Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Indonesia dari Abad 1 sampai di Bali

MUTIARAHINDU.COM -- Pada Pembahasan ini kita akan mengulas mulai dari abad ke 1, Perkembangan Agama Hindu Pertengahan Abad Ke-4, Perkembangan Agama Hindu Pertengahan Abad Ke-7, Perkembangan Agama Hindu Abad Ke-10, hingga Perkembangan Agama Hindu di Bali. Ada pun pembahasannya adalah sebagai berikut:
Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Indonesia dari Abad 1 sampai di Bali

1. Perkembangan Agama Hindu Abad Ke-1

Pada awal Masehi di Jawa Barat, tepatnya di daerah Pandeglang terdapat Kerajaan Salaka nagara yang bercorak Hindu. Hal ini dijelaskan dalam Naskah Wangsakerta Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara. Dalam naskah ini, disebutkan bahwa kerajaan Salakanagara adalah kerajaan Hindu paling awal yang ada di nusantara.

Mula-mula datang beberapa pedagang dari barat, yakni Sri Langka, Saliwahana, dan India. Tujuan awal mereka datang ke Jawa adalah berdagang. Setelah lama berada di Jawa, para pendatang tersebut memutuskan untuk menetap. Kemudian, datanglah utusan dari Pallawa yang bernama Dewawarman beserta beberapa pengikutnya. Dewawarman akhirnya menetap karena menikah dengan puteri penghulu setempat yang bernama Aki Tirem.

Aki Tirem, penguasa kampung setempat akhirnya menjadi mertua Dewawarman karena dinikahkan dengan putrinya yang bernama Dewi Pohaci Larasati. Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan menjadi pemimpin wilayah tersebut. Pada tahun 130 Masehi ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara (Negeri Perak) dengan ibukota di Rajatapura. Ia menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara sedangkan istrinya bergelar Dewi Dwani Rahayu. Pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki Salaka nagara adalah Nusa Mandala (Pulau Sangiang), Nusa Api (Krakatau), dan pesisir Sumatera bagian selatan, (Duwijo dan Susila, 2014: 69).

Kerajaan Salakanagara mengalami kejayaan pada masa kepemimpinan Dewawarman VIII. Hal ini terbukti dengan meningkatnya keadaan ekonomi penduduknya,  makmur dan sentosa. Sedangkan kehidupan beragama sangat damai dan hidup harmonis, beliau juga mendirikan arca Shiwa Mahadewa yang berhiaskan bulan sabit pada kepalanya (Mardhacandrakapala), arca Ganesha (Ghayanadawa), dan arca Wisnu. Demikian perkembangan agama Hindu di Indonesia pada awal masehi.

2. Perkembangan Agama Hindu Pertengahan Abad Ke-4

Kerajaan-kerajaan baru di Indonesia bermunculan sejak kemunduran kerajaan Salaka nagara. Salah satu putra dari Dewawarman VIII dijadikan anak angkat oleh Raja Kudungga sejak kecil. Raja Kudungga adalah seorang raja, dari kerajaan  Bakulapura  atau Kutai  di Kalimantan Timur. Kerajaan Kutai terletak di tepi sungai Mahakam di Muarakaman, Kalimantan Timur.

Raja Kudungga menikahkan putrinya dengan Aswawarman. Setelah Raja Kudungga wafat digantikan oleh Aswawarman. Raja Aswawarman berputra tiga orang salah satunya adalah Mulawarman. Setelah Raja Aswawarman wafat,beliau digantikan olehMulawarman. Pada saat pemerintahan Raja Mulawarman, kerajaan Kutai mengalami kemajuan yang sangat pesat dan masyarakat pada masa itu makmur dan sejahtera. Perkembangan agama Hindu di Kalimantan dibuktikan dengan ditemukannya beberapa prasasti batu dalam bentuk Yupa di tepi sungai Mahakam, Kalimantan Timur yang menyebutkan tentang kerajaan Kutai, (Duwijo dan Susila, 2014: 70).

Peninggalan kerajaan Kutai berupa tiang batu yang disebut Yupa.Yupadidirikanbertujuanuntuk mengikatkan binatang korban. Prasasti Yupa menggunakan huruf Palawa dan berbahasa Sansekerta. Informasi yang diperoleh dari Yupa adalah prasasti dalam upacara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4.

Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Yupa adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tugu peringatan yang dibuat oleh para Brāhmanā atas kedermawanan Raja Mulawarman. Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum Brāhmanā bertempat di lapangan suci Waprakeswara. Waprakeswara adalah tempat suci untuk melaksanakan upacara Yadnya, yaitu memuja Dewa Shiwa.

Selain kerajaanKutaiyangbercorakHinduterdapatjugakerajaan Tarumanegara yang berdiri dan berkembang bersamaan dengan kerajaan Kutai. Pengaruh agama Hindu di Indonesia semakin berkem- bang. Di daerah Bogor, Jawa Barat berdirilah kerajaan Tarumanegara yang didirikan oleh Jayasinghawarman yang juga sebagai menantu Raja Dewawarman VIII. Jayasinghawarman adalah seorang Maharsi dari Calankayana di India yang mengungsi ke nusantara, karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.

KerajaanTarumanegara banyak meninggalkan prasasti, terdapat tujuh buah prasasti yang lebih dikenal dengan sebutan Saila Prasasti. Saila Prasasti adalah tujuh buah prasasti yang terbuat dari batu. Ketujuh buah prasasti tersebut adalah:

a. Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea ditemukan di tepi sungai Ciarunteun, dekat muara sungai Cisadane, Bogor. Prasasti Ciaruteun menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta, (Duwijo dan Susila, 2014: 71).

b. Prasasti Kebon Kopi
Prasasti Kebon Kopi ditemukan dikampung Muara Hilir, kecamatan Cibungbulan, Bogor. Dalam prasasti Kebon Kopi terdapat lukisan telapak kaki gajah, yang disamakan dengan tapak kaki Gajah Airawata, yaitu gajah tunggangan Dewa Indra.

c. Prasasti Pasir Jambu
Prasasti Pasir Jambu ditemukan di puncak pasir (bukit) Koleangkak, Desa Panyaungan, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Dahulu daerah tersebut merupakan perkebunan Jambu, sehingga dalam literatur sejarah dikenal sebagai prasasti Pasir Jambu.

d. Prasasti Pasir Awi
Prasasti Pasir Awi ditemukan di daerah Leuwiliang, Bogor. Prasasti Pasir Awi menggunakan huruf ikal, yang sampai saat ini tidak dapat dibaca.

e. Prasasti Muara Cianten
Prasasti Muara Cianten ditemukan di Bogor. Prasasti Muara Cianten menggunakan huruf ikal, yang sampai saat ini tidak dapat dibaca.

f. Prasasti Tugu
Prasasti Tugu ditemukan di daerah Tugu, kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Prasasti Tugu berbentuk batu bulat panjang melingkar dan isinya paling panjang dibanding dengan prasasti Tarumanegara yang lain. Prasasti Tugu bertuliskan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta.

g. Prasasti Cidangiang (Prasasti Lebak)
Prasasti Lebak ditemukan di kampung Lebak di tepi sungai Cidanghiang, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten. Prasasti lebak menggunakan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta, (Duwijo dan Susila, 2014: 72).

3. Perkembangan Agama Hindu Pertengahan Abad Ke-7

Agama Hindu memasuki abad ke 6 masehi mulai berkembang di Jawa Tengah. Di Jawa Tengah muncul kerajaan yang bernama Kalingga. Kerajaan Kalingga diperkirakan terletak di sekitar Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Raja Kalingga yang sangat popular adalah Ratu Shima, yang terkenal dengan keadilannya, beliau membuat peraturan barang siapa yang mencuri akan dipotong tangannya.

Prasasti peninggalan Kerajaan Kalingga adalah Prasasti Tukmas dan Prasasti Sojomerto. Prasasti Tukmas ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang, Jawa Tengah. Prasasti Tukmas menggunakan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Prasasti Tukmas menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India.

Pada prasasti itu ada gambar-gambar, seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra, dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan demikian agama Hindu telah berkembang di Jawa Tengah, dengan menitik- beratkan pemujaan ke hadapan dewa Tri Murti. Prasasti Sojomerto ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.

Prasasti Sojomerto menggunakan aksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ini bersifat Siwais karena isinya memuat keluarga dari Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Peninggalan kerajaan Mataram kuno adalah Candi Prambanan pada abad ke-9, terletak di Prambanan, Yogyakarta, dibangun antara masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Dyah Balitung, (Duwijo dan Susila, 2014: 73).

Dahulu di kota Malang berdiri kerajaan Kanjuruhan pada abad ke-6 Masehi, bukti tertulis mengenai kerajaan ini adalah Prasasti Dinoyo. Prasasti Dinoyo ditulis tahun Saka 682 atau tahun 760 Masehi. Dalam prasasti Dinoyo disebutkan seorang raja yang bernama Dewa Singha. Raja Dewa Singha mempunyai putra bernama Liswa. Liswa kemudian menggantikan ayahnya menjadi raja, bergelar Gajayana. Raja Gajayana membuat tempat pemujaan memuliakan Resi Agastya serta membangun arca Resi Agastya dari batu hitam yang sangat elok, sebagai pengganti arca Resi Agastya yang dibuat dari kayu oleh nenek Raja Gajayana. Peninggalan lainnya dari kerajaan kanjuruhan adalah Candi Badut dan Candi Wurung.

4. Perkembangan Agama Hindu Abad Ke-10

Perkembangan agama Hindu berlanjut dengan berdirinya Kerajaan Jenggala. Kerajaan Jenggala merupakan pecahan kerajaan yang dipimpin oleh Airlangga dari Wangsa Isyana. Kerajaan Jenggala berdiri tahun 1042 Masehi dengan pusat kerajaannya diperkirakan berada di wilayah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Menurut prasasti Ngantang (1035), kerajaan Janggala akhirnya ditaklukkan oleh Sri Jayabaya raja Kadiri, dengan semboyannya yang terkenal, yaitu Panjalu Jayati, atau Kadiri Menang. Sejak saat itu Kerajaan Janggala menjadi bawahan Kadiri.

Kerajaan Panjalu atau Kadiri mengalami keruntuhan pada masa pemerintahan Kertajaya. Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum Brāhmanā yang kemudian meminta perlindungan Ken Arok akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri. Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat desa Ganter. Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel atau Singhasari, (Duwijo dan Susila, 2014: 74).

Setelah Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kadiri menjadi suatu wilayah dibawah kekuasaan Singhasari. Kerajaan Singhasari didirikan oleh Ken Arok tahun 1222 terletak di Malang dengan ibu kotanya Kutaraja. Raja pertama kerajaan Singhasari adalah Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Pada masa kerajaan Singhasari terdapat beberapa peninggalan, seperti Candi Kidal, Candi Jago, dan Candi Singosari.

Setelah kerajaan Singhasari runtuh muncullah kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menjadi puncak perkembangan agama Hindu di Jawa Timur bahkan di Indonesia. Kerajaan Majapahit berdiri tahun 1293 masehi. Kebesaran kerajaan Majapahit mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dengan mahapatih Gajah Mada.

Pada masa kerajaan Majapahit lahir karya-karya besar, seperti gubahan Empu Tantular (Sutasoma), dan Negara Kertagama oleh Empu Prapanca, (Duwijo dan Susila, 2014: 75).

5. Perkembangan Agama Hindu di Bali

Pada abad ke-8 atau sekitar 800 Masehi agama Hindu mulai berkembang di Bali. Perkembangan agama Hindu di Bali dapat dibuktikan dengan ditemukannya prasati Blanjong yang ditemukan di daerah Sanur. Prasasti Blanjong menggunakan bahasa Bali Kuno berangka tahun 835 Masehi, menyebutkan nama seorang raja Sri Kesari Warmadewa. Sejak itu, raja-raja di Bali bergelar Warmadewa. Setelah Sri Kesari Warmadewa diganti oleh raja-raja lain seperti Sang Ratu Sri Unggrasena. Pada tahun 905 Saka, muncul seorang raja bergelar Sri Maharaja Sriwijaya Mahadewi yang diduga putri raja Sriwijaya dari Sumatra.

Setelahberakhir pemerintahan SriMaharaja SriwijayaMahadewi, muncul seorang raja bernama Dharma Udayana Warmadewa yang memerintah bersama permaisurinya yang bergelar Sri Gunapria Darmapatni. Dari perkawinan ini lahirlah beberapa orang putra. Salah seorang diantaranya adalah Airlangga yang lahir pada tahun 922 Saka di Bali. Airlangga memerintah di Jawa Timur menggantikan Dharmawangsa Teguh. Dua orang putra Raja Udayana yang lain adalah Marakata dan Anak Wungsu yang diketahui belakangan menggantikan ayahnya menjadi raja, (Duwijo dan Susila, 2014: 76).

Dalam pemerintahan Marakata yang bergelar Marakata Pankaja Sthanotunggadewa tahun 955-997 Saka, kemudian beliau mengeluarkan prasasti yang berangka tahun 944, dalam prasasti yang dikeluarkan Raja Marakata berisi kata-kata sumpah (Sapata), yang menyebutkan nama dewa-dewa Hindu.

KemudianMarakatadigantiolehAnakWungsuyangmemerintah tahun 971-999 Saka atau tahun 1049-1077 Masehi, beliau banyak mengeluarkan prasasti. Prasasti-prasasti peninggalan Raja Anak Wungsu berjumlah 22 prasasti.

Dalam penulisan prasasti ada disebutkan sebagai saksinya adalah para pegawai tinggi dan para pendeta Shiwa dan Buddha. Dalam prasasti yang dikeluarkan pada tahun 993 Saka, disebutkan pada sapatanya “Untuk Hyang Anggasti Maharsi dan para dewa yang lainnya” pada zaman pemerintahan Anak Wungsu rakyat Bali mengalami ketentraman dan kemakmuran.

Raja yang terakhir yang memerintah di Bali adalah Raja Paduka Sri Astasura Bhumi Banten yang memerintah tahun 1252 Saka. Beliau dikenal dengan raja Bedaulu. Setelah 6 tahun pemerintahannya, yaitu pada tahun 1265 Saka Gajah Mada datang ke Bali dan menaklukkan kerajaan Bali pada masa itu. Pemerintahan di Bali digantikan oleh raja-raja yang dikirim dari Majapahit, raja yang pertama memerintah Bali yang dikirim dari Majapahit adalah Raja Krisna Kepakisan.

Pusat pemerintahan yang pada mulanya di Desa Samprangan dipindahkan ke Gelgel. Pada zaman pemerintahan Dalem Waturenggong didampingi oleh Purohita yang bernama Dang Hyang Nirartha. Pendeta ini terkenal dengan usahanya menata kembali keagamaan di Bali, yakni agama Hindu, (Duwijo dan Susila, 2014: 77).

Referensi:

Duwijo dan Susila, Komang. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. - Edisi Revisi. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

0 Response to "Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Indonesia dari Abad 1 sampai di Bali"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel