Pengertian dan Ringkasan Cerita Rāmāyana
Monday, August 26, 2019
Add Comment
MUTIARAHINDU.COM -- Cerita Rāmāyana merupakan suatu pendidikan rohani yang mengandung falsafah yang sangat dalam artinya. Cerita Rāmāyana sesuai dengan cerita kehidupan manusia dalam mencari kebenaran dan hidup yang sempurna. Cerita Rāmāyana menyinggung pula kebaikan dan kesetiaan Dewi Sita kepada suaminya yaitu Sri Rama, karena Sri Rama adalah titisan Dewa Wisnu. Dari segi sosial masyarakat membuktikan bahwa Rama dan Dewi Sita adalah merupakan tokoh-tokoh sosiawan dan dermawan yang mencintai sesamanya. Kitab Rāmāyana merupakan hasil sastra India yang indah dan berani. Menurut perkiraan, di India ada lebih dari 100 juta orang yang pernah membaca kitab Rāmāyana.
Keberadaan cerita Rāmāyana boleh jadi memiliki perjalanan kesejarahan yang panjang serta dibawa bersamaan dengan munculnya kebudayaan Hindu dari India ke Nusantara. Dalam perjalanannya tersebut, tentu terdapat persinggungan kebudayaan yang unik antara India dengan Nusantara atau bahkan dengan Asia. Keunikan tersebut dibuktikan dengan munculnya berbagai versi pada masa awal persebaran cerita Rāmāyana dari India ke berbagai daerah di Asia hingga Nusantara. Kemunculan versi-versi yang berbeda dapat digunakan untuk melihat persinggungan budaya antara India dan daerah-daerah lain yang menggubah atau menyadur cerita Rāmāyana.
Baca: Nilai-Nilai Yajña dalam Cerita Rāmāyana
Saat penyebaran cerita ini, terdapat kontak sejarah kebudayaan yang cukup erat antara agama Hindu di Asia dan di India. Persebaran cerita Rāmāyana tentu tidak dapat dipisahkan dengan agama Hindu dan Buddha dari India ke berbagai daerah di Asia, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:17).
Cerita Rāmāyana sendiri merupakan bagian dari khazanah kesusastraan Hindu. Walaupun demikian, pendeta-pendeta Buddha juga menggunakan cerita Rāmāyana untuk menyebarkan agama Buddha ke berbagai daerah di Asia. Tentu saja, cerita Rāmāyana yang disebarkan oleh penganut Hindu dan Buddha memiliki perbedaan dan cerita tersebut disesuaikan untuk kepentingan penyebaran agama itu sendiri.
Tidak hanya pengaruh agama, saat penyebaran cerita ini, terdapat pula kontak sejarah kebudayaan yang cukup erat antara agama Hindu di Asia dan di India. Kontak ini meliputi seluruh elemen yang ada dalam kehidupan, khususnya nilai-nilai yang terkandung di dalam cerita Rāmāyana. Rāmāyana telah memainkan peran penting dalam proses perpindahan dan penyebaran elemen Hindu dari India ke negara-negara di Asia. Nilai-nilai Hindu selalu terlihat di manapun kisah Valmiki diadopsi oleh negara-negara di Asia. Namun, nilai-nilai Hindu ini diserap dengan memperhatikan budaya asli negara itu. Jika nilai itu tidak bertentangan akan diambil, sedangkan jika nilai itu bertentangan akan dibuang.
Pengertian dan Ringkasan Cerita Rāmāyana
Kata I berasal dari bahasa Sanskeṛta yaitu dari kata Rāma dan Ayaṇa yang berarti “Perjalanan Rāmā”, adalah sebuah cerita epos dari India yang digubah oleh Valmiki (Valmiki) atau Balmiki. Rāmāyana terdapat pula dalam khazanah sastra Jawa dalam bentuk kakawin Rāmāyana.
Dalam bahasa Melayu didapati pula Hikayat Seri Rāmā yang isinya berbeda dengan kakawin Rāmāyana dalam bahasa Jawa kuna. Di India dalam bahasa Sanskeṛta, Rāmāyana dibagi menjadi tujuh kitab atau kanda yaitu; Bālakānda, Ayodhyākāṇḍa, Āraṇyakāṇḍa, Kiṣkindhakāṇḍa, Sundarakāṇḍa, Yuddhakāṇḍa, dan Uttarakāṇḍa.
Bālakānda atau kitab pertama Rāmāyana menceritakan sang Daśaratha yang menjadi Raja di Ayodhyā. Sang raja ini mempunyai tiga istri yaitu: Dewi Kauśalyā, Dewi Kaikeyī dan Dewi Sumitrā. Dewi Kauśalyā berputrakan Sang Rāmā, Dewi Kaikeyī berputrakan sang Barata, lalu Dewi Sumitrā berputrakan sang Lakṣamaṇa dan sang Satrugṇa. Pada suatu hari, Bagawan Visvamitra meminta tolong kepada Prabu Daśaratha untuk menjaga pertapaannya. Sang Rāmā dan Lakṣamaṇa pergi membantu mengusir para raksasa yang mengganggu pertapaan ini. Lalu atas petunjuk para Brahmana maka sang Rāmā pergi mengikuti sayembara di Wideha dan mendapatkan Dewi Sītā sebagai istrinya. Ketika pulang ke Ayodhyā mereka dihadang oleh Rāmāparasu, tetapi mereka bisa mengalahkannya, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:18).
Daśaratha adalah tokoh dari wiracarita Rāmāyana, seorang raja, putra raja, keturunan Iksvaku dan berada dalam golongan Raghuwangsa atau Dinasti Surya. Ia adalah ayah Śrī Rāmā dan memerintah di Kerajaan Kosala dengan pusat pemerintahannya di Ayodhyā. Daśaratha sebagai seorang raja besar lagi pemurah. Angkatan perangnya ditakuti berbagai negara dan tak pernah kalah dalam pertempuran. Pada saat Daśaratha masih muda dan belum menikah, ia suka berburu dan memiliki kemampuan untuk memanah sesuatu dengan tepat hanya dengan mendengarkan suaranya saja. Di suatu malam, Daśaratha berburu ke tengah hutan. Di tepi sungai Sarayu, ia mendengar suara gajah yang sedang minum. Tanpa melihat sasaran ia segera melepaskan anak panahnya. Namun ia terkejut karena tiba-tiba makhluk tersebut mengaduh dengan suara manusia.
Saat ia mendekati sasarannya, ia melihat seorang pertapa muda tergeletak tak berdaya. Pemuda tersebut bernama Srāvaṇa. Ia mencaci maki Daśaratha yang telah tega membunuhnya, dan berkata bahwa kedua orang tuanya yang buta sedang menunggu dirinya membawakan air. Sebelum meninggal, Srāvaṇa menyuruh agar Daśaratha membawakan air kehadapan kedua orang tua si pemuda yang buta dan tua renta. Daśaratha menjalankan permohonan terakhir tersebut dan menjelaskan kejadian yang terjadi kepada kedua orangtua si pemuda. Daśaratha juga meminta maaf di hadapan mereka.
Setelah mendengar penjelasan Daśaratha, kedua orang tua tersebut menyuruh Daśaratha agar ia mengantar mereka ke tepi sungai untuk meraba jasad putranya yang tercinta untuk terakhir kalinya. Kemudian, mereka mengadakan upacara pembakaran yang layak bagi putranya. Karena rasa cintanya, mereka hendak meleburkan diri bersama-sama ke dalam api pembakaran. Sebelum melompat, ayah si pemuda menoleh kepada Daśaratha dan berkata bahwa kelak pada suatu saat, Daśaratha akan mati dalam kesedihan karena ditinggalkan oleh putranya yang paling dicintai dan paling diharapkan.
Daśaratha memiliki tiga permaisuri, yaitu Kauśalyā, Sumitrā, dan Kaikeyī. Lama setelah pernikahannya, Daśaratha belum juga dikaruniai anak. Akhirnya ia mengadakan Yajña (ritual suci) yang dipimpin Ṛsī Srengga. Dari upacara tersebut, Daśaratha memperoleh payasam berisi air suci untuk diminum oleh para permaisurinya. Kauśalyā dan Kaikeyī minum seteguk, sedangkan Sumitrā meminum dua kali sampai habis, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:19).
Beberapa bulan kemudian, suara tangis bayi menyemarakkan istana. Yang pertama melahirkan putra adalah Kauśalyā, dan putranya diberi nama Rāmā. Yang kedua adalah Kaikeyī, melahirkan putra mungil yang diberi nama Bharata. Yang ketiga adalah Sumitrā, melahirkan putra kembar dan diberi nama Lakṣmana dan Satrugṇa.
Kauśalyā adalah istri pertama Daśaratha dari Kerajaan Kosala yang melahirkan Śrī Rāmā. Sumitrā adalah salah seorang istri Prabu Dasaratha dan merupakan ibu dari Lakṣamaṇa dan Satrugṇa. Kaikeyī atau Kekayi adalah permaisuri Raja Daśaratha dalam wiracarita Rāmāyana. Ia merupakan wanita ketiga yang dinikahi Daśaratha setelah dua permaisurinya yang lain tidak mampu memiliki putra. Pada saat Daśaratha meminang dirinya, ayah Kaikeyī membuat perjanjian dengan Daśaratha bahwa putra yang dilahirkan oleh Kaikeyī harus menjadi raja. Daśaratha menyetujui perjanjian tersebut karena dua permaisurinya yang lain tidak mampu melahirkan putra. Namun setelah menikah dan hidup lama, Kaikeyī belum melahirkan putra. Setelah Daśaratha melakukan upacara besar, akhirnya Kaikeyī dan premaisurinya yang lain mendapatkan keturunan. Kaikeyī melahirkan seorang putra bernama Bharata.
Baca: Bentuk-bentuk Pelaksanaan Yajña dalam Kehidupan Sehari-hari
Pada suatu ketika di sebuah pertempuran, roda kereta perang Daśaratha pecah. Dalam masa-masa genting tersebut, Kaikeyī yang berada di sana datang menyelamatkan Daśaratha serta memperbaiki kereta tersebut sampai bisa dipakai lagi. Karena terharu oleh pertolongan Kaikeyī, Daśaratha mempersilakan Kaikeyī untuk mengajukan tiga permohonan. Namun Kaikeyī menolak karena ia ingin menagih janji tersebut pada saat yang tepat. Sebagai istri yang paling muda, Kaikeyī merasa cemas apabila Daśaratha kurang mencintainya dibandingkan dua istrinya yang lain. Saat Rāmā hendak dinobatkan menjadi raja, pelayan Kaikeyī yang bernama Mantara datang dan menghasut Kaikeyī agar mengangkat Bharata menjadi Raja sekaligus menyingkirkan Rāmā ke hutan selama 14 tahun. Dengan mengangkat Bharata menjadi raja, Mantara berharap bahwa Kaikeyī akan menjadi ibu suri dan statusnya berada di atas permaisuri yang lain. Kaikeyī menolak usul Mantara karena ia tahu bahwa Rāmā lebih pantas menjadi raja, dan setelah itu Bharata akan menggantikannya.
Mendengar alasan Kaikeyī, Mantara berkata bahwa tidak ada alasan bagi Bharata untuk menjadi raja menggantikan Rāmā karena jika Rāmā menjadi raja sampai akhir hayatnya, maka tidak ada kesempatan bagi Bharata untuk menggantikannya karena tahta diserahkan kepada keturunan Rāmā. Setelah Mantara menghasut Kaikeyī dengan berbagai alasan, Kaikeyī mengambil tindakan. Ia menemui Raja Daśaratha dan meminta dua permohonan sesuai dengan kesempatan yang telah diberikan sebelumnya. Pertama ia memohon Bharata untuk menjadi raja, dan yang kedua ia memohon agar Rāmā diasingkan ke hutan. Dengan berat hati, Raja Daśaratha memenuhi permohonan tersebut, namun tak lama kemudian ia wafat dalam keadaan sakit hati.
Ayah Rāmā adalah Raja Daśaratha dari Ayodhyā, sedangkan ibunya adalah Kauśalyā. Dalam Rāmāyana diceritakan bahwa Raja Daśaratha yang merindukan putra mengadakan upacara bagi para dewa, upacara yang disebut Putrakama Yajña. Upacaranya diterima oleh para Dewa dan utusan mereka memberikan sebuah air suci agar diminum oleh setiap permaisurinya, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:20).
Keberadaan cerita Rāmāyana boleh jadi memiliki perjalanan kesejarahan yang panjang serta dibawa bersamaan dengan munculnya kebudayaan Hindu dari India ke Nusantara. Dalam perjalanannya tersebut, tentu terdapat persinggungan kebudayaan yang unik antara India dengan Nusantara atau bahkan dengan Asia. Keunikan tersebut dibuktikan dengan munculnya berbagai versi pada masa awal persebaran cerita Rāmāyana dari India ke berbagai daerah di Asia hingga Nusantara. Kemunculan versi-versi yang berbeda dapat digunakan untuk melihat persinggungan budaya antara India dan daerah-daerah lain yang menggubah atau menyadur cerita Rāmāyana.
Baca: Nilai-Nilai Yajña dalam Cerita Rāmāyana
Saat penyebaran cerita ini, terdapat kontak sejarah kebudayaan yang cukup erat antara agama Hindu di Asia dan di India. Persebaran cerita Rāmāyana tentu tidak dapat dipisahkan dengan agama Hindu dan Buddha dari India ke berbagai daerah di Asia, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:17).
Cerita Rāmāyana sendiri merupakan bagian dari khazanah kesusastraan Hindu. Walaupun demikian, pendeta-pendeta Buddha juga menggunakan cerita Rāmāyana untuk menyebarkan agama Buddha ke berbagai daerah di Asia. Tentu saja, cerita Rāmāyana yang disebarkan oleh penganut Hindu dan Buddha memiliki perbedaan dan cerita tersebut disesuaikan untuk kepentingan penyebaran agama itu sendiri.
Tidak hanya pengaruh agama, saat penyebaran cerita ini, terdapat pula kontak sejarah kebudayaan yang cukup erat antara agama Hindu di Asia dan di India. Kontak ini meliputi seluruh elemen yang ada dalam kehidupan, khususnya nilai-nilai yang terkandung di dalam cerita Rāmāyana. Rāmāyana telah memainkan peran penting dalam proses perpindahan dan penyebaran elemen Hindu dari India ke negara-negara di Asia. Nilai-nilai Hindu selalu terlihat di manapun kisah Valmiki diadopsi oleh negara-negara di Asia. Namun, nilai-nilai Hindu ini diserap dengan memperhatikan budaya asli negara itu. Jika nilai itu tidak bertentangan akan diambil, sedangkan jika nilai itu bertentangan akan dibuang.
Pengertian dan Ringkasan Cerita Rāmāyana
Kata I berasal dari bahasa Sanskeṛta yaitu dari kata Rāma dan Ayaṇa yang berarti “Perjalanan Rāmā”, adalah sebuah cerita epos dari India yang digubah oleh Valmiki (Valmiki) atau Balmiki. Rāmāyana terdapat pula dalam khazanah sastra Jawa dalam bentuk kakawin Rāmāyana.
Dalam bahasa Melayu didapati pula Hikayat Seri Rāmā yang isinya berbeda dengan kakawin Rāmāyana dalam bahasa Jawa kuna. Di India dalam bahasa Sanskeṛta, Rāmāyana dibagi menjadi tujuh kitab atau kanda yaitu; Bālakānda, Ayodhyākāṇḍa, Āraṇyakāṇḍa, Kiṣkindhakāṇḍa, Sundarakāṇḍa, Yuddhakāṇḍa, dan Uttarakāṇḍa.
Bālakānda atau kitab pertama Rāmāyana menceritakan sang Daśaratha yang menjadi Raja di Ayodhyā. Sang raja ini mempunyai tiga istri yaitu: Dewi Kauśalyā, Dewi Kaikeyī dan Dewi Sumitrā. Dewi Kauśalyā berputrakan Sang Rāmā, Dewi Kaikeyī berputrakan sang Barata, lalu Dewi Sumitrā berputrakan sang Lakṣamaṇa dan sang Satrugṇa. Pada suatu hari, Bagawan Visvamitra meminta tolong kepada Prabu Daśaratha untuk menjaga pertapaannya. Sang Rāmā dan Lakṣamaṇa pergi membantu mengusir para raksasa yang mengganggu pertapaan ini. Lalu atas petunjuk para Brahmana maka sang Rāmā pergi mengikuti sayembara di Wideha dan mendapatkan Dewi Sītā sebagai istrinya. Ketika pulang ke Ayodhyā mereka dihadang oleh Rāmāparasu, tetapi mereka bisa mengalahkannya, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:18).
Daśaratha adalah tokoh dari wiracarita Rāmāyana, seorang raja, putra raja, keturunan Iksvaku dan berada dalam golongan Raghuwangsa atau Dinasti Surya. Ia adalah ayah Śrī Rāmā dan memerintah di Kerajaan Kosala dengan pusat pemerintahannya di Ayodhyā. Daśaratha sebagai seorang raja besar lagi pemurah. Angkatan perangnya ditakuti berbagai negara dan tak pernah kalah dalam pertempuran. Pada saat Daśaratha masih muda dan belum menikah, ia suka berburu dan memiliki kemampuan untuk memanah sesuatu dengan tepat hanya dengan mendengarkan suaranya saja. Di suatu malam, Daśaratha berburu ke tengah hutan. Di tepi sungai Sarayu, ia mendengar suara gajah yang sedang minum. Tanpa melihat sasaran ia segera melepaskan anak panahnya. Namun ia terkejut karena tiba-tiba makhluk tersebut mengaduh dengan suara manusia.
Saat ia mendekati sasarannya, ia melihat seorang pertapa muda tergeletak tak berdaya. Pemuda tersebut bernama Srāvaṇa. Ia mencaci maki Daśaratha yang telah tega membunuhnya, dan berkata bahwa kedua orang tuanya yang buta sedang menunggu dirinya membawakan air. Sebelum meninggal, Srāvaṇa menyuruh agar Daśaratha membawakan air kehadapan kedua orang tua si pemuda yang buta dan tua renta. Daśaratha menjalankan permohonan terakhir tersebut dan menjelaskan kejadian yang terjadi kepada kedua orangtua si pemuda. Daśaratha juga meminta maaf di hadapan mereka.
Setelah mendengar penjelasan Daśaratha, kedua orang tua tersebut menyuruh Daśaratha agar ia mengantar mereka ke tepi sungai untuk meraba jasad putranya yang tercinta untuk terakhir kalinya. Kemudian, mereka mengadakan upacara pembakaran yang layak bagi putranya. Karena rasa cintanya, mereka hendak meleburkan diri bersama-sama ke dalam api pembakaran. Sebelum melompat, ayah si pemuda menoleh kepada Daśaratha dan berkata bahwa kelak pada suatu saat, Daśaratha akan mati dalam kesedihan karena ditinggalkan oleh putranya yang paling dicintai dan paling diharapkan.
Daśaratha memiliki tiga permaisuri, yaitu Kauśalyā, Sumitrā, dan Kaikeyī. Lama setelah pernikahannya, Daśaratha belum juga dikaruniai anak. Akhirnya ia mengadakan Yajña (ritual suci) yang dipimpin Ṛsī Srengga. Dari upacara tersebut, Daśaratha memperoleh payasam berisi air suci untuk diminum oleh para permaisurinya. Kauśalyā dan Kaikeyī minum seteguk, sedangkan Sumitrā meminum dua kali sampai habis, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:19).
Beberapa bulan kemudian, suara tangis bayi menyemarakkan istana. Yang pertama melahirkan putra adalah Kauśalyā, dan putranya diberi nama Rāmā. Yang kedua adalah Kaikeyī, melahirkan putra mungil yang diberi nama Bharata. Yang ketiga adalah Sumitrā, melahirkan putra kembar dan diberi nama Lakṣmana dan Satrugṇa.
Kauśalyā adalah istri pertama Daśaratha dari Kerajaan Kosala yang melahirkan Śrī Rāmā. Sumitrā adalah salah seorang istri Prabu Dasaratha dan merupakan ibu dari Lakṣamaṇa dan Satrugṇa. Kaikeyī atau Kekayi adalah permaisuri Raja Daśaratha dalam wiracarita Rāmāyana. Ia merupakan wanita ketiga yang dinikahi Daśaratha setelah dua permaisurinya yang lain tidak mampu memiliki putra. Pada saat Daśaratha meminang dirinya, ayah Kaikeyī membuat perjanjian dengan Daśaratha bahwa putra yang dilahirkan oleh Kaikeyī harus menjadi raja. Daśaratha menyetujui perjanjian tersebut karena dua permaisurinya yang lain tidak mampu melahirkan putra. Namun setelah menikah dan hidup lama, Kaikeyī belum melahirkan putra. Setelah Daśaratha melakukan upacara besar, akhirnya Kaikeyī dan premaisurinya yang lain mendapatkan keturunan. Kaikeyī melahirkan seorang putra bernama Bharata.
Baca: Bentuk-bentuk Pelaksanaan Yajña dalam Kehidupan Sehari-hari
Pada suatu ketika di sebuah pertempuran, roda kereta perang Daśaratha pecah. Dalam masa-masa genting tersebut, Kaikeyī yang berada di sana datang menyelamatkan Daśaratha serta memperbaiki kereta tersebut sampai bisa dipakai lagi. Karena terharu oleh pertolongan Kaikeyī, Daśaratha mempersilakan Kaikeyī untuk mengajukan tiga permohonan. Namun Kaikeyī menolak karena ia ingin menagih janji tersebut pada saat yang tepat. Sebagai istri yang paling muda, Kaikeyī merasa cemas apabila Daśaratha kurang mencintainya dibandingkan dua istrinya yang lain. Saat Rāmā hendak dinobatkan menjadi raja, pelayan Kaikeyī yang bernama Mantara datang dan menghasut Kaikeyī agar mengangkat Bharata menjadi Raja sekaligus menyingkirkan Rāmā ke hutan selama 14 tahun. Dengan mengangkat Bharata menjadi raja, Mantara berharap bahwa Kaikeyī akan menjadi ibu suri dan statusnya berada di atas permaisuri yang lain. Kaikeyī menolak usul Mantara karena ia tahu bahwa Rāmā lebih pantas menjadi raja, dan setelah itu Bharata akan menggantikannya.
Mendengar alasan Kaikeyī, Mantara berkata bahwa tidak ada alasan bagi Bharata untuk menjadi raja menggantikan Rāmā karena jika Rāmā menjadi raja sampai akhir hayatnya, maka tidak ada kesempatan bagi Bharata untuk menggantikannya karena tahta diserahkan kepada keturunan Rāmā. Setelah Mantara menghasut Kaikeyī dengan berbagai alasan, Kaikeyī mengambil tindakan. Ia menemui Raja Daśaratha dan meminta dua permohonan sesuai dengan kesempatan yang telah diberikan sebelumnya. Pertama ia memohon Bharata untuk menjadi raja, dan yang kedua ia memohon agar Rāmā diasingkan ke hutan. Dengan berat hati, Raja Daśaratha memenuhi permohonan tersebut, namun tak lama kemudian ia wafat dalam keadaan sakit hati.
Ayah Rāmā adalah Raja Daśaratha dari Ayodhyā, sedangkan ibunya adalah Kauśalyā. Dalam Rāmāyana diceritakan bahwa Raja Daśaratha yang merindukan putra mengadakan upacara bagi para dewa, upacara yang disebut Putrakama Yajña. Upacaranya diterima oleh para Dewa dan utusan mereka memberikan sebuah air suci agar diminum oleh setiap permaisurinya, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:20).
Atas anugerah tersebut, ketiga permaisuri Raja Daśaratha melahirkan putra. Yang tertua bernama Rāmā, lahir dari Kauśalyā. Yang kedua adalah Bharata, lahir dari Kaikeyī, dan yang terakhir adalah Lakṣmaṇa dan Satrugṇa, lahir dari Sumitrā. Keempat pangeran tersebut tumbuh menjadi putra yang gagah-gagah dan terampil memainkan senjata di bawah bimbingan Rsi Wasista.
Pada suatu hari, Rsi Visvamitra datang menghadap Raja Daśaratha. Daśaratha tahu benar watak Ṛsī tersebut dan berjanji akan mengabulkan permohonannya sebisa mungkin. Akhirnya Sang Ṛsī mengutarakan permohonannya, yaitu meminta bantuan Rāmā untuk mengusir para raksasa yang mengganggu ketenangan para Ṛsī di hutan. Mendengar permohonan tersebut, Raja Daśaratha sangat terkejut karena merasa tidak sanggup untuk mengabulkannya, namun ia juga takut terhadap kutukan Ṛsī Visvamitra. Daśaratha merasa anaknya masih terlalu muda untuk menghadapi para raksasa, namun Ṛsī Visvamitra menjamin keselamatan Rāmā. Setelah melalui perdebatan dan pergolakan dalam batin, Daśaratha mengabulkan permohonan Ṛsī Visvamitra dan mengizinkan putranya untuk membantu para Ṛsī.
Di tengah hutan, Rāmā dan Lakṣmana memperoleh mantra sakti dari Ṛsī Visvamitra, yaitu bala dan atibala. Setelah itu, mereka menempuh perjalanan menuju kediaman para Ṛsī di Sidhasrama. Sebelum tiba di Sidhasrama, Rāmā, Lakṣmana, dan Ṛsī Visvamitra melewati hutan Dandaka. Di hutan tersebut, Rāmā mengalahkan rakshasi Tataka dan membunuhnya. Setelah melewati hutan Dandaka, Rāmā sampai di Sidhasrama bersama Lakṣmana dan Ṛsī Visvamitra. Di sana, Rāmā dan Lakṣmana melindungi para Ṛsī dan berjanji akan mengalahkan raksasa yang ingin mengotori pelaksanaan Yajña yang dilakukan oleh para Ṛsī. Saat raksasa Marica dan Subahu datang untuk megotori sesajen dengan darah dan daging mentah, Rāmā dan Lakṣmana tidak tinggal diam. Atas permohonan Rāmā, nyawa Marica diampuni oleh Lakṣmana, sedangkan untuk Subahu, Rāmā tidak memberi ampun. Dengan senjata Agni Astra atau Panah Api, Rāmā membakar tubuh Subahu sampai menjadi abu. Setelah Rāmā membunuh Subahu, pelaksanaan Yajña berlangsung dengan lancar dan aman.
Dalam bahasa Sansekerta, kata Sītā bermakna “kerut”. Kata “kerut” merupakan istilah puitis pada zaman India Kuno, yang menggambarkan aroma dari kesuburan. Nama Sītā dalam Rāmāyana kemungkinan berasal dari Dewi Sītā, yang pernah disebutkan dalam Ṛgveda sebagai dewi bumi yang memberkati ladang dengan hasil panen yang bermutu. Seperti tokoh terkenal dalam legenda Hindu lainnya, Sītā juga dikenal dengan banyak nama. Sebagai puteri Raja Janaka, ia dipanggil Janaki; sebagai putri Mithila, ia dipanggil Maithili; sebagai istri Raama, ia dipanggil Rāmāa. Karena berasal dari Kerajaan Wideha, ia pun juga dikenal dengan nama Waidehi.
Suatu ketika Kerajaan Wideha dilanda kelaparan. Janaka sebagai raja melakukan upacara atau Yajña di suatu area ladang antara lain dengan cara membajak tanahnya. Ternyata mata bajak Janaka membentur sebuah peti yang berisi bayi perempuan. Bayi itu dipungutnya menjadi anak angkat dan dianggap sebagai titipan Pertiwi, dewi bumi dan kesuburan. Sītā dibesarkan di istana Mithila, ibu kota Wideha oleh Janaka dan Sunayana, permaisurinya, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:21).
Setelah usianya menginjak dewasa, Janaka pun mengadakan sebuah sayembara untuk menemukan pasangan yang tepat bagi putrinya itu. Sayembara tersebut adalah membentangkan busur pusaka maha berat anugerah Dewa Siwa, dan dimenangkan oleh Śrī Rāmā, seorang pangeran dari Kerajaan Kosala. Setelah menikah, Sītā pun tinggal bersama suaminya di Ayodhyā, ibu kota Kosala.
Visvamitra mendengar adanya sebuah sayembara di Mithila demi memperebutkan Dewi Sītā. Ia mengajak Rāmā dan Lakṣmana untuk mengikuti sayembara tersebut. Mereka menyanggupinya. Setibanya di sana, Rāmā melihat bahwa tidak ada orang yang mampu memenuhi persyaratan untuk menikahi Sītā, yaitu mengangkat serta membengkokkan busur Siwa. Namun saat Rāmā tampil ke muka, ia tidak hanya mampu mengangkat serta membengkokkan busur Siwa, namun juga mematahkannya menjadi tiga. Saat busur itu dipatahkan, suaranya besar dan menggelegar seperti guruh. Melihat kemampuan istimewa tersebut, ayah Sītā yaitu Raja Janaka, memutuskan agar Rāmā menjadi menantunya. Sītā pun senang mendapatkan suami seperti Rāmā.
Kemudian utusan dikirim ke Ayodhyā untuk memberitahu kabar baik tersebut. Raja Daśaratha girang mendengar putranya sudah mendapatkan istri di Mithila, kemudian ia segera berangkat ke sana. Setelah menyaksikan upacara pernikahan Rāmā dan Sītā, Visvamitra mohon pamit untuk melanjutkan tapa di Gunung Himalaya, sementara Daśaratha pulang ke Ayodhyā diikuti oleh Ṛsī Wasistha serta pengiring-pengiringnya. Di tengah jalan, mereka berjumpa dengan Ṛsī Parasu Rāmā, yaitu brahmana sakti yang ditakuti para ksatria. Parasu Rāmā memegang sebuah busur di bahunya yang konon merupakan busur Wisnu. Ia sudah mendengar kabar bahwa Rāmā telah mematahkan busur Siwa.
Dengan wajah yang sangar, ia menantang Rāmā untuk membengkokkan busur Wisnu. Rāmā menerima tantangan tersebut dan membengkokkan busur Wisnu dengan mudah. Melihat busur itu dibengkokkan dengan mudah, seketika raut wajah Parasu Rāmā menjadi lemah lembut. Rāmā berkata, “Panah Waisnawa ini harus mendapatkan mangsa. Apakah panah ini harus menghancurkan kekuatan Tuan atau hasil tapa Tuan?”. Parasu Rāmā menjawab agar panah itu menghancurkan hasil tapanya, karena ia hendak merintis hasil tapanya dari awal kembali. Setelah itu, Parasu Rāmā mohon pamit dan pergi ke Gunung Mahendra.
Ayodhyākāṇḍa adalah kitab kedua epos Rāmāyana dan menceritakan sang Daśaratha yang akan menyerahkan kerajaan kepada sang Rāmā, tetapi dihalangi oleh Dewi Kaikeyī. Katanya beliau pernah menjanjikan warisan kerajaan kepada anaknya. Maka sang Rāmā disertai oleh Dewi Sītā dan Lakṣamaṇa pergi mengembara dan masuk ke dalam hutan selama 14 tahun. Setelah mereka pergi, maka Prabu Daśaratha meninggal karena sedihnya.
Sementara Rāmā pergi, Bharata baru saja pulang dari rumah pamannya dan tiba di Ayodhyā. Ia mendapati bahwa ayahnya telah wafat serta Rāmā tidak ada di istana. Kaikeyī menjelaskan bahwa Bharatalah yang kini menjadi raja, sementara Rāmā mengasingkan diri ke hutan, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:22).
Bharata menjadi sedih mendengarnya, kemudian menyusul Rāmā. Harapan Kaikeyī untuk melihat putranya senang menjadi raja ternyata sia-sia. Di dalam hutan, Bharata mencari Rāmā dan memberi berita duka karena Prabu Daśaratha telah wafat. Ia membujuk Rāmā agar kembali ke Ayodhyā untuk menjadi raja. Rakyat juga mendesak demikian, namun Rāmā menolak karena ia terikat oleh perintah ayahnya. Untuk menunjukkan jalan yang benar, Rāmā menguraikan ajaran-ajaran agama kepada Bharata. Rāmā menyerahkan sandalnya (dalam bahasa Sanskeṛta: paduka). Akhirnya Bharata membawa sandal milik Rāmā dan meletakkannya di singasana. Dengan lambang tersebut, ia memerintah Ayodhyā atas nama Rāmā.
Rāmā atau Rāmācandra adalah seorang raja legendaries konon hidup pada zaman Tretayuga, keturunan Dinasti Surya atau Suryawangsa. Ia berasal dari Kerajaan Kosala yang beribukota Ayodhyā. Menurut pandangan Hindu, ia merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun ke bumi pada zaman Tretayuga. Sosok dan kisah kepahlawanannya yang terkenal dituturkan dalam sebuah sastra Hindu Kuno yang disebut Rāmāyana, tersebar dari Asia Selatan sampai Asia Tenggara. Terlahir sebagai putra sulung dari pasangan Raja Daśaratha dengan Kauśalyā, ia dipandang sebagai Maryada Purushottama, yang artinya “Manusia Sempurna”. Setelah dewasa, Rāmā memenangkan sayembara dan beristerikan Dewi Sītā, inkarnasi dari Dewi Lakṣmi. Rāmā memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan Lava.
Dalam wiracarita Rāmāyana diceritakan bahwa sebelum Rāmā lahir, seorang raja raksasa bernama Rāvaṇa telah meneror Triloka (tiga dunia) sehingga membuat para dewa merasa cemas. Atas hal tersebut, Dewi bumi menghadap Brahma agar beliau bersedia menyelamatkan alam beserta isinya. Para dewa juga mengeluh kepada Brahma, yang telah memberikan anugerah kepada Rāvaṇa sehingga raksasa tersebut menjadi takabur. Setelah para dewa bersidang, mereka memohon agar Wisnu bersedia menjelma kembali ke dunia untuk menegakkan dharma serta menyelamatkan orang-orang saleh. Dewa Wisnu menyatakan bahwa ia bersedia melakukannya. Ia berjanji akan turun ke dunia sebagai Rāmā, putra raja Daśaratha dari Ayodhyā. Dalam penjelmaannya ke dunia, Wisnu ditemani oleh Naga Sesa yang akan mengambil peran sebagai Lakṣmana, serta Lakṣmi yang akan mengambil peran sebagai Sītā.
Baca: Pembagian Yajña Dalam Ajaran Agama Hindu
Baca: Pembagian Yajña Dalam Ajaran Agama Hindu
Ibu Rāvaṇa bernama Kaikesi, seorang puteri Raja Detya bernama Sumali. Sumali memperoleh anugerah dari Brahma sehingga ia mampu menaklukkan para raja dunia. Sumali berpesan kepada Kekasi agar ia menikah dengan orang yang istimewa di dunia. Di antara para Ṛsī, Kekasi memilih Visrava sebagai pasangannya. Visvara memperingati Kekasi bahwa bercinta di waktu yang tak tepat akan membuat anak mereka menjadi jahat, namun Kekasi menerimanya meskipun diperingatkan demikian. Akhirnya, Rāvaṇa lahir dengan kepribadian setengah brahmana, setengah raksasa, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:23).
Saat lahir, Rāvaṇa diberi nama “Dasanana” atau “Dasagriwa”, dan konon ia memiliki sepuluh kepala. Beberapa alasan menjelaskan bahwa sepuluh kepala tersebut adalah pantulan dari permata pada kalung yang diberikan ayahnya sewaktu lahir, atau ada yang menjelaskan bahwa sepuluh kepala tersebut adalah simbol bahwa Rāvaṇa memiliki kekuatan sepuluh tokoh tertentu.
Saat masih muda, Rāvaṇa mengadakan tapa memuja Dewa Brahma selama bertahun-tahun. Karena berkenan dengan pemujaannya, Brahma muncul dan mempersilakan Rāvaṇa mengajukan permohonan. Mendapat kesempatan tersebut, Rāvaṇa memohon agar ia hidup abadi, namun permohonan tersebut ditolak oleh Brahma. Sebagai gantinya, Rāvaṇa memohon agar ia kebal terhadap segala serangan dan selalu unggul di antara para dewa, makhluk surgawi, raksasa, detya, danawa, segala naga dan makhluk buas. Karena menganggap remeh manusia, ia tidak memohon agar unggul terhadap mereka. Mendengar permohonan tersebut, Brahma mengabulkannya, dan menambahkan kepandaian menggunakan senjata dewa dan ilmu sihir.
Setelah memperoleh anugerah Brahma, Rāvaṇa mencari kakeknya, Sumali, dan memintanya kuasa untuk memimpin tentaranya. Kemudian ia melancarkan serangannya menuju Alengka. Alengka merupakan kota yang permai, diciptakan oleh seorang arsitek para dewa bernama Wiswakarma untuk Kubera, Dewa kekayaan. Kubera juga merupakan putra Visvara, dan bermurah hati untuk membagi segala miliknya kepada anak-anak Kekasi. Namun Rāvaṇa menuntut agar seluruh Alengka menjadi miliknya, dan mengancam akan merebutnya dengan kekerasan. Visvara menasihati Kubera agar memberikannya, sebab sekarang Rāvaṇa tak tertandingi.
Ketika Rāvaṇa merampas Alengka untuk memulai pemerintahannya, ia dipandang sebagai pemimpin yang sukses dan murah hati. Alengka berkembang di bawah pemerintahannya. Konon rumah yang paling miskin sekalipun memiliki kendaraan dari emas dan tidak ada kelaparan di kerajaan tersebut.
Setelah keberhasilannya di Alengka, Rāvaṇa mendatangi Dewa Siwa di kediamannya di gunung Kailasha. Tanpa disadari, Rāvaṇa mencoba mencabut gunung tersebut dan memindahkannya sambil main-main. Siwa yang merasa kesal dengan kesombongan Rāvaṇa, menekan Kailasha dengan jari kakinya, sehingga Rāvaṇa tertindih pada waktu itu juga. Kemudian Gana datang untuk memberitahu Rāvaṇa, pada siapa ia harus bertobat. Lalu Rāvaṇa menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Siwa, dan konon ia melakukannya selama bertahun-tahun, sampai Siwa membebaskannya dari hukuman.
Terkesan dengan keberanian dan kesetiaannya, Siwa memberinya kekuatan tambahan, khususnya pemberian hadiah berupa Chandrahasa (pedang-bulan), pedang yang tak terkira kuatnya. Selanjutnya Rāvaṇa menjadi pemuja Siwa seumur hidup. Rāvaṇa terkenal dengan tarian pemujaannya kepada Siwa yang bernama “Shiva Tandava Stotra”. Semenjak peristiwa tersebut ia memperoleh nama ‘Rāvaṇa’, berarti “(Ia) Yang raungannya dahsyat”, diberikan kepadanya oleh Siwa-konon bumi sempat berguncang saat Rāvaṇa menangis kesakitan karena ditindih gunung, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:24).
Terkesan dengan keberanian dan kesetiaannya, Siwa memberinya kekuatan tambahan, khususnya pemberian hadiah berupa Chandrahasa (pedang-bulan), pedang yang tak terkira kuatnya. Selanjutnya Rāvaṇa menjadi pemuja Siwa seumur hidup. Rāvaṇa terkenal dengan tarian pemujaannya kepada Siwa yang bernama “Shiva Tandava Stotra”. Semenjak peristiwa tersebut ia memperoleh nama ‘Rāvaṇa’, berarti “(Ia) Yang raungannya dahsyat”, diberikan kepadanya oleh Siwa-konon bumi sempat berguncang saat Rāvaṇa menangis kesakitan karena ditindih gunung, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:24).
Dengan kekuatan yang diperolehnya, Rāvaṇa melakukan penyerangan untuk menaklukkan ras manusia, makhluk jahat (asura – rakshasa – detya – danawa), dan makhluk surgawi. Setelah menaklukkan Patala (dunia bawah tanah), ia mengangkat Ahirawan sebagai raja. Rāvaṇa sendiri menguasai ras asura di tiga dunia. Karena tidak mampu mengalahkan Wangsa Niwatakawaca dan Kalakeya, ia menjalin persahabatan dengan mereka. Setelah menaklukkan para raja dunia, ia mengadakan upacara yang layak dan dirinya diangkat sebagai Maharaja.
Oleh karena Kubera telah menghina tindakan Rāvaṇa yang kejam dan tamak, Rāvaṇa mengerahkan pasukannya menyerbu kediaman para dewa, dan menaklukkan banyak dewa. Lalu ia mencari Kubera dan menyiksanya secara khusus. Dengan kekuatannya, ia menaklukkan banyak dewa, makhluk surgawi, dan bangsa naga.
Selain terkenal sebagai penakluk tiga dunia, Rāvaṇa juga terkenal akan petualangannya menaklukkan para wanita. Rāvaṇa memiliki banyak istri, yang paling terkenal adalah Mandodari, putra Mayasura dengan seorang bidadari bernama Hema. Rāmāyana mendeskripsikan bahwa istana Rāvaṇa dipenuhi oleh para wanita cantik yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Dalam Rāmāyana juga dideskripsikan bahwa di Alengka, semua wanita merasa beruntung apabila Rāvaṇa menikahinya. Dua legenda terkenal menceritakan kisah pertemuan Rāvaṇa dengan wanita istimewa.
Wanita istimewa pertama adalah Vedawati, seorang pertapa wanita. Vedawati mengadakan pemujaan ke hadapan Wisnu agar ia diterima menjadi istrinya. Ketika Rāvaṇa melihat kecantikan Vedawati, hatinya terpikat dan ingin menikahinya. Ia meminta Vedawati untuk menghentikan pemujaannya dan ia merayu Vedawati agar bersedia untuk menikahinya. Karena Vedawati menolak, Rāvaṇa mencoba untuk melarikannya. Kemudian Vedawati bersumpah bahwa ia akan lahir kembali sebagai penyebab kematian Rāvaṇa. Setelah berkata demikian, Vedawati membuat api unggun dan menceburkan diri ke dalamnya. Bertahun-tahun kemudian ia bereinkarnasi sebagai Sītā, yang diculik oleh Rāvaṇa sehingga Rāmā turun tangan dan membunuh Rāvaṇa.
Rāvaṇa memiliki banyak kerabat dan saudara yang disebutkan dalam Rāmāyana. Karena sulit menemukan data-data mengenai mereka selain Rāmāyana, tidak banyak yang diketahui tentang mereka. Menurut Rāmāyana, ibu Rāvaṇa adalah puteri seorang Detya bernama Kekasi, menikahi seorang pertapa bernama Visvara. Rāvaṇa memiliki kakek bernama Pulastya, putra Brahma. Dari pihak ibunya, Rāvaṇa memiliki kakek bernama Sumali, dan ia memiliki paman bernama Marica, putra Tataka, saudara Malyawan. Rāvaṇa memiliki tiga istri dan tujuh putra. Tujuh putra Rāvaṇa yaitu: Indrajit alias Megananda, Prahasta, Atikaya, Aksa alias Aksayakumara, Dewantaka, Narantaka, dan Trisirah
Selain itu, Rāvaṇa memiliki enam saudara laki-laki dan dua saudara perempuan. Saudara-saudaranya tersebut terdiri atas tiga saudara kandung dan lima saudara tiri. Saudara-saudara Rāvaṇa yaitu:
- Kubera, kakak tiri Rāvaṇa, lain ibu namun satu ayah. Raja Alengka sebelum Rāvaṇa. Ia merupakan dewa penjaga arah utara, sekaligus dewa kekayaan, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:25).
- Kumbhakarṇa, adik kandung Rāvaṇa. Rakshasa yang tidur selama enam bulan dan bangun selama enam bulan karena anugerah Brahma.
- Vibhīsaṇa, adik kandung Rāvaṇa. Penasihat di Kerajaan Alengka.
- Kara, adik tiri Rāvaṇa. Raja dan pelindung perbatasan Alengka yang bernama Janasthan atau Yanasthana di Chitrakuta.
- Dusana, adik tiri Rāvaṇa. Patih di Yanasthana.
- Ahirāvaṇa, adik tiri Rāvaṇa. Raja di Patala.
- Kumbini, adik tiri Rāvaṇa. Istri rakshasa Madhu, ibu dari Lawanasura.
- Surpanaka, adik kandung Rāvaṇa. Rakshasi yang tinggal di Yanasthana, dilukai oleh Lakṣmana. Ia mengadu kepada Kara dan Rāvaṇa, dan merupakan biang keladi yang menyebabkan permusuhan antara Rāmā dan Rāvaṇa.
Kembali lagi pada cerita Daśaratha yang sudah tua dan ingin mengangkat Rāmā sebagai raja. Dengan segera ia melakukan persiapan untuk upacara penobatan Rāmā, sementara Bharata menginap di rumah pamannya yang jauh dari Ayodhyā. Mendengar Rāmā akan dinobatkan sebagai raja, Mantara menghasut Kaikeyī agar menobatkan Bharata sebagai raja. Kaikeyī yang semula hanya diam, tiba-tiba menjadi ambisius untuk mengangkat anaknya sebagai raja. Kemudian ia meminta agar Daśaratha menobatkan Bharata sebagai raja. Ia juga meminta agar Rāmā dibuang ke tengah hutan selama 14 tahun. Daśaratha pun terkejut dan menjadi sedih, namun ia tidak bisa menolak karena terikat dengan janji Kaikeyī. Dengan berat hati, Daśaratha menobatkan Bharata sebagai raja dan menyuruh Rāmā agar meninggalkan Ayodhyā.
Sītā dan Lakṣmana yang setia turut mendampingi Rāmā. Sebagai putra yang berbakti, Rāmā pun menjalani keputusan itu dengan ikhlas. Sītā yang setia mengikuti perjalanan Rāmā, begitu pula adik Rāmā yang lahir dari ibu lain, yaitu Lakṣmana. Ketiganya meninggalkan istana Ayodhyā untuk memulai hidup di dalam hutan.
Di tengah hutan Dandaka, Rāmā mendirikan sebuah pondok kayu. Di dalam hutan belantara dan pegunungan, Rāmā, Sītā, dan Lakṣmana banyak bergaul dengan para pendeta dan brahmana sehingga menambah ilmu pengetahuan dan kepandaian mereka. Setiap hari Rāmā berburu binatang untuk persediaan makanan, sementara Lakṣamaṇa mencari buah-buahan. Sītā selain menyiapkan makanan, juga mencari kembang untuk keperluan upacara pemujaan. Rāmā amat gemar berburu rusa. Pulang dari perburuan, rusa itu disembelih lalu dagingnya diiris-iris dan dijemur agar kering. Sītā selalu menjaga daging rusa yang sedang dijemur itu. Tapi burung-burung gagak senantiasa mencium baunya. Beramai-ramai mereka menyambar jemuran daging itu hingga habis.
Pada suatu hari Rāmā tidak pergi berburu karena dia ingin tahu binatang apakah yang selalu mencuri dan menghabiskan jemuran dagingnya. Diapun mengintai. Ternyata burung-burung gagaklah yang mencurinya. Sambil berlindung Rāmā membidik burung-burung pencuri itu dengan panah. Satu persatu burung-burung pencuri itu terkena anak panah dan tubuhnya jatuh berserakan. Sejak itu jemuran daging Sītā tak ada lagi yang mencuri, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:26).
Tak berapa lama kemudian, Daśaratha wafat dalam kesedihan. Setelah Daśaratha wafat, Kaikeyī mulai menyesali tindakannya dan memarahi dirinya sendiri atas kematian Sang Raja. Rakyat Ayodhyā pun marah dan menghujat Kaikeyī. Bharata juga marah dan berkata bahwa ia tidak akan menyebut Kaikeyī sebagai ibunya lagi. Pelayan Kaikeyī yang bernama Mantara hendak dibunuh oleh Satrugṇa karena menghasut Kaikeyī dengan lidahnya yang tajam, namun ia diampuni oleh Rāmā.
Āraṇyakāṇḍa adalah kitab ke tiga epos Rāmāyana. Dalam kitab ini diceritakanlah bagaimana sang Rāmā dan Lakṣamaṇa membantu para tapa di sebuah asrama mengusir sekalian raksasa yang datang mengganggu.
Selama masa pembuangan, Lakṣmana membuat pondok untuk Rāmā dan Sītā. Ia juga melindungi mereka di saat malam sambil berbincang-bincang dengan para pemburu di hutan. Saat menjalani masa pengasingan di hutan, Rāmā dan Lakṣmana didatangi seorang rakshasi bernama Surpanaka. Ia mengubah wujudnya menjadi seorang wanita cantik dan menggoda Rāmā dan Lakṣmana. Rāmā menolak untuk menikahinya dengan alasan bahwa ia sudah beristri, maka ia menyuruh agar Surpanaka membujuk Lakṣmana, namun Lakṣmana pun menolak. Surpanaka iri melihat kecantikan Sītā dan hendak membunuhnya. Dengan sigap Rāmā melindungi Sītā dan Lakṣmana mengarahkan pedangnya kepada Surpanaka yang hendak menyergapnya. Hal itu membuat hidung Surpanaka terluka. Surpanaka mengadukan peristiwa tersebut kepada kakaknya yang bernama Kara. Kara marah terhadap Rāmā yang telah melukai adiknya dan hendak membalas dendam.
Dengan angkatan perang yang luar biasa, Kara dan sekutunya menggempur Rāmā, namun mereka semua gugur. Akhirnya Surpanaka melaporkan keluhannya kepada Rāvaṇa di Kerajaan Alengka. Surpanaka mengadu kakaknya sang Rāvaṇa sembari memprovokasinya untuk menculik Dewi Sītā yang katanya sangat cantik. Sang Rāvaṇapun pergi diiringi oleh Marica. Marica menyamar menjadi seekor kijang emas yang menggoda Dewi Sītā. Dewi Sītā tertarik dan meminta Rāmā untuk menangkapnya.
Pada suatu hari, Sītā melihat seekor kijang yang sangat lucu sedang melompat-lompat di halaman pondoknya. Rāmā dan Lakṣmana merasa bahwa kijang
tersebut bukan kijang biasa, namun atas desakan Sītā, Rāmā memburu kijang tersebut sementara Lakṣmana ditugaskan untuk menjaga Sītā. Dewi Sītā ditinggalkannya dan dijaga oleh Lakṣamaṇa. Rāmāpun pergi memburunya, tetapi si Marica sangat gesit. Kijang yang diburu Rāmā terus mengantarkannya ke tengah hutan, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:27).
Karena Rāmā merasa bahwa kijang tersebut bukan kijang biasa, ia memanahnya. Seketika hewan tersebut berubah menjadi Marica, patih Sang Rāvaṇa. Saat Rāmā memanah kijang kencana tersebut, hewan itu berubah menjadi rakshasa Marica, dan mengerang dengan suara keras. Sītā yang merasa cemas, menyuruh Lakṣmana agar menyusul kakaknya ke hutan. Karena teguh dengan tugasnya untuk melindungi Sītā, Lakṣmana menolak secara halus.
Kemudian Sītā berprasangka bahwa Lakṣmana memang ingin membiarkan kakaknya mati di hutan sehingga apabila Sītā menjadi janda, maka Lakṣmana akan menikahinya. Mendengar perkataan Sītā, Lakṣmana menjadi sakit hati dan bersedia menyusul Rāmā, namun sebelumnya ia membuat garis pelindung dengan anak panahnya agar makhluk jahat tidak mampu meraih Sītā. Garis pelindung tersebut bernama Lakṣmana Rekha, dan sangat ampuh melindungi seseorang yang berada di dalamnya, selama ia tidak keluar dari garis tersebut.
Saat Lakṣmana meinggalkan Sītā sendirian, raksasa Rāvaṇa yang menyamar sebagai seorang brahmana muncul dan meminta sedikit air kepada Sītā. Karena Rāvaṇa tidak mampu meraih Sītā yang berada dalam Lakshmana Rekha, maka ia meminta agar Sītā mengulurkan tangannya. Pada saat tangan Rāvaṇa memegang tangan Sītā, ia segera menarik Sītā keluar dari garis pelindung dan menculiknya. Lakṣmana menyusul Rāmā ke hutan, Rāmā terkejut karena Sītā ditinggal sendirian. Ketika mereka berdua pulang, Sītā sudah tidak ada. Rāvaṇa bertemu dengan seekor burung sakti sang Jatayu tetapi Jatayu kalah dan sekarat. Lakṣamaṇa yang sudah menemukan Rāmā menjumpai Jatayu yang menceritakan kisahnya sebelum ia mati.
Menurut kitab Purana, Lakṣmana merupakan penitisan Sesa. Shesha adalah ular yang mengabdi kepada Dewa Wisnu dan menjadi ranjang ketika Wisnu beristirahat di lautan susu. Shesha menitis pada setiap awatara Wisnu dan menjadi pendamping setianya. Dalam Rāmāyana, ia menitis kepada Lakṣmana sedangkan dalam Mahabharata, ia menitis kepada Baladewa. Lakṣmana merupakan putra ketiga Raja Daśaratha yang bertahta di kerajaan Kosala, dengan ibukota Ayodhyā. Kakak sulungnya bernama Rāmā, kakak keduanya bernama Bharata, dan adiknya sekaligus kembarannya bernama Satrugṇa. Di antara saudara-saudaranya, Lakṣmana memiliki hubungan yang sangat dekat terhadap Rāmā. Mereka bagaikan duet yang tak terpisahkan. Ketika Rāmā menikah dengan Sītā, Lakṣmana juga menikahi adik Dewi Sītā yang bernama Urmila.
Meskipun keempat putra Raja Daśaratha saling menyayangi satu sama lain, namun Satrugṇa lebih cenderung dekat terhadap Bharata, sedangkan Lakṣmana cenderung dekat terhadap Rāmā. Saat Ṛsī Visvamitra datang meminta bantuan Rāmā agar mengusir para raksasa di hutan Dandaka, Lakṣmana turut serta dan menambah pengalaman bersama kakaknya. Di hutan mereka membunuh banyak raksasa dan melindungi para Ṛsī. Bisa dikatakan bahwa Lakṣmana selalu berada di sisi Rāmā dan selalu berbakti kepadanya dalam setiap petualangan Rāmā dalam Rāmāyana.
Saat Rāmā dibuang ke hutan karena tuntutan permaisuri Kaikeyī, Lakṣmana mengikutinya bersama Sītā. Ketika Bharata datang menyusul Rāmā ke dalam hutan dengan angkatan perang Ayodhyā, Lakṣmana mencurigai kedatangan Bharata dan bersiap-siap untuk melakukan serangan. Rāmā yang mengetahui maksud kedatangan Bharata menyuruh Lakṣmana agar menahan nafsunya dan menjelaskan bahwa Bharata tidak mungkin menyerang mereka di hutan, malah sebaliknya Bharata ingin agar Rāmā kembali ke Ayodhyā. Setelah mendengar penjelasan Rāmā, Lakṣmana menjadi sadar dan malu, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:28).
Sesampainya di istana Kerajaan Alengka yang terletak di kota Trikuta, Sītā pun ditawan di dalam sebuah taman yang sangat indah, bernama Taman Asoka. Di sekelilingnya ditempatkan para raksasi yang bermuka buruk dan bersifat jahat namun dungu. Selama ditawan di istana Alengka, Sītā selalu berdoa dan berharap Rāmā datang menolongnya. Pada suatu hari muncul seekor Wanara datang menemuinya. Ia mengaku bernama Hanumān, utusan Śrī Rāmā. Sebagai bukti Hanumān menyerahkan cincin milik Sītā yang dulu dibuangnya di hutan ketika ia diculik Rāvaṇa. Cincin tersebut telah ditemukan oleh Rāmā. Hanumān membujuk Sītā supaya bersedia meninggalkan Alengka bersama dirinya. Sītā menolak karena ia ingin Rāmā yang datang sendiri ke Alengka untuk merebutnya dari tangan Rāvaṇa dengan gagah berani. Hanumān dimintanya untuk kembali dan menyampaikan hal itu.
Kiṣkindhakāṇḍa adalah kitab keempat epos Rāmāyana. Dalam kitab ini diceritakan bagaimana sang Rāmā amat berduka cita akan hilangnya Dewi Sītā. Lalu bersama Lakṣamaṇa ia menyusup ke hutan belantara dan sampai di gunung Ṛsīmuka. Maka di sana berkelahilah sang kera Subali melawan Sugrivā memperebutkan dewi Tara. Sang Sugrivā kalah lalu mengutus abdinya sang Hanumān meminta tolong kepada Śrī Rāmā untuk membunuh Bali, Rāmā setuju dan si Bali mati.
Setelah mendapati bahwa Sītā sudah menghilang, perasaan Rāmā terguncang. Lakṣmana mencoba menghibur Rāmā dan memberi harapan. Mereka berdua menyusuri pelosok gunung, hutan, dan sungai-sungai. Akhirnya mereka menemukan darah tercecer dan pecahan-pecahan kereta, seolah-olah pertempuran telah terjadi. Rāmā berpikir bahwa itu adalah pertempuran raksasa yang memperebutkan Sītā, namun tak lama kemudian mereka menemukan seekor burung tua sedang sekarat. Burung tersebut bernama Jatayu, sahabat Raja Daśaratha. Rāmā mengenal burung tersebut dengan baik dan dari penjelasan Jatayu, Rāmā tahu bahwa Sītā diculik Rāvaṇa. Setelah memberitahu Rāmā, Jatayu menghembuskan napas terakhirnya. Sesuai aturan agama, Rāmā mengadakan upacara pembakaran jenazah yang layak bagi Jatayu.
Dalam perjalanan menyelamatkan Sītā, Rāmā dan Lakṣmana bertemu raksasa aneh yang bertangan panjang. Atas instruksi Rāmā, mereka berdua memotong lengan raksasa tersebut dan tubuhnya dibakar sesuai upacara. Setelah dibakar, raksasa tersebut berubah wujud menjadi seorang dewa bernama Kabanda. Atas petunjuk Sang Dewa, Rāmā dan Lakṣamaṇa pergi ke tepi sungai Pampa dan mencari Sugrivā di bukit Resyamuka karena Sugrivā-lah yang mampu menolong Rāmā. Dalam perjalanan mereka beristirahat di asrama Sabari, seorang wanita tua yang dengan setia menantikan kedatangan mereka berdua. Sabari menyuguhkan buah-buahan kepada Rāmā dan Lakṣmana. Setelah menyaksikan wajah kedua pangeran tersebut dan menjamu mereka, Sabari meninggal dengan tenang dan mencapai surga, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:29).
Dalam masa petualangan mencari Sītā, Rāmā dan Lakṣmana menyeberangi sungai Pampa dan pergi ke gunung Resyamuka, sampai akhirnya tiba di kediaman para wanara dengan rajanya bernama Sugrivā. Sugrivā takut saat melihat Rāmā dan Lakṣmana sedang mencari-cari sesuatu, karena ia berpikir bahwa mereka adalah utusan Subali yang dikirim untuk mencari dan membunuh Sugrivā. Kemudian Sugrivā mengutus keponakannya yang bernama Hanumān untuk menyelidiki kedatangan Rāmā dan Lakṣmana. Sebelum berjumpa dengan Sugrivā, Rāmā bertemu dengan Hanumān yang menyamar menjadi brahmana. Setelah bercakap-cakap agak lama, Hanumān menampakkan wujud aslinya. Setelah mengetahui bahwa Rāmā dan Lakṣmana adalah orang baik, Hanumān mempersilakan mereka untuk menemui Sugrivā. Di hadapan Rāmā, Sugrivā menyambut kedatangan Rāmā di istananya. Tak berapa lama kemudian mereka saling menceritakan masalah masing-masing.
Pada suatu ketika, rakshasa bernama Mayawi datang ke Kiskenda untuk menantang berkelahi dengan Subali. Subali yang tidak pernah menolak jika ditantang berkelahi menyerang Mayawi dan diikuti oleh Sugrivā . Melihat lawannya ada dua orang, raksasa tersebut lari ke sebuah gua besar. Subali mengikuti raksasa tersebut dan menyuruh Sugrivā menunggu di luar. Beberapa lama kemudian, Sugrivā mendengar suara teriakan diiringi dengan darah segar yang mengalir keluar. Karena mengira bahwa Subali telah tewas, Sugrivā menutup gua tersebut dengan batu yang sangat besar agar sang raksasa tidak bisa keluar. Kemudian Sugrivā kembali ke Kiskenda dan didesak untuk menjadi raja karena Subali telah dianggap tewas.
Saat Sugrivā menikmati masa-masa kekuasaannya, Subali datang dan marah besar karena Sugrivā telah mengurungnya di dalam gua. Merasa bahwa ia dikhianati, Subali mengusir Sugrivā jauh-jauh dan merebut istrinya pula. Sugrivā dengan rendah hati minta maaf kepada Subali, namun permohonan maafnya tidak diterima Subali. Akhirnya Subali menjadi raja Kiṣkindha sedangkan Sugrivā beserta pengikutnya yang setia bersembunyi di sebuah daerah yang dekat dengan asrama Ṛsī Matanga, dimana Subali tidak akan berani untuk menginjakkan kakinya di daerah itu.
Akhirnya Rāmā dan Sugrivā mengadakan perjanjian bahwa mereka akan saling tolong menolong. Rāmā berjanji akan merebut kembali Kerajaan Kiskenda dari Subali sedangkan Sugrivā berjanji akan membantu Rāmā mencari Sītā. Akhirnya Rāmā dan Sugrivā menjalin persahabatan dan berjanji akan saling membantu satu sama lain. Setelah menyusun suatu rencana, mereka datang ke Kiskenda.
Di pintu gerbang istana Kiskenda, Sugrivā berteriak menantang Subali. Karena merasa marah, Subali keluar dan bertarung dengan Sugrivā. Setelah petarungan sengit berlangsung beberapa lama, Sugrivā makin terdesak sementara Subali makin garang. Akhirnya Rāmā muncul untuk menolong Sugrivā dengan melepaskan panah saktinya ke arah Subali. Panah sakti tersebut menembus dada Subali yang sekeras intan kemudian membuatnya jatuh tak berkutik. Saat sedang sekarat, Subali memarahi Rāmā yang mencampuri urusannya. Ia juga berkata bahwa Rāmā tidak mengetahui sikap seorang ksatria. Rāmā tersenyum mendengar penghinaan Subali kemudian menjelaskan bahwa andai saja Subali tidak bersalah, tentu panah yang dilepaskan Rāmā tidak akan menembus tubuhnya, melainkan akan menjadi bumerang bagi Rāmā. Setelah mendengar penjelasan Rāmā, Subali sadar akan dosa dan kesalahannya terhadap adiknya. Akhirnya ia merestui Sugrivā menjadi Raja Kiskenda serta menitipkan anaknya yang bernama Anggada untuk dirawat oleh Sugrivā . Tak berapa lama kemudian, Subali menghembuskan napas terakhirnya, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:30).
Setelah Subali wafat, Sugrivā bersenang-senang di istana Kiskenda, sementara Rāmā dan Lakṣmana menunggu kabar dari Sugrivā di sebuah gua. Karena sudah lama menunggu, Rāmā mengutus Lakṣmana untuk memperingati Sugrivā agar memenuhi janjinya menolong Sītā. Tiba di pintu gerbang Kiskenda, Sugrivā yang diwakili Hanumān meminta maaf kepada Rāmā karena melupakan janji mereka untuk mencari Sītā. Akhirnya Sugrivā mengerahkan prajuritnya yang terbaik untuk menjelajahi bumi demi menemukan Sītā. Prajurit pilihan Sugrivā terdiri atas Hanumān, Nila, Jembawan, Anggada, Gandamadana, dan lain-lain.
Baca: Pengertian Yajña Dalam Ajaran Agama Hindu
Hanumān lahir pada masa Tretayuga sebagai putra Anjani, seekor wanara wanita. Dahulu Anjani sebetulnya merupakan bidadari, bernama Punjikastala. Namun karena suatu kutukan, ia terlahir ke dunia sebagai wanara wanita. Kutukan tersebut bisa berakhir apabila ia melahirkan seorang putra yang merupakan penitisan Siwa. Anjani menikah dengan Kesari, seekor wanara perkasa. Bersama dengan Kesari, Anjani melakukan tapa ke hadapan Siwa agar Siwa bersedia menjelma sebagai putra mereka. Karena Siwa terkesan dengan pemujaan yang dilakukan oleh Anjani dan Kesari, ia mengabulkan permohonan mereka dengan turun ke dunia sebagai Hanumān.
Pada saat Hanumān masih kecil, ia mengira matahari adalah buah yang bisa dimakan, kemudian terbang ke arahnya dan hendak memakannya. Dewa Indra melihat hal itu dan menjadi cemas dengan keselamatan matahari. Untuk mengantisipasinya, ia melemparkan petirnya ke arah Hanumān sehingga kera kecil itu jatuh dan menabrak gunung. Melihat hal itu, Dewa Bayu menjadi marah dan berdiam diri. Akibat tindakannya, semua makhluk di bumi menjadi lemas. Para Dewa pun memohon kepada Bayu agar menyingkirkan kemarahannya. Dewa Bayu menghentikan kemarahannya dan Hanumān diberi hadiah melimpah ruah. Dewa Brahma dan Dewa Indra memberi anugerah bahwa Hanumān akan kebal dari segala senjata, serta kematian akan datang hanya dengan kehendaknya sendiri. Maka dari itu, Hanumān menjadi makhluk yang abadi atau Chiranjiwin.
Saat bertemu dengan Rāmā dan Lakṣmana, Hanumān merasakan ketenangan. Ia tidak melihat adanya tanda-tanda permusuhan dari kedua pemuda itu. Rāmā dan Lakṣmana juga terkesan dengan etika Hanumān, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:31). Kemudian mereka bercakap-cakap dengan bebas. Mereka menceritakan riwayat hidupnya masing-masing. Rāmā juga menceritakan keinginannya untuk menemui Sugrivā . Karena tidak curiga lagi kepada Rāmā dan Lakṣmana, Hanumān kembali ke wujud asalnya dan mengantar Rāmā dan Lakṣmana menemui Sugrivā.
Mereka menempuh perjalanan berhari-hari dan menelusuri sebuah gua, kemudian tersesat dan menemukan kota yang berdiri megah di dalamnya. Atas keterangan Swayampraba yang tinggal di sana, kota tersebut dibangun oleh arsitek Mayasura dan sekarang sepi karena Maya pergi ke alam para Dewa. Lalu Hanumān menceritakan maksud perjalanannya dengan panjang lebar kepada Swayampraba. Atas bantuan Swayampraba yang sakti, Hanumān dan wanara lainnya lenyap dari gua dan berada di sebuah pantai dalam sekejap.
Di pantai tersebut, Hanumān dan wanara lainnya bertemu dengan Sempati, burung raksasa yang tidak bersayap. Ia duduk sendirian di pantai tersebut sambil menunggu bangkai hewan untuk dimakan. Karena ia mendengar percakapan para wanara mengenai Sītā dan kematian Jatayu, Sempati menjadi sedih dan meminta agar para wanara menceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi. Anggada menceritakan dengan panjang lebar kemudian meminta bantuan Sempati. Atas keterangan Sempati, para wanara tahu bahwa Sītā ditawan di sebuah istana yang teretak di Kerajaan Alengka. Kerajaan tersebut diperintah oleh raja raksasa bernama Rāvaṇa. Para wanara berterima kasih setelah menerima keterangan Sempati, kemudian mereka memikirkan cara agar sampai di Alengka.
Di pantai tersebut, Hanumān dan wanara lainnya bertemu dengan Sempati, burung raksasa yang tidak bersayap. Ia duduk sendirian di pantai tersebut sambil menunggu bangkai hewan untuk dimakan. Karena ia mendengar percakapan para wanara mengenai Sītā dan kematian Jatayu, Sempati menjadi sedih dan meminta agar para wanara menceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi. Anggada menceritakan dengan panjang lebar kemudian meminta bantuan Sempati. Atas keterangan Sempati, para wanara tahu bahwa Sītā ditawan di sebuah istana yang teretak di Kerajaan Alengka. Kerajaan tersebut diperintah oleh raja raksasa bernama Rāvaṇa. Para wanara berterima kasih setelah menerima keterangan Sempati, kemudian mereka memikirkan cara agar sampai di Alengka.
Karena bujukan para wanara, Hanumān teringat akan kekuatannya dan terbang menyeberangi lautan agar sampai di Alengka. Setelah ia menginjakkan kakinya di sana, ia menyamar menjadi monyet kecil dan mencari-cari Sītā. Ia melihat Alengka sebagai benteng pertahanan yang kuat sekaligus kota yang dijaga dengan ketat. Ia melihat penduduknya menyanyikan mantra-mantra Veda dan lagu pujian kemenangan kepada Rāvaṇa. Namun tak jarang ada orang-orang bermuka kejam dan buruk dengan senjata lengkap. Kemudian ia datang ke istana Rāvaṇa dan mengamati wanita-wanita cantik yang tak terhitung jumlahnya, namun ia tidak melihat Sītā yang sedang merana. Setelah mengamati ke sana-kemari, ia memasuki sebuah taman yang belum pernah diselidikinya. Di sana ia melihat wanita yang tampak sedih dan murung yang diyakininya sebagai Sītā, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:32).
Sundarakāṇḍa adalah kitab kelima Rāmāyana. Dalam kitab ini diceritakan bagaimana sang Hanumān datang ke Alengkapura mencari tahu akan keadaan Dewi Sītā dan membakar kota Alengkapura karena iseng. Inti dari kisah Rāmāyana adalah penculikan Sītā oleh Rāvaṇa raja Kerajaan Alengka yang ingin mengawininya. Penculikan ini berakibat dengan hancurnya Kerajaan Alengka oleh serangan Rāmā yang dibantu bangsa Wanara dari Kerajaan Kiskenda.
Kemudian Hanumān melihat Rāvaṇa merayu Sītā. Setelah Rāvaṇa gagal dengan rayuannya dan pergi meninggalkan Sītā, Hanumān menghampiri Sītā dan menceritakan maksud kedatangannya. Mulanya Sītā curiga, namun kecurigaan Sītā hilang saat Hanumān menyerahkan cincin milik Rāmā. Hanumān juga menjanjikan bantuan akan segera tiba. Hanumān menyarankan agar Sītā terbang bersamanya kehadapan Rāmā, namun Sītā menolak. Ia mengharapkan Rāmā datang sebagai ksatria sejati dan datang ke Alengka untuk menyelamatkan dirinya. Kemudian Hanumān mohon restu dan pamit dari hadapan Sītā. Sebelum pulang ia memporak-porandakan taman Asoka di istana Rāvaṇa. Ia membunuh ribuan tentara termasuk prajurit pilihan Rāvaṇa seperti Jambumali dan Aksha. Akhirnya ia dapat ditangkap Indrajit dengan senjata Brahma Astra. Senjata itu memilit tubuh Hanumān. Namun kesaktian Brahma Astra lenyap saat tentara raksasa menambahkan tali jerami. Indrajit marah bercampur kecewa karena Brahma Astra bisa dilepaskan Hanumān kapan saja, namun Hanumān belum bereaksi karena menunggu saat yang tepat.
Ketika Rāvaṇa hendak memberikan hukuman mati kepada Hanumān, Vibhīsaṇa membela Hanumān agar hukumannya diringankan, mengingat Hanumān adalah seorang utusan. Kemudian Rāvaṇa menjatuhkan hukuman agar ekor Hanumān dibakar. Melihat hal itu, Sītā berdo’a agar api yang membakar ekor Hanumān menjadi sejuk. Karena do’a Sītā kepada Dewa Agni terkabul, api yang membakar ekor Hanumān menjadi sejuk. Lalu ia memberontak dan melepaskan Brahma Astra yang mengikat dirinya. Dengan ekor menyala-nyala seperti obor, ia membakar kota Alengka. Kota Alengka pun menjadi lautan api. Setelah menimbulkan kebakaran besar, ia menceburkan diri ke laut agar api di ekornya padam. Penghuni surga memuji keberanian Hanumān dan berkata bahwa selain kediaman Sītā, kota Alengka dilalap api. Dengan membawa kabar gembira, Hanumān menghadap Rāmā dan menceritakan keadaan Sītā. Setelah itu, Rāmā menyiapkan pasukan wanara untuk menggempur Alengka.
Yuddhakāṇḍa adalah kitab keenam epos Rāmāyana dan sekaligus klimaks epos ini. Dalam kitab ini diceritakan sang Rāmā dan sang raja kera Sugrivā mengerahkan bala tentara kera menyiapkan penyerangan Alengkapura, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:33). Karena Alengka ini terletak pada sebuah pulau, sulitlah bagaimana mereka harus menyerang. Maka mereka bersiasat dan akhirnya memutuskan membuat jembatan bendungan (situbanda) dari daratan ke pulau Alengka. Para bala tentara kera dikerahkan. Pada saat pembangunan jembatan ini mereka banyak diganggu tetapi akhirnya selesai dan Alengkapura dapat diserang. Syahdan terjadilah perang besar. Para raksasa banyak yang mati dan prabu Rāvaṇa gugur di tangan Śrī Rāmā.
Saat Rāmā dan tentaranya bersiap-siap menuju Alengka, Vibhīsaṇa, adik Sang Rāvaṇa, datang menghadap Rāmā dan mengaku akan berada di pihak Rāmā. Setelah ia menjanjikan persahabatan yang kekal, Rāmā menobatkannya sebagai Raja Alengka meskipun Rāvaṇa masih hidup dan belum dikalahkan. Kemudian Rāmā dan pemimpin wanara lainnya berunding untuk memikirkan cara menyeberang ke Alengka mengingat tidak semua prajuritnya bisa terbang. Akhirnya Rāmā menggelar suatu upacara di tepi laut untuk memohon bantuan dari Dewa Baruna. Selama tiga hari Rāmā berdo’a dan tidak mendapat jawaban, akhirnya kesabarannya habis. Kemudian ia mengambil busur dan panahnya untuk mengeringkan lautan. Melihat laut akan binasa, Dewa Baruna datang menghadap Rāmā dan memohon maaf atas kesalahannya. Dewa Baruna menyarankan agar para wanara membuat jembatan besar tanpa perlu mengeringkan atau mengurangi kedalaman lautan. Nila ditunjuk sebagai arsitek jembatan tersebut. Setelah bekerja dengan giat, jembatan tersebut terselesaikan dalam waktu yang singkat dan diberi nama “Situbanda”.
Setelah jembatan rampung, Rāmā dan pasukannya menyeberang ke Alengka. Pada pertempuran pertama, Anggada menghancurkan menara Alengka. Untuk meninjau kekuatan musuh, Rāvaṇa segera mengirim mata-mata untuk menyamar menjadi wanara dan berbaur dengan mereka. Penyamaran mata-mata Rāvaṇa sangat rapi sehingga banyak yang tidak tahu, kecuali Vibhīsaṇa. Kemudian Vibhīsaṇa menangkap mata-mata tersebut dan membawanya ke hadapan Rāmā. Di hadapan Rāmā, mata-mata tersebut memohon pengampunan dan berkata mereka hanya menjalankan perintah. Akhirnya Rāmā mengizinkan mata-mata tersebut untuk melihat-lihat kekuatan tentara Rāmā dan berpesan agar Rāvaṇa segera mengambalikan Sītā. Mata-mata tersebut sangat terharu dengan kemurahan hati Rāmā dan yakin bahwa kemenangan akan berada di pihak Rāmā.
Ketika Indrajit melakukan ritual untuk memperoleh kekuatan, Lakṣmana datang bersama pasukan wanara dan merusak lokasi ritual. Indrajit menjadi marah kemudian perang terjadi. Lakṣmana yang tidak ingin perang terjadi begitu lama segera melepaskan senjata panah Indrāstra. Senjata tersebut memutuskan leher Indrajit dari badannya sehingga ia tewas seketika. Atas jasanya tersebut, Rāmā memuji Lakṣmana serta para dewa dan gandarwa menjatuhkan bunga dari surga.
Dalam pertempuran besar antara Rāmā dan Rāvaṇa, Hanumān membasmi banyak tentara rakshasa. Saat Rāmā, Lakṣmana, dan bala tentaranya yang lain terjerat oleh senjata Nagapasa yang sakti, Hanumān pergi ke Himalaya atas saran Jembawan untuk menemukan tanaman obat. Karena tidak tahu persis bagaimana ciri-ciri pohon yang dimaksud, Hanumān memotong gunung tersebut dan membawa potongannya ke hadapan Rāmā. Setelah Rāmā dan prajuritnya pulih kembali, Hanumān melanjutkan pertarungan dan membasmi banyak pasukan rakshasa, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:34).
Pada hari pertempuran terahir, Dewa Indra mengirim kereta perangnya dan meminjamkannya kepada Rāmā. Kusir kereta tersebut bernama Matali, siap melayani Rāmā. Dengan kereta ilahi tersebut, Rāmā melanjutkan peperangan yang berlangsung dengan sengit. Kedua pihak sama-sama kuat dan mampu bertahan. Akhirnya Rāmā melepaskan senjata Brahma Astra ke dada Rāvaṇa. Senjata sakti tersebut mengantar Rāvaṇa menuju kematiannya. Seketika bunga-bunga bertaburan dari surga karena menyaksikan kemenangan Rāmā. Vibhīsaṇa meratapi jenazah kakaknya dan sedih karena nasihatnya tidak dihiraukan. Sesuai aturan agama, Rāmā mengadakan upacara pembakaran jenazah yang layak bagi Rāvaṇa kemudian memberikan wejangan kepada Vibhīsaṇa untuk membangun kembali Negeri Alengka. Setelah Rāvaṇa dikalahkan.
Berkat bantuan Sugrivā raja bangsa Wanara, serta Vibhīsaṇa adik Rāvaṇa, Rāmā berhasil mengalahkan Kerajaan Alengka. Setelah kematian Rāvaṇa, Rāmā pun menyuruh Hanumān untuk masuk ke dalam istana menjemput Sītā. Hal ini sempat membuat Sītā kecewa karena ia berharap Rāmā yang datang sendiri dan melihat secara langsung tentang keadaannya. Setelah mandi dan bersuci, Sītā menemui Rāmā. Rupanya Rāmā merasa sangsi terhadap kesucian Sītā karena istrinya itu tinggal di dalam istana musuh dalam waktu yang cukup lama. Menyadari hal itu, Sītā pun menyuruh Lakṣmana untuk mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya dan membuat api unggun. Tak lama kemudian Sītā melompat ke dalam api tersebut. Dari dalam api tiba-tiba muncul Dewa Brahma dan Dewa Agni mengangkat tubuh Sītā dalam keadaan hidup. Hal ini membuktikan kesucian Sītā sehingga Rāmā pun dengan lega menerimanya kembali.
Sītā kembali ke pelukan Rāmā dan mereka kembali ke Ayodhyā bersama Lakṣmana, Sugrivā, Hanumān dan tentara wanara lainnya. Di Ayodhyā, mereka disambut oleh Bharata dan Kaikeyī. Di sana para wanara diberi hadiah oleh Rāmā atas jasa-jasanya. Di Ayodhyāpura mereka disambut oleh prabu Barata dan beliau menyerahkan kerajaannya kepada sang Rāmā. Śrī Rāmā lalu memerintah di Ayodhyāpura dengan bijaksana.
Salah satu versi Rāmāyana menceritakan bahwa Rāvaṇa tidak mampu dibunuh meski badannya dihancurkan sekalipun, sebab ia menguasai ajian Rawarontek serta Pañcasona. Untuk mengakhiri riwayat Rāvaṇa, Rāmā menggunakan senjata sakti yang dapat berbicara bernama Kyai Dangu. Senjata tersebut mengikuti kemana pun Rāvaṇa pergi untuk menyayat kulitnya. Setelah Rāvaṇa tersiksa oleh serangan Kyai Dangu, ia memutuskan untuk bersembunyi di antara dua gunung kembar. Saat ia bersembunyi, perlahan-lahan kedua gunung itu menghimpit badan Rāvaṇa sehingga raja raksasa itu tidak berkutik. Menurut cerita, kedua gunung tersebut adalah kepala dari Sondara dan Sondari, yaitu putra kembar Rāvaṇa yang dibunuh untuk mengelabui Sītā.
Kitab Uttarakāṇḍa menceritakan kisah pembuangan Dewi Sītā karena Sang Rāmā mendengar desas-desus dari rakyat yang sangsi dengan kesucian Dewi Sītā. Kemudian Dewi Sītā tinggal di pertapaan Ṛsī Valmiki dan melahirkan Kusa dan Lawa. Kusa dan Lawa datang ke istana Sang Rāmā pada saat upacara Aswamedha. Pada saat itulah mereka menyanyikan Rāmāyana yang digubah oleh Ṛsī Valmiki. Uttarakanda adalah kitab ke-7 Rāmāyana. Diperkirakan kitab ini merupakan tambahan, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:35).
Setelah Subali wafat, Sugrivā bersenang-senang di istana Kiskenda, sementara Rāmā dan Lakṣmana menunggu kabar dari Sugrivā di sebuah gua. Karena sudah lama menunggu, Rāmā mengutus Lakṣmana untuk memperingati Sugrivā agar memenuhi janjinya menolong Sītā. Tiba di pintu gerbang Kiskenda, Sugrivā yang diwakili Hanumān meminta maaf kepada Rāmā karena melupakan janji mereka untuk mencari Sītā. Akhirnya Sugrivā mengerahkan prajuritnya yang terbaik untuk menjelajahi bumi demi menemukan Sītā. Prajurit pilihan Sugrivā terdiri atas Hanumān, Nila, Jembawan, Anggada, Gandamadana, dan lain-lain.
Baca: Pengertian Yajña Dalam Ajaran Agama Hindu
Hanumān lahir pada masa Tretayuga sebagai putra Anjani, seekor wanara wanita. Dahulu Anjani sebetulnya merupakan bidadari, bernama Punjikastala. Namun karena suatu kutukan, ia terlahir ke dunia sebagai wanara wanita. Kutukan tersebut bisa berakhir apabila ia melahirkan seorang putra yang merupakan penitisan Siwa. Anjani menikah dengan Kesari, seekor wanara perkasa. Bersama dengan Kesari, Anjani melakukan tapa ke hadapan Siwa agar Siwa bersedia menjelma sebagai putra mereka. Karena Siwa terkesan dengan pemujaan yang dilakukan oleh Anjani dan Kesari, ia mengabulkan permohonan mereka dengan turun ke dunia sebagai Hanumān.
Pada saat Hanumān masih kecil, ia mengira matahari adalah buah yang bisa dimakan, kemudian terbang ke arahnya dan hendak memakannya. Dewa Indra melihat hal itu dan menjadi cemas dengan keselamatan matahari. Untuk mengantisipasinya, ia melemparkan petirnya ke arah Hanumān sehingga kera kecil itu jatuh dan menabrak gunung. Melihat hal itu, Dewa Bayu menjadi marah dan berdiam diri. Akibat tindakannya, semua makhluk di bumi menjadi lemas. Para Dewa pun memohon kepada Bayu agar menyingkirkan kemarahannya. Dewa Bayu menghentikan kemarahannya dan Hanumān diberi hadiah melimpah ruah. Dewa Brahma dan Dewa Indra memberi anugerah bahwa Hanumān akan kebal dari segala senjata, serta kematian akan datang hanya dengan kehendaknya sendiri. Maka dari itu, Hanumān menjadi makhluk yang abadi atau Chiranjiwin.
Saat bertemu dengan Rāmā dan Lakṣmana, Hanumān merasakan ketenangan. Ia tidak melihat adanya tanda-tanda permusuhan dari kedua pemuda itu. Rāmā dan Lakṣmana juga terkesan dengan etika Hanumān, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:31). Kemudian mereka bercakap-cakap dengan bebas. Mereka menceritakan riwayat hidupnya masing-masing. Rāmā juga menceritakan keinginannya untuk menemui Sugrivā . Karena tidak curiga lagi kepada Rāmā dan Lakṣmana, Hanumān kembali ke wujud asalnya dan mengantar Rāmā dan Lakṣmana menemui Sugrivā.
Mereka menempuh perjalanan berhari-hari dan menelusuri sebuah gua, kemudian tersesat dan menemukan kota yang berdiri megah di dalamnya. Atas keterangan Swayampraba yang tinggal di sana, kota tersebut dibangun oleh arsitek Mayasura dan sekarang sepi karena Maya pergi ke alam para Dewa. Lalu Hanumān menceritakan maksud perjalanannya dengan panjang lebar kepada Swayampraba. Atas bantuan Swayampraba yang sakti, Hanumān dan wanara lainnya lenyap dari gua dan berada di sebuah pantai dalam sekejap.
Di pantai tersebut, Hanumān dan wanara lainnya bertemu dengan Sempati, burung raksasa yang tidak bersayap. Ia duduk sendirian di pantai tersebut sambil menunggu bangkai hewan untuk dimakan. Karena ia mendengar percakapan para wanara mengenai Sītā dan kematian Jatayu, Sempati menjadi sedih dan meminta agar para wanara menceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi. Anggada menceritakan dengan panjang lebar kemudian meminta bantuan Sempati. Atas keterangan Sempati, para wanara tahu bahwa Sītā ditawan di sebuah istana yang teretak di Kerajaan Alengka. Kerajaan tersebut diperintah oleh raja raksasa bernama Rāvaṇa. Para wanara berterima kasih setelah menerima keterangan Sempati, kemudian mereka memikirkan cara agar sampai di Alengka.
Di pantai tersebut, Hanumān dan wanara lainnya bertemu dengan Sempati, burung raksasa yang tidak bersayap. Ia duduk sendirian di pantai tersebut sambil menunggu bangkai hewan untuk dimakan. Karena ia mendengar percakapan para wanara mengenai Sītā dan kematian Jatayu, Sempati menjadi sedih dan meminta agar para wanara menceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi. Anggada menceritakan dengan panjang lebar kemudian meminta bantuan Sempati. Atas keterangan Sempati, para wanara tahu bahwa Sītā ditawan di sebuah istana yang teretak di Kerajaan Alengka. Kerajaan tersebut diperintah oleh raja raksasa bernama Rāvaṇa. Para wanara berterima kasih setelah menerima keterangan Sempati, kemudian mereka memikirkan cara agar sampai di Alengka.
Karena bujukan para wanara, Hanumān teringat akan kekuatannya dan terbang menyeberangi lautan agar sampai di Alengka. Setelah ia menginjakkan kakinya di sana, ia menyamar menjadi monyet kecil dan mencari-cari Sītā. Ia melihat Alengka sebagai benteng pertahanan yang kuat sekaligus kota yang dijaga dengan ketat. Ia melihat penduduknya menyanyikan mantra-mantra Veda dan lagu pujian kemenangan kepada Rāvaṇa. Namun tak jarang ada orang-orang bermuka kejam dan buruk dengan senjata lengkap. Kemudian ia datang ke istana Rāvaṇa dan mengamati wanita-wanita cantik yang tak terhitung jumlahnya, namun ia tidak melihat Sītā yang sedang merana. Setelah mengamati ke sana-kemari, ia memasuki sebuah taman yang belum pernah diselidikinya. Di sana ia melihat wanita yang tampak sedih dan murung yang diyakininya sebagai Sītā, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:32).
Sundarakāṇḍa adalah kitab kelima Rāmāyana. Dalam kitab ini diceritakan bagaimana sang Hanumān datang ke Alengkapura mencari tahu akan keadaan Dewi Sītā dan membakar kota Alengkapura karena iseng. Inti dari kisah Rāmāyana adalah penculikan Sītā oleh Rāvaṇa raja Kerajaan Alengka yang ingin mengawininya. Penculikan ini berakibat dengan hancurnya Kerajaan Alengka oleh serangan Rāmā yang dibantu bangsa Wanara dari Kerajaan Kiskenda.
Kemudian Hanumān melihat Rāvaṇa merayu Sītā. Setelah Rāvaṇa gagal dengan rayuannya dan pergi meninggalkan Sītā, Hanumān menghampiri Sītā dan menceritakan maksud kedatangannya. Mulanya Sītā curiga, namun kecurigaan Sītā hilang saat Hanumān menyerahkan cincin milik Rāmā. Hanumān juga menjanjikan bantuan akan segera tiba. Hanumān menyarankan agar Sītā terbang bersamanya kehadapan Rāmā, namun Sītā menolak. Ia mengharapkan Rāmā datang sebagai ksatria sejati dan datang ke Alengka untuk menyelamatkan dirinya. Kemudian Hanumān mohon restu dan pamit dari hadapan Sītā. Sebelum pulang ia memporak-porandakan taman Asoka di istana Rāvaṇa. Ia membunuh ribuan tentara termasuk prajurit pilihan Rāvaṇa seperti Jambumali dan Aksha. Akhirnya ia dapat ditangkap Indrajit dengan senjata Brahma Astra. Senjata itu memilit tubuh Hanumān. Namun kesaktian Brahma Astra lenyap saat tentara raksasa menambahkan tali jerami. Indrajit marah bercampur kecewa karena Brahma Astra bisa dilepaskan Hanumān kapan saja, namun Hanumān belum bereaksi karena menunggu saat yang tepat.
Ketika Rāvaṇa hendak memberikan hukuman mati kepada Hanumān, Vibhīsaṇa membela Hanumān agar hukumannya diringankan, mengingat Hanumān adalah seorang utusan. Kemudian Rāvaṇa menjatuhkan hukuman agar ekor Hanumān dibakar. Melihat hal itu, Sītā berdo’a agar api yang membakar ekor Hanumān menjadi sejuk. Karena do’a Sītā kepada Dewa Agni terkabul, api yang membakar ekor Hanumān menjadi sejuk. Lalu ia memberontak dan melepaskan Brahma Astra yang mengikat dirinya. Dengan ekor menyala-nyala seperti obor, ia membakar kota Alengka. Kota Alengka pun menjadi lautan api. Setelah menimbulkan kebakaran besar, ia menceburkan diri ke laut agar api di ekornya padam. Penghuni surga memuji keberanian Hanumān dan berkata bahwa selain kediaman Sītā, kota Alengka dilalap api. Dengan membawa kabar gembira, Hanumān menghadap Rāmā dan menceritakan keadaan Sītā. Setelah itu, Rāmā menyiapkan pasukan wanara untuk menggempur Alengka.
Yuddhakāṇḍa adalah kitab keenam epos Rāmāyana dan sekaligus klimaks epos ini. Dalam kitab ini diceritakan sang Rāmā dan sang raja kera Sugrivā mengerahkan bala tentara kera menyiapkan penyerangan Alengkapura, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:33). Karena Alengka ini terletak pada sebuah pulau, sulitlah bagaimana mereka harus menyerang. Maka mereka bersiasat dan akhirnya memutuskan membuat jembatan bendungan (situbanda) dari daratan ke pulau Alengka. Para bala tentara kera dikerahkan. Pada saat pembangunan jembatan ini mereka banyak diganggu tetapi akhirnya selesai dan Alengkapura dapat diserang. Syahdan terjadilah perang besar. Para raksasa banyak yang mati dan prabu Rāvaṇa gugur di tangan Śrī Rāmā.
Saat Rāmā dan tentaranya bersiap-siap menuju Alengka, Vibhīsaṇa, adik Sang Rāvaṇa, datang menghadap Rāmā dan mengaku akan berada di pihak Rāmā. Setelah ia menjanjikan persahabatan yang kekal, Rāmā menobatkannya sebagai Raja Alengka meskipun Rāvaṇa masih hidup dan belum dikalahkan. Kemudian Rāmā dan pemimpin wanara lainnya berunding untuk memikirkan cara menyeberang ke Alengka mengingat tidak semua prajuritnya bisa terbang. Akhirnya Rāmā menggelar suatu upacara di tepi laut untuk memohon bantuan dari Dewa Baruna. Selama tiga hari Rāmā berdo’a dan tidak mendapat jawaban, akhirnya kesabarannya habis. Kemudian ia mengambil busur dan panahnya untuk mengeringkan lautan. Melihat laut akan binasa, Dewa Baruna datang menghadap Rāmā dan memohon maaf atas kesalahannya. Dewa Baruna menyarankan agar para wanara membuat jembatan besar tanpa perlu mengeringkan atau mengurangi kedalaman lautan. Nila ditunjuk sebagai arsitek jembatan tersebut. Setelah bekerja dengan giat, jembatan tersebut terselesaikan dalam waktu yang singkat dan diberi nama “Situbanda”.
Setelah jembatan rampung, Rāmā dan pasukannya menyeberang ke Alengka. Pada pertempuran pertama, Anggada menghancurkan menara Alengka. Untuk meninjau kekuatan musuh, Rāvaṇa segera mengirim mata-mata untuk menyamar menjadi wanara dan berbaur dengan mereka. Penyamaran mata-mata Rāvaṇa sangat rapi sehingga banyak yang tidak tahu, kecuali Vibhīsaṇa. Kemudian Vibhīsaṇa menangkap mata-mata tersebut dan membawanya ke hadapan Rāmā. Di hadapan Rāmā, mata-mata tersebut memohon pengampunan dan berkata mereka hanya menjalankan perintah. Akhirnya Rāmā mengizinkan mata-mata tersebut untuk melihat-lihat kekuatan tentara Rāmā dan berpesan agar Rāvaṇa segera mengambalikan Sītā. Mata-mata tersebut sangat terharu dengan kemurahan hati Rāmā dan yakin bahwa kemenangan akan berada di pihak Rāmā.
Ketika Indrajit melakukan ritual untuk memperoleh kekuatan, Lakṣmana datang bersama pasukan wanara dan merusak lokasi ritual. Indrajit menjadi marah kemudian perang terjadi. Lakṣmana yang tidak ingin perang terjadi begitu lama segera melepaskan senjata panah Indrāstra. Senjata tersebut memutuskan leher Indrajit dari badannya sehingga ia tewas seketika. Atas jasanya tersebut, Rāmā memuji Lakṣmana serta para dewa dan gandarwa menjatuhkan bunga dari surga.
Dalam pertempuran besar antara Rāmā dan Rāvaṇa, Hanumān membasmi banyak tentara rakshasa. Saat Rāmā, Lakṣmana, dan bala tentaranya yang lain terjerat oleh senjata Nagapasa yang sakti, Hanumān pergi ke Himalaya atas saran Jembawan untuk menemukan tanaman obat. Karena tidak tahu persis bagaimana ciri-ciri pohon yang dimaksud, Hanumān memotong gunung tersebut dan membawa potongannya ke hadapan Rāmā. Setelah Rāmā dan prajuritnya pulih kembali, Hanumān melanjutkan pertarungan dan membasmi banyak pasukan rakshasa, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:34).
Pada hari pertempuran terahir, Dewa Indra mengirim kereta perangnya dan meminjamkannya kepada Rāmā. Kusir kereta tersebut bernama Matali, siap melayani Rāmā. Dengan kereta ilahi tersebut, Rāmā melanjutkan peperangan yang berlangsung dengan sengit. Kedua pihak sama-sama kuat dan mampu bertahan. Akhirnya Rāmā melepaskan senjata Brahma Astra ke dada Rāvaṇa. Senjata sakti tersebut mengantar Rāvaṇa menuju kematiannya. Seketika bunga-bunga bertaburan dari surga karena menyaksikan kemenangan Rāmā. Vibhīsaṇa meratapi jenazah kakaknya dan sedih karena nasihatnya tidak dihiraukan. Sesuai aturan agama, Rāmā mengadakan upacara pembakaran jenazah yang layak bagi Rāvaṇa kemudian memberikan wejangan kepada Vibhīsaṇa untuk membangun kembali Negeri Alengka. Setelah Rāvaṇa dikalahkan.
Berkat bantuan Sugrivā raja bangsa Wanara, serta Vibhīsaṇa adik Rāvaṇa, Rāmā berhasil mengalahkan Kerajaan Alengka. Setelah kematian Rāvaṇa, Rāmā pun menyuruh Hanumān untuk masuk ke dalam istana menjemput Sītā. Hal ini sempat membuat Sītā kecewa karena ia berharap Rāmā yang datang sendiri dan melihat secara langsung tentang keadaannya. Setelah mandi dan bersuci, Sītā menemui Rāmā. Rupanya Rāmā merasa sangsi terhadap kesucian Sītā karena istrinya itu tinggal di dalam istana musuh dalam waktu yang cukup lama. Menyadari hal itu, Sītā pun menyuruh Lakṣmana untuk mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya dan membuat api unggun. Tak lama kemudian Sītā melompat ke dalam api tersebut. Dari dalam api tiba-tiba muncul Dewa Brahma dan Dewa Agni mengangkat tubuh Sītā dalam keadaan hidup. Hal ini membuktikan kesucian Sītā sehingga Rāmā pun dengan lega menerimanya kembali.
Sītā kembali ke pelukan Rāmā dan mereka kembali ke Ayodhyā bersama Lakṣmana, Sugrivā, Hanumān dan tentara wanara lainnya. Di Ayodhyā, mereka disambut oleh Bharata dan Kaikeyī. Di sana para wanara diberi hadiah oleh Rāmā atas jasa-jasanya. Di Ayodhyāpura mereka disambut oleh prabu Barata dan beliau menyerahkan kerajaannya kepada sang Rāmā. Śrī Rāmā lalu memerintah di Ayodhyāpura dengan bijaksana.
Salah satu versi Rāmāyana menceritakan bahwa Rāvaṇa tidak mampu dibunuh meski badannya dihancurkan sekalipun, sebab ia menguasai ajian Rawarontek serta Pañcasona. Untuk mengakhiri riwayat Rāvaṇa, Rāmā menggunakan senjata sakti yang dapat berbicara bernama Kyai Dangu. Senjata tersebut mengikuti kemana pun Rāvaṇa pergi untuk menyayat kulitnya. Setelah Rāvaṇa tersiksa oleh serangan Kyai Dangu, ia memutuskan untuk bersembunyi di antara dua gunung kembar. Saat ia bersembunyi, perlahan-lahan kedua gunung itu menghimpit badan Rāvaṇa sehingga raja raksasa itu tidak berkutik. Menurut cerita, kedua gunung tersebut adalah kepala dari Sondara dan Sondari, yaitu putra kembar Rāvaṇa yang dibunuh untuk mengelabui Sītā.
Kitab Uttarakāṇḍa menceritakan kisah pembuangan Dewi Sītā karena Sang Rāmā mendengar desas-desus dari rakyat yang sangsi dengan kesucian Dewi Sītā. Kemudian Dewi Sītā tinggal di pertapaan Ṛsī Valmiki dan melahirkan Kusa dan Lawa. Kusa dan Lawa datang ke istana Sang Rāmā pada saat upacara Aswamedha. Pada saat itulah mereka menyanyikan Rāmāyana yang digubah oleh Ṛsī Valmiki. Uttarakanda adalah kitab ke-7 Rāmāyana. Diperkirakan kitab ini merupakan tambahan, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:35).
Kitab Uttarakanda dalam bentuk prosa ditemukan pula dalam bahasa Jawa Kuna. Isinya tidak diketemukan dalam Kakawin Rāmāyana. Di permulaan versi Jawa Kuna ini ada referensi merujuk ke prabu Dharmawangsa Teguh.
Setelah Rāvaṇa berhasil dikalahkan, Rāmā, Lakṣmana dan Sītā beserta para wanara pergi ke Ayodhyā. Di sana mereka disambut oleh Bharata dan Kaikeyī. Lakṣmana hendak dianugerahi Yuwaraja oleh Rāmā, namun ia menolak karena merasa Bharata lebih pantas menerimanya dibandingkan dirinya, sebab Bharata memerintah Ayodhyā dengan baik dan bijaksana selama Rāmā dan Lakṣmana tinggal di hutan.
Setelah pertempuran besar melawan Rāvaṇa berakhir, Rāmā juga hendak memberikan hadiah untuk Hanumān. Namun Hanumān menolak karena ia hanya ingin agar Śrī Rāmā bersemayam di dalam hatinya. Rāmā mengerti maksud Hanumān dan bersemayam secara rohaniah dalam jasmaninya. Akhirnya Hanumān pergi bermeditasi di puncak gunung mendo’akan keselamatan dunia.
Setelah pulang ke Ayodhyā, Rāmā, Sītā, dan Lakṣmana disambut oleh Bharata dengan upacara kebesaran. Bharata kemudian menyerahkan takhta kerajaan kepada Rāmā sebagai raja. Dalam pemerintahan Rāmā terdengar desas-desus di kalangan rakyat jelata yang meragukan kesucian Sītā di dalam istana Rāvaṇa. Rāmā merasa tertekan mendengar suara sumbang tersebut. Ia akhirnya memutuskan untuk membuang Sītā yang sedang mengandung ke dalam hutan. Dalam pembuangannya itu, Sītā ditolong seorang Ṛsī bernama Valmiki dan diberi tempat tinggal.
Beberapa waktu kemudian, Sītā melahirkan sepasang anak kembar diberi nama Lawa dan Kusa. Keduanya dibesarkan dalam asrama Ṛsī Valmiki dan diajari nyanyian yang mengagungkan nama Rāmācandra, ayah mereka. Suatu ketika Rāmā mengadakan upacara Aswamedha. Ia melihat dua pemuda kembar muncul dan menyanyikan sebuah lagu indah yang menceritakan tentang kisah perjalanan dirinya dahulu. Rāmā pun menyadari kalau kedua pemuda yang tersebut yang tidak lain adalah Lawa dan Kusa merupakan anak-anaknya sendiri.
Atas permintaan Rāmā melalui Lawa dan Kusa, Sītā pun dibawa kembali ke Ayodhyā. Namun masih saja terdengar desas-desus kalau kedua anak kembar tersebut bukan anak kandung Rāmā. Mendengar hal itu, Sītā pun bersumpah jika ia pernah berselingkuh maka bumi tidak akan sudi menerimanya. Tiba-tiba bumi pun terbelah. Dewi Pertiwi muncul dan membawa Sītā masuk ke dalam tanah. Menyaksikan hal itu Rāmā sangat sedih. Ia pun menyerahkan takhta Ayodhyā dan setelah itu bertapa di Sungai Gangga sampai akhir hayatnya, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:36).
Referensi:
Sudirga, Ida Bagus dan Yoga Segara, I Nyoman. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Untuk SMA/SMK Kelas X (cetakan ke-1). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan,
Balitbang, Kemdikbud.
0 Response to "Pengertian dan Ringkasan Cerita Rāmāyana"
Post a Comment