuk ke dalam definisi modern tentang agama, yaitu agama telah menjadi suatu organisasi atau agama terorganisir. Akan sangat berbeda halnya definisi yang dihubungkan dengan hal yang paling hakiki, hal mana agama bersifat individual karenanya tidak tepat diorganisir. Sebagaimana dinyatakan oleh Osho menyatakan: “Religion cannot be an organized phenol-menon. It is basically individual, fundamentally individual. It is just like love-you cannot have organized love” (https://id.pinterest.com/pin/322288917054379038/, akses 03-04-2021).

Jika dianalisis secara saksama, maka pernyataan Osho adalah suatu kebenaran naturalis yang sulit dibantah, sebab pada hakikatnya manusia adalah mahluk yang diciptakan Tuhan dengan talenta religius, sebab manusia adalah percikan Tuhan itu sendiri. Manusia adalah mahluk rohaniah, karena itu betapapun kecilnya atau sedikitnya unsur rohaninya, maka manusia pasti membawa sifat keagamaan, religius atau rohani. Itu pula realitas yang menunjukkan bahwa manusia sejak dalam kandungan telah memiliki hubungan sangat khusus atau sangat pribadi dan sangat rahasia antara manusia dengan sesuatu yang bersifat transedental yaitu Tuhan. Karena itu secara natural agama adalah suatu yang bersifat  individual yang tidak perlu diorganisir. Ketika agama yang bersifat individual, kemudian diatur sesuai dengan manajemen organisasi modern yang selalu dihubungkan dengan kepentingan organisasi, maka agama yang tadinya bersifat amat sakral kemudian masuk ke dalam lingkungan yang berbasis pada pertimbangan profit atau keuntungan-keuntungan material. Sehingga agama individual berubah menjadi agama pasar yang bising dengan urusan organisasi dan material. Sejak agama rohani berubah menjadi agama pasar, maka konflik kepentingan mulai bergandengan tangan antara agama dan politik, ekonomi, dsb.

Agama pasar membuat agama kehilangan rohnya dan identitasnya, dari yang murni menjadi tidak murni. Adalah suatu hal yang logis jika agama semakin lama akan semakin dijauhi manakala agama kehilangan spirit sucinya.

Agama Hindu
Informasi tentang agama Hindu di Indonesia yang dibaca oleh para pembaca nonHindu lebih banyak didapat dari sumber penulis non-Hindu yang tidak memiliki pemahaman yang cukup selain memang memiliki motif untuk tidak menampilkan ajaran Hindu yang sebenar-benarnya. Sebagian besar jika tidak boleh disebut bahwa semua penulis non-Hindu Indonesia ingin menempatkan ajaran Hindu selalu lebih rendah dari agama mereka. Tidak ada penulis non-Hindu yang menguraikan bahwa agama Hindu sama dengan agama lainnya. Hampir semua penulis non-Hindu tampak seakan ketakutan jika menulis ajaran dan sejarah Hindu secara benar. Mereka takut umatnya pindah ke agama Hindu.

Hindu adalah agama tertua yang pernah ada di muka bumi ini dan masih tetap eksis sampai sekarang ini. Banyak ahli sejarah agama yang heran atas realitas ini. Walaupun Hindu sebagai agama tertua, sebagian besar orang Indonesia masih asing telinganya mendengar kata Hindu. Bahkan banyak intelektual akademis entah secara sengaja atau tidak sengaja, tidak bisa membedakan antara agama Hindu dan agama Buddha. Mungkin sudah demikian nasib Hindu sebagai agama tertua yang mirip dengan nasib banyak orangtua yang dilupakan atau diterlantarkan oleh anak-anaknya dan cucu-cucunya. Mereka akan ingat kembali dengan orangtuanya pada saat mereka banyak menemui kesulitan hidup yang seakan-akan disebabkan oleh suatu kekuatan gaib sehingga mereka mengalami keterpurukan dalam hidupnya. Mirip dengan fenomena orangtua yang dilupakan oleh anak dan cucunya itu, dan kemudian diingat kembali saat mereka menjumpai kesulitan hidup, maka dewasa ini ketika masyarakat beragama di Indonesia dan juga masyarakat beragama di seluruh dunia banyak mengalami anomaly social atau chaos social, maka mulai banyak orang menoleh kepada ajaran Hindu dan praktik hidup umat Hindu.

Untuk memberikan gambaran tentang agama Hindu secara ringkas namun mewakili pandangan agama Hindu, maka dianggap perlu menyajikan beberapa pustaka atau bukubuku yang membahas tentang Hindu, karya-karya pakar non-Hindu dan pakar Hindu. Hal ini penting agar Hindu itu dapat dipahami secara lebih luas, baik dari aspek penilaiannya yang negatif maupun yang positif. Beberapa karya tentang Hindu baik yang ditulis oleh orang non-Hindu dan orang Hindu sendiri sebagai data komprehensif dalam studi pustaka. Pandangan pertama yang sangat penting adalah buku karya C.J. Bleeker (2004) berjudul Pertemuan Agama-Agama Dunia. Karya Bleeker ini paling banyak dikutip oleh penulis Indonesia digunakan untuk menggambarkan Hindu dan kutipannya lebih banyak menjadi penyebab kesalahtafsiran terhadap Hindu. C.J. Bleeker (2004:1) menyatakan:

Agama Hindu dapat disamakan dengan rimba raya yang penuh dengan pohon-pohon, semak-belukar, dan tumbuh-tumbuhan dengan berbagai bunga. Pendeknya, suatu daerah dengan aneka ragam warna yang rimbun dan ruwet sekali. Karena agama Hindu memperlihatkan berbagai bentuk dan bermacammacam gejala agama. Suatu percampuradukan dari tokoh-tokoh dewa, bentukbentuk kultus, strata sosial, dan mazhab-mazhab agama berdasarkan filsafat.

Suatu perbedaan yang ruwet antara pernyataan-pernyataan mistis yang sangat murni dan luhur, atau pernyataan cinta yang mesra terhadap dewa pemurah yang tunggal dan bentuk-bentuk keagamaan dengan nafsu-nafsu manusia yang rendah dan secara kasar menampakkan dirinya.

Gambaran yang diberikan agama Hindu secara keseluruhan memang beraneka ragam dan mengacaukan. Kesan pertama yang kita peroleh ialah bahwa agama Hindu bisa dikatakan menghimpun seluruh sejarah agama dengan segala ragam dan bentuk kesalihannya. Tetapi hal ini justru menambah kesulitan untuk mencoba apa yang mau dijabarkan dalam karangan ini, yaitu menggambarkan agama Hindu secara ringkas. Kendati demikian kita harus mencoba membentuk pengertian tentang wujud agama Hindu (Bleeker,2004:1).

Uraian Bleeker di atas dikutip oleh banyak penulis non-Hindu dengan motif untuk menonjolkan kesan bahwa Agama Hindu itu seperti hutan yang bersisi pepohonan yang tidak teratur atau kacau-balau, karena berisi bentuk keagamaan dengan nafsu-nafsu manusia yang rendah. Suatu gambaran tentang Agama Hindu sebagai agama yang mencampuradukan segala keanekaragaman dan mengacaukan. Demikianlah kesan yang dibangun oleh para penulis non Hindu seperti Seno Harbangan Siagian (1989) dalam bukunya Agama-agama Di Indonesia. Siagian menulis bukunya dengan 9 bab, jika konsekuen dengan judulnya, maka isinya mesti berisi uraian seluruh agama yang ada di Indonesia. Tetapi, Siagian tidak menulis uraian agama Islam dalam bukunya. Ia lebih menonjolkan kesan bahwa agama Hindu yang tidak jelas juntrungnya, secara langsung maupun tidak langsung buku ini memiliki tendensi tidak melihat agama Hindu dengan sebelah mata.

Para penulis non-Hindu karena sangat bernafsu untuk menunjukkan bahwa agama Hindu adalah agama yang kuno, usang, ketinggalan zaman, tidak sesuai dengan agama zaman modern yang pada intinya para penulis ingin menunjukkan bahwa Hindu lebih rendah daripada agama yang dianut oleh para penulis non-Hindu, maka uraian-uraian seperti yang ditulis Bleeker di atas juga ditampilkan oleh Dr. Harun Hadiwiyono (2000) seorang yang dianggap pakar dalam bidang Hindu. Hadiwiyono (2000:12) menulis bahwa “sebenarnya agama Hindu bukanlah agama dalam arti yang biasa. Agama Hindu adalah suatu bidang keagamaan dan kebudayaan yang meliputi zaman kira-kira 1500 SM hingga sekarang.

Dalam perjalanannya di sepanjang abad itu, agama Hindu berkembang sambil berubah dan terbagi-bagi, sehingga memiliki ciri yang bermacam-macam yang oleh penganutnya kadangkadang diutamakan, tetapi kadang-kadang tidak diutamakan sama sekali”. Untuk menyelipkan kata-kata agar terkesan agama Hindu masih tetapi hidup karena faktor keberuntungan, maka Hadiwiyono menyelipkan kutipan dari Govinda Das yang menyatakan bahwa: “agama Hindu sesungguhnya adalah suatu proses antropologis, yang hanya karena nasib yang toronis saja diberi nama agama”. Uraian-uraian Hadiwiyono, Siagian yang bersumber dari buku-buku yang dikarang oleh penulis non-Hindu itu dirujuk oleh Guru Gembul yang sedang top di Youtube kerap membawakan materi agama Hindu. Suatu upaya terselubung Guru Gembul yang secara sengaja atau tidak sengaja menampilkan agar Hindu penuh dengan kekurangan jika dilihat dalam perspektif definisi agama yang sempit.

Alangkah kaburnya pengetahuan orang-orang yang secara sungguh-sungguh ingin memahami agama Hindu tetapi sumber informasinya yang jelek seperti di atas itu. Berbeda dengan para penulis non-Hindu yang menulis tentang Hindu, Annie Besant seorang pemimpin Masyarakat Teosofi Inggris (dalam Putra, 2020:41) menguraikan bahwa: “Setelah mempelajari sekitar 40 (empat puluh) tahun lebih tentang agama-agama besar dunia, saya menemukan tidak ada yang begitu sempurna, tidak ada yang begitu ilmiah, tidak ada yang begitu filosofis, dan tidak ada yang begitu spiritual sebagai agama besar yang dikenal dengan nama Hindu. Semakin Anda mengetahuinya, maka semakin Anda menyukainya, semakin Anda mencoba memahaminya, maka semakin mendalam Anda akan menghargainya. Leo Tolstoy (dalam Putra, 2020:41) seorang penulis Rusia yang termasyur juga menyatakan bahwa: “Agama Veda tidak saja hanya agama yang tertua, tetapi juga  agama yang paling sempurna. Ia menempati posisi pertama dan yang paling utama di antara agama-agama dunia”.

Dr. Carl Sagan seorang ahli astronomi AS yang sangat terkenal, dalam bukunya berjudul Cosmos (1980) menguraikan bahwa: “Agama Hindu adalah satu-satunya agama besar dunia yang mempersembahkan gagasan bahwa Alam Semesta mengalami kelahiran dan kematian tak terhitung dan tak terbatas. Ia adalah satu-satunya agama di mana skala waktunya sesuai dengan skala waktu Kosmologi ilmiah modern. Siklusnya berjalan dari hari siang dan malam biasa kita ke suatu siang dan malam Brahma, 8.64 milyar tahun panjangnya” (Putra, 2020:41). Jika saja para penulis non-Hindu Indonesia membaca bukubuku Hindu yang ditulis oleh penulis Barat non-Hindu di atas, maka seharusnya malu. Ada banyak sekali pakar Barat yang mengakui kehebatan atau keunggulan Hindu secara ilmiah.

Berikut ini ditampilkan satu pandangan pakar sains di antara banyak sekali pandangan pakar lainnya yang memuliakan agama Hindu. Prof. Klaus K. Klostermeier (dalam Putra, 2020:43) dalam bukunya A Survey of Hindu (1989) menguraikan bahwa: “Agama Hindu akan menjadi agama dunia. Agama Hindu akan menyebar bukan melalui para guru dan swami yang akan menarik sejumlah orang untuk mencari suatu komitmen baru dan gaya hidup yang mirip pertapaan, tetapi agama Hindu akan berkembang terutama melalui karya-karya para intelektual dan penulis yang telah menemukan beberapa dari cita-cita ideal Hindu yang meyakinkan dan yang mengidentifikasi cita-cita itu dengan keyakinan pribadi mereka.

Sejumlah cukup besar dari ahli fisika dan biologi terkemuka telah menemukan parallel antara ilmu pengetahuan modern dengan ideal-ideal Hindu. Sejumlah ilmuwan kreatif yang terus meningkat akan datang dari latar belakang Hindu dan akan secara sadar dan tidak sadar menggabungkan ideal-ideal ilmiah mereka dengan ideal-ideal agamanya. Semua dari kita mungkin telah sedikit banyak menjadi lebih Hindu dari yang kita duga. Demikian dinyatakan oleh Prof. Klaus K. Klostermeier. Berdasarkan uraian para pakar sains Barat, dapat dikatakan bahwa sangatlah bersalah untuk menilai agama Hindu secara gegabah. Keene (2006) dalam bukunya berjudul Agama-agama Dunia menyatakan bahwa Agama Hindu berkembang sejak ribuan tahun lalu, dan merupakan agama paling tua di dunia yang masih hidup sampai sekarang. Ada jutaan dewa-dewi dalam kepercayaan agama Hindu dan semua itu merupakan refleksi dari Brahman, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sekalipun demikian banyak, semuanya digambarkan dalam tiga personifikasi yang paling popular, yaitu Brahma, Vishnu, dan Shiva yaitu aspek Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur (2006: 8). Lebih lanjut, Keene menyatakan bahwa Hinduisme adalah agama monoteistis yang pengikut-pengikutnya percaya pada satu Tuhan, yang disebut Brahman yang tidak dapat dijangkau dan dimengerti oleh manusia. Ada jutaan gambaran yang digunakan untuk membantu manusia membayangkan Brahman yang tidak terbayangkan. Jelasnya bahwa dalam Hindu hanya ada satu Tuhan Yang Maha Esa yang dipuja melalui melalui berbagai bentuk dan berbagai cara. Tuhan Yang Maha Esa adalah asal segala ilmu pengetahuan dan segala sesuatu yang dapat dikenal melalui tanda-tanda-Nya. Brahman atau Tuhan Yang Maha Esa adalah Segala Kebenaran, Segala Ilmu Pengetahuan, Segala Kegembiraan, Tidak Berwujud, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Adil, dsb. Kehadiran gambaran dewa dan dewi dalam upaya menggambarkan Brahman yang tidak tergambarkan itu membuat agama Hindu menjadi agama yang penuh dengan keindahan. Dalam Hindu, Brahman itu tidak laki-laki dan tidak juga perempuan, tetapi karena Brahman melingkupi semua mahluk, maka Ia bisa berwujud laki-laki atau perempuan. Singkatnya, orang Hindu percaya bahwa Brahman atau Yang Mahakuasa menguasai dunia dengan tiga sifat utamaNya yang digambarkan dalam Trimurti, yaitu Brahma, Vishnu, dan Shiwa (2006: 14-16).

Uraian Keene di atas menyatakan bahwa ajaran Hindu adalah agama monoteistis sebagaimana agama lain, hanya cara dan sarananya yang berbeda. Bahkan Keene menyatakan bahwa cara Hindu mengekspresikan agamanya melalui seni dan budaya yang indah membuat agama Hindu tampak indah.

Smith seorang ahli sejarah agama-agama dan teologi agama-agama kaliber dunia yang sangat terkenal dalam bukunya berjudul Agama-Agama Manusia menyatakan bahwa: Jika kita mempelajari agama Hindu secara keseluruhan, tulisan-tulisannya yang amat luas, keseniannya yang sangat kaya, peribadatannya yang cermat, dan adat istiadatnya yang mencakup demikian banyak hal, dan jika kita menerima pandangannya yang demikian luas sebagai suatu kesatuan serta mengutarakannya kembali, dalam suatu pernyataan tunggal yang menyatakan inti hakikatnya, kita akan menemukan peneguhan utama yang dikatakan kepada manusia: “Anda boleh melakukan apa pun yang anda inginkan” (2004:19). Lebih lanjut, Smith menguraikan bahwa orang-orang Hindu menerima perbedaan, namun memperluasnya sampai mencakup masa kehidupan yang berlipat ganda (2004:26). Smith juga menyatakan bahwa Agama Hindu mengandung berbagai petunjuk yang banyak sekali bagi pria dan wanita yang siap menjalankan tugas kemanusiaan. Hindu menjelaskan secara amat terperinci kewajiban orang sesuai dengan watak, serta status sosialnya. Smith menyatakan bahwa orang-orang Hindu memberi nama Brahman kepada kenyataan tertinggi, dikaitkan dengan nama Brahman adalah sat, chit, dan ananda, yang berarti ‘Tuhan itu ada’, Tuhan itu ‘sadar’ dan ‘bahagia’. Ia merupakan Kenyataan terdasar, kesadaran terdasar, dan tidak akan mungkin mengalami kekecewaan. Tuhan berada di luar jangkauan pikiran manusia, Tuhan berada jauh dari pengalaman rohani manusia. Ada dua wilayah kognitif diskursus tentang Tuhan dalam agama Hindu, Tuhan yang sama sekali tidak dapat digambarkan dengan cara apapun, wacana Tuhan tersebut disebut wacana Nirguna Brahman. Sedangkan wacana tentang Tuhan yang digambarkan dengan atribut tertentu disebut wacana Saguna Brahman (2004:86-87). Uraian Smith di atas menunjukkan bagaimana keluasan dan keistimewaan ajaran Hindu yang mampu menampung semua konsep keagamaan.

Singh (1993) dalam bukunya berjudul Essay on Hinduism menguraikan: “The religion that has come to be known as Hinduism is certainly the oldest and most varied of all the great religions of the world. The word ‘Hinduism’ itself is a geographical term based upon the Sanskrit name for the great river that runs across the northern boundaries of India, known as the Shindu. For those living on the other side of this river, the entire region to the south-east of the Shindu, which the Greeks called the Indus, came to be known as the land of the Hindus, and the vast spectrum of faiths that flourished here acquired the generic name Hinduism. In fact, Hinduism call itself the Sanatana Dharma, the eternal faith, because it is based not upon the teachings of a single preceptor but on the collective wisdom and inspiration of great seers and sages from the very dawn of Indian Civilization”. The oldest and most important scriptures of Hinduism are the Vedas, which contain inspired utterances of seers and sages who had achieved a direct perception of the divine being. The Vedas are considered to be eternal, because they are not merely superb poetic compositions but represent divine truth itself as perceived through the elevated counsciousness of great seers (1993:1).

Sing juga menguraikan bahwa Hindu memiliki konsep dan atau teori waktu yang bersifat siklik, sebagaimana dinyatakan: “The Hindu concept of time is cyclical, not linear. The universe is anadiananta, without beginning and without end, going through recurrent phases of manifestation and dissolution. It is quite extraordinary how the Hindu concept of time is becoming more comprehensible with recent developments in extragalactic cosmology. Each day of Brahma, the creator principle in the Hindu trinity, consists of four billion, three hundred and twenty million years, and the night of Brahma is of a similar duration. Thus, the entire universe is a process of the outbreathing and inbreathing of Brahma, corresponding to alternating periods of manifestation and dissolution. Each manifested cycle is divided into four yugas or acons, Satya, Treta, Dvapara, and Kali (1993:7).

Melalui konsep waktu dalam Hindu yang bersifat siklik inilah, maka segala sesuatu mode yang senantiasa bersifat berulang atau siklik dapat diramalkan. Karena itu pula para pakar Hindu, tokoh Hindu tidak merasa heran jika pada suatu waktu dilupakan, pada waktu yang lain nilai Hindu akan digali kembali karena dibutuhkan sebagai terapi sosial. Seperti saat ini yang mana banyak terjadi konflik sosial atas nama agama yang sulit dicarikan solusinya. Maka tawaran ajaran universal Hindu sebagaimana tertuang dalam subhasita: Vasudaiva Kutumbakam, Ahimsa, dan Tattvam Asi kiranya dapat menjadi terapi konflik sosial atas nama agama.

Tiwari (2009) dalam bukunya berjudul Comparative Religion menguraikan bahwa: Hinduism is perhaps the oldest of all the living religions. It has neither any definite date of its origin nor has it any definite founder associated with it. It is called Sanatana dharma, a religion coming down to people through eternity. It is thus a unique religion in one very important sense. Nearly every religion of the world is associated with a definite personality claimed to be its first originator or founder and has a definite text which is regarded as its basic religious text. But Hinduism has none. It can more be regarded as a spontaneous growth assisted at various stages of civilization from various sides rather than a creation or construction of somebody. As Sir Charles Eliot remarks in this connection, “Hinduism has not been made, but has grown. It is jungle, not building.” Similarly, K.M. Sen makes the following observations in his book Hinduism, “Hinduism is more like a tree that has grown gradually than like a building that has been erected by some great architect at some definite point in time. It contains within itself the influences of many cultures and the body of Hindu thought thus offers as much variety as the Indian nation itself.” The names of a host of sages and saints are of course associated with Hinduism, but none can claim to be its faunder; they have all simply contributed to its growth in their own specific ways. Similarly, an enormous corpus of sacred literature is also associated with Hinduism to which one is to refer for having an idea of its chief beliefs and practices, but none can claim exclusive authority. Some of the the important religious texts of Hinduism are – the Vedas, the Upanisads, the Puranas, the Dharma Sutras and Dharma Sastra, the Ramayana, the Mahabharata and the Bhagavadgita. But this list also is not exhaustive. Of these, Vedas are the oldest, rather they are regarded by the Hindu tradition as beginningless (Anadi) and in a way exert the highest authorithy. Nevertheless other texts also are regarded as no less sacred (Tiwari, 2009:11-12).

Berdasarkan uraian Tiwari di atas sangat sesuai dengan pandangan para ahli lainnya yang menyatakan bahwa Hindu yang dulunya disebut dengan Sanatana Dharma adalah kebenaran yang tanpa awal dan tanpa akhir. Karena Hindu sebagai agama yang tanpa awal dan tanpa akhir, maka Hindu adalah agama yang misteri, tidak diketahui siapa pendirinya dan tidak ditahui kapan berdirinya. Karena sifatnya yang tanpa klaim dan lentur itu, maka  Hindu dapat bertahan sejak dahulu kala hingga kini. Jika Hindu tidak mengandung misteri Tuhan yang demikian misterius maka Hindu harusnya sudah lenyap dimakan waktu. Apalagi gempuran dan ekspansi berbagai kekuasaan dan misi berbagai agama telah menggempur India sebagai tanah Hindu, seharusnya Hindu sudah lenyap ratusan tahun yang lalu. Tetapi, sangat aneh dan misterius, Hindu tetap eksis, walaupun tidak memiliki organisasi misi,

Hindu masih menduduki sebagai agama dengan jumlah penganut terbesar nomor urut 3 di dunia. Ada kesan bahwa orang bebas masuk Hindu dan bebas juga meninggalkan Hindu, sebab ketika seseorang yang telah meninggalkan Hindu kemudian kembali menjadi Hindu, tidak ada yang mempermasalahkan. Bagi mereka yang meninggalkan Hindu kemudian balik menjadi Hindu dipandang sebagai orang yang pulang kembali ke rumah asalnya. Hindu sebagai ibunya dari semua agama, maka ia benar-benar agama kebebasan, setiap orang boleh menjelajah berbagai pengalaman keagamaan dan dapat dipastikan akhir dari penjelajahannya akan kembali ke dalam pangkuan Hinduisme. Hinduisme yang bersumber dari Veda, maka orang Hindu yang ingin bertualang belajar agama apapun, maka mereka akan bertemu Veda, setelah belajar lebih dalam lagi, ia akan kembali kepada keyakinan terhadap Veda sebagaimana kata-kata Swami Sivananda, menyatakan:

Veda merupakan buku yang tertua dalam kepustakaan umat manusia. Kebenarankebenaran yang terkandung dalam semua agama diperoleh dari Veda dan akhirnya dapat ditelusuri melalui Veda. Veda merupakan sumber utama dari agama. Veda merupakan sumber akhir, dari situlah semua pengetahuan keagamaan dapat ditelusuri, karena agama merupakan asal-usul pengetahuan ke-Tuhan-an, yang diwahyukan Tuhan kepada manusia pada zaman dahulu kala, Ia diwujudkan dalam Veda. Veda berasal dari nafas Tuhan dan merupakan kata-kata Tuhan. Veda tidak diucapkan oleh seseorang dan bukan merupakan kumpulan buah pikiran siapa pun juga, dan tidak pernah ditulis atau diciptakan. Veda bersifat Sanatanam (Abadi) dan tanpa pribadi. Tanggal atau waktu turunnya tidak akan pernah dapat diperkirakan (ditentukan). Ia merupakan kebenaran spiritual abadi, Ia juga merupakan perwujudan dari pengetahuan ke-Tuhan-an. Buku-buku mungkin dapat dihancurkan tetapi pengetahuan ke-Tuhan-an tidak mungkin dapat dimusnahkan. Pengetahuan itu adalah abadi, sehingga dalam pengertian ini Veda juga abadi (Swami Sivànanda, 2003: 13-14).

Berdasarkan sumber-sumber bacaan Hindu yang ditulis oleh orang non-Hindu namun dianggap pakar dalam bidang agama, baik yang terbit di luar negeri maupun dalam negeri lebih banyak menampilkan kesan bahwa agama Hindu sebagai agama primitif, agama yang rumit, dsb., terkesan ada ungkapan keheranan kenapa agama yang primitif semacam itu masih juga ada penganutnya bahkan jumlahnya di seluruh dunia sekitar 1,2 millyar atau agama dengan jumlah umat nomor 3 terbesar di dunia (World’s Major Religions by Pupulation 1945-2019, World Religion Project). Jumlah umat pada urutan nomor 3 itu diperoleh antara 7 agama besar dunia, yaitu Kristen, Islam, Hindu, Buddha, Shinto, Yahudi, dan Sikh. Jumlah itu akan semakin bertambah pada tahun-tahun akan datang jika konflikkonflik atas nama ajaran agama atau teologi semakin banyak. Sebab Hindu adalah sumber utama dan pertama pluralisme yang tidak pernah mempermasalahkan teologi agama apapun, Hindu menampung dan memayungi apapun bentuk keyakinan umat manusia. Seperti uraian Swami Sivananda, dalam agama manapun akan ditemukan inti-inti ajaran Hindu dan caracara ibadat Hindu. Karena itu agama Hindu tidak pernah menggunakan klaim kemudian membandingkan dengan agama lain. Walaupun Hindu menjumpai uraian-uraian negatif tentang Hindu dari dulu hingga saat ini. Berbagai judul buku yang dicetak juga di media eletronik, internet, Youtube, facebook, dsb., terlalu banyak uraian-urain orang non-Hindu yang miring terhadap Hindu. Semua itu dapat dimaklumi bahwa mereka adalah bagaikan orang yang anak-anak dalam pemahaman agama walaupun mereka usianya sudah tua dan juga doktor. Para sarjana Hindu menanggapi kritik-kritik miring yang datang dari pihak luar adalah sebagai berikut; “kenapa para pengkritik itu tidak melakukan otokritik pada agamanya sendiri yang belum tuntas dipelajari secara sempurna oleh umatnya?”. Para sarjana Hindu juga tahu bahwa buku-buku Studi Komparasi Agama lebih banyak didorong oleh faktor rasa ketakutan daripada ingin tahu ajaran agama lain. Hindu sebagai ibu semua agama senantiasa bersabar tanpa harus membalas jika ada agama-agama lain yang memberikan kritik miring dengan motif tertentu. Pustaka Yajuveda XXV.14 mengajarkan untuk selalu berdoa yang isinya senantiasa berharap agar berpikiran positif datang dari manapun datangnya. Doa ini menjema menjadi karakter Hindu sebagai Ibunya agamaagama yang sudah ada, yang sedang ada dan agama yang akan datang. Para pakar di bidang sejarah agama menyatakan bahwa agama masa datang adalah agama inklusif yang mengakui kebenaran semua agama dan agama Hindu pasti berada paling di depan.

Teologi Hindu
Diskursus tentang Teologi Hindu tidak terlalu menarik di lingkungan para pakar Hindu baik di India maupun di Indonesia, sebab teologi dianggap sebagai ilmu yang struktur epistemologinya kaku yang kerap tidak menerima rasio atau akal sehat. Karena itu tipologi Teologi Hindu berbeda dari teologi-teologi agama lain yang memilih hanya salah satu jenis teologi yang dianggap sebagai puncak perkembangan kecerdasan teologi manusia. Teologi Hindu memayungi semua jenis teologi (isme) yang dianut oleh umat manusia sejak purbakala hingga manusia supra modern sekarang ini (Donder, 2006, 2010). Juga Donder (2015) dalam artikel jurnal ilmiah dengan judul “Keesaan Tuhan dan Peta Wilayah Kognitif Teologi Hindu: Kajian Pustaka tentang Pluralitas Konsep Teologi dalam Hindu” (Harmoni. Vol. 14.No.2 Mei – Agustus 2015.p. 22-35). Donder (2015:33) dalam artikel ini menguraikan bahwa Agama Hindu sebagaimana juga agama-agama lainnya, menyembah Tuhan Yang Maha Esa, persoalan pokok yang membedakan antara Hindu dan agama-agama lainnya adalah bahwa secara garis besarnya Hindu memiliki dua macam teologi, yaitu Teologi Nirguna Brahman, yaitu teologi yang membahas tentang Tuhan yang tidak dapat disamakan dengan apa saja. Teologi jenis pertama ini bukan ditujukan kepada umat biasa.

Teologi ini hanya dipahami oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan spiritual yang mapan seperti para rsi, yogi atau para sufi. Sedangkan dunia ini tidak hanya dihuni oleh para rsi, yogi dan para sufi saja, tetapi juga dihuni oleh orang-orang biasa. Teologi Saguna Brahman adalah teologi yang paling tepat untuk manusia pada umumnya. Teologi ini membolehkan manusia membayangkan Tuhan Yang Tak Terbayangkan, karena itu muncul konsep manifestasi guna menanggulangi kesulitan manusia membayangkan Tuhan. Karena itu, dua tipologi teologi Nirguna Brahman dan teologi Saguna Brahman memayungi semua jenis isme manusia.

Pluralisme Agama
Pluralisme berasal dari kata plural yang artinya jamak, banyak atau lebih dari satu, dan kata isme yang berarti kepercayaan. Jadi pluralism agama adalah kejamakan atau keanekaragaman agama, atau kepercaraan akan adanya banyak agama di dunia. Terkait dengan tema pluralism agama, Maguire (2000:55-56) dalam bukunya berjudul Energi Suci – Kerjasama Agama-agama untuk Menyelamatkan Masa Depan Manusia dan Dunia menyatakan bahwa semua agama berasal dari titik yang sama. Semua agama adalah saudara kandung, lahir dari orangtua kegembiraan (Tuhan) yang sama. Kemudian agama-agama ini memulai perjalanan budayanya yang terpisah melintasi sejarah. Ketika pergi keluar, imaginasi agama-agama itu menghasilkan simbol-simbol baru untuk mengekspresikan pengalaman mereka. Sejarah mereka membentuk ekspresi agama mereka, dan sebagai hasilnya mereka menjadi sangat berbeda satu sama lain. Ada yang menjelaskan kehidupan melalui monoteisme, yaitu ide  bahwa ada satu Tuhan sebagai pencipta yang ada di balik semua yang ada di alam semesta. Ada yang politeistis, percaya dengan banyak dewa, ada yang tidak teistik sama sekali, tidak memiliki konsep tentang Tuhan, namun dipenuhi dengan penghormatan pada hidup dan kehidupan serta kasih sayang kepada semua yang hidup. Pandangan Magurie di atas dapat dijadikan sebagai contoh pandangan pure-pluralisme (murni pluralism) yang berbicara secara jujur tentang penerimaannya kepada keanekaragaman agama.

Pluralisme agama dalam beberapa tahun belakang telah menjadi isu sentral, membuat sebagian besar tokoh agama cemas. Harold Cowar (1989) untuk menuangkan kecemasannya itu ia menulis buku Pluralisme Tantangan bagi Agama-agama; Muhammad Legenhausen (2002) mengekspresikan kecemasannya itu dengan menulis buku Satu Agama atau Banyak Agama; Adian Husaini (2010) Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia mengekspresikan kecemasannya dalam buku berjudul Pluralisme Agama Musuh Agama-Agama. Masih ada lagi tulisan-tulisan para penulis lainnya yang isinya juga terkait dengan kecemasan atas pluralisme. Semua kegelisahan itu lebih banyak menghinggapi para penulis non-Hindu, dan hampir tidak ada satu penulis Hindu yang cemas dengan pluralism agama.

Madjid (2017:13) menguraikan bahwa dilihat dari aspek etnis, bahasa, agama, dan sebagainya, Indonesia termasuk salah satu Negara yang paling majemuk di dunia. Hal ini disadari betul oleh para founding father (pendiri bangsa) kita, sehingga mereka merumuskan konsep pluralisme ini dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Uraian Madjid di atas itu adalah gambaran karakter bangsa Indonesia yang dibangun oleh indahnya keanekaragaman, namun belakangan ini indahnya keanekaragaman atau pluralisme itu mulai digoncang oleh badai konflik-konflik atas nama agama. Fenomena dan realitas itu dapat dihubungkan dengan pengaruh kekuasaan Orde Baru yang menyumbat keran pluralisme politik. Hal itu berpengaruh pada kesalahpahaman terhadap dominasi formulasi pluralisme agama oleh pemimpin agama yang dekat dengan kekuasaan atau pimpinan komunitas yang sedang berkuasa. Pengakuan dan penerimaan perbedaan atau pluralitas dipaksakan dengan satu cara-cara tertentu untuk menutupi gejolak. Sehingga pluralisme tidak bersifat natural sebagaimana awal berdirinya Negara Indonesia ini.

Hindu adalah satu-satunya agama paling pertama dan terdepan secara eksplisit menerima pluralisme, pengakuan pluralisme itu bukan hanya basa-basi; pluralisme dalam Hindu tercantum secara konkrit dan eksplisit dalam teks pustaka Hindu. Sebagaimana tertulis dalam teks Bhagavadgita IV.11 yang menyatakan: “dari manapun dan dengan jalan apapun manusia mendekati Tuhan dengan penuh bhakti, maka Tuhan akan menerimanya”. 

Sloka Bhagavadgita VII.21 juga menyatakan bahwa” Apapun bentuk pemujaan yang ingin dilakukan oleh para pemuja Tuhan dengan penuh keyakinan, maka Tuhan menjadikan bentuk keyakinannya itu menjadi mantap”. Masih ada banyak sloka Bhagavadgita lainnya dan juga sloka dalam pustaka lain yang senada dengan dua sloka di atas yang hakikatnya tidak mempermasalahkan cara atau jalan manusia menuju Tuhan, yang juga “dapat” diartikan bahwa Bhagavadgita juga menghargai kepercayaan (“agama”) apapun.

Madjid (2001: 19) menyatakan bahwa Pemerintah Pasca-Orde Baru dihadapkan pada tantangan baru, bukan lagi pada ancaman konflik pluralisme politik, tetapi pada ancaman konflik pluralism keberagamaan dan etnis yang sama dapat mengancam tegaknya demokrasi. Terjadinya konflik sosial yang berlindung di bawah bendera agama atau mengatasnamakan kepentingan agama bukan merupakan justifikasi dari doktrin agama karena semua agama mengajarkan kepada umatnya sikap toleransi dan menghormati sesama. Bahkan semakin saleh (pious) seseorang dalam penghayatan agama dan kepercayaannya akan semakin toleran dan menghargai eksistensi agama lain.

Uraian Madjid di atas sangat baik dan sangat teduh, membuat para pembacanya merasa sangat bahagia dalam lingkungan pluralism agama. Hanya sayangnya antara uraian Madjid di atas jika dibandingkan dengan realitas tampak terlalu jauh jurang pemisahnya. Hal tersebut dewasa ini dapat dikonfirmasi di media online atau media internet. Banyak sekali chanel-chanel yang dikelola oleh para pakar agama yang mendalam ajaran agamanya secara mapan sehingga mereka mendapat julukan sebagai tokoh umat. Tetapi sikapnya menunjukkan antipati dengan agama lain dan sama sekali tidak mencerminkan orang yang patut diteladani. Sebagai lampiran atas kebenaran uraian ini, maka disertakan beberapa data yang diambil dari situs-situs internet yang disajikan pada bagian sub-bab 2.2.1 dengan judul Dokumen Tragedi-tragedi Kemanusiaan. Cukup mencengangkan tokoh-tokoh agama dengan gelar kesarjanaan yang tinggi, tetapi ceramahnya lebih cenderung mengkritik dan menjelekkan agama lain. Sedangkan pesan kebajikan yang ada di dalam agama yang dianutnya hampir tidak ada yang dipaparkan. Para ustadz mualaf yang menjamur yang jumlahnya semakin banyak sama sekali tidak menjelaskan apa keluhuran agama yang baru dipeluknya, tetapi menceritakan ajaran agama yang ditinggalkan. Para mualaf tidak menyadari bahwa mereka pindah agama karena tidak paham dengan ajaran agama sebelumnya, selain juga karena bencana percekcokan keluarga. Ini harus diakui secara jujur sebagai bibit konflik-konflik keagamaan. Ceramah-ceramah agama yang dulunya menyejukkan dan menambah wawasan pengetahuan agama, tetapi belakangan ini, ceramah agama kerap membuat hati jadi panas dan dongkol.

Dokumen Tragedi Kemanusiaan dan Benih-benih Konflik atas Dasar Agama Beberapa tahun belakangan sesuai dengan kemajuan teknologi, maka media cetak dan elektronik semakin banyak marak menyediakan berbagai dokumen tentang fakta kegiatan para teroris yang dapat dilacak melalui jejak elektronik. Media tersebut pengungkapan secara jujur tentang latarbelakang mengapa para mantan teroris melakukan terror. Pengakuan-pengakuan secara jujur dan terbuka dapat diperoleh atau disaksikan melalui chanel-chanel berita online bahkan juga di berbagai pemancar TV baik yang ada di dalam maupun di luar negeri. Melalui berita-berita online dan berita cetak dan media-media lainnya masyarakat umum mulai memahami latar belakang, motif, strategi atau tata cara kerja organisasi teroris.

Dokumen Tragedi-tragedi Kemanusiaan dengan Alasan Agama Pada sub uraian ini disajikan dokumen elektronik hasil wawancara antara Rosi dengan Ali Imron salah seorang mantan teroris dengan judul Hanya Butuh Waktu 2 Jam Untuk Jadi Teroris - ROSI (4) (https://www.youtube.com/watch?v=r-lfs32AkpE, 05-04-2021). Uraian ini hanya ringkasan kecil hasil wawancara Rosi Reporter Kompas TV dengan Ali Imron, secara keseluruhan hasil wawancara antara Rosi dan Ali Imron tersebut dapat ditelusuri melalui situs di atas. Ali Imron memamparkan secara jujur bahwa ia menjadi teroris didasari atas salah satu ajaran Jihati Sabililah yaitu berjihad. Atas dasar itu pula ia sampai mengikuti latihan militer selama bertahun-tahun di Afganistan. Ali Imron memaparkan secara jujur juga bahwa orang sangat mudah terpapar paham teroris. Ia bahkan bisa mempengaruhi pikiran seseorang cukup hanya dalam waktu 2 (dua) jam saja, ia bisa membuat seseorang siap mati untuk berjihad. Ali Imron juga tidak setuju dan kecewa adanya pernyataan dari pihak manapun yang menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada teroris. Ciri secara “general” atau “universal” bagi para teroris adalah ketidaksukaan mereka terhadap pemerintah yang tidak melaksanakan syariat Islam secara penuh. Ali Imron juga sangat cemas terhadap umat Islam secara umum jika terpapar oleh pemahaman jihad yang salah, juga cemas dengan masuknya paham ISIS ke Indonesia.

Selanjutnya, dokumen wawancara Trans Media terhadap pengakuan seorang mantan teroris, bernama Sofyan Tsauri. Ia mantan anggota kepolisian yang sudah bekerja selama 12 tahun, kemudian terpapar doktrin jihad oleh paham teroris yang tertangkap Densus 88 Anti Teror, akhirnya dipenjara selama 6 tahun. Sebagai mantan teroris yang sudah sadar ia  prihatin dengan keadaan belakang ini (https://www.youtube.com/watch?v=-gsPpI73f5U, akses 05-04-2021). Sofyan Tsauri merasa letih atau capek menjadi teoris karena hidup penuh ketakutan sebagai DPO, kemudian secara sadar keluar dari lingkaran teroris dengan penuh resiko yang pernah mengalami ancaman kematian melalui pemberian racun pada makanannya. Walaupun akhirnya ia selamat dari perencanaan pembunuhan tersebut. 

Menurut Sofyan Tsauri faktor doktrin adalah hal paling mudah mempengaruhi seseorang untuk terjerumus menjadi teroris, karena itu berhati-hati dengan doktrin, yang salah. Nasir Abbas: "Fardhu 'Ain" Laki-laki/Perempuan Angkat Senjata!|Dua Sisi tvOne (https://www.youtube.com/results?search_query=Nasir+Abas%3A+Fardhu+%22Ain%22; dan https://www.youtube.com/watch?v=Dm2l2fb3ofw, akses 05-04-2021). Situs ini adalah hasil wawancara antara Reporter TVOne Dwi Anggia dengan Brigjen Pol Rusdi, Nazir Abas mantan teroris, serta Ketua PBNU, Marsudi Syhud. Abas menyatakan bahwa dalam doktrin jihad ada istilah Fardhu Ain artinya laki-laki dan perempuan angkat senjata untuk perang melawan perang; sehingga seorang anak tidak perlu minta ijin kepada ayahnya; seorang istri tidak perlu minta ijin kepada suami; karena dalam doktrin jihad ada istilah isti mata yang artinya mencari mati. Nasir Abas menyatakan bahwa pada saat mengangkat sejata tidak semuanya berani mati; pada saat seperti itu Abas memberikan semangat atau motivasi kepada orang yang takut itu bahwa kalau ia mati dapat sorga. Selanjutnya Sofyan mantan anggota kepolisian, ketika ia mendapatkan doktrin jihad ia tidak mengambil gaji selama satu tahun, kemudian ia menemukan satu buku doktrin jihad karya murid Nasir Abas, kemudian menjadi teroris dan menjadi DPO.

Selanjutnya wawancara Dwi Anggia kepada Marsudi Syhud Ketua PBNU dengan judul PBNU: Bunuh Diripun Dilarang, Apalagi Sampai Melukai Orang Lain | Dua Sisi tvOne (https://www.youtube.com/watch?v=EyfpKNUYmc4, akses 05-04-2021). Marsudi mewakili PBNU menjelaskan bahwa akar masalah adalah pada kelihaian cara para teroris mendoktrin secara langsung atau tidak langsung kepada orang-orang seperti ini (maksudnya “teroris”). Mereka menggunakan pertanyaan yang singkat-singkat saja, misalnya “kamu pilih Qur’an yaitu hukum Allah atau Pancasila hukum manusia? Pilih Negara Islam atau pilih Negara Demokrasi? Karena itu ketika ditanya pilih hukum Allah atau hukum manusia, maka mereka pasti akan menjawab hukum Allah, padahal Pancasila itu sendiri adalah ajaran Alqur’an. Demikian juga Pemerintahan Demokrasi adalah ajaran Alqur’an, karena berdemokrasi dengan musyawarah mufakat itu adalah ajaran Islam, namun ketika mereka  sudah mengikuti doktrin itu maka mereka akan memaknai bahwa pemerintah Indonesia itu salah.

Marsudi menjelaskan bahwa terdapat 41 macam jihad, walaupun demikian makna tersebut dapat disarikan menjadi tiga makna, yaitu (1) jihad bilmakna bilkaol, yaitu jihad dengan hujah-hujah atau jihad dengan cara menyampaikan argumentasi-argumentasi ajaranajaran Allah, Syariat-syariat Allah; (2) jihad dengan bilaamani soleha, yaitu jihad dengan kreativitas yang baik atau amal-amal yang saleh; seperti membangun Negara, membangun peradaban, dsb; dan (3) jihad aljihad bilkuah, yaitu jihad dengan kekuatan yaitu jihad seperti menghadapi penjajah seperti jaman dahulu; tapi sekarang ini di Indonesia tidak ada darul harbi tetapi yang ada Indonesia adalah Pemerintahan Darul Salam yaitu Negara Damai; maka tidak perlu melakukan jihad aljihad bilkuah.

Berikut dokumen antara Dwi Anggia reporter TVOne dengan Ketua PBNU, Marsudi, Nasir Abas, Brigjen Rusdi, dengan judul "Lone Wolf" Salah Sasaran? Nasir Abbas: Cukup Berani Menantang Mati!|Dua Sisi tvOne. Abas mengatakan bahwa seseorang bisa terpapar sendiri karena lingkungan informasi yaitu adanya ujaran-ujaran kebencian seperti Negara ini adalah Negara kafir, dsb., (https://www.youtube.com/watch?v=pKFDG88Euqs, akses 05-04- 2021) situs ini merupakan hasil wawancara antara Dwi Anggia dengan Nasir Abbas. 

Kisah Sofyan Tsauri, Polisi yang Tercuci Otaknya Hingga Masuk Kelompok Teroris | Dua Sisi termuat dalam situs (https://www.youtube.com/watch?v=rrnxpm9gv5o, akses 05- 04-2021); Sofyan Tsauri menyatakan bahwa sebagian besar anggota kelompok teroris merasa bisa memahami secara sendiri ajaran Al-Quran tidak perlu menggunakan tafsir daripara ahli tafsir dan tidak perlu berguru. Itulah salah satu yang menyebabkan ia juga awalnya menarik untuk ikut teroris yang saat ini telah sadar.

Dokumen Benih-benih Konflik atas Dasar Agama

Pada sub-bab ini disajikan beberapa alamat-alamat situs yang mengunggah ceramahceramah yang memiliki potensi adanya kesalah pahaman antara penganut agama. Hal mana itu disebabkan oleh beberapa penceramah agama yang diupload di you tube, facebook dan media lainnya. Berikut dimulai dengan unggahan dengan judul (1) Kapan Yahya Waloni Ditangkap (https://www.youtube.com/watch?v=tzo5b-pndwY, akses 08-04-2021); (2) Ustadz Yahya Waloni Tantang Seluruh Pendeta Indonesia Debat (https://www.youtube.com/watch? v=z8RSQhSKPdE&t=204s. akses 08-04-2021); (3) Ceramah Full Ust.Yahya Waloni 2020- pada acara 13 Rajab 1441 H, tanggal 08 Maret 2020, akses 08-04.2021), ceramah Yahya Waloni ini terlalu mengatakan kafir, kafir, dan kafir, dan mengejek kekristenan agama yang dianut sebelumnya. (4) Viral!! Biarkan Tikus Kapir Itu Menghina Saya Karena Mereka Bukan Lawan Saya||Ustadz Yahya Waloni (https://www.youtube. com/watch?v=mUz ZvylbCNw, akses 08-04-2021); (5) Ngeri-sok Jago Berakhir Mengenas-kan-Tantangan Yahya Waloni Diterima Orang Ini (https://www.youtube.com/watch?v =vkaFdHfdAsI, akses 08-04-2021). Pada situs ini Yahya Waloni mengaku sebagai tukang berkelahi dan banyak sekali kata-katanya menyebut kafirun, munafikin, dan menantang orang-orang yang jago berkelahi. Yahya Waloni tidak menunjukkan sikap seorang tokoh agama apalagi tokoh rohani. (6) Eko Kuntadhi: Tengku Zul, 4.900 Bidadari Dan Rasisme Pigai! (https://www.youtube.com/watch?v=z-Yx15yhyFg, akses 08-04-2021); Seorang Youtuber, yaitu Eko Kuntadhi yang beragama Islam mengkritik sangat keras kelakukan kepada sikap Yahya Waloni, demikian juga Deni Siregar mengkritik sangat pedas karena Yahya Waloni suka sekali menghina agama lain, hingga ia menyebut Waloni sebagai psikopat.

Selain itu, ada juga situs internet mengunggah video Ust. Abdul Azis seorang mualaf yang konon dulunya adalah orang Hindu, mengunggah judul Pendeta Hindu Masuk Islam Bag 2 (https://www.youtube.com/watch?v=e3TGyojL6VE, akses 08-04-2021); mualaf ini mengaku pendeta Hindu dan ceramahnya tentang ajaran Hindu di depan umat Islam, entah apa tujuan pengajarannya padahal dari suara pesertanya lebih banyak tidak tahu tentang Islam tetapi kenapa justru yang diajarkan ajaran Hindu. Ini bibit-bibit yang dapat menyebabkan disharmonisasi.

Begitu banyak para mualaf yang dijadikan sebagai pendakwah agama di youtube maka pada sub-bab ini sebagai data yang terakhir untuk melengkapi data ini yang diambil dari situs dengan judul Ust. I Wayan Sritama _ dari BALI, seorang mualaf asli Bali dan asli Hindu dan hijrah menjadi mualaf sejak tamat SD tahun 1994, sebagai seorang Hindu dan kelaurganya masih Hindu, dan mohon doanya katanya. Demikian ceramah I Wayan Sritama sewaktu ia masih menjadi mahasiswa S3 di UIN Malang. 20 September 2017.

Masih seputar mualaf I Wayan Sritama dengan judul unggahan Mualaf Dari Pulau Bali Dr. I Wayan Sritama (https://www.youtube.com/watch?v=RQoX_SC2tYk, akses 08- 04-2021). Isi ceramahnya menceriterakan bagaimana ia akhirnya hijrah menjadi mualaf masuk Islam; ia adalah anak orang Hindu Bali yang miskin tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya. Setelah tamat SD ia lalu kesana mencari kerja dan kemudian bertemu dengan temannya orang Madura beragama Islam, ketika berdiskusi dengan temannya yang beragama Islam, maka ia merasakan Islam itu menarik, sehingga ia masuk Islam. Awalnya ia tidak disetujui oleh orangtuanya, namun belakangan karena orangtuanya melihat ia menjadi anak yang lebih baik, maka orangtuanya mengikhlaskan. Dari sekian banyaknya mualaf, maka hanya mualaf Ust. Dr. I Wayan Sritama ini saja yang tidak menjelek-jelekan agama awalnya dan menganjurkan agar orang tidak mengkafir-kafirkan orang tidak seagama. Masyarakat Islam yang selalu menyatakan bahwa agama Islam adalah rahmat bagi alam semesta, maka dalam memanfaatkan para mualaf sebagai juru da’wah, harus dipilih yang memiliki temperamen dan wawasan pengetahuan yang luas dan bukan para mualaf yang mirip dengan istilah “anak buta tumben ngedat” (orang buta yang tumben bisa melihat), sikap gelagapan tidak karuan hanya bisa menyebar kebencian kepada agama yang ditinggalkan.

Selain informasi di atas, masih ada benih-benih konflik antar agama yang diposting di media-media seperti pada akun facebook berikut: (1) https://www.facebook.com/watch/?v =777073146283557; (2) https://www.facebook.com/watch/?v=807942423131409; (3) https: //www.facebook.com/watch/?v=152015506736953; (4) https://www.facebook.com/watch/?v =787451581894856; (5) https://www.facebook.com/watch/?v=464469271535955; (6) https: //www.facebook. comm /watch/?v=305327240940806; dll., terlalu banyak untuk dicatat.

Alangkah baiknya jika media youtube, facebook, instagram, dll., tidak dijadikan sebagai media saling menjelekkan. Tampaknya, perlu ada sedikit perenungan kontemplatis tentang efek negatif dari aksiologi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terlihat semakin tinggi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi umat manusia, malah manusia semakin lupa dengan predikatnya sebagai mahluk paling mulia. Teknologi tidak digunakan untuk lebih memuliakan Tuhan melalui saling menghargai sesama manusia (tat tvam asi).

Hindu Ibu Semua Agama Senantiasa Menjadi Referensi Re-interpretasi Agama Hindu sebagai agama tertua yang pernah ada di muka bumi dan masih tetap ada sampai saat ini. Hal ini membuktikan kebenaran arti dari nama asli Hindu itu sendiri, nama Hindu yang sesungguhnya adalah Sanatana Dharma yang berarti ‘Kebenaran Kekal Abadi’. Jika Hindu tidak mengandung Kebenaran Abadi, maka Hindu sebagai agama tertua pasti sudah binasa oleh perjalanan waktu, sebab agama-agama yang hampir sama usianya bahkan lebih belakangan keberadaannya kini sudah tinggal namanya saja. Sekali lagi, realitas ini menjadi bukti bahwa Hindu memang memiliki nilai-nilai Kebenaran Abadi. 

Walaupun Hindu sudah terbukti sebagai satu-satunya agama tertua yang masih tetap hidup, namun penilaian negatif dari pihak luar terhadap Hindu dari zaman dahulu hingga kini tidak pernah surut. Tidak terhingga banyaknya buku-buku yang ditulis oleh para penulis non-Hindu dari berbagai disiplin ilmu dan yang paling banyak dari disiplin ilmu lazim paling kental diberikan kepada agama Hindu oleh para pakar ilmu perbandingan agama adalah agama bumi dan menyembah berhala. Penilaian seperti ini di Indonesia diawali oleh penilaian seorang bernama Dr. Harun Hadiwijono mantan guru besar dan rektor STT Duta Wacana Yogyakarta, tamatan Sekolah Teologia Yogyakarta kemudian melanjutkan di Vrije Universiteit Amsterdam, memperoleh gelar Doktor Theologia tahun 1967. Sebagai seorang teolog ia menulis beberapa buku sesuai disiplin ilmunya yang diterbitkan oleh Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia. Selain ia menulis buku-buku Kristen, ia juga menulis tentang Hindu, antara lain Sari Filsafat India, serta Agama Hindu dan Budha. Buku karya Hadiwijono berjudul Agama Hindu dan Buddha yang isinya tidak mewakili ajaran Hindu telah menjadi rujukan dalam Ilmu-ilmu Perbandingan Agama. Buku tersebut dapat dikatakan sebagai buku yang isinya tidak mewakili ajaran Hindu karena buku itu terlalu tipis untuk dianggap sebagai buku Hindu. Selain itu isi buku itu bersifat subjektif dan cenderung menilai Hindu secara negatif yang dilihat dari sudut pandang ajaran Kristen.

Dapat dimaklumi sikap subjektif Hadiwijono sebagai seorang teolog Kristen yang merasa khawatir jika penilaian-penilaian positif dan objektif diberikan kepada ajaran Hindu bisa mempengaruhi iman umat Kristen. Sikap subjektif dianggap wajar dari seorang sarjana, apalagi sarjana teologi, sebagaimana dinyatakan Paul Tillich bahwa seorang sarjana tidak dapat bersikap objektif karena ia sudah terikat dengan kepercayaan yang dianutnya (Rasjidi, 2003: 50;). Walaupun demikian justru isi buku Hadiwijono yang subjektif dan tidak mewakili ajaran Hindu itu dirujuk pula oleh Prof, H. M. Rasjidi seorang Guru Besar Hukum UI yang mantan Menteri Agama RI pertama.

Pandangan-pandangan Dr. Harun Hadiwijono dan Prof. Dr. H.M. Rasjidi tentang Hindu yang tidak mewakili ajaran Hindu telah menjadi referensi sangat popular dan diacu oleh hampir setiap orang belajar agama-agama. Sehingga definisi Hindu sebagai agama bumi, Hindu agama kebudayaan, Hindu bukan agama wahyu, Hindu menyembah banyak Tuhan, Hindu menyembah setan, dsb. sangat melekat pada pikiran para sarjana agama nonHindu. Walaupun demikian jeleknya penilaian para sarjana non-Hindu terhadap ajaran Hindu, namun seperti pepatah bijak menyatakan: “emas sekalipun berada di dalam lumpur yang kotor, maka emas itu tetap emas”. Buktinya belakangan ini semakin banyak sarjana Barat tertarik belajar Hindu, tidak tanggung-tanggung banyak pakar dalam bidang sains memburu nilai-nilai ajaran Hindu. Apalagi di tengah-tengah konflik internal agama-agama Semitis, hal itu membuat para pakar Barat penasaran, mengapa Hindu yang tidak memiliki Lembaga Misionaris tidak cemas dengan kemerosotan jumlah umatnya. Mengapa Hindu tidak begitu gigih atau gencar mencegah konversi umat Hindu ke agama lain? Mengapa Hindu sebagai agama non-misi dalam arti tidak pernah melakukan ekspansi keimanan melalui debat atau dalam ilmu perbandingan? Mengapa belakangan ini sebagian besar Perguruan-Perguruan Tinggi Agama non-Hindu banyak meneliti ritual Hindu, gejala apa ini? Bukankah ritual Hindu itu tidak terkait dengan ritual agama lainnya, lalu secara aksiologis apa gunanya hasil penelitian itu bagi peneliti atau penulisnya? Kecuali untuk mencari dan menunjukkan kekurangannya. Kenapa kajian agama tidak ditujukan kepada  ajaran agama sendiri yang konon jika ditulis dengan air laut hingga keringpun air laut tidak akan ada habisnya untuk menulis ajaran agamanya. Lalu kenapa air laut belum kering bahkan air laut makin naik, tetapi studi agama sudah diarahkan untuk meneliti agama lain?

Selain penelitian-penelitian, wacana Hindu oleh non-Hindu juga banyak disampaikan di youtube, gejala apa juga ini? Adakah ini sebagai suatu isyarat bahwa mereka sudah jenuh dengan ajaran agama mereka, atau sudah jemu mempelajari agama mereka, karena semakin mereka pelajari akan membuat mereka semakin anti dengan agama lain sebab manusia lainnya hanya kumpulan dari mahluk-mahluk kafir penghuni neraka yang harus diperangi?

Maraknya penelitian para mahasiswa dan dosen PTA-PTA non Hindu meneliti Hindu dapat dipandang sebagai fenomena aneh tetapi mengandung kebenaran Rtam atau kebenaran natural yang ditunjukkan oleh Hindu. Kebenaran-kebenaran yang luhur dalam ajaran Hindu semakin hari semakin terungkap secara alami tanpa melalui misi Hindu.

Sikap Hindu yang alamiah itu semakin mengagungkan ajaran tentang kebaikan yang terdapat secara eksplisit dalam teks ajaran Hindu dan tidak ada secara eksplisit dalam teks agama lain. Sebagaimana ungkapan subhasita Veda yang tercantum di dalam pustaka Maha Upanisad yang menyatakan “vasudaiva kutumbakam”, artinya ‘semua mahluk bersaudara’; nilai luhur ini mengisyaratkan bahwa sesama umat manusia jangan sampai saling menyerang. Nilai luhur ini mulai dirujuk oleh orang-orang yang berkonflik untuk menyelesaikan konflik mereka. Contoh lainnya, ajaran Hindu tentang ahimsa yang berarti ‘tidak menyakiti’, ajaran Veda ini semakin popular sejak digunakan oleh Mahatma Gandhi sebagai alat perjuangan melawan penjajahan Inggris. Selain itu, ada juga ajaran Hindu yang  sangat popular, yaitu ajaran karmaphala atau ajaran tentang hasil perbuatan yang mengajarkan bahwa semua perbuatan baik dalam pikiran, perkataan dan perbuatan fisik selalu mendatangkan hasil. Jika berharap untuk memperoleh hasil yang baik, maka seseorang harus berbuat kebaikan. Selain itu ada juga ajaran Hindu yang sangat terkenal, yaitu tat tvam asi yang berarti ‘itu adalah aku’ atau ‘engkau adalah aku’. Ungkapan ini menjadi landasan filsafat moral yang mendorong sikap penghargaan kepada apa saja dan siapa saja. Ajaran tat tvam asi tidak memberi ruang untuk saling menghina antar sesama apalagi menghina atas nama agama yang mulia. Ajaran tat tvam asi mencegah kejahatan religius.

Teologi Tat Tvam Asi dalam Upanisad-Upanisad

Teologi adalah diskursus tentang Tuhan menggunakan pustaka suci (kitab suci) sebagai landasan dasar atau pondasi diskursusnya. Karena itu teologi memiliki framework tersendiri, sesuai artikel Donder, Sudarsana dan Andre pada Journal of Critical Reviews ISSN- 2394-5125 Vol 7, Issue 13, 2020, p.311-319. Oleh sebab itu, membahas Teologi Tat Tvam Asi suatu teologi yang berbasis kepada kesadaran universal yang memandang apa saja dan siapa saja sebagai bagian integral dari diri setiap orang, maka pembahasannya pun harus berawal dari pernyataan teks pustaka suci secara eksplisit. Kesadaran teologis tat tvam asi ini memang secara jelas dan tegas tercantum dalam 9 (sembilan) sloka pada pustaka Chandogya Upanisad sebagai percakapan antara Svetaketu seorang guru suci yang mengajarkan kepada muridnya, seorang brahmacari, yaitu cucu dari Aruna, sebagaimana uraian berikut:

sa ya eso’ nimā aitad ātmyam idaṁ sarvam, tat satyam, sa ātmā: tat tvam asi, bhūya śvaketo, iti; bhūya eva mā, bhagavān, vijñāpayatv iti, tathā, saumya, iti hovāca (Chandogya Upanisad VI.8.7 dalam Radhakrishnan, 2008).

Artinya: 
Yang itu yang adalah sari yang paling halus (akar, asal dari semuanya), seluruh alam semesta ini menjadikannya sebagai ātman-nya. Itu memang kebenaran. Itulah ātman tat tvam asi, Śvetaketu, ‘Mohonlah junjunganku, ajarkanlah kepada hamba lebih jauh lagi’. ‘Baiklah anakku’, Kata beliau (Mantik 2008:353).

Kata kunci dalam sloka Chandogya Upanisad di atas adalah tat tvam asi yang berarti itu adalah kamu’. Makna kata ‘itu adalah kamu’ dalam tat tvam asi pada percakapan antara Svetaketu sebagai seorang Rsi dengan seorang muridnya menjadi intisari teologi panteistis. 

Artinya, dalam dialog tersebut Svetaketu menekankan ātman itu yang tidak lain adalah Brahman atau Tuhan ada pada setiap ciptaan-Nya. Sehingga apapun itu (tat) tidak lain adalah atman yang tidak lain juga adalah sesuatu yang sama dengan sang diri. Svetaketu hendak mengajarkan muridnya dan juga umat manusia untuk mencapai kesadaran tat tvam asi sebab dengan mencapai kesadaran tat tvam asi tersebut, maka segala ketidakcocokan atau kesalah-pahaman akan lenyap.

Apabila orang sudah mampu melihat bahwa semua yang dilihat sebagai dirinya sendiri, maka tidak ada yang patut dibenci terhadap apapun yang dilihatnya. Jika seseorang masih membenci terhadap apa yang dilihatnya, maka ia belum mencapai kesadaran panteistik yang mengajarkan bahwa segala sesuatu itu (tat) adalah diri sendiri. Sloka Chandogya berikut juga menekankan yang sama, sebagaimana uraian berikut:

sa ya eṣo’ ṇimā aitad ātmyam idaṁ sarvam, tat satyam, sa ātmā, tat tvam asi, śvetaketo, iti; bhūya eva mā, bhagavan, vijñāpayatv iti; tathā, saumya, iti hovāca (Changogya Upanisad, VI.9.4 dalam Radhakrishnan, 2008).

Artinya:
Itu yang merupakan inti yang halus, seluruh alam ini memilikinya sebagai ātman-nya. Itulah yang benar. Itulah ātman.Tat tvam asi, Śvetaketu. ‘Mohonlah junjunganku, ajarkanlah terus kepada hamba’. ‘Baiklah anakku’, kata beliau (Agus Mantik, 2008:354).

Sloka di atas memberikan gambaran tentang “hal metafisik” sesuatu yang sangat halus yang ada di balik alam semesta, tak lain yang dimaksudkan adalah Brahman atau Tuhan Yang Mahakuasa yang menjadi jiwa alam semesta. Itulah kebenaran metafisik sejati terkait dengan eksistensi alam semesta. Eksistensi metafisik di balik material fisik alam semesta inilah oleh Dr. R. Paryana Suryadipura disebut sebagai Zat Mutlak dalam bahasa Hindu disebut Akasha atau juga Mula Prakriti yang tak lain adalah sesuatu yang dapat diasumsikan melalui dua dimensi, yaitu fisik dan metafisik. Berikut ada lagi sloka lain yang menguraikan tentang tat tvam asi, sbb:

sa eṣo’ ṇimā aitad ātmyam idaṁ sarvam, tat satyam, sa ātmā, tat tvam asi, Śvetaketo iti; bhūya eva mā, bhagavān, vijñāpayatv iti; tathā, saumya, iti hovāca (Chandogya Upanisad VI.10.3 dalam Radhakrishnan 2008)

Artinya:
Itu yang merupakan inti yang halus, seluruh alam ini memilikinya sebagai àtman-nya. Itulah yang benar. Itulah àtman.Tat tvam asi, Śvetaketu’. ‘Mohonlah junjunganku, ajarkanlah terus kepada hamba’. ‘Baiklah anakku’, kata beliau. (Radhakrishnan, 2008:355). 

Sloka Changogya Upanisad, VI.9.4 dan Chandogya Upanisad VI.10.3 yang terdapat dalam sub-bab yang lain tetapi kalimatnya sama persis. Hal itu menunjukkan betapa diskusi tentang tat tvam asi menjadi sedemikian penting dalam rangka membangun cara berpikir yang positif (positive thinking). Dialog antara guru dan murid atau antara tokoh religius dengan masyarakat secara bersungguh-sungguh dan bersahaja serta hasil dialog tersebut disepakati diwujudkan dalam pola tindakan, maka hal itu tidak memberi ruang adanya kebencian antara satu dengan yang lainnya. Sebab tat tvam asi mengajarkan bahwa semuanya itu (tat) adalah (asi) kamu atau kita (tvam). Jika semuanya adalah kita, bukankah membenci siapa saja (tat) adalah membenci diri kita sendiri (tvam). Karena itu secara metodologis teologis apapun jenis teologi yang digunakan untuk membangun sikap toleransi antar umat beragama tidak akan mampu menandingi teologi tat tam asi. Selain sloka di atas, masih ada sloka berikut dalam sub-bab lainnya yang membahas tat tvam asi, sbb: 

jīvāpetam vāva kiledaṁ mriyate, na jīvo mriyata iti, sa ya eṣo ṇimā aitad ātmyam idaṁ sarvam, tat satyam, sa ātmā, tat tvam asi, Śvetaketo, iti; bhūya eva mā, bhagavān, vijñāpayatv iti; tathā, saumya, iti hovāca (Chandogya Upanisad VI.11.3).

Artinya:
Sesungguhnya tubuh ini akan mati bila ditinggalkan oleh ātman yang hidup dan ātman yang hidup tidaklah bisa mati. Itu yang merupakan sari yang paling halus dari alam semesta ini, seluruh jagat ini memiliki sebagai ātman-nya. Itulah yang benar. ‘Itulah ātman, tat tvam asi, Śvetaketu’. ‘Mohonlah junjunganku, ajarkanlah terus kepada hamba’, ‘baiklah anakku’, kata beliau (Radhakrishnan, 2008:356)

Sloka di atas menjelaskan tentang perbedaan antara substansi material sebagai yang bersifat fisika yang dapat hancur dan substansi ātman sebagai sesuatu yang metafisik yang ada dalam tubuh manusia saat masih hidup tidak pernah hancur. Oleh sebab itu, ketika badan fisik manusia hancur setelah kematian, tetapi ātman tetap eksis. Agar seseorang memiliki pandangan baik terhadap apapun dan atau siapapun, maka Svetaketu menyatakan dalam pustaka Upanisad agar melatih diri melihat kesamaan dalam substansi ātman yang kekal, bukan melihat sebagai tubuh yang tidak kekal dan tidak murni yang kerap menampilkan sesuatu yang bertolak belakang dengan sifat ātman. Berikut ada 4 (empat) sloka lainnya lagi yang secara kontinyu mencantumkan bunyi sloka yang sama pada setiap akhir percakapan yang selalu ditempatkan pada sloka nomor 3. Sloka tersebut adalah ungkapan seorang murid yang memohon penegasan-penegasan ulang tentang pentingnya uraian tat tvam asi agar siswa tersebut mampu melihat kesamaan antara dirinya dengan semua ciptaan Tuhan. Ke empat sloka itu terdapat dalam bab dan sub-bab yang berbeda-beda, sbb: 

sa ya eṣo’ ṇimā, aitad ātmyam idaṁ sarvam, tat satyam, sa ātmā, tat tvam asi, Śvetaketo, iti; bhūya eva mā, bhagavān, vijñāpayatv iti; tathā, saumya, iti; hovāca. (Chandogya Upanisad VI.12.3 dalam Radhakrishnan 2008)

Artinya:
Itu yang merupakan sari yang sangat halus, seluruh alam ini memilikinya sebagai ātman-nya. Itulah yang benar. ‘Itulah àtman. Tat tvam asi, Śvetaketu’. ‘Mohonlah junjunganku, ajarkanlah terus kepada hamba’. ‘baiklah, anakku’, kata beliau (Mantik, 2008: 357)

sa ya eṣo’ ṇimā aitad ātmyam idaṁ sarvam, tat satyam, sa àtmā, tat tvam asi, Śvetaketo, iti; bhūya eva mā, bhagavān, vijñāpayatv iti; tathā saumya, iti hovāca (Chandogya Upanisad VI.13.3 dalam Radhakrishnan 2008)

Artinya:
Itu yang merupakan inti yang halus, seluruh alam ini memilikinya sebagai ātman-nya. Itulah yang benar. ‘Itulah ātman. Tat tvam asi. Śvetaketu’. ‘Mohonlah junjunganku, ajarkanlah terus kepada hamba’. ‘Baiklah anakku’, kata beliau (Mantik, 2008: 357) 

sa ya eṣo’ ṇimā aitad ātmyam idaṁ sarvam, tat satyam, sa ātmā, tat tvam asi, Śvetaketo, iti; bhūya eva mā, bhagavān vijñāpayatv iti: tathā saumya, iti hovāca. (Chandogya Upanisad VI.14.3 dalam Radhakrishnan 2008)

Artinya:
Itu yang merupakan inti yang halus, seluruh alam ini memilikinya sebagai ātman-nya. Itulah yang benar. “Itulah ātman. Tat tvam asi, Śvetaketu’. ‘Mohonlah junjunganku, ajarkanlah terus kepada hamba’. ‘Baiklah, anakku’, kata beliau (Mantik, 2008:358) 

sa ya eṣo’ ṇimā aitad ātmyam idaṁ sarvam, tat satyam, sa ātmā, tat tvam asi, Śvetaketo, iti; bhūya eva mā, bhagavān, vijñāpayatv iti; tathā saumya iti hovāca (Chandogya Upanisad VI.15.3)

Artinya:
Itu yang merupakan inti yang halus, seluruh alam ini memilikinya sebagai ātman-nya. Itulah yang benar. Itulah ātman. Tat tvam asi, Śvetaketu.’ ‘Mohonlah junjunganku, ajarkanlah terus kepada hamba’. ‘baiklah, anakku’, kata beliau (Mantik, 2008:359)

Keempat sloka Chandogya Upanisad di atas dengan kalimat dan artinya yang sama berulang-ulang kali diungkapkan oleh murid Svetaketu agar Svetaketu berkenan menjelaskan sejelas mungkin tentang hakikat tat tvam asi. Percakapan antara Svetaketu dalam Bab VI Chandogya Upanisad adalah dialog filosofis yang kemudian hasil dialog  filosofisnya itu diabadikan sebagai pelengkap Sruti, sehingga uraian-uraian Upanisad menjadi uraian-uraian teologi yang cerdas (teo-filosofi). Uraian-uraian Upanisad inilah yang berupaya secara metodis menjauhkan agama dari mitos apalogetik, tetapi dalam Upanisad mitos menjadi bagian dari metodologi. Sehingga penggunaan mitos-mitos jika ada dalam Upanisad itu bersifat mito-metod dalam arti, sebagai metodologi yang menghantarkan seorang berbasis pemahaman fisik-materialistik kepada pemahaman metafisik-spiritualistik yang melampaui material fisik. Tidak mudah untuk memberikan pemahaman transformative kepada orang yang kaku pada paham fisik-materialistis menuju kepada pemahaman holistik merupakan perpaduan harmonis antara panca indria dan batin sebagai indria keenam. Bhagavadgita II.69 dengan jelas menyatakan: “Apa yang gelap bagi mahluk semua adalah terang bagi yang mcngetahui ātman, apa yang siang (terang) bagi mahluk-mahluk itu adalah malam (gelap) bagi yang mengetahui ātman” (Pudja, 2021:75).

Uraian sloka Bhagavadgita ini memberikan penjelasan bahwa demikianlah keadaan semua mahluk, khususnya manusia yang tidak memiliki pengetahuan rohani, maka ia akan melihat semuanya hanya dalam batasan material atau fisik saja yang bisa diindria dengan panca indria. Ia akan menolak kemampuan orang yang melampaui materi, orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan rohani akan menyatakan dongeng dan tahayul kepada semua hal yang bersifat metafisik. Itulah sebabnya, cucu Aruna sebagai wakil dari golongan orang materialis karena baru dalam taraf pencarian Brahman (brahmacari), ia memohon berulang kali agar hakikat tat tvam asi itu dijelaskan sejelas-jelasnya. Svetaketu sang guru spiritual yang mapan dengan sabar juga menjawab berbagai pertanyaan Aruna. Svetaketu berupaya menjelaskan keberadaan alam semesta beserta isi dimulai oleh jiwa semesta yang kemudian menjadi jiwa pada seluruh ciptaan yang ada. Intinya Brahman (Tuhan) dan Ātman (Jiwa) manusia dan juga jiwa setiap mahluk bahkan di balik semua yang ada adalah Tuhan. Melalui kesadaran seperti itulah avidya (kegelapan atau kebodohan batin) akan tercerahkan, manakala batin tercerahkan maka pada saat itu akan muncul kesadaran kosmis menjadi manusia berkesadaran kosmos atau kesadaran semesta yang diliputi oleh kasih sayang. Oleh sebab itu, pandangan teologis tat tvam asi ini penting sekali ditawarkan kepada manusiamanusia yang menyatakan dirinya pencinta kedamaian dan pembawa kabar kedamaian.

Berikut masih dalam Chandogya Upanisad dan juga masih pada Bab VI hanya beda sub-babnya, yaitu pada sub-bab 16 tertulis sloka yang bunyinya berbeda dengan sloka-sloka sebelumnya, sloka tersebut adalah sbb: 

Artinya:
sa yathā nā dāhyeta aitad ātmyam idaṁ sarvam, tat satyam, sa ātmā, tat tvam asi, Śvetaketo, iti, tadd hāsya vijajñāv iti vijajñāv iti (Chandogya Upanisad VI.16.3 dalam Radhakrishnan 2008) ‘Dan seperti juga dalam hal ini, dia tidak akan terbakar, demikian juga semuanya ini mengenai ātman. Itulah kebenaran. Itulah ātman. Tat tvam asi, Śvetaketu. Kemudian dia mengerti hal ini karena beliau, ya, dia mengerti akan hal ini (Mantik, 2008: 360) Sloka Chandogya Upanisad VI.16.3 sebagai penutup uraian diskursus tentang hakikat ajaran tat tvam asi dalam Chandogya Upanisad, menyimpulkan bahwa ātman yang bersifat sangat halus itu bersifat kekal tidak terkena oleh hukum-hukum fisika, ia tidak dapat dibasahi oleh air, tidak terbakar oleh api, tidak kering oleh matahari dan oleh udara. Atman yang tidak beda dengan Jiwa alam semesta yang tidak lain adalah Brahman Yang Kekal, adalah Ayah, Ibu, Datuk, pelindung, dan menyangga alam semesta, Ia juga adalah objek ilmu pengetahuan, Ia juga dapat ditelusuri melalui Catur Veda (Bhagavadgita IX.17). Inilah pengetahuan rahasia yang mesti dipelajari melalui guru yang mapan.

Teologi Tat Tvam Asi dalam Paingala Upanisad

Diskursus tentang Teologi Tat Tvam Asi selain dibahas dalam beberapa sloka pada Chandogya Upanisad juga terdapat dua sloka dalam Paingala Upanisad. Upanisad ini adalah dokumen dialog teo-filosofis antara seorang guru spiritual, yaitu Maharsi Yajnavalkya dengan muridnya bernama Paingala. Hasil dialog teo-filosofisnya ini dikenal dengan nama Paingala Upanisad (Radhakrishnan, 2008: 712). Salah satu sloka Paingala Upanisad yang mendiskusikan hakikat tat tvam asi adalah sloka III.2 karena slokanya terlalu panjang, maka sloka tersebut dipotong hanya untuk mewakili sloka aslinya dan makna keseluruhan sloka tersebut diambil secara keseluruhan, sebagaimana uraian berikut: “sa hovàca yàjñavalkyas tat tvam asi, tvam tad asi, tvam brahmàspadam brahmàsmìty anusandhànam kuryàt; …” (Paingala Upanisad III.2 dalam Radhakrishnan 2008)

Artinya:
Yājnavalkya menjawab : Seseorang semestinya samādhi dengan pikiran “tat tvam asi, tat tad asi, twam brahmaspadam brahmasmity anusadhanam kuryat” (Itu adalah engkau, engkau adalah tempat brahman, aku adalah brahman). Yang dimaksud dengan kata “itu” dalam susastera ini adalah kepribadian Tuhan yang tidak bisadimengerti, yang mempunyai sifat-sifat maha tahu, memiliki kekuatan maya, kesadaran dan sukacita (ānanda) dan sumber dari alam semesta. 
 
Kata “engkau” dalam susastera ini adalah yang dipengaruhi oleh indriya yang di dalam, yang ditopang oleh gagasan keakuan. Melepaskan kekuatan maya dan kebodohan yang membungkus (keduanya) yaitu Yang Maha Tinggi dan jiva individu, apa yang diartikan oleh “itu” dan “engkau” menjadi brahman yang tiada berbeda dari ātman. Penyelidikan atas akibat dari susastera“itu adalah aku, aku adalah brahman” adalah mendengar.

Perhatian khusus terhadap arti dari apa yang didengar adalah suatu refleksi. Pemusatan dari pikiran dengan perhatian penuh kepada satu objek yang diperoleh melalui pandangan dan refleksi adalah samādhi. Pikiran yang diserap hanya pada objek samādhi, menghilangkan perbedan antara yang melakukan samādhi dan kegiatan samādhi itu sendiri adalah menyerupai lampu pada tempat tiada berangin yang akan mencapai penerangan maha tinggi.

Pada keadaan itu, ketika fungsi-fungsi yang ditujukan untuk mengenal ātman  sudah mulai bangkit intuisi dari ātman tidaklah bisa diketahui tetapi hanya bisa disimpulkan dari ingatan. Melalui hal ini, jumlah karma yang tidak terhitung yang dikumpulkan dari lingkaran kelahiran dan kematian yang tanpa asal mencapai peleburan mereka. Karena itu melalui kekuatan latihan, aliran amṛta (energi kehidupan) akan selalu menghujani dari seribu arah. Karena itu ahli yoga menyebut penerangan maha tinggi ini sebagai “awan kebajikan”.

Ketika sifat-sifat (baik dan buruk) dilebur tanpa sisa, ketika kumpulan-kumpulan perbuatan baik dan jahat secara keseluruhan dihancurkan sampai keakar-akarnya, baik keadaan yang lalu maupun yang akan datang, menyebabkan penghilangan dari semua rintangan-rintangan yang akan membawa pengertian yang langsung dan segera (dari brahman) seperti buah āmakala, di atas telapak tangan. Kemudian (yang mengerti brahman) menjadi terbebas padahal masih hidup di dunia ini (Mantik, 2008:712) úabalaá : campuran. Yang Mutlak bisa dianggap sebagai Yang Maha Kuasa dengan màyà atau kekuatan perwujudan. Melalui sac-cid-ànanda, dia adalah sumber segalanya, jagad-yoni. úravaóa: keempat tinggal pendengaran, refleksi, samàdhi dan intuisi langsung, àtman-darúana yang di sini disebut samàdhi dijelaskan. Kebenaran dari buku suci dicari dan pengalaman sendiri. (Radhakrishnan, 2008:712)

Umat Beragama Mesti Berkompetisi Kebaikan dan Menjauhi Kebencian Krishnamurti in Madras (1974) mengatakan: “If you are at all serious you have to find out whether human beings, that is you and I, can bring about a total revolution in ourselves psychologically. When you change not at a superficial level but fundamentally, you affect consciousness, because you are the world and the world is you” (https://kfoundation.org/thetransformation-of-consciousness-1-the-challenge/, akses 11-04-2021) Jadi kata Krishnamuti di atas menunjukkan bahwa keadaan dunia sangat tergantung dari kesadaran kita (umat manusia), jika kita benar-benar serius untuk menggali kemanusiaan manusia, atau ketuhanan dalam manusia atau kesemestaan manusia, maka hal itu akan dapat membawa manusia kepada tarap revolusi total dalam diri manusia secara psikologis. Ketika manusia berubah pada tingkat yang tinggi dan secara fundamental, maka manusia dapat memengaruhi kesadaran manusia lainnya, dan bukan itu saja bahkan dapat mempengaruhi dunia, karena manusia itu adalah dunia (mikrokosmos) dan dunia (makrokosmos) adalah diri manusia juga.

Karena itu, jika para tokoh semua agama mulai menggemakan perlombaan kebaikan; yakni para tokoh Islam hanya mengemakan suara dan perilaku “rahmat alam semesta” yang dapat dirasakan oleh apa saja dan siapa saja serta di mana saja. Kemudian para tokoh umat Kristen hanya menggemakan suara dan perilaku “kasih” (cintailah musuhmu; jika dipukul pipi kiri, maka berikan pipi kanan). Juga para tokoh umat Buddha menggemakan suara dan perilaku “dama” yaitu damai seluruh alam semesta. Demikian pula para tokoh umat Hindu menggemakan suara dan perilaku “vasudaiva kutumbakam (seluruh mahluk bersaudara), ahimsa (tidak melakukan kekerasan), tat tvam asi (melihat semuanya adalah diri sendiri), itu artinya bahwa menghargai apa saja sebagai wujud menghargai diri sendiri. Dengan demikian jika semua tokoh agama menyerukan kebaikan, maka niscaya semua umat beragama akan merasakan secara nyata kebaikan di dunia ini. Sesungguhnya jika ditelusuri secara saksama, maka dapat disimpulkan bahwa umat manusia di dunia ini sering mengalami konflik atas nama agama karena para tokoh agama telah membuat agama yang awalnya memiliki spirit dan suci untuk mengembalikan kesadaran manusia pada kesadaran ketuhanan, telah dijadikan sebagai mesin yang memproduksi kata-kata yang indah kemudian untuk mengelola produksi kata-kata itu didirikan Perusahan Agama yang berhubungan dengan Perdagangan kata-kata untuk mengeruk keuntungan pribadi para tokoh di satu pihak dan keuntungan segenap koloni umat beragama. Kondisi inilah yang mengubah wajah agama yang awalnya seperti wajah dewa sekarang ini seperti wajah raksasa yang mengerikan, dan jika ada yang sedikit indah paling-paling seperti wajah bunglon. Jika dunia ini secara fisik dan metafisik diharapkan tetap nyaman dihuni oleh manusia maka harus ada perbaikan kualitas para tokoh agama.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan juga pada pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa keadaan dunia sangat tergantung dari kesadaran umat manusia. Jika manusia benar-benar serius menggali kemanusiaannya, ketuhanan, kesemestaan pada tarap revolusi total secara psikologis dalam dirinya, maka manusia akan merasakan dunia ini adalah sorga nyata.

Keadaan seperti itu dapat dibangun melalui eksplorasi ajaran-ajaran kebajikan secara fundamental dan mengeksplorasi juga dalam tindakan kebajikan. Eksplorasi kebajikan ajaran yang diaplikasikan dalam perbuatan akan memunculkan kesadaran kasih sayang semesta yang berlanjut kepada mengasihi semuanya tanpa pamerih. Sikap itu akan menumbuhkan sikap berani mengakui bahwa semua umat manusia bersaudara (vasudaiva kutumbakam), berani mengakui bahwa semua jiwa yang ada pada setiap mahluk sama mulianya dengan jiwa yang ada di diri sendiri. Bahkan membangun kesadaran bahwa semua itu (tat) adalah (asi) kamu atau engkau (tvam).

Ketika manusia mampu melihat siapapun dan apapun sebagai dirinya sendiri, maka hilang segala konflik dan kejahatan manusia pada siapa saja dan apa saja. Ajaran teologi tat tvam asi tampak sepele saja, karena hanya melatih sikap mental dan perilaku untuk menerima bahwa segalanya adalah diri kita, tetapi dalam praktik cukup sulit. Ajaran tat tvam asi yang sama hakikatnya dengan teologi panteistis memberi garansi atau jaminan kepada seluruh umat manusia dalam mewujudkan kedamaian nyata di seluruh muka bumi. 

Sumber: Jurnal Pasupati Vol. 8 No. 1. Jan-Juni 2021 
Oleh:
I Ketut Donder 
Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

0 Response to "Teologi Tat Tvam Asi Dan Garansi Terwujudnya Persaudaraan Semesta"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel