Nilai-Nilai Yajña dalam Cerita Rāmāyana

MUTIARAHINDU.COM -- Agama dan kepercayaan merupakan dua hal yang melekat erat dalam diri manusia. Sifatnya sangat pribadi, terselubung dan kadang-kadang diliputi oleh hal-hal yang bernuansa mitologis. Kualitas etos seseorang amat ditentukan oleh nilai-nilai kepercayaan yang melekat pada dirinya,. Orang bahkan rela mempertaruhkan hidupnya demi kepercayaan yang mereka yakini sebagai kebenaran.

Dalam kaitannya dengan kepercayaan, manusia tidak dapat hidup tanpa mitologi atau sistem penjelasan tentang alam dan kehidupan yang penjelasan dan kebenarannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Sehingga, pada urutannya, utuhnya mitologi akan menghasilkan utuhnya sistem kepercayaan, utuhnya sistem kepercayaan akan menghasilkan utuhnya sistem nilai, dan kemudian, utuhnya sistem nilai itu sendiri akan memberi manusia kejelasan tentang apa yang baik dan buruk (etika), dan mendasari seluruh kegiatannya dalam menciptakan peradaban.

Baca: Pengertian dan Ringkasan Cerita Rāmāyana

Nilai-Nilai Yajña dalam Cerita Rāmāyana
Pura parahyangan agung jagatkarta

Keanekaragaman ini menjadi lebih nyata akibat usaha manusia itu sendiri untuk membuat agamanya menjadi lebih berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, dengan mengaitkannya dengan gejala-gejala yang nyata dan ada di sekitarnya. Maka tumbuhlah legenda-legenda dan mitos-mitos yang kesemuanya itu merupakan pranata penunjang kepercayaan alami manusia kepada Tuhan dan fungsionalisasi kepercayaan itu dalam masyarakat.

Sama halnya dengan wiracarita Rāmāyana yang sangat populer tidak hanya dikalangan masyarakat Hindu, yang juga sangat dikenal oleh masyarakat non Hindu di dunia. Keagungan ceritanya banyak memberikan nilai-nilai falsafah kehidupan bagi manusia dari zaman ke zaman. Termasuk pula bagi kehidupan keagamaan umat Hindu yang ada di Indonesia. Keberadaan wiracarita Rāmāyana merupakan sumber etika yang sangat penting dalam terciptanya peradaban Hindu di Nusantara. Dan sebagai generasi muda penerus bangsa, kita hendaknya selalu menjaga nilai-nilai luhur yang terkandung dalam epos Rāmāyana ini, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:37).

Baca: Bentuk-bentuk Pelaksanaan Yajña dalam Kehidupan Sehari-hari

Dalam Rāmāyana dikisahkan Raja Daśaratha melaksanakan Homa Yajña untuk memohon keturunan. Beliau meminta Rṣī Rěṣyasrěngga sebagai purohita untuk melakukan pemujaan kepada Dewa Siwa dalam upacara Agnihotra. Setelah upacara tersebut beliau mendapatkan empat orang kesatria dari tiga permaisurinya, yaitu Śrī Rāmā, Bharata, Lakṣmaṇa, dan Satrugṇa. Kisah persiapan Homa Yajña yang dilakukan oleh Prabu Daśaratha, dipaparkan juga dalam Kekawin Rāmāyana karya Empu Yogiswara.
Di antaranya, dalam Prathamas Sarggah bait 22-34 menjelaskan sebagai berikut:

"Hana sira Rěṣyasrěngga,
praśāsta karěngö widagdha ring śāstra,
tarmoli ring Yajña kabéh,
anung makaphaiāng anak dibya".

Terjemahan:

"Ada seseorang yang bernama Resyasrengga, terpuji terdengar pandai dalam ilmu, tiada banding dalam hal upacara korban, yang akan menghasilkan anak utama".

"Sira ta pinét naranātha,
Marā ry Ayodhyā purohita ngkāna,
Tātar wihang sire penét,
Pininta kasihan sirā Yajña".

Terjemahan:

"Beliaulah yang dimohon oleh baginda, agar datang ke Ayodhyā, menjadi pendeta istana di sana. Sama sekali beliau tidak menolak dimohon datang. Dimohon pertolongan beliau untuk melaksanakan upacara korban".

"Saji ning Yajña ta umandang,
Śrī-Wrĕkṣa samiddha puṣpa gandha phala,
dadhi ghrĕta krĕṣṇatila madhu,
mwang kumbha kusāgra wrĕtti wĕtih".

Terjemahan:

"Sajen upacara korban telah siap; kayu cendana, kayu bakar, bunga, harum-haruman dan buah-buahan; susu kental, mentega, wijen hitam, madu; periuk, ujung alang-alang, bedak dan bertih,"(Sudirga dan Yoga Segara, 2014:38).

"Luměkas ta sira mahoma,
prétādi piśāca rākṣasa minantran
bhūta kabéh inilagakěn,
asing mamighnā rikang Yajña".

Terjemahan:

Mulailah beliau melaksanakan upacara korban api. Roh jahat dan sebagainya, pisaca raksasa dimanterai. Bhuta Kala semua diusir, segala yang akan mengganggu upacara korban itu.

"Sakalī kāraṇa ginawé,
Āwāhana lén pratiṣṭa sānnidhya,
Paraméśwara inangěn-angěn,
Amunggu ring kuṇda bahnimaya".

Terjemahan:

"Segala perlengkapan upacara telah siap. Doa dan perlengkapan tempat hadirnya Bhatara. Bhatara Siwa yang dicipta, hadir pada tungku api".

"Sāmpun Bhaṭāra iněnab.
Tinitisakěn tang mināk sasomyamaya,
Lāwan krĕṣṇatila madhu.
Śrī-Wrĕkṣa samiddha rowang nya".

Terjemahan:

"Sesudah Bhatara diistanakan, diperciki ‘minyak soma’, wijen hitam dan madu, kayu cendana beserta kayu bakar".

"Sang hyang kuṇda pinūjā,
Caru makulilingan samatsyamāngsadadhi,
Kalawan sékul niwédya,
Inaměs salwir nikang marasa".

Terjemahan:

"Api di pedupan dipuja, dikelilingi oleh caru beserta ikan, daging dan susu kental bersama nasi saji-sajian, dicampur dengan segala yang mempunyai rasa", (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:39).

"Ri sěděng Sang Hyang dumilah,
Niniwédyākěn ikanang niwédya kabéh,
oṣadi lén phalamūla,
mwang kěmbang gandha dhūpādi".

Terjemahan:

"pada waktu api pujaan itu menyala-nyala, disajikan saji-sajian itu semua; tumbuh-tumbuhan bahan obat, buah-buahan dan akar-akaran; kembang harum-haruman dupa, dan sebagainya".

Baca: Pembagian Yajña Dalam Ajaran Agama Hindu

"Sāmpun pwa sira pinūjā,
bhinojanan sang mahārṣi paripūrṇna,
kalawan sang wiku sākṣī,
winūrṣita dinakṣiṇān ta sira".

Terjemahan:

"Sesudah beliau dipuja, disuguhkan suguhan sang mahaṛsī, bersama sang wiku yang menjadi saksi, dihormati dipersembahkan hadiah untuk beliau".

"Ri wětu nikang putra kabéh,
Pinulung dang hyang lawan dang ācāryya,
paripūrṇna sira pinujā,
bhinojanan dé mahārāja".

Terjemahan:

"Sesudah lahirnya putra-putra itu semua, dikumpulkan para pendeta dan pendeta guru. Dengan sempurna beliau semua dihormati, dihidangkan suguhan oleh baginda raja".

Dari beberapa kutipan sloka tersebut dapat dipetik nilai Pañca Yajña yang terkandung dalam cerita Rāmāyana.

1. Dewa Yajña

Dewa Yajña adalah Yajña yang dipersembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa beserta seluruh manifestasinya. Dalam cerita Rāmāyana banyak terurai hakikat Dewa Yajña dalam perjalanan kisahnya. Seperti pelaksanaan Homa Yajña yang dilaksanakan oleh Prabu Daśaratha. Homa Yajña atau Agni Hotra sesuai dengan asal katanya Agni berarti api dan Hotra berarti penyucian. Upacara ini dimaknai sebagai upaya penyucian melalui perantara Dewa Agni. Jika Istadevatanya bukan Dewa Agni, sesuai dengan tujuan yajamana, maka upacara ini dinamai Homa Yajña. Istilah lainnya adalah Havana dan Huta. Mengingat para Deva diyakini sebagai penghuni svahloka, maka sudah selayaknya Yajña yang dilakukan umat manusia melibatkan sirkulasi langit dan bumi, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:40).

Untuk itu, kehadiran api sangat diperlukan karena hanya api yang mampu membakar bahan persembahan dan menghantarnya menuju langit. Selain itu, persembahan ke dalam api suci mendapat penguat religius mengingat api sebagai lidah Tuhan dalam proses persembahan. Pada bagian yang lain dari cerita Rāmāyana juga disebutkan bagaimana Śrī Rāmā dan Lakṣmaṇa ditugaskan oleh Raja Daśaratha untuk mengamankan pelaksanaan Homa yang dilakukan oleh para pertapa dibawah pimpinan MahaṚsī Visvamitra. Dari kisah tersebut, tampak jelas keampuhan upacara Homa Yajña.

Dari beberapa uraian singkat cerita Rāmāyana tersebut tampak jelas bahwa sujud bakti ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu keharusan bagi makhluk hidup terlebih lagi umat manusia. Keagungan Yajña dalam bentuk persembahan bukan diukur dari besar dan megahnya bentuk upacara, tetapi yang paling penting adalah kesucian dan ketulusikhlasan dari orang-orang yang terlibat melakukan Yajña.

2. Pitra Yajña

Upacara ini bertujuan untuk menghormati dan memuja leluhur. Kata pitra bersīnonim dengan pita yang artinya ayah atau dalam pengertian yang lebih luas yaitu orang tua. Sebagai umat manusia yang beradab, hendaknya selalu berbakti kepada orang tua, karena menurut agama Hindu hal ini adalah salah satu bentuk Yajña yang utama. Betapa durhakanya seseorang apabila berani dan tidak bisa menunjukkan rasa bhaktinya kepada orang tua sebagai pitra, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:41).

Seperti apa yang diuraikan dalam kisah kepahlawanan Rāmāyana, dimana Śrī Rāmā sebagai tokoh utama dengan segenap kebijaksanaan, kepintaran dan kegagahannya tetap menunjukkan rasa bakti yang tinggi terhadap orang tuanya. Seperti yang tertuang pada Kekawin Rāmāyana Trĕyas Sarggah bait 9 sebagai berikut:

"Sawét nikana satya sang prabhu kinon ng anak minggata, Kadi pwa ya hilang ng asih nira hiḍĕp nikang mwang kabéh, Gĕlāna mangarang n galah salahasātimohā ngĕsah, Mahöm ta sahana nya kapwa umasö ri Sang Rāghawa".

Terjemahan:

"Karena setianya sang prabhu (akan janji) disuruh putranya supaya pergi. Seperti lenyaplah kasih sayangnya, demikian pikir orang banyak. Gundah gulana, sedih. Kecewa amat bingung dan berkeluh kesah. Maka berundinglah semuanya menghadap kepada Sang Rāmā".

Dari kutipan lontar tersebut tampak jelas nilai Pitra Yajña yang termuat dalam epos Rāmāyana. Demi memenuhi janji orang tuanya (Raja Daśaratha), Śrī Rāmā, Lakṣmaṇa dan Dewi Sītā mau menerima perintah dari sang Raja Daśaratha untuk pergi hidup di hutan meninggalkan kekuasaanya sebagai raja di Ayodhyā. Walaupun itu bukan merupakan keinginan Raja Daśaratha dan hanya sebagai bentuk janji seorang raja terhadap istrinya Dewi Kaikeyī. Śrī Rāmā secara tulus dan ikhlas menjalankan perintah orang tuanya tersebut. Bersama istri dan adiknya Lakṣmaṇa hidup mengembara di hutan selama bertahun-tahun.

Dari kisah ini tentu dapat dipetik suatu hakikat nilai yang sangat istimewa bagaimana bakti seorang anak terhadap orang tuanya. Betapapun kuat, pintar dan gagahnya seorang anak hendaknya selalu mampu menunjukkan sujud baktinya kepada orang tua atas jasanya telah memelihara dan menghidupi anak tersebut.

3. Manusa Yajña

Dalam rumusan kitab suci Veda dan sastra Hindu lainnya, Manusa Yajña atau Nara Yajña itu adalah memberi makan pada masyarakat (maweh apangan ring Kraman) dan melayani tamu dalam upacara (athiti puja). Namun dalam penerapannya di Bali, upacara Manusa Yajña tergolong Sarira Samskara. Inti Sarira Samskara adalah peningkatan kualitas manusia. Manusa Yajña di Bali dilakukan sejak bayi masih berada dalam kandungan upacara pawiwahan atau upacara perkawinan, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:42).

Pada cerita Rāmāyana juga tampak jelas bagaimana nilai Manusa Yajña yang termuat di dalam uraian kisahnya. Hal ini dapat dilihat pada kisah yang meceritakan Śrī Rāmā mempersunting Dewi Sītā. Hal ini juga tertuang dalam Kekawin Rāmāyana Dwitīyas Sarggah bait 63, yang isinya sebagai berikut:

"Rānak naréndra gunamānta suśīla śakti,
Sang Rāmadéwa tamatan papaḍé rikéng rāt,
Sītā ya bhaktya ryanak naranātha tan lén,
Nāhan prayojana naréndra pinét marā ngké".

Terjemahan:

"Putra tuanku gunawan, susila dan bakti. Sang Ramadewa tiada tandingnya di dunia ini, Sita akan bakti kepada putra tuanku, tidak lain. Itulah tujuan kami tuanku dimohon ke mari".

Baca: Pengertian Yajña Dalam Ajaran Agama Hindu

Dari kutipan sloka ini terkandung nilai Manusa Yajña yang tertuang di dalam epos Rāmāyana tersebut. Upacara Śrī Rāmā mempersunting Dewi Sītā merupakan suatu nilai Yajña yang terkandung di dalamnya. Selayaknya suatu pernikahan suci, upacara ini dilaksanakan dengan Yajña yang lengkap dipimpin oleh seorang purohita raja dan disaksikan oleh para Dewa, kerabat kerajaan beserta para Mahaṛsī.

4. Ṛsī Yajña

Ṛsī Yajña itu adalah menghormati dan memuja Ṛsī atau pendeta. Dalam lontar Agastya Parwa disebutkan, Ṛsī Yajña ngaranya kapujan ring pandeta sang wruh ring kalingganing dadi wang, artinya Ṛsī Yajña adalah berbakti pada pendeta dan pada orang yang tahu hakikat diri menjadi manusia. Dengan demikian melayani pendeta sehari-hari maupun saat-saat beliau memimpin upacara tergolong Ṛsī Yajña.

Pada kisah Rāmāyana, nilai-nilai Ṛsī Yajña dapat dijumpai pada beberapa bagian dimana para tokoh dalam alur ceritanya sangat menghormati para Ṛsī sebagai pemimpin keagamaan, penasehat kerajaan, dan guru kerohanian. Misalnya pada Kekawin Rāmāyana Prathamas Sarggah bait 30, sebagai berikut:

"Sāmpun pwa sira pinūjā,
bhinojanan sang mahārṣi paripūrṇna,
kalawan sang wiku sākṣī,
winūrṣita dinakṣiṇān ta sira".

Terjemahan:

"Sesudah beliau dipuja, disuguhkan suguhan sang mahaṚsī, bersama sang wiku yang menjadi saksi, dihormati dipersembahkan hadiah untuk beliau", (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:43).

Mahaṛsī sebagai seorang rohaniawan senantiasa memberikan wejangan suci dan ilmu pengetahuan keagamaan untuk menuntun umatnya tentang ajaran ketuhanan. Keberadaan beliau tentu sangat penting dalam kehidupan umat beragama. Sudah sepatutnya sebagai umat beragama senantiasa sujud bakti kepada para Mahaṛsī atau pendeta sabagai salah satu bentuk Yajña yang utama dalam ajaran agama Hindu. Dalam epos Rāmāyana banyak sekali dapat ditemukan nilai-nilai Ṛsī Yajña yang termuat dalam kisahnya. Oleh karena itu banyak sekali hakikat Yajña yang dapat dipetik untuk dijadikan pelajaran dalam mengarungi kehidupan sehari-hari.

5. Bhuta Yajña

Upacara ini lebih diarahkan pada tujuan untuk nyomia butha kala atau berbagai kekuatan negatif yang dipandang dapat mengganggu kehidupan manusia. Butha Yajña pada hakikatnya bertujuan untuk mewujudkan butha kala menjadi butha hita. Butha hita artinya menyejahterakan dan melestarikan alam lingkungan (Sarwaprani). Upacara Butha Yajña yang lebih cenderung untuk nyomia atau mendamaikan atau menetralisir kekuatan-kekuatan negatif agar tidak mengganggu kehidupan umat manusia dan bahkan diharapkan membantu umat manusia.

Pengertian Bhuta Yajña dalam bentuk upacara amat banyak macamnya. Kesemuanya itu lebih cenderung sebagai upacara nyomia atau mendamaikan atau mengubah fungsi dari negatif manjadi positif. Sedang arti sebenarnya Bhuta Yajña adalah memelihara kesejahteraan dan keseimbangan alam. Pelaksanaan upacara dewa Yajña selalu di barengi dengan Bhuta Yajña, hal ini bertujuan untuk menyeimbangkan alam semesta beserta isinya.

Nilai-nilai Bhuta Yajña juga nampak jelas pada uraian kisah epos Rāmāyana, hal ini dapat dilihat pada pelaksanaan Homa Yajña sebagai Yajña yang utama juga diiringi dengan ritual Bhuta Yajña untuk menetralisir kekuatan negatif sehingga alam lingkungan menjadi sejahtera. Hal ini dikuatkan dengan apa yang tertuang pada Kekawin Rāmāyana Prathamas Sarggah sloka 25 yang isinya sebagai berikut:

"Luměkas ta sira mahoma,
prétādi piśāca rākṣasa minantran
bhūta kabéh inilagakěn,
asing mamighnā rikang Yajña".

Terjemahan:

"Mulailah beliau melaksanakan upacara korban api. Roh jahat dan sebagainya, pisaca raksasa dimanterai. Bhuta Kala semua diusir, segala yang akan mengganggu upacara korban itu".

Pada setiap pelaksanaan upacara Yajña, kekuatan suci harus datang dari segala arah. Oleh sebab itu, segala macam bentuk unsur negatif harus dinetralisir untuk dapat menjaga keseimbangan alam semesta. Bhuta Yajña sebagai bagian dari Yajña merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai tujuan ini, sehingga tidak salah pada setiap pelaksanaan upacara dewa Yajña akan selalu dibarengi dengan upacara Bhuta Yajña, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:44).

Referensi:

Sudirga, Ida Bagus dan Yoga Segara, I Nyoman. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti                 Untuk SMA/SMK Kelas X (cetakan ke-1). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan,
           Balitbang, Kemdikbud.

0 Response to "Nilai-Nilai Yajña dalam Cerita Rāmāyana"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel