Etika Di Tempat Suci Menurut Lontar Kramapura

MUTIARAHINDU.COM -- Etika Di Tempat Suci Menurut Lontar Kramapura. Ajaran agama Hindu dibangun dalam tiga kerangka dasar, yaitu tattwa, susila, dan acara agama. Ketiganya adalah satu kesatuan integral yang tak terpisahkan. Tattwa adalah aspek pengetahuan agama atau ajaran-ajaran agama yang harus dimengerti dan dipahami oleh masyarakat terhadap aktivitas keagamaan yang dilaksanakan. Susila adalah aspek pembentukan sikap keagamaan yang menuju pada sikap dan perilaku yang baik sehingga manusia memiliki kebajikan dan kebijaksanaan, wiweka jnana. Sementara itu aspek acara adalah tata cara pelaksanaan ajaran agama yang diwujudkan dalam tradisi upacara sebagai wujud simbolis komunikasi manusia dengan Tuhannya. Acara agama adalah wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dan seluruh manifestasi-Nya. Pada dasarnya acara agama dibagi menjadi dua, yaitu upacara dan upakara. Upacara berkaitan dengan tata cara ritual, seperti tata cara sembahyang, hari-hari suci keagamaan (wariga), dan rangkaian upacara (eed). Sebaliknya, upakara adalah sarana yang dipersembahkan dalam upacara keagamaan.


Perkembangan arus teknologi telah mengubah tatanan prilaku umat beragama, terkadang umat lebih menonjolkan upakara dibandingkan tattwa dan etika, padahal ketiga hal tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Dalam fenomena keberagamaan Hindu di Bali, acara agama tampaknya lebih menonjol dibandingkan dengan aspek lainnya. Acara agama yang seringkali juga disebut upacara atau ritual keagamaan merupakan pengejawantahan dan tattwa dan susila agama Hindu. Acara agama meliputi keseluruhan dari aspek persembahan dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut yadnya. 

Fenomena yang lain adalah maraknya pakaian yang kurang sopan bagi generasi muda dalam melaksanakan persembahyangan ke Pura. Ini merupakan tanda bahwa nilai-nilai etika umat Hindu mulai terkikis. Bukan berarti agama Hindu menolak modernisasi atau menolak modifikasi, namun sebagai penganut agama Hindu yang benar harus bisa menempatkan dimana seharusnya modernisasi dan modifikasi itu ditempatkan, kalau tidak begitu bila semua berpakaian modifikasi sampai pemangku bermodifikasi bagaimana jadinya suasana di Pura. Pada zaman sekarang ini kurangnya minat generasi muda (yowana) khususnya dari kalangan dehe (gadis) untuk memakai tata rias rambut model sanggul, termasuk menatanya dengan model pepusungan, juga amat jarang ditemukan. Umumnya kalangan wanitanya, lebih banyak menata rambutnya dengan cara membiarkan rambutnya terurai (megambahan), baik dengan potongan rambut pendek ataupun rambut panjang. Mereka juga biasanya menggunakan berbagai jenis ikatan di bagian belakang seperti gelang karet, ada juga yang menggunakan pita pengikat atau bando dengan variasi hiasan warna-warni. Sedangkan untuk kalangan prianya, dalam tata rias rambut, mereka cenderung tampil apa adanya tanpa sentuhan penataan salon kecantikan. Hanya saja karena terpengaruh model punk, cukup banyak anak-anak muda yang menyisir rambutnya dengan model acak-acakan.

Tidak jarang hal yang serupa juga terjadi bagi kalangan generasi tua khususnya bagi  ibu-ibu yang melek tren kadang mereka ingin memamerkan pakaian yang mahal, serba mewah agar mendapat perhatian dari umat yang lainnya. Fenomena ini Jika dikaitkan dengan Tri Kerangka Agama Hindu tentu sudah bertentangan khsusunya hal yang berkiatan dengan etika. Fenomenafenomena yang lain masih banyak yang terjadi seperti masih banyaknya judi dibeberapa Jabaan Pura, kesucian pura kurang terjaga dan hal-hal lain yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat dan mereka menganggap hal itu biasa saja. Jika tindakan-tindakan yang kecil tersebut tetap dibiarkan maka prilaku yang menyimpang akan terus berkembang. 

Dalam berbagai teks bahkan dalam Weda pedoman berprilaku sudah sangat jelas diatur khususnya etika yang berkaitan dengan laranganlarangan untuk berprilaku di Pura, namun tidak banyak masyarakat yang mengetahui laranganlarangan tersebut, terlebih-lebih yang belum pernah mendalami Weda. Umat Hindu di Bali memiliki naskah yang berisi tentang aturanaturan bagi umat Hindu terkiat dengan etika dan larangan memasuki Pura, aturan tersebut tertulis dalam naskah lontar yang dikenal dengan Lontar Kramapura. Naskah lontar ini berisikan tentang ajaran-ajaran Sang Hyang Dewa Sasasana yaitu tentang tata cara orang masuk pura, tata cara menghaturkan sesajen serta larangan-larangan bagi umat yang ingin memasuki Pura. Keberadaan naskah lontar ini tidak banyak yang mengetahui sehingga perlu dilakukan penelusuran lebih jauh mengenai isi naskah ini sehingga bisa dijadikan pedoman oleh umat Hindu dalam berprilaku ditengah-tengah derasnya pengaruh globalisasi. 

II. Pembahasan

2.1 Gambaran Umum Teks dan Sinopsis Naskah Lontar Kramapura

2.1.1 Gambaran Umum Teks

Naskah Lontar Kramapura yang dialihaksarakan ini adalah lontar yang ditulis oleh Putu Mangku dari Banjar Jro Dikit Seririt pada Tahun Saka 1919 (1997 M). Lontar Kramapura tergolong naskah muda karena dilihat dari bahasa yang dipakai sebagai wahananya yaitu bahasa Kawi-Bali. Naskah Lontar ini tersimpan di Kantor Pusat Dokumentasi Dinas Kebudayaan Propinsi Bali. Lontar yang disimpan di Kantor Pusat Dokumentasi Dinas Kebudayaan Propinsi Bali disimpan di kropak dengan kode H/XI/DISBUD. Naskah Lontar Kramapura ini ditulis pada lontar yang memiliki panjang 34,5 cm dan lebar 3 cm tersedia dalam bentuk lontar dan terjemahan. 

Naskah Lontar Kramapura yang disimpan di Kantor Pusat Dokumentasi Dinas Kebudayaan Propinsi Bali telah dialihaksara dan dialihbahasakan atau diterjemahkan. Pemilihan Naskah Lontar Kramapura yang diperoleh dari Kantor Pusat Dokumentasi Propinsi Bali adalah dalam bentuk salinan teks untuk lebih memudahkan dalam mengkaji dan memahami maksud yang terkandung di dalamnya. Lontar ini termasuk Lontar Sesana, yang lebih mengkhusus pada tata cara masuk tempat suci.

Naskah Lontar Kramapura secara tekstual merupakan naskah tradisional yang mengandung tata cara berprilaku dan laranagan-larangannya memasuki Pura. Lontar ini disusun dalam bentuk teks menggunakan Bahasa Kawi Bali dengan Bahasa Indonesia sebagai penjelasannya. Naskah sadur oleh I Dewa Ayu Puspita Padmi, dari Amlapura, pada hari minggu umanis merakih, tanggal 31 mei 1998.

2.1.2 Sinopsis/Ringkasan Naskah Lontar Kramapura

Pada bagian awal Naskah Lontar Kramapura ini berisikan tentang ajaran Sang Hyang Dewa Sasana melalui sabda. Yang pertama disebutkan adalah kewajiban sebagai pengempon Pura yang harus mematuhi aturan berupa ajaran Triwikrama. Triwikrama dari asal katanya terdiri dari kata Tri artinya tiga, Wi artinya yang dijunjung, Krama artinya perbuatan, Dharma artinya takdir, Gama artinya pegangan, Tirtha artinya dengan air suci, Tirtha juga artinya kehidupan. Selanjutnya pada alenia berikutnya berisikan tentang kreteria alat-alat atau sesajen yang dianggap kontor/ cemer seperti diantarnya dilangkahi oleh anjing, dan dilangkahi oleh manusia, dipakai mainan oleh anak-anak, dan barang belanjaan di pasar sehingga perlu disucikan oleh Pendanda melaui Tirta Pabersihan.

Selanjutnya pada alenia berikutnya berisikan tentang hasil alat-alat yang telah sudah disucikan dengan tirta dan layak untuk dijadikan sesajen kembali, selanjutnya jika di Pura menemukan orang kesurupan dan mengaku dewa yang turun, maka perlu dites dengan sarana-sarana untuk mengetahui kebenaran dari orang kesurupan tersebut. Selanjutnya pada bait berikutnya terdapat larangan bagi orang haid memasuki pura maka sepatutnya dihukuman dengan didenda sebesar 179 kepeng, dan harus melakukan peyucian di pura itu.

Selain itu, orang yang tidak boleh masuk pura adalah orang gila, orang yang menstruasi, orang cuntaka karena kematian, pencuri. Di areal pura, orang dilarang untuk marah sampai memaki-maki, bicara ngacuh, bersanggama, berselingkuh, bahkan untuk memperbaiki pakaian. Yang paling dilarang masuk pura adalah orang panten (orang yang dosanya tidak terampuni), yaitu orang yang memperkosa, yang laki-laki dari golongan sudra sedangkan wanitanya dari golongan tri wangsa (brahmana, ksatriya, wesya). Orang yang mengawini yang tidak patut dikawini (gamia-gamana) juga dilarang masuk pura. Ada juga yang disebut caci/aka, yaitu seorang wanita yang telah cukup umur namun tidak menstruasi, walaupun sudah berobat pun juga tidak menstruasi, dilarang masuk pura lebih-lebih untuk membuat perlengkapan sesajen.

Selanjutnya berisikan tentang aturan-aturan orang cuntaka akibat kematian baik cuntaka akibat kematian keluarga ngarep hingga kematian Jro Mangku di desanya. Dalam lontar ini juga berisikan tentang hukuman dan larangan bagi pencuri di Pura baik yang dilakukan oleh orang yang normal ataupun orang gila. Lontar ini juga mengatur tentang larangan orang memaki-maki atau berbicara yang tidak sesuai dengan norma kesopanan di Pura. Lontar juga mengatur orang-orang yang bersetubuh di Pura mengenai hukuman dan akibat dari prilakunya tersebebut. Lontar juga mengatur bagi orang yang suka menduduki palinggih yang ada di Pura, jika hal tersebut dilakukan maka akan mendapatkan hukuman.

Lontar ini juga mengatur larangan-larangan bagi Jro Mangku dalam melakukan sesane nya sebagai orang suci, seperti misalnya kewa jiban pemangku yang harus mempelajari tata cara pelajaran Sangkul Putih. Juga disebutkan tentang kewajiban-kewajiban bagi Jro Mangku didalam Pura seperti harus melakukan bersih-bersih termasuk ajaran Jro Mangku yang tidak boleh serakah. Pada bagian akhir lontar ini berisikan tentang upaya penyucian jagat bila terajadi keanehan di dunia seperti yang disebutkan ciri-cirinya oleh Lontar Widhi Sastra Sangarabhumi, serta Lontar Prakempaning Jagat.

2.2 Ajaran-ajaran yang terdapat dalam Naskah Lontar Kramapura 

Secara umum Naskah Lontar Kramapura ini berisikan ajaran etika atau sesana dalam menjaga kesucian Pura. Lontar ini banyak mengulas tentang larangan-larangan bagi umat Hindu yang boleh atau tidaknya untuk memasuki Pura. Secara umum lontar ini berisikan ajaran-ajaran sebagai berikut :

2.2.1 Ajaran Menjaga Kesucian Pura

Dalam Naskah Lontar Kramapura ini juga berisikan tentang kewajiban menjaga Kesucian Pura. Menurut Titib Kawasan Suci adalah suatu wilayah yang melengkapi bangunan suci maupun wilayah pendukung kegiatan pada bangunan suci tersebut yang telah mendapatkan upacara “Bhumi Sudha” yaitu upacara untuk menarik kekuatan Ida Sanghyang Widhi dan menghilangkan segala kekotoran secara spiritual terhadap wilayah/kawasan suci tersebut, seperti, danau, hutan, laba pura, mata air suci (beji), sungai, jurang, ngarai atau campuhan (pertemuan sungai), pantai, setra dan perempatan agung (Titib, 2000 : 76). Dalam Naskah Lontar Kramapura secara jelas disebutkan tentang upaya-upaya yang harus dilakukan untuk tetap menjaga kesucian Pura seperti pemilihan sarana bebantenan yang harus terlebih dahulu dibersihkan dengan tirta, jika hal tersebut belum dilakukan maka srana bebantenan tersebut belum dianggap suci, selanjutnya upaya yang lain adalah memproteksi orang-orang yang memiliki pikiran yang kurang baik jika memasuki Pura. 

Didalam Lontar ini juga dituliskan upaya-upaya untuk menjaga kesucian Pura bagi orang-orang yang ingin berbohong di Pura dengan mengatasnamakan Dewa yang turun atau yang disebut dengan kesurupan. Dalam ini disebutkan sarana untuk mengetes apakah memang benar para dewa yang bersembahyang ditubuhnya atau hanya mengada-ada. Menurut lontar ini yang digunakan sebagai sarana adalah dengan cara membuat api dari betok kelapa, lalu celupkan kedua tanganya, dengan lama sama dengan orang makan daun sirih, namun disertai dengan sesajen, di depan pura itu, bila ia tidak terbakar oleh api, memang benar dewa yang bersemayam pada dirinya, bila ia terbakar oleh api, tidak benar dewa yang bersemayan pada dirinya, itu tidak patut dikenakan denda dan penyucian kahyangan itu. Demikianlah tata cara menjaga kawasan Pura agar tetap suci dan terhindar dari cemer/kekotoran.

Didalam lontar ini disebutkan secara mendetail ajaran tentang tata cara dan kewajiban sebagai Pengempon Pura. Jika dilihat secara umum, sebuah Pura bisanya di Empon oleh sekelompok orang yang terikat dalam wadah baik berupa Dadia, Desa Pakraman ataupun Treh/Keturunan. Dalam lontar ini disebutkan jika orang mendapatkan kewajiban sebagai pengempon Pura maka hendaknya mengetahui ajaran Dewa Tattwa dan menjalankan ajaran Triwikrama yang terdiri dari kata Tri artinya tiga, Wi artinya yang dijunjung, Krama artinya perbuatan, Dharma artinya takdir, Gama artinya pegangan, Tirtha artinya dengan air suci, Tirtha juga artinya kehidupan. Pengempon Pura memiliki kewajiban menjaga agar kawasan Pura tersebut tetap bersih.

2.2.3 Ajaran Sesana Kepemangkuan

Ajaran tentang sesana kepemangkuan yang termuat dalam Naskah Lontar Kramapura seperti tentang tata cara memilih pemangku, jika berdasarkan keturunan maka yang berhak untuk menggantikan adalah anak laki-lakinya namun sebelumnya harus melakukan upacara penyucian berupa pelaksanaan pawintenan tri guna serta dirajah oleh sulinggih atau siwa yogi. Dalam konsep kepemangkuan secara umum syarat-syarat untuk menjadi pemangku atau pinandita adalah memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai ilmu pengetahuan suci Weda serta memiliki sifat yang arif dan bijaksana.

Secara umum Pemilihan dan penetapan seorang Pemangku (Pinandita) yang akan ditugaskan di suatu Pura pada umumnya diambil dari para penyungsung pura yang bersangkutan. Tata cara pemilihan dan penetapan Pemangku (Pinandita), antara satu pura dengan pura yang lain tidak selalu sama. Ada beberapa cara yang ditempuh dalam memilih dan menetapkan Pemangku (Pinandita) antara lain :

a) Ditetapkan berdasarkan keturunan dari Pemangku (Pinandita) sebelumnya.
b) Melalui pemilihan.
c) Dengan cara nyanjan atau matuwun.
d) Dengan cara lekesan atau sekar.

Dalam pemilihan dan penetapan Pemangku (Pinandita) tersebut, cara manapun yang ditempuh pada dasarnya unsur ketulusan dan kesepakatan diantara para penyungsung pura itu sangat menentukan dan perlu diperhatikan agar jangan sampai terjadi sengketa yang menyangkut Kepemangkuan (Kepinanditaan) itu sendiri. Oleh karena Pemangku (Pinandita) dalam tugasnya sehari-hari di pura sangat erat kaitannya dengan hal-hal kesucian, maka perlu didukung dengan sikap yang tulus ihklas berlandaskan yajna, antara yang ditugaskan sebagai Pemangku (Pinandita) maupun yang memilih atau yang akan menggunakannya. Dengan landasan ketulusan hati itu, akan dapat mendukung kemantapan pelaksanaan tugasnya nanti.

Dalam Naskah Lontar Kramapura juga disebutkan tentang sesana pemangku yang hendaknya harus mempelajari tata cara pelajaran Sangkul Putih serta mantra-mantra pemujaannya. Pemangku juga diharapkan mampu melakukan pabersihan serta paham tentang tata cara pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Pemangku juga diharapkan selalu berpakain bersih dan menghindari prilaku yang jorok seperti berpakain kotor, belum mandi, belum gosok gigi, belum keramas dan lain sebagainya. Jika hal-hal tersebut belum dilakukan pemangku tidak diperbolehkan untuk menaiki/ Napak pelinggih untuk menghaturkan sesajen apalagi melayani umat. Jika hal itu terjadi berulang kali maka pemaksan atau pengemong Pura dapat memberhentikannnya menjadi Pemangku. 

Dalam Naskah Lontar Kramapura ini juga disebutkan tentang kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh Pemangku Pemaksan Pura diantaranya Pemangku harus melakukan kewajiban dengan baik baik di pura seperti melakukan bersih-bersih, membersihkan sampah di pura, dan Pemaksan Pura berkewajiban untuk membantu Pemangku dalam menjalankan kewajibannya. Pemangku juga diharapkan tidak boleh serakah terkait dengan segala hasil di Pura. Bila ada orang yang membayar kaul, hasilnya patut di bagi tiga, Pemangku sepertiga, pemaksan sepertiga dan orang yang berkaul sepertiga. Bila Pemangku serakah, seperti mengambil bagian hasil semuanya, maka Pemangku tersebut berhak berhentikan menjadi Pemangku, karena telah menyimpang prilakunya, yaitu tidak sesuai sesana sebagai seorang Pemangku. Jika di Pura ada krama yang mengaturkan wastra (pakaian pelinggih) patut diterima oleh Pemaksan dan Pemangku dan berkewajiban untuk membersihkan, menjaga agar tidak rusak, atau hilang, karena wastra (pakaian pelinggih) sudah menjadi milik hyang widhi.

Pemangku juga diharapkan tidak boleh bande atau tidak mau mengakui kesalahan serta memiliki perasaan yang iri hati dengki, berpikir jahat, dan jahil kepada orang di desa, karena Pemangku seharusnya selalu menjungjung Hyang Widhi, hendaknya pikiran selalu diarahkan pada kebenaran, agar selalu mendapatkan keselamatan dari Hyang Widhi. Pemangku juga diharapkan selalu setia pada pura Bujangga, bhu artinya bumi, ja artinya pikiran, ngga artinya badan jasmani. Bhuja artinya tangan, ngga artinya badan atau pikiran. Pemangku sebagai kaki tangan Hyang Widhi, hanya Pemangku yang boleh mewujudkan perwujudan Hyang Widhi di dunia, itulah sebabnya Pemangku disebut sebagai Bhujangga Dewa. Jika disebut sebagai Bhujangga Danghyang maka beliau adalah sang sulinggih, beliau yang mewujudkan Hyang Widhi di dunia, jika orang disebut sebagai Bhujangga Kreta maka beliau adalah para peminpin yang telah menjalankan kewajiban untuk menjaga ketentraman dunia, beliau adalah pemimpin yang kuat dalam melindungi masyarakatnya.

2.3 Larangan-Larangan di Tempat Suci menurut Naskah Lontar Kramapura 

Secara umum kesucian pura meruapakan tanggungjawab seluruh pamedek yang ngempon pura tersebut. Namun secara spesifik tanggung jawab tersebut menjaga kesucian Pura tidak hanya perlu dijaga pada saat upacara-upacara saja, tetapi setiap hari para Jero Mangku yang  bersangkutan perlu memperhatikannya dengan seksama. Berikut adalah larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan dilakukan pada saat di Pura menurut Naskah Lontar Kramapura :

2.3.1 Sesajen yang tidak boleh dihaturkan di Pura menurut Naskah Lontar Kramapura

Sesajén atau banten merupakan sarana utama yang digunakan oleh umat Hindu dalam melakukan persembahyangan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Banten itu adalah bahasa untuk menjelaskan ajaran agama Hindu dalam bentuk simbol. Di dalam Naskah Lontar Kramapura perlengkapan banten yang dianggap kotor, tidak boleh dipakai sesajen adalah peralatan banten yang dilangkahi anjing, dilangkai oleh manusia, dipakai mainanan oleh anak-anak, perlengkapan banten yang diterbangkan oleh ayam, dikenai oleh rambut, dikenai bedak, terkena ludah, banten yang dibuat oleh orang yang sedang berdahak, orang yang dalam keadaan kotor atau belum mandi. Jika dalam keadaan seperti diatas maka banten atau srana dari banten tersebut dianggap kotor dan belum layak dijadikan banten dan dihaturkan di Pura.

Dalam naskah ini juga disebutkan jika menemukan banten atau srana banten dengan kondisi diatas maka sebelum dilakukan pabersihan oleh Sulinggih maka banten tersebut belum boleh dihaturkan di Pura. Bahkan sebelum dibersihkan dengan tirta oleh sulinggih maka persembahan tersebut tidak akan diterima oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan baniten yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk baniten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih. Jika banten dalam keadaan tidak suci atau cemer maka tentu tidak layak untuk dihaturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

2.3.2 Larangan Bagi Orang memasuki Pura menurut Naskah Lontar Kramapura

Pura merupakan tempat yang diyakini oleh umat Hindu sebagai tempat yang suci, sehingga kesuciannya. Dalam naskah Lontar Kramapura disebutkan orang-orang yang tidak diperbolehkan memasuki Pura diantaranya wanita yang sedang haid, wanita yang serba berpakian indah atau menor, orang yang pura-pura mengaturkan sesajen namun dirinya sedang haid. Bila ada yang dengan kondisi diatas secara diam-diam tetap memasuki Pura maka pengurus Pura berhak memberikan hukuman bagi orang-orang yang melakukan pelanggaran tersebut dengan hukuman masing-masing denda 179 uang kepeng dan wajib melakukan penyucian pura.

Disamping itu orang yang tidak boleh memasuki Pura adalah orang-orang yang cuntaka karena kematian sanak keluarganya. Jika yang meninggal adalah keluarganya baik mindon, misan maka orang tersebut tidak boleh memasuki pura selama 37 hari. Bila orang tersebut adalah wesya dan keluarganya ada yang meninggal maka tidak boleh memasuki pura selama 27 hari. Juga jika orang tersebut seorang Brahmana dan keluarganya ada yang meninggal maka tidak boleh memasuki pura selama 3 hari. Bila orang tersebut adalah pemangku, dan ada keluarganya ngarep nya yang meninggal maka tidak boleh memasuki Pura selama 3 hari. Jika pendeta Siwa nya meninggal, maka seorang Pemangku patut cuntaka selama 12 hari, dan bagi sisya nya yang lain selama 14 hari tidak boleh memasuki Pura.

Bila ada orang yang dengan ketentuanketentuan diatas melakukan pelanggaran dengan sengaja sudah mengetahui dirinya dalam kondisi cuntaka tetap memaksakan memasuki Pura maka orang tersebut (orang bisa, wesya, sulinggih dan pemangku) dikenakan denda sebesar 1700 kepeng uang dan wajib melakukan penyucian di Pura. Dalam naskah ini juga disebutkan bagi orang yang sudah diketahui gila tidak diperbolehkan memasuki Pura. Bila orang tersebut memaksa untuk melakukan persembahayang dan pengempon Pura sudah memintanya untuk pergi namun tidak diindahkan maka Orang Gila tersebut patut didenda sebesar 2400 kepeng uang yang dibebankan kepada keluarganya. Demikian upaya menjaga kesucian Pura yang termuat dalam Naskah Lontar Kramapura. 

Apa yang disebutkan oleh Naskah Lontar Kramapura tersebut sesungguhnya sudah disebutkan didalam Keputusan Seminar ke-IV tentang Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu tanggal 17 s/d 20 April 1978 PHDI, dimana ditegaskan tentang larangan masuk ke Pura bagi orang-orang seperti berikut : (1) dalam keadaan datang bulan bagi wanita, (2) baru melahirkan atau aborsi yang belum selesai masa cuntaka/ sebel nya, (3) Berhalangan kematian atau cuntaka karena sebab lain, (4).Tidak mentaati ketentuan masuk Pura, (5) Menderita cacat fisik yang permanen, (6) Berpakaian tidak sopan atau menonjolkan bentuk tubuh/ aurat. (7) Bercumbu, berkelahi, bertengkar, berkata kasar/ memaki, bergosip, menyusui bayi, meludah, buang air, mencorat-coret pelinggih-pelinggih, dan lainlain. dan (8) Yang tidak mempunyai kepentingan bersembahyang atau yang berkaitan dengan acara/ upacara di Pura.

Semua aspek tersebut sesungguhnya sudah relevan dengan apa yang disebutkan dalam naskah Lontar Kramapura namun dalam keputusan satuan tafsir oleh PHDI tersebut tidak berisikan sanksi yang berupa mengikat. Bahkan dalam satuan Tafsir oleh PHDI tersebut sanksi yang dimunculkan lebih ringan di bandingkan dengan kewajiban denda yang harus di bayar oleh yang melanggar. 

2.3.3 Larangan bagi orang yang berprilaku kurang baik menurut Naskah Lontar Kramapura

Dalam Naskah Lontar Kramapura disebutkan beberapa prilaku orang yang tidak diperbolehkan dilakukan di Pura seperti orang yang berpura-pura kerauhan mengakungaku dirinya disusupi oleh para Dewa, maka untuk membuktikannya dilakukan dengan cara mencelupkan kedua tangannya kedalam api yang dibuat dari batok kelapa selama orang yang sedang memakan sirih dan disertai sesajen yang dihaturkan di depan Pura. Jika orang yang kerahuan tersebut tangannya tidak terbakar maka memang benar tubuhnya bersemayang Dewa, jika sebaliknya tanggannya terbakar maka tidak benar Dewa telah bersemayam dalam tubuhnya sehingga orang yang demikian wajib dikenakan denda dan sanksi melakukan penyucian Pura secara sekala maupun niskala.

Prilaku yang dilarang di Pura menurut Naskah Lontar Kramapura adalah mencuri di Pura, jika ada orang yang melakukan pencurian di Pura baik mencuri benda suci, dan bendabenda lainnya di areal Pura maka orang tersebut wajib dikenai denda sesuai dengan besar tidak nya barang yang dicuri, berharga atau tidaknya barang yang dicuri. Jika mencuri dengan tingkat kecil (nista) maka dikenakan denda sebesar 500 kepeng uang, jika mencuri dengan tingkatan menengah (madya) maka dikenakan denda sebesar 1500 kepeng uang. Sedangkan jika mencuri pada tingkatan utama (besar) hukuman sangat berat dosanya sebesar 5700 kepeng uang. Karena Pura telah tercemarkan oleh jejak kaki pencuri maka pemaksan diharuskan mempersembahkan guru piduka kesemua arah dan caru manca kelud, sebab Pura tersebut sangat leteh sama seperti kotornya dengan orang yang meninggal di Pura. Sehingga Pamaksan berkewajiban mempersembahkan prayascita utama. Jika pencuri tersebut mencuri palinggih atau pretima maka hendaknya Pencuri tersebut mengganti pelinggih atau pertima tersebut dengan percis sama dengan aslinya lengkap dengan pelaksannaan upacaranya. Seperti halnya upacara membuat Pura baru, lengkap dengan pedaginganya, Pelinggih Pura itu.

Selain itu prilaku yang dilarang dilakukan di Pura menurut Naskah Lontar Kramapura adalah orang yang suka memaki-maki dan berbicara kotor di Pura, baik pada saat upacara, piodalan, atau saat mengaturkan sesajen orang tersebut suka memaki-maki maka hendaknya I Kliyang Pura menasehati orang tersebut, bila tidak diindahkan maka hendaknya I Krama pemaksan menangkap orang itu, dan mengembalikan ke rumahnya. Bila membangkang, hendaknya orang itu di hukum serta diwajibkan mengaturkan prayascita utama, di pelinggih serta meyucikan Pemangku, karena bersalah telah mengusir dewa, dan mengundang  buta kala dengen, semua datang untuk mengancurkan pura itu. 

Dalam Naskah Lontar Kramapura juga disebutkan jika ada orang yang berkelahi di Pura apalagi sampai terbukti menenteskan darah di pelataran pura, maka orang tersebut wajib dikenakan denda sebesar 10500 kepeng uang, dan harus melalukan upacara penyucian, upacara padudusan sampai upacara manca kelud. Begitu halnya juga bagi orang yang terbukti memadu kasih, sampai bersetubuh di Pura. Namun orang yang mengetahui perbuatan tersebut tidak melaporkannya kepada Klian Pura, Maka orang yang kasmaran itu, hendaknya diberikan hukuman berupa membayar denda sebesar 5700 kepeng uang, serta memperbaiki pura itu secara sekala mauapun niskala, sebagaimana mestinya karena pura itu telah tercemar. Begitu juga orang yang menemukan perbuatan tersebut namun tidak melaporkannya maka juga harus dikenakan hukuman yaiut harus membayar denda sebesar 5700 kepeng uang, karena diam melihat orang yang bersalah.

Naskah Lontar Kramapura juga mengatur tentang prilaku orang yang suka menduduki pura, tempat palinggih bhatara yang di sucikan, berhias. Apalagi orang tersebut merusak peralatan milik pura, seperti segala peralatan, dan perlengkapan pura (wastra palinggih), maka oarang tersebut patut di hukum. Hukumannya disesuaikan dengan perbuatannya, jika merusak segala peralatan di pura dan bahkan sampai mencurinya maka hukumannya berlipat-lipat. Jika hanya karena duduk diplataran palinggih maka hukumannya hanya mengaturkan penyucian terutama prayascita. Begitu juga jika ada orang biasa yang menaiki Gedong stana Ida Bhatara di pura, tanpa sepengetahuan pemangku, maka hendaknya pemangku melarang orang itu, dan patut di berikan hukuman membayar denda sebesar 4500 uang kepeng, serta wajib melakukan peyucian pura itu, sebagaimana mestinya.

Bagi orang yang suka memohon anugrah termasuk memohon yang lainnya di Gedong Pura yang bukan anggota pemaksan dan tidak meminta ijin kepada pemangku pura tersebut, dan dengan seenak hati naik ke gedong pura dan berada lama di tengah gedong Pura, Maka orang tersebut hendaknya dihukum berat, yaitu harus membayar denda sebesar 57000 kepeng uang, karena orang itu telah memasang perangkap. 

III. Penutup

Naskah Lontar Kramapura merupakan jenis lontar Sesana yang berisikan ajaran-ajaran berprilaku untuk menjaga kesucian Pura. Naskah Lontar ini secara garis besar berisikan tentang ajaran-ajaran dan larangan-larangan yang tidak diperbolehkan jika ingin memasuki Pura. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam Naskah Lontar Kramapura ini (1) Ajaran menjaga kesucian Pura dimana ajaran ini berisikan tentang kewajiban-kewajiban bagi para pengempon dan pemaksan Pura untuk menjaga agar kesucian tersebut tetap terjaga. (2) Ajaran Sesana Kepemangkuan, dalam ajaran ini berisikan tentang kewajiban-kewajiban pemangku sebagai Pangempon Pura dalam menjaga kesucian dan kesakralan Pura melalui peningkatan jnana dengan kewajiban mempelajari sesana menjadi Pemangku. Naskah Lontar Kramapura ini juga berisikan larangan-larangan ditempat suci seperti (1) Macam-macam peralatan sesajen atau banten yang tidak boleh dihaturkan di Pura, (2) Larangan bagi orang yang memasuki Pura seperti bagi oranag yang sedang haid, cuntaka dan yang lainnya. (3) Larangan bagi orang yang berprilaku kurang baik seperti mengaku-ngaku kerauhan, mencuri di Pura, berkata yang tidak baik di Pura, orang yang berkelahi di Pura, dan berprilaku yang tidak mengetahui sopan santun.



Judul : Etika Di Tempat Suci Menurut Lontar Kramapura
Oleh : Putu Maria Ratih Anggarini
Dari : Dosen STAHN Mpu Kuturan

0 Response to "Etika Di Tempat Suci Menurut Lontar Kramapura"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel