Falsafah Hidup Perempuan Jawa

MUTIARAHINDU.COM -- Falsafah Hidup Perempuan Jawa. Bagi orang Indonesia, yang memiliki keanekaragaman budaya, problem kekuatan dan kekuasaan perempuan tersebut di atas pastilah akan dijawab secara berbeda-beda,dan dengan argumentasi yang berbeda, karena setiap budaya menempatkan posisi perempuan dalam tataran yang berbeda-beda. Bagi masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilinial, perempuan memiliki kekuasaan dan kekuatan sentral. Kekuasaan dan kekuatan tersebut diwariskan secara turun temurun oleh pendahulunya. 

Dari manakah munculnya kekuatan yang dimiliki oleh seorang perempuan ? Problem inilah yang hingga saat ini masih menjadi bahan  perbincangan banyak kalangan. Masyarakat penganut budaya patriarkhi akan mengatakan bahwa sumber kekuatan perempuan terletak pada aspek seksualitas yang dimiliki. Hal ini tidak terlepas dari stereotip yang melekat pada diri perempuan bahwa satu-satunya hal yang dimiliki perempuan adalah tubuhnya. Pandangan tersebut tentu saja ditolak oleh para feminis, perempuan pada dasarnya sama dengan laki-laki, sebagai makhluk lengkap dengan aspek kerohanian yang dimiliki contohnya rasionalitas. Sementara itu yang membedakan antara: laki-laki dan perempuan lebih menyangkut cara atau metode untuk menyelesaikan permasalahan. Perempuan yang secara kodrati memiliki kemampuan untuk mengandung, melahirkan dan menyusui memiliki  kecenderungan untuk lebih menekankan pada aspek ”caring”, seperti perhatian dan kepedulian terhadap orang lain. Hal ini berbeda dengan laki-laki, yang tidak memiliki pengalaman untuk ”mengada” bersama manusia lain seperti mengandung, melahirkan dan menyusui. 



Bagaimanakah dengan budaya Jawa? Sebagai pusat kebudayaan tertua, Jawa bisa disandingkan dengan India dan Cina. Mengingat di masa lampau, banyak sekali orang-orang India dan Cina yang menuntut ilmu di kerajaan-kerajaan besar di pulau Jawa seperti Majapahit. Berkaitan dengan masalah kekuasaan perempuan, sejarah memperlihatkan bahwa sejak masa kerajaan di Jawa, perempuan memiliki kekuatan dan kemampuan besar untuk menjadi pemimpin. Ratu Shima, raja di Kerajaan Kaling dan Tribhuwana Tunggadewi raja Majapahit adalah dua tokoh yang menorehkan sejarah, sebagai perempuan pemimpin yang adil dan bijaksana, sehingga dicintai rakyatnya. Terlepas dari kebesaran nama dua tokoh tersebut, kedudukan dan peran perempuan Jawa hingga saat ini masih banyak dipertanyakan oleh banyak pihak. Hal ini tidak terlepas dari budaya Jawa yang terkenal sangat feodal dan menempatkan posisi perempuan dalam posisi yang benar-benar inferior. 

Berbagai ungkapan keseharian dalam budaya Jawa, memang memperlihatkan posisi infeorior perempuan. Merujuk dari asal kata wanita yang dalam konteks budaya Jawa, diartikan ”wani ditata” artinya berani ditata, terlihat posisi perempuan sebagai objek, yang ditata. Selain itu juga sebutan perempuan sebagai kanca wingking (teman di belakang), ini memperlihatkan posisi perempuan di sektor domestik yang tidak mempunyai akses untuk berperan di sektor publik. Berkaitan dengan hal tersebut maka peran perempuan dibatasi pada 3 area (dapur, kasur dan sumur), sementara itu tugas utama bagi perempuan antara lain : masak (memasak), macak (berhias diri), dan manak (melahirkan anak). Perempuan yang sudah menikah dan menjadi istri, oleh suaminya akan disebut dengan ungkapan, suwarga nunut, neraka katut. Artinya seorang isteri pada akhirnya akan mendapatkan nunutan (tumpangan ) ketika sang suami masuk atau mendapatkan surga, tetapi jika suami masuk neraka maka isteri akan ikut masuk neraka.

Membaca gambaran tersebut, tidak mengherankan jika akhirnya muncul keraguan terhadap penghargaan posisi dan peran perempuan Jawa. Untuk itulah perlu kiranya dilakukan penelitian mengenai perempuan Jawa dengan menggunakan perspektif Jawa, bukan perspektif Barat, sehingga akan ditemukan falsafah hidup khas perempuan Jawa.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka rumusan masalah yang akan dikaji melalui penelitian ini yaitu, (1) Apakah sajakah falsafah hidup yang dimiliki oleh perempuan Jawa? (2) Bagaimanakah falsafah hidup tersebut diinterpretasikan agar dapat menjadi sebuah konsep alternatif bagi peran dan kedudukan perempuan dewasa ini? 

B. PEMBAHASAN

Mengungkap kearifan perempuan Jawa dalam karya sastra ternyata bukanlah suatu hal yang mudah mengingat karya sastra yang ditulis oleh para pujangga yang hidup ratusan tahun yang lampau, dapat dikatakan sangat bias. Falsafah hidup perempuan selalu dipahami dalam konteks status dan perannya sebagai istri dan ibu. Falsafah hidup perempuan sebagai manusia tanpa predikat apapun, hampir tidak dapat ditemui dalam karyakarya para pujangga tersebut. Kesulitan lain untuk melakukan penelitian mengenai falsafah hidup perempuan Jawa adalah terkait dengan karya yang ditulis para pujangga yang pada perkembangannya banyak disalahartikan dan mengalami penyempitan makna.

Pengungkapan falsafah hidup permpuan Jawa juga dilakukan melalui pengkajian terhadap nasihat, petuah dalam ungkapan bahasa Jawa seperti parikan, wangsalan, seloka dan tembang. 

1. Keyakinan Hidup Perempuan Jawa

Perempuan Jawa tidak lain adalah manusia Jawa, oleh karena itu untuk melihat keyakinan yang dikembangkan oleh perempuan Jawa dapat dilihat dari keyakinan manusia Jawa. Keyakinan yang dipercaya manusia Jawa adalah penekanan pada kebatinan. Artinya pengembangan kehidupan batin dan diri terdalam manusia. Diri terdalam itulah yang sesungguhnya menyusun mikrokosmos yang paling sejati dari Kehidupan yang meliputi segala-galanya. Kehidupan dan perwujudan kehidupan ada di dalam batin. Alam batin inilah yang merupakan realitas yg paling nyata Kebenaran dan kebijaksanaan baru akan diperoleh ketika manusia Jawa sudah dapat menguasai alam lahir dan turun ke dalam alam batin (dirinya sendiri). Prinsip yang harus dipegang teguh oleh manusia Jawa yaitu penekanan prinsip harmoni, keselarasan dan kesimbangan dalam hubungan antara jagad gedhe (makrokosmos, alam semesta sebagai wujud kehidupan yang berpusat pada Tuhan) dan jagad cilik (mikrokosmos sebagai kehidupan itu sendiri).

Sikap dan pandangan terhadap dunia nyata (mikrokosmos) adalah tercermin pada kehidupan manusia dengan lingkungannya, susunan manusia dalam masyarakat, tata kehidupan manusai seharihari dan segala sesuatu yang tampak oleh mata. Dalam menghadapi kehidupan manusia yang baik dan benar di dunia ini tergantung pada kekuatan batin dan jiwanya.

Hal ini tampak jelas pada ajaran dalam Serat Wulang Reh bahwa dunia batiniah merupakan pangkal tolak bagi etika dan ajaran moral bagi manusia. Dunia lahiriah dikuasai dengan jalan menguasai dunia batiniah.

Kewajiban manusia seperti tertera dalam Serat Wulang Reh, antara lain :

Ana uga etang etungane kaki, lilima sinembah, dununge sawiji-wiji, sembah lilima punika.

Ingkang dhingin rama ibu kaping kalih, marang martuwa lanang wadon, kang kaping tri, ya marang sedulur tuwa. Kaping pate ya marang guru sayekti, sembah kaping lima ya marang Gusti, kang murba, ing pati kalawan urip, miwah sandhang lawan pangan (Sri Suhanjati Sukri, 2001:69)

Ada juga hitung-hitungannya Nak, dengan sembah lima. Adapun maksud satu per satu dari lima sembah itu. Yang pertama bapak dan ibu, yang kedua kepada mertua laki-laki dan perempuan, yang ketiga kepada saudara tua. Yang keempat kepada guru dan yang kelima kepada Tuhan yang mengusai hidup dan mati, serta sandang pangan (rejeki). 

Hal senada juga diungkap dalam Serat Wulang Estri bahwa manusia baik laki-laki maupun perempuan wajib bersyukur kepada Tuhan, yang telah menjadikannya sebagai makhluk mulia, bukan binatang.

Badan iki mapan darmi, nglakoni osiking manah, yen ati ilang elinge, elang jenenge manungs, yen manungsane ilang, amung rusak kang tinemu, tanggeh manggiha raharja.

Iku wong durjana batin, uripe ora rumangsa, lamun ana nitahake, pagene noram kareksa, ugere wong ngagesang, teka kudu sasar susur, wong lali kaisen setan (Darweni, 1994:9) 

Badan ini tempat melaksanakan apa yang ada di pikiran. Jika hati kehilangan rasa ingat, hilang pula hakikat manusia. Jika hakikat manusia sudah hilang, hanya kerusakan yang dijumpai dan tidak akan mendapatkan kebahagiaan. Itulah hakikat orang yang jahat batinnya.

Dalam hidupnya tidak merasa ada yang menciptakan, dan tidak menjaga aturan-aturan hidup sehingga tersesat hidupnya. Orang yang lupa kepada yang menciptakan, hatinya diisi setan. 

Ajaran dalam Serta Wulang Estri tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa keyakinan hidup manusia Jawa berintikan pada ketajaman perasaan (rasa) yang mengarahkan manusia pada aspek batiniah yang dimiliki. Ajaran dalam Serat Candrarini secara eksplisit mengungkapkan bahwa perempuan berbudi luhur adalah perempuan yang beriman, tidak pernah putus dalam berdoa agar mendapatkan wahyu dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan demikian, nilai seseorang ditentukan oleh kemampuannya dalam menguasai batinnya. Untuk dapat menguasai batin, mencapai puncak penyatuan antara mikro kosmos dan makro kosmos (manunggaling kawula gusti) dilakukan dengan olah rasayang terwujud dalam kehidupan yang harmonis, tidak ada ketegangan, gangguan batin. Untuk itulah manusia Jawa mengatur dan memperhalus segi-sgi kehidupan lahiriah, melakukan pendalaman rasa secara terus menerus. Tingkah laku, bicara dan ucapan yang tampak secara lahiriah adalah pencerminan batin. Berbudi luhur berarti dengan sadar dapat mengendalikan dunia batin atau dapat mengendalikan hawa nafsu. Hal ini ditempuh dengan beberapa cara, misalnya mengurangi makan, tidur, dan melakukan segala macam keprihatinan, dan yang terpenting adalah bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. Falsafah hidup Perempuan Jawa

a. Rukun

Rukun berarti “dalam keadaan selaras”, “tenang dan tentram””, ‘tanpa perselisihan”, “bersatu dalam maksud untuk saling membantu”. Sikap hidup inilah yang dijunjung tinggi perempuan Jawa untuk menciptakan masyarakat selaras, serasi dan seimbang, tanpa pertikaian dan perselisihan. Prinsip ini diperkuat dengan petuah “ Rukun agawe santosa crah agawe bubrah”. Prinsip ini terlihat dalam suasana, bekerja sama, dalam lingkup keluarga dan masyarakat. Rukun adalah keadaan ideal, yang diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial, termasuk di dalam keluarga. Kata rukun juga menunjuk pada cara bertindak. Berlaku rukun berarti saling menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi. Dalam Serat Candrarini dikemukakan secara eksplisit  bahwa perempuan harus selalu menghargai kepada sesama, hidup berdampingan dengan rukun dan damai (Sri Suhandjati Sukri, 2001:63). Prinsip ini dipegang teguh oleh perempuan dalam kondisi apapun. Perempuan akan selalu berusaha berusaha tenang, tidak memunculkan sikap-sikap menimbulkan perselisihan dan keresahan (Magnis Suseno, 1991:40). Rukun berarti usaha untuk  menghindari pecahnya konflik, jika konflik terbuka antara suami dan istri sudah terjadi maka yang terjadi adalah disharmoni. Untuk menghindari terjadinya konflik secara terbuka, perempuan Jawa memiliki beberapa strategi ketika menyatakan menghadapi persoalan dengan laki-laki atau suami. Pertama melalui diplomasi dalam bentuk rembugan , dengan cara ini diskusi dilakukan dengan halus, tidak dengan kasar bahkan pemberontakan. Kedua, perempuan memilih diam untuk menyatakan ketidaksetujuannya. Bagi perempuan Jawa berbicara keras untuk mempertahakan argumentasi dan memaksakan kemauan dianggap sebagai tindakan yang tidak pantas. Hal ini terkait dengan strategi diplomasi masyarakat Jawa, yang mengadopsi huruf Jawa yaitu mati jika dipangku. Demikian juga dengan manusia, jika diemong, dihadapi dengan halus, tidak memberontak, diterima dengan pasrah, dipangku, maka pihak yang berseberangan pendapat akan menyerahkan tanpa sadar semua kepentingannya (Christina, 2004:150).  

Terdapat satu argumentasi yang dipegang oleh perempuan Jawa bahwa untuk dapat “menundukkan” pendapat suami perempuan Jawa memilih untuk diam, karena terdapat ungkapan umum bahwa seseorang yang dilarang melakukan sesuatu, jusru penasaran dan akan melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak disetujui tersebut, namun jika disuruh maka orang Jawa justru enggan melaksanakannya (Nek dikon kaya dielikake, nek dielikake kaya dikon (kalau disuruh seperti dilarang, kalau dilarang seperti disuruh) (Christina, 2004:152). Hal serupa seperti diungkapkan dalam Serat Yadnyasusila bahwa perempuan yang baik adalah yang memiliki sikap luluh, artinya “cair”, mengalir, dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi, tidak seperti batu yang keras dan kaku. Hal ini penting sebagai bekal bagi tugas merumat segala sesutau dalam lingkungan kewajibannya (Sumaatmaka, 1929: 53). Tidak jauh berbeda diungkapkan dalam Serat Wulang Jayalengkara, bahwa seorang pemimpin yang baik haruslah memiliki watak  “Wong Catur” pertama, retna atau permata, wataknya adalah pengayom dan pengayem, karena khasiat batu-permata adalah untuk memberikan ketentraman dan melindungi diri. Kedua, watak estri atau wanita, adalah berbudi luhur, bersifat sabar, bersikap santun, mengalahkan tanpa kekerasan atau pandai berdiplomasi. Ketiga, watak curiga atau keris, seorang pemimpin haruslah memiliki ketajaman olah-pikir, dalam menetapkan policy dan strategi di bidang apa pun. Keempat, watak paksi atau burung, mengisyaratkan watak yang bebas terbang kemana pun, agar dapat bertindak independen tidak terikat oleh kepentingan satu golongan, sehingga pendapatnya pun bisa menyejukkan semua lapisan masyarakat (Poerbatjaraka,1952:34). Mengamati ungkapan tersebut di atas jelas terlihat bahwa watak yang diharapkan dari seorang pemimpin salah satunya adalah watak seperti yang dimiliki oleh perempuan bersifat sabar, bersikap santun, dan mengalahkan tanpa kekerasan atau pandai berdiplomasi.

Untuk mewujudkan kerukunan, terdapat prinsip lain yang harus dipegang manusia Jawa, yaitu gotong royong. Gotong royong artinya saling membantu dan bersama-sama dalam melakukan pekerjaan. Prinsip ini mengandaikan bahwa manusia pada dasarnya tidak dapat hidup sendiri, selalu bergantung pada sesamanya, oleh karena itu harus berusaha menjaga hubungan baik dan selalu bersedia membantu sesamanya. Demikian juga dalam kehidupan berumah tangga, dilakukan pembagian pekerjaan bagi semua anggota keluarga dan semua dilakukan dengan gotong royong. Perempuan sebagai istri tahu persis apa yang harus dilakukan dalam keluarga, demikian juga dengan suami. Dalam praktek hidup sehari-hari, peran dan posisi suami istri saling menggantikan. Jika istri hendak bepergian untuk suatu keperluan, maka suami harus menjaga anak di rumah. Demikian pula sebaliknya. Semua dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip gotong royong dan bekerja sama. 

b. Hormat

Prinsip ini mengatakan bahwa setiap orang  dalam cara berbicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Perempuan Jawa memegang prinsip ini dalam hubungan baik dengan suami maupun dengan orang lain. Prinsip hormat didasari pendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkhis, bahwa keteraturan itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankan dan membawa diri sesuai dengannya (Magnis Suseno, 1991:61).

Terdapat tiga perasaan yang dipelajari manusia Jawa dalam pendidikan sejak mulai balita hingga dewasa :

1) Wedi artinya takut terhadap akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan. Termasuk di sini adalah wedi terhadap orang yang harus dihormati.

2) Isin artinya rasa malu, merasa bersalah. Isin dan sikap hormat merupakan satu kesatuan. Manusia Jawa merasa isin apabila tidak dapat menunjukkan sikap hormat yang tepat terhadap orang yang pantas dihormati.

3) Sungkan merupakan rasa isin dan malu sekaligus dalam arti lebih positif. Rasa sungkan ini berhubungan erat dengan rasa hormat penuh kesopanan kepada orang yang lebih tua, atau sesama yang belum dikenal sebagai bentuk pengekangan halus terhadap kepribadian sendiri demi hormat kepada pribadi orang lain

Dalam kaitannya dengan perasaan hormat ini, perempuan Jawa dituntut untuk memiliki perasaan wedi lan bekti ing laki (takut dan berbakti kepada suami). Seperti yang diungkap dalam Serat Centhini, bahwa tiga hal yang harus diingat istri dalam perkawinan adalah, gemi (hemat), wedi (takut) dan gumati (kasih sayang) kepada suami dan anak-anaknya (Kamajaya,1988:61). Sebagai bentuk sikap hormat istri terhadap suami dapat dicontohkan adanya nasihat untuk tidak membuka rahasia dan aib suami (aja miyak ing wewadine wong kakung). Jika perempuan berani membuka aib suami, itu berarti mempermalukan dirinya  sendiri (Sri Suhandjati Sukri, 2001:47). Sikap hormat ini terutama ditujukan kepada suami, karena suami dianggap sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap nasib istri. Ungkapan ekstrim yang memperlihatkan posisi perempuan Jawa dengan terhadap suami adalah swarga nunut, neraka katut. (Ungkapan tersebut pada perkembangannya akan mendapatkan reinterpretasi baru oleh perempuan itu sendiri). Jika istri tidak hormat terhadap suami maka akibat yang ditimbulkan sangatlah besar, karena hal tersebut akan mendatangkan ketidakharmonisan.

c. Pengendalian Diri

Pengendalian diri yang dimaksud adalah kemampuan untuk membatasi dan mengekang segala bentuk kehendak dalam rangka menjaga keseimbangan dan keselarasan hidup. Sebuah nilai yang dipandang penting dan berhubungan dengan pengendalian diri ini, dapat dilihat pada ungkapan sak madya dan sak cukupe. Artinya yang sedang-sedang saja, yang menengah, cukupan, tidak terlalu dan tidak ekstrim. Sebagai contoh adalah urip sak madya, artinya hidup yang sedang-sedang saja, tidak terlalu kaya atau tidak terlalu miskin. Inilah nilai yang dianggap ideal oleh manusia Jawa. Manusia Jawa juga harus selalu bersifat konform terhadap sesamanya, artinya harus selalui diingat bahwa seseorang tidak boleh kelihatan lebih menonjol, melebihi orang lain dalam masyarakat (Magnis Suseno, 1991:51). Erat terkait dengan prinsip pengendalian diri ini, manusia Jawa selain harus sak madya juga harus prasojo (sederhana). Bahkan secara lebih ekstrim, manusia Jawa dituntut untuk andhap asor, bersedia menganggap diri lebih rendah daripada orang lain. 

Perempuan Jawa dituntut memiliki kemampuan pengendalian diri. Perempuan harus bersikap sak madya. Misalnya dalam pergaulan perempuan dituntut untuk prasojo dan andhap asor. Sebagai contoh, tidak terlalu memamerkan harta kekayaan yang dimiliki dan tidak terlalu banyak bicara. Bagi manusia Jawa, derajat dan harga diri seseorang ditentukan  oleh budi pekerti dan ucapan yang keluar dari mulut (Ajining diri, ana ing lathi lan pekerti). Manusia Jawa juga meyakini bahwa dengan pengendalian diri akan diperoleh kematangan pribadi, maksudnya, ketika seseorang telah mampu menyerap sifat-sifat yang bertentangan dalam diri serta mampu membatinkan perasanperasaan yang bertentangan tersebut dapat dikatakan sebagai pribadi matang. 

d. Sabar, Nrima, Rila dan Sumarah

Sabar di sini diartikan sebagai kemampuan diri untuk menerima segala apa yang mendatangi diri tanpa protes dan pemberontakan. Sikap sabar selalu diiringi dengan kesadaran dan keyakinan bahwa pada waktunya nasib yang baik pun akan tiba. Sifat lain yang berhubungan dengan sifat sabar adalah Nrima, ikhlas dan Sumarah. 

Nrima diartikan sebagai sikap hidup yang positif, yang diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menerima, bereaksi secara rasional dan tidak membabi buta jika kecewa karena mengalami kesulitan dan kegagalan. Sikap Nrima menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat dielakkan tanpa membiarkan diri dihancurkan olehnya. Sikap Nrima memberi daya tahan untuk juga menanggung nasib buruk” seseorang tetap gembira dalam penderitaan dan prihatin dalam kegembiraan” (Magnis Suseno, 1991:143). Sikap Nrima ini sering kali muncul dalam ungkapan “Urip iku ora gampang, diarani gampang yo gampang, diarani angel yo angel”, (Hidup itu tidak mudah, disebut mudah ya mudah, disebut sulit ya sulit). Dengan sikap Nrima, seseorang dapat memulai sesuatu yang baru, bangkit lagi untuk maju ke depan tanpa dibebani oleh kenangan lama dan halhal negatif yang pernah terjadi. “Tiyang menika kedah Nrimah”, “Nrima ing pandum” (sikap menerima). Sikap lain yaitu Rila, yaitu kesediaan untuk melepaskan hak milik, hasilhasil pekerjaan sendiri, apabila hal tersebut merupakan tuntutan nasib.

Sikap sabar, Nrima dan Rila, seringkali dipahami sebagai kesediaan untuk menelan segala-galanya secara apatis. Hal ini jelas salah. Sabar, Nrima dan Rila mempunyai makna lebih positif, bukan menyerah dalam arti jelek, melainkan sebagai tanda penyerahan otonomi dan individualitas sendiri untuk mencocokkan diri dengan keselarasan agung dalam alam semesta sebagaimana sudah ditentukan oleh Tuhan. Kemampuan sabar, Nrima dan Rila bukanlah pasif, tetapi realistis, tetap berusaha dan terus menerus bersyukur dan berserah diri kepada Tuhan. Inilah yang disebut prinsip Sumarah. 

Di antara sekian banyak kearifan yang dimiliki perempuan Jawa, kearifan inilah yang proporsinya paling besar dimiliki oleh perempuan Jawa. Perempuan Jawa dikenal mempunyai daya tahan tinggi terhadap penderitaan. Hal ini seperti tertera dalam Serat Candrarini bahwa perempuan harus memiliki sifat sabar rela dan narima (menerima) semua hal penuh dengan rasa syukur (Sri Suhandjati Sukri, 2001:72).

Hal ini karena prinsip sabar, Nrima, Rila dan Sumarah ditanamkan kepada perempuan Jawa sejak usia belasan. Perempuan memiliki kekuatan tersembunyi ketika memegang teguh nilai-nilai tersebut. Perempuan Jawa percaya bahwa ketika perempuan sabar, Nrima, Rila dan Sumarah terhadap penderitaan dan nasib buruk, maka suatu saat nanti, pastilah nasib baik akan menghampiri. 

3. Reinterpretasi Falsafah Hidup Perempuan Jawa

Setelah mengkaji dan meneliti dengan cermat kearifan yang dimiliki perempuan Jawa, tibalah saatnya untuk merefleksikan nilai tersebut apakah masih relevan jika dihubungkan dengan kondisi saat ini. Feminisme sebagai sebuah gerakan kemanusiaan sebuah fenomena global yang tidak dapat ditolak. Di satu sisi terdapat keinginan untuk mendudukan perempuan sejajar dengan laki-laki, inilah pengaruh Feminisme Liberal yang menekankan penghormatan terhadap hak-hak individual dan kodrati yang dimiliki manusia sejak lahir. Di sisi lain terdapat kenyataan lain, bahwa budaya-budaya lokal yang ada di dunia, mempunyai cara tersendiri dalam melihat dan mensikapi posisi dan peran perempuan dalam budaya tersebut, inilah tema yang diusung oleh Feminisme Multikultural. Keragaman latar belakang budaya, cara berpikir serta kearifan perempuan akan sangat mempengaruhi cara perempuan mensiasati dan menghadapi kettidakadilan yang dialami. Dalam hal ini keunikan dan subjektivitas setiap perempuan sangat dihargai dan diberi tempat yang lebih leluasa.yang dimiliki perempuan selama ini.

Kesejajaran dan keadilan terhadap perempuan, merupakan satu hal yang tidak dapat ditolak. Hal ini merupakan dampak kemajuan ilmu dan kemajuan tata pikir manusia, namun demikian di lain pihak terdapat nilai-nilai budaya yang mengatur kehidupan manusia dan telah beriburibu tahun hidup dan mengakar kuat, mengatur kehidupan manusia dalam budaya tersebut. 

Berkaitan dengan perempuan Jawa. Fakta memperlihatkan bahwa gagasan Feminisme Liberal telah berpengaruh lama pada pemikiran perempuan Jawa. Ini dapat dilihat pada sosok Kartini, yang pada waktu itu telah berpikir untuk memberikan pendidikan kepada kaumnya. Konsep kesejajaran inilah yang pada akhirnya berkembang demikian pesat hingga awal tahun 2000. Perempuan Jawa telah menunjukkan diri, bahwa dirinya mampu berperan sejajar dengan laki-laki. Namun demikian, di sisi lain perempuan Jawa dengan Kejawaannya selalu dituntut untuk selalu menjunjung tinggi falsafah hidup sebagai manusia Jawa. Nilai-nilai tersebut saat ini mulai dipertanyakan, apakah masih relevan untuk dipegang dan dianut oleh perempuan Jawa, mengingat nilai-nilai tersebut merupakan hasil budaya patriarkhi, yang tentu saja lebih banyak merugikan perempuan. Berdasarkan hal tersebut, penting kiranya untuk melakukan reinterpretasi terhadap falsafah hidup perempuan Jawa tersebut. Hal ini penting mengingat hingga saat ini nilanilai tersebut masih ada, hidup dan berkembang di kalang perempuan Jawa.

Melihat sekilas falsafah hidup Jawa seperti kerukunan, penghormatan, pengendalian diri, Nrima, sabar dan Sumarah, tampak bahwa nilainilai tersebut tidak relevan untuk diterapkan pada kondisi saat ini. Kehidupan yang demikian materialis penuh kompetisi sangat berlawanan dengan nilai-nilai tersebut. Bagaimanakah menginterpretasikan nilai-nilai tersbut, sehingga tetep relevan dengan kondisi saat ini? 

a. Penekanan Prinsip Harmoni

Semua berawal pada eksistensi nilai-nilai kerukunan, penghormatan, pengendalian diri, Nrima, sabar, Rila dan Sumarah. Nilai-nilai tersebut muncul, hidup dan berkembang sesuai dengan keyakinan mendasar yang dimiliki manusia Jawa. Prinsip utama yang ditekankan adalah harmoni, keselarasan dan keseimbangan dalam hubungan antara makrokosmos yang berpusat pada Tuhan dan mikrokosmos yang berpusat pada diri sendiri. Pandangan ini menekankan pada ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, dibarengi dengan sikap Nrima terhadap segala peristiwa yang terjadi, sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah alam semesta (hubungan kosmos). Manusia Jawa meyakini bahwa, barang siapa hidup selaras dengan dirinya sendiri, akan selaras dengan masyarakatnya, maka hidup selaras juga dengan Tuhannya dan mampu menjalankan hidup yang benar (Niels Mulder 1984:13). Pendapat tersebut memberi gambaran tentang pandangan masyarakat; yang mengacu pada keselarasan hubungan yang tak terpisahkan antara dirinya, lingkungan (masyarakat), lingkungan alam semesta, dan hubungannya dengan Tuhannya.

Dalam rangka menjaga harmoni, keselarasan dam keseimbangan, manusia harus patuh dan taat dengan paugeran (aturan adat) dan menjunjung tinggi kaidah-kaidah moril yang menekankan nilai-nilai kerukunan, penghormatan, sikap Nrima, sabar, Rila dan Sumarah. Sebagai contoh kongkrit adalah ungkapan sehari-hari bahwa perempuan Jawa itu “swarga nunut neraka katut”. Ungkapan tersebut sekilas, menempatkan posisi perempuan pada posisi yang sangat rendah dan tidak adil, tetapi perempuan Jawa memaknai ungkapan tersebut dengan cara berbeda. Bahwa surga itu ada dua, surga di dunia dan di akherat. Surga di dunia tidak lain adalah rumah tangga yang rukun, damai dan harmonis, dan yang menentukan keharmonisan tersebut bukan hanya suami, tetapi juga istri. Bagaimanakah kebutuhan material dan spiritual keluarga tersebut tercukupi, bukan hanya tanggung jawab suami, tetapi juga  istri. Istri mempunyai posisi dan peran yang sangat penting. Hal ini dapat dilihat dari istilah “garwa” (istri) yang merupakan kependekan dari kata “sigaraning nyawa” (belahan jiwa). Dengan kondisi demikian istri bukan hanya objek penderita dan ikut, menerima suami. Ketika hubungan harmonis antara laki-laki dan perempuan dalam lingkup keluarga sudah tercapai maka amal ibadahnyalah yang akan menentukan surga di akherat. Pandangan tersebut kiranya sangat cocok tergantung amal ibadah di dunia. Amal di dunia berusaha dilakukan bersama-sama, gotong royong antara suami & istri. Pandangan tersebut, tentu sangat cocok dengan keyakinan manusia Jawa, bahwa ketika manusia hidup selaras dengan dirinya sendiri, akan selaras dengan masyarakat di sekitarnya dan pasti hidup selaras juga dengan Tuhannya dan mampu menjalankan hidup dengan benar. 

b. Kekuatan Dimensi Feminin

Budaya Jawa seperti halnya budaya timur yang lain, membedakan secara tegas prinsip kelaki-lakian (maskulinitas) dan keperempuanan (feminitas) yang ada di alam semesta. Selanjutnya prinsip-prinsip tersebut, menjalar dalam semua aspek kehidupan manusia, termasuk dalam konteks peran dan kedudukan jenis manusia. Dalam budaya Jawa, kedudukan dan peran perempuan cenderung berhubungan dengan hal-hal yang menekankan aspek feminin yang dimiliki terutama terkait dengan fungsi perasaan (afeksi). Sebagai contoh yaitu peran sebagai ibu yang mengedepankan aspek pengasuhan, keibuan, kelemahlembutan, kasih sayang dan memelihara. Peran sebagai istri yang menekankan aspek kehalusan, cinta kasih dan kesabaran. Dengan berbagai ajaran dan petuah yang diberikan kepada perempuan Jawa maka mereka terlatih untuk mengembangkan dimensi feminin yang dimiliki, seperti kekuatan untuk berempati, berintuisi dan merasa.

Berkaitan dengan kearifan manusia Jawa secara umum yaitu selalu berusaha mempertahankan keseimbangan batin, menunjukkan diri selalu tenang, halus dan terkontrol maka tampak jelas bahwa manusia Jawa sesungguhnya lebih menonjolkan dimensi feminin yang dimiliki. Falsafah hidup seperti pengendalian  diri, Nrima, sabar, Rila dan Sumarah merupakan nilai yang sarat dengan dimensi feminin. Nilainilai tersebut bukan hanya milik perempuan Jawa, tetapi nilai-nilai tersebut dimiliki dan dikembangkan oleh manusia Jawa baik laki-laki maupun perempuan. Contoh lain adalah konsep menang tanpa ngasorake dalam strategi diplomasi Jawa. Jika ditilik lebih lanjut, konsep tersebut sesungguhnya sarat dengan nilai feminin. Dalam konsep tersebut, diplomasi yang dilakukan sangat halus, tidak terlihat, penuh dengan simbol. Hal ini berbeda dengan diplomasi yang menekankan nilai maskulin seperti win win solution yang dilakukan dengan proses negosiasi dan tawar menawar.

Salah satu nilai yang menonjol dari dimensi feminin ini adalah kepasifan dan ketenangan, tidak menunjukkan gejolak, pemberontakan demi terciptanya harmoni. Perempuan Jawa tidak perlu menggunakan nilai-nilai maskulin seperti kekerasan untuk mendapatkan peran dan penghargaan. 

c. Falsafah hidup sebagai Nilai Kerokhanian

Lorens Bagus (1996:713) mengemukakan bahwa nilai sangat berhubungan dengan kebaikan di dalam sesuatu sehingga menimbulkan daya tarik bagi kehendak, hasrat, keinginan dan dorongan bagi manusia untuk melakukan aktivitas. Nilai pada akhirnya menjadi pendorong manusia untuk menghendaki ataupun melakukan sesuatu, oleh sebab itu, nilai selalu bertitik tolak dari manusia dan kesadarannya akan dirinya sendiri. Berkaitan dengan falsafah hidup perempuan Jawa diantaranya kerukunan, penghormatan, pengendalian diri, Nrima, sabar, Rila dan Sumarah, maka dapat direfleksikan bahwa nilai-nilai tersebut bertitik tolak dari kesadaran perempuan yang berusaha untuk mencapai harmoni dalam semua aspek kehidupan. 

Falsafah hidup tersebut merupakan prinsip hidup yang sangat berpengaruh terhadap tindakannya. Dalam hal ini, nilai dapat dimengerti sebagai norma atau patokan yang selalu mengarahkan manusia kepada perbuatanperbuatan yang luhur untuk memperoleh kebahagiaan di dalam kehidupannya. 

Dengan merujuk pada pandangan Notonagoro tentang nilai, maka dapatlah disimpulkan bahwa falsafah hidup perempuan Jawa termasuk kategori nilai kerokhanian khususnya kebaikan moral, karena menyangkut aspek internal dalam diri manusia yang bersumber pada kehendak (will) manusia untuk mewujudkan harmoni (keseimbangan, keserasian dan keselarasan) (Notonagoro, 1995:64). 

D. KESIMPULAN

Falsafah hidup perempuan Jawa yang masih ada dan dipegang teguh oleh perempuan Jawa hingga saat ini adalah nilai kerukunan, penghormatan, pengendalian diri, Nrima, sabar, Rila dan Sumarah. Nilai-nilai tersebut muncul dan berkembang berdasar prinsip harmoni, keselarasan dan keseimbangan dalam hubungan antara makrokosmos yang berpusat pada Tuhan dan mikrokosmos yang berpusat pada diri sendiri. Falsafah hidup seperti pengendalian diri, Nrima, sabar, Rila dan Sumarah merupakan nilai yang sarat dengan prinsip feminin. Nilai-nilai tersebut bukan hanya milik perempuan Jawa, tetapi nilainilai tersebut dimiliki dan dikembangkan oleh manusia Jawa baik laki-laki maupun perempuan. 

Judul: Falsafah Hidup Perempuan Jawa
Oleh: Sulastri
Dari : Kasi Penda Hindu Kemenag Jembrana

0 Response to "Falsafah Hidup Perempuan Jawa"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel