Filsafat Kelepasan dalam Yoga Sutra Patanjali
Thursday, December 2, 2021
Add Comment
MUTIARAHINDU.COM -- Filsafat Kelepasan dalam Yoga Sutra Patanjali. Yoga Sutra ditulis oleh Maharshi Patanjali sekitar 200 tahun SM, era Aristoteles di Yunani, Beberapa dekade sebelum munculnya Alexander Agung dari Macedonia (358-323 SM), praktek Yoga adalah pelengkap aplikatif bagi falsafah Samkya yang didirikan oleh Maharsi Kapila yang sudah ada yaitu sejak abad VIII SM, jauh sebelum sutra-sutra ini ditulis. Tujuan dari Yoga baik sebagai falsafah maupun sebagai sistem olah jiwa adalah agar sang jiwa terbebas dari ilusi maya. Yoga sutra adalah teks yoga klasik atau yoga darsana merupakan salah satu filsafat India yang mengakui otoritas Weda sebagai sumber kebenaran. Yoga sutra yang terdiri dari empat bagian (paada) yaitu meliputi 1. Samadhi Paada (Teori dalam mencapai tujuan Yoga). 2. Sadhana Paada (disiplin latihan yoga). 3.Vibhuti Paada (hasil dari disiplin latihan yoga/siddhi) 4. Kaivalya Paada (tercapainya kesempurnaan dalam yoga). Patanjali menjelaskan keempat bagian tersebut secara sistematis tentang bagaimana mentransformasi diri, menyadari hakikat hidup manusia.
Patanjali adalah seorang filsuf dan penemu kebenaran sejati di mana Beliau menulis tiga karya klasik yang meliputi yoga sutra adalah ilmu tentang pikiran (Science of Mind) yang mana mahakaryanya mampu mempengaruhi umat manusia untuk melakukan latihan yoga sebagai metode untuk mentransformasi diri, sehingga para ahli menyebut Patanjali sebagai Bapak pendiri sistem Yoga. Selain itu beliau juga memberikan interpretasi tentang Ayurveda pada kitab Charakapratisanskrta yang memuat tentang ilmu pengobatan dan beliau sangat berjasa telah menyusun tata bahasa Sanskerta klasik (grammar) yang disebut Mahabhasya, sehingga dapat diwarisi hingga saat ini untuk memudahkan pemahaman dalam mempelajari bahasa Sanskerta. Ketiga hasil karya Patanjali merupakan komponen dari kepribadian utuh umat manusia dengan mengejawantahkan ajaran Tri Kaya Parisudha yaitu untuk menyadari bahwa manusia mampu berpikir dengan benar melalui yoga, berbicara yang benar dengan memahami tata bahasa dan bertindak mengatasi penyakit dengan ayurveda. Hal ini menunjukkan Patanjali adalah seorang yang jenius dalam mentransformasi diri secara holistik.
Selain itu menurut Mukunda Stiles nama Patanjali berasal dari urat kata “Pata” daun jatuh (Anugrah) dan “ anjali” sikap telapak tangan di cakupkan di dada atau anjali mudra. Maka arti nama Patanjali mengajarkan tentang kebhaktian dan penyerahan diri kepada Tuhan (Isvara). Selain itu ada pula mitologi yang menyebutkan Patanjali adalah manusia setengah ular sebagaimana yang digambarkan dalam arca yang berwujud Patanjali sebagai simbol bahwa di dalam diri manusia terpendam kekuatan yang maha dashyat (kundalini). Maka dari itu bagaimana konsep ajaran Bhakti menurut Patanjali dan Bagaimana ajaran Universal yang diterapkan oleh Patanjali? Sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut seharusnya mendapatkan jawaban berdasarkan sumber sastra, karena dewasa ini banyak sekali aliran-aliran yoga yang berkembang tidak sesuai dengan apa yang Patanjali tekankan dalam hakikat yoga itu sendiri.
Ajaran moral dan etika merupakan dasar dari ajaran yoga, tanpa dasar tersebut seorang praktisi yoga sulit untuk mencapai tujuan dari yoga, Dewasa ini praktisi yoga lebih menonjolkan gerakan-gerakan atau pose dalam yoga, sehingga yoga terkesan sebagai olah tubuh untuk kebugaran jasmani, sehingga Yama dan niyama dikesampingkan. Yama dan niyama sesungguhnya ajaran moral dan etika yang bersifat universal. Hal itu dijelaskan dalam yoga sutra II.31:
Eti jati desa kala samayanawacchinnah sarwabhauma maha vratam
Kelima macam pengekangan ini tak terbatas oleh golongan, tempat, waktu atau alasan dan merupakan sumpah agung yang bersifat universal.
Kelima macam pengekangan yang dimaksud adalah Ahimsa (tanpa kekerasan). Kebenaran (Satya), tidak mencuri (asteya), pembujangan (brahmacari) kesederhanaan (aparigraha). Kelima yama ini merupakan sebuah gugusan pemikiran yang dikembankan sehingga nantinya bersifat inlusif, yakni mampu merasakan sepeti yang lain rasakan dan mampu menghormati yang lainnya, karena secara prinsip setiap orang memiliki unsur-unsur pokok yang sama. Kelima jenis yama ini bisa dijadikan sebagai pegangan etika universal yang harus ditumbuhkan oleh siapa saja. Kelima macam etika ini bernilai universal dan tidak ada agama atau ajaran lain yang tidak mengedepankan pada nilai-nilai ini.
Yoga sutra Patanjali yang terdiri dari empat bagian (paada) memaparkan tentang konsep Bhakti pada sutra samadhi paada dan sadhana paada. Yaitu dalam sutra (1. 23): Isvara pranidhanad va (penyerahan diri (pengabdian) pada Isvara (Tuhan). Penyerahan diri kepada Tuhan adalah aspek terpenting dalam disiplin yoga, karena pada titik penyerahan dirilah kucuran energi Ilahi membasahi setiap Sadhaka (siswa Yoga). Penyerahan diri pula akan dapat mengatasi keterikatan duniawi secara perlahan-lahan. Swami Satya Prakash saraswati menyatakan keadaan samadhi atau supra sadar transenden hanya dapat dicapai melalui proses Isvara Pranidana, hanya mereka yang melalui Bhakti yang telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Isvara (Tuhan) berhak mendapat penyatuan kepada Tuhan. Hal itu pula telah dijelaskan oleh Sri Krisna dalam Bhagawad-gita (VIII.9) yaitu:
Abhyasa-yoga-yuktena cetasaa naanya-gaaminaa
Paramam purusa divyam yaati parthaanucintayan
Orang yang bersemadi kepadaku sebagai kepribadian Yang Maha Esa, dengan pikirannya senantiasa tekun, ingat kepada-Ku dan tidak pernah menyimpang dari jalan itu. Dialah yang pasti mencapai kepada-Ku wahai Partha (Prabhupada, 2010).
Mengapa manusia ingin menyerahkan diri kepada Tuhan? Patanjali mengatakan Karena manusia memiliki empat kelemahan yaitu pertama manusia terkepung penderitaan dari segala sisi (klesa). Kedua karena manusia terikat oleh perbuatannya sendiri (karma). Ketiga manusia harus menderita dari hasil perbuatannya (vipaka) dan keempat penderitaan cenderung meninggalkan keterikatan karma (vasana). Keempat kelemahan inilah manusia dituntut untuk menyerahkan diri kepada Tuhan. Bilamana manusia mampu merenungkan dan menyerahkan empat aspek tersebut kepada Tuhan maka segala keterikatan yang melekat pada Atman akan dapat dilepaskan. Maka dari itu Patanjali menyusun aphorisme (pernyataan inti) dalam sutra I.24-26 sebagai berikut:
Klesa karma vipaakaasayair aparaamerstah purusa visesa isvara
Tatra niratisayam sarvajna bijam Sa puurvesamapi guruh kalenaavachedaat
Isvara (Tuhan) adalah purusa istimewa, yang tak tersentuh oleh kesengsaraan hidup, kegiatan dan hasil serta kesan-kesan yang dihasilkan oleh kegiatan ini). Pada-Nya benih-benih kemahatahuan tak terkalahkan dan memuncak. Ia adalah Guru dari para guru jaman dahulu yang tidak terbatasi oleh waktu.
Tuhan menurut Patanjali merupakan Isvara atau roh khusus yang tak terpengaruh oleh kemalangan kerja, Isvara merupakan batas tertinggi dari benih kemahatahuan, yang tanpa dikondisikan oleh waktu, Purusa merupakan Guru bagi para bijak jaman dahulu. Dia bebas selamanya. Pernyataan ini juga terdapat dalam kitab Bhagawadgita sloka XIII. 15 dan XV.15 sebagai berikut:
Sarvendriya-gunaabhasaam sarvendriya vivarjitam
Asaktam Sara bhrccaiva nirgunam guna bhoktr Ca
Roh yang utama adalah sumber asli semua indriya namun Beliau tidak mempunyai indriya material. Beliau tidak terikat, walaupun Beliau memelihara semua makhluk hidup, Beliau melampaui sifat-sifat alam, dan pada waktu yang sama Beliau adalah penguasa semua sifat alam material.
Asmaat karam atiito hem aksarad api cottamah
Ato’smi loke vede ca prathitah purusottamah
Oleh karena aku bersifat rohani di luar yang dapat gagal dan yang tidak pernah gagal dan oleh karena Aku Yang Maha Besar, Aku dimuliakan, baik di dunia maupun dalam Weda sebagai kepribadian yang paling utama itu (Prabhupada, 2010).
Sifat-sifat kemahakuasaan Tuhan dalam kitab yoga sutra dan Bhagawadgita terdapat penjelasan yang sama tentang keagungan Tuhan, yaitu menganjurkan melaksanakan Bhakti kepada yang kekal abadi, maka ajaran ketuhanan yang ada dalam sutra Patanjali bersumber dari ajaran Weda dalam konsep Nirguna, walaupun Tuhan dalam yoga disebut Isvara akan tetapi Patanjali tidak menggambarkan Tuhan dalam bentuk personal atau perwujudan Tuhan. Hal ini juga dijelaskan oleh Swami Satyananda Saraswati bahwa Patanjali tidak mempercayai Tuhan sebagai wujud personal melainkan ajaran Ketuhanan Patanjali adalah kesadaran murni sepenuhnya (Nirguna) terbebas dari hukum aksi reaksi, atau disebut Purusa-visesa (kesadaran universal).
Patanjali menjelaskan mengenai Isvara dengan sendirinya tidak dapat dirumuskan mengenai Tuhan yang mutlak dan tak terhingga, tetapi kita Atman yang lebih rendah dan terikat dapat merenungkan Beliau sebagai istilah-istilah kita sendiri. Rumusan yang membedakan Purusa-visesa atau Tuhan dari Purusapurusa yang lebih rendah (jiwa-jiwa yang terikat) yang selalu terlibat dalam kesakitan, dalam tindakan terus menerus yang mengakibatkan hasil-hasil yang diinginkan dan yang tidak diinginkan dan terikat pada kecendrungankecendrungan yang ditinggalkannya.
Dalam upanishad telah dijelaskan Ia meliputi, Ia yang bercahaya, yang tanpa badan, yang tidak tersinggung, yang tanpa syarat, yang murni tak terhembus kejahatan, bijaksana, cerdas meliputi sewa-sembada, dengan tepatnya Ia membagikan objek suci (pengetahuan pada umatnya hidup langgeng). Oleh karena itu ajaran Bhakti dalam yoga sutra, patanjali memilih Isvara sebagai Tuhan dalam yoga atau disebut pula Roh yang tertinggi (Gurusavisesa) yang terbebas dari segala jenis klesa, perbuatan baik dan buruk Ia juga adalah benih dari segala tindakan.
II. METODE PENELITIAN
Karya ini menggunakan pendekatan teo-filosofis guna membahas tentang teknik bhatin yang ada di dalam Yoga Sutra Patanjali dikatikan dengan kepelasan. Jenis karya ini tergolong kualitatif deskriptif dengan analisis isi (content analysis) yang menggambarkan bagaimana Kelepasan dijabarkan oleh teks Yoga Sutra Patanjali setahap demi setahap. Teori yang dijadikan pegangan di dalam membedah permasalahan teknik bhaktin guna mencapai kelepasan dalam Yoga Sutra Patanjali ini adalah hermeneutic dengan mencoba mendeskripsikan melalui interpretasi teks dengan membandingkannya pada teks-teks lain sehingga makna yang terdapat di dalamnya tampak coherent, tidak tumpang tindih dengan pemahaman pokok dari ajaran Hindu.
III. PEMBAHASAN
Yoga merupakan salah satu jalan yang bersifat universal adalah jalan rohani melalui tahapan-tahapan yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan spiritual seseorang. Orang yang melaksanakan disiplin yoga disebut Yogi, untuk menjadi seorang Yogi hal yang paling utama ditekankan oleh Swami Satya Prakash Saraswati adalah menjadi seorang theis ( percaya kepada Tuhan) dan theisme tidak akan berarti apabila tidak mengikuti kode moral suci. Tuhan sendiri adalah kebajikan dan kode etika bersemayam di dalam Beliau. Seseorang dapat menjadi ahli musik, seorang penyair tanpa harus percaya kepada Tuhan atau berpegang teguh pada kode etika Beliau, seseorang dapat menjadi ilmuwan besar tanpa mematuhi aturan moral. Tetapi untuk menjadi seorang Yogi syarat mutlak adalah taat terhadap aturan moral dan etika.
Patanjali menyusun secara sistematis tentang tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh seorang Yogi yaitu melakukan disiplin yoga melalui Astanga Yoga atau sering disebut Raja yoga yang meliputi: Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana dan Samadhi. Tahapan tersebut dijelaskan pada Sadhana Pada, sutra. 28-55 dan Vibhuti Pada, sutra. 1-3.
Lebih lanjut Swami Satya Prakash Saraswati mengatakan tujuan seorang Yogi bukanlah untuk menghasilkan kecerdasan yang luar biasa dan juga bukan untuk menghasilkan seseorang yang memiliki ingatan menabjubkan atau seseorang yang ulung dalam suatu keahlian. jikalau hal itu diperoleh oleh seorang Yogi itu merupakan efek samping dari disiplin yoga yang telah dilakukan. Mengapa hal ini bukan menjadi tujuan utama dalam yoga? Karena kesiddhian yang demikian dapat menghalangi puncak dari ajaran yoga (samadhi), sebagaimana yang dijelaskan dalam sutra 1.2:
Yoga cita vrtti nirodhah.
Yoga adalah benih-benih pikiran (citta) dari pengambilan berbagai wujud (perubahan; vrtti)
Patanjali mendefiniskan Yoga sebagai "Citta-Writti-Nirodhah." Yoga artinya "penyatuan atau menghubungkan dengan yang suci" atau "Isvara". Citta artinya "benih-benih pikiran meliputi Budhi/sattvam, dimana kondisi pikiran dan mental yang jernih, rajas yaitu emosi-emosi tentang keakuan diri dan tamas yaitu sifat kemalasan dan kegelapan dalam pikiran "Writti” artinya "penyederhanaan" atau "getaran". Nirodha artinya "penghentian" (stoppage), "penekanan", atau "penahanan". Jadi menurut Patanjali, penyatuan dengan yang suci atau Isvara berarti penghentian dari getaran-getaran, atau penyederhanaan pikiran, atau melampui benih-benih pikiran. Penghentian benih-benih pikiran hanya dapat dicapai oleh seorang Yogi ketika mencapai tingkat samadhi seperti yang dicapai oleh sang Budha ketika bermeditasi di bawah pohon bodi, Beliau mencapai tingkat samadhi selama 48 hari, sehingga sang Budha pun mengatakan kebahagiaan yang dirasakan tidak dapat dijelaskan dalam kata-kata seperti seorang yang sedang menyelam di lautan tidak mampu berbicara apapun karena saat mencapai tingkat samadhi seseorang menyatu di lautan Ilahi. Bagaimana cara mencapai tingkat samadhi ? Patanjali telah menawarkan untuk melaksanakan disiplin Astanga yoga, tetapi hal yang paling penting menurut patanjali adalah memahami sutra I.1 (sutra pembuka) yaitu: Atha Yoganusasanam (Sekarang dijelaskan tentang latihan yoga) (Iyengar, 2011).
Sutra pertama ini merupakan kode dari yoga sutra, ketika sutra ini tidak dipahami oleh seorang yang ingin belajar yoga maka akan sangat sulit memahami apa yang dimaksud oleh Patanjali, arti kata “Atha” sekarang. Patanjali menulis kata sekarang pada awal sutra merupakan instruksi atau perintah untuk segera melakukan disiplin yoga, tanpa harus menunda atau hanya sedekar membaca yoga sutra. Karena sutra yang disusun Patanjali bukanlah hanya untuk bahan bacaan dalam mengembangkan intelektual semata melainkan untuk bersama-sama tenggelam menyelami sutra yang ditulisnya. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum Patanjali menulis sutra ini bahwasanya Beliau telah mencapai tingkat samadhi, sebagaimana seperti sang Budha telah capai, sehingga sutra ini tidak cukup hanya dibaca dan dipahami melainkan dilaksanakan.
2.1 Aspek Ketuhanan dalam Yoga Sutra Patanjali
Yoga sutra berisikan gagasan-gagasan yang memilki makna mendalam patut untuk diselami bagi yang menginginkan kebahagiaan kekal. Karena tanpa menyelami yoga sutra sangat sulit untuk memahami apa sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh Pataanjali, penyelaman yang harus dilakukan tiada lain harus melaksanakan disiplin yoga berdasarkan petunjuk-petunjuk yang telah diuraikan secara sistematis oleh Patanjali. Bahkan yang menarik dalam yoga sutra memiliki persamaan yang mencolok dengan kitab Bhagawadgita, akan tetapi para peneliti belum ada yang dapat memastikan apakah kitab ini ditulis sebelum atau sesudah ditulisnya sutra-sutra Patanjali. Persamaan yang paling menonjol di antara keduanya adalah tentang konsep Bhakti dan hakikat penyatuan kepada Tuhan. Sebagaimana yang tertuang dalam Sutra 1.27-28 menyebutkan:
Tasya vacakah pranavah
Tajjapastadarthah bhavanam
Tuhan disimbolkan dengan aksara Om. Menyebutnya berulang-ulang dengan sepenuh hati disebut Isvarapranidhana atau bersamadhi pada Tuhan)
Sedangkan dalam kitab Bhagawadgita VIII.13-14 (Prabhupada, 2010) terdapat sloka yang sama seperti sutra di atas:
Om ityekaksaram Brahma vyaharam mam anusmaran,
Ayah prayati tajam deham as Ati Pariaman gatim.
Sesudah seseorang mantap dalam latihan yoga ini dan mengucapkan suku kata suci Om, gabungan aksara yang paling utama, kalau dia berpikir tentang Aku dan meninggalkan badannya. Pasti dia akan mencapai Aku).
Ananya cetah satatam yo map smarati nityasah,
Tasyaham sulabhah Artha Nita yuktasya yoginah.
Wahai Partha Aku mudah sekali oleh orang yang selalu ingat kepada-Ku tanpa menyimpang sebab dia senantiasa tekun dalam Bhakti.
Sloka dan sutra di atas sama-sama menganjurkan pemusatan diri pada Tuhan dengan mengulang-ulang aksara suci. Dalam Bhagawad-gita aksara Om ini dijelaskan dalam banyak sloka yang dinyatakan sebagai simbol dari sifat Tuhan nirguna, kata Om sesungguhnya adalah suara semesta atau suara kesunyian. Dalam bahasa sansekertha kata Om gabungan dari tiga huruf yaitu A,U dan M, ketika mendapatkan deklinasi maka di baca Om. Huruf Om sebenarnya bukan mengarah pada sebutan Tuhan secara khusus tetapi sebagai simbol Tuhan yang universal atau puncak pencapain dari hakikat manusia. Hal ini dapat dibuktikan ketika seseorang membuka mulut dan bersuara akan terdengar A, kemudian ketika bibir setengah ditutup akan terdengar huruf U dan jika bibir tertutup akan terdengar huruf M. Maka dari itu inilah kata kunci untuk memutus lingkaran kelahiran dan kematian dengan di akhiri huruf suara M. Maka dari itu jelas bahwa ajaran-ajaran sutra Patanjali menuntun umat manusia untuk mencapai hakikat dari tujuan hidup manusia.
2.2 Asthanga Yoga
Delapan aspek asthanga-yoga atau Raja yoga ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu: Bahiranga meliputi Yama, niyama, Asana, Pranayama dan pratyahara disebut pertolongan-pertolongan yang tak langsung atau yang dari luar dan antaranga meliputi Dharana, dhyana dan Samadhi, yang disebut pertolongan-pertolongan yang langsung dari dalam. Harun Hadiwijono mengatakan Kedelapan aspek yoga tersebut dapat dilihat dari dua perspektif, yakni: pertama, sebagai unifikasi kesadaran yang tumbuh; kedua, sebagai pemurnian diri yang progresif. Kedua sudut pandang ini tercermin dalam YogaSutras.
1. Disiplin Moral atau Pengekangan Diri (Yama)
Definisi Yama yang dijelaskan dalam Yoga Sutras (2.30): “ahimsa satyasteya bramacaryaparigraha yamah “ Yama teridiri atas (ahimsa) tanpa kekerasan, (Satya ) kebenaran, (asteya) tidak mencuri, (Brahmacarya) selibat dan (aparigraha) kesederhanaan. Seperti juga semua spiritualitas otentik, fondasi yoga dibangun atas sebuah etika universal yang harus dilakukan oleh seorang Yogi karena Yama adalah salah satu sumpah Agung bagi seorang yang melaksanakan disiplin yoga. Oleh karenanya, ruas pertama yoga Patanjali bukanlah postur tubuh atau meditasi, melainkan disiplin moral (yama), Kelima bagian Yama adalah:
a. Tanpa kekerasan (ahimsa)
Dalam Yoga Sutras (2.35), ahimsa dijelaskan sebagai berikut:
Ahiṁsāpratiṣṭhāyāṁ tatsannidhau vairatyāgaḥ
Jika ahimsa sudah dilaksanakan secara mantap, maka semua permusuhan akan terhenti. Dari semua kewajiban moral, ‘tidak menyakiti’ adalah yang paling utama. ahimsa dapat dilakukan dengan cara menyayangi semua makhluk, sehingga kasih sayang tersebut juga akan memantul kepada seorang yang teguh melakukan ahimsa, ciri-ciri seorang Yogi yang berhasil melaksanakan ahimsa adalah Dia tidak akan dibenci oleh binatang buas sekalipun, karena di dalam diri sang Yogi sifat-sifat benci dan permusuhan telah dilenyapkan dengan melaksanakan disiplin ahimsa (Iyengar, 2011).
b. Kebenaran (satya)
‘Kebenaran’ (satya) seringkali ditinggalkan dalam literatur etika dan yoga. Padahal Satya adalah kunci keberasilan dalam setiap tindakan, jika seseorang telah berpegang teguh pada Satya maka hukum positif tidak diperlukan lagi, karena hukum positif berlaku ketika seseorang telah melakukan asatya (ketidakbenaran) oleh Karenanya bagi orang yang sudah menjalankan kebenaran, kejujuran, semua tindakan serta akibatnya pun akan tunduk padanya. Satya juga bisa diartikan sebagai kemampuan dari sebuah tindakan yang selaras dengan prinsip semesta. Apa yang menjadi hukum semesta senantiasa selaras dengan apa yang menjadi tindakan sehati-hari. Seperti dijelaskan dalam Yoga Sutras (2.36) bahwa:
Satya pratiṣṭhāyāṁ kriyāphalāśrayatvam.
Bagi orang yang sudah menjalankan kebenaran dan kejujuran dengan mantap, semua hasil serta akibatnya ada di bawah kendali dirinya.
c. Tidak Mencuri (Asteya)
‘Tidak mencuri’ (asteya) mengajarkan untuk tidak korupsi, karena pemilikan benda berharga secara tidak benar, atau merampas hak orang yang ia curi adalah perbuatan yang menodai kesucian bagi seorang Yogi.. Seorang Yogi menyadari hal itu sebagai investasi karma buruk yang harus dikembalikan dikemudian hari. Melaksanakan Asteya sesungguhnya melatih kejujuran atau kebenaran ke dalam diri karena, steya (mencuri) biasanya terjadi saat kesempatan itu berpihak kepada si pelaku dan akhirya ketika asteya tidak ditanamkan dalam diri maka orang tersebut akan dapat melakukan steya.. Menurut Yoga Sutras 2.37, asteya dapat didefinisikan:
Asteyapratiṣṭhāyāṁ sarvaratnopasthānam
Jika asteya sudah ditanamkan dalam sanubari, maka semua kekayaan akan datang.”
d. Kesucian-Kemurnian (brahmacarya)
Sebuah system yoga yang mungkin dalam beberapa pandangan tampak mustahil dikerjakan yakni brahmacharya. ‘Selibat’ (brahmacarya) secara harfiah berarti ‘tingkah laku Brahmana’ merupakan hal penting dalam tradisi spiritual walaupun terkadang ditafsirkan secara berbeda. Orang yang pikirannya hanya mengarah pada Tuhan dan mengesampingkan yang lain adalah brahmacharya. Ini bukan berarti bahwa orang mengabaikan aspek kehidupan lainnya, melainkan yang dimaksudkan disini adalah bagaimana para sadhaka mampu memikirkan bahwa apapun yang dikerjakan dan apapun situasi yang dihadapi pada prinsipnya adalah Tuhan. (Suwantana, 2018). Di dalam Yoga Sutras Patanjali 2.38, Brahmacarya dijelaskan sebagai berikut:
Brahmacaryapratiṣṭhāyāṁ vīryalābhaḥ.
“Dengan menjalankan brahmacarya, orang mendapatkan kekuatan secara terus menerus.”
Dalam sistem Yoga, selibat diartikan mengontrol diri dari aktivitas seksual, baik dalam perbuatan maupun dalam pikiran. Hal ini penting dilakukan pada masa Brahmacari. Karena ketika keinginan Indra tidak dikontrol saat Brahmacari, hal itu dapat menghambat jalan spiritual yang dilakoninya, Secara umum, rangsangan seksual dianggap menghambat dorongan ke arah pencerahan. Kontrol disini tidak dalam rangka menghentikan, melainkan lebih pada pengarahkan bagaimana Vira yang ada di dalam tubuh bisa terkelola dengan baik sehingga secara langsung berdampak pada perkembangan spiritual (Stiles 2002).
e. Ketidaktamakan (Aparigraha)
‘Ketidaktamakan’ (aparigraha) didefinisikan sebagai ‘tidak menerima hadiah’, karena hadiah tersebut menimbulkan keterikatan serta rasa takut akan kehilangan. Jadi, para yogi dianjurkan untuk menumbuhkan kesederhanaan dengan sengaja. Terlalu banyak kepemilikan akan mengganggu pikiran. Penyangkalan diri (renunciation) merupakan sebuah aspek integral dari kehidupan seorang Yogi. Yoga Sutras (2.39) memberikan definisi aparigraha sebagai berikut:
Aparigrahasthairye janmakathantāsambodhaḥ
Jika aparigraha telah tertanam dalam diri, maka akan muncul pengetahuan tentang bagaimana dan mengapa seseorang dilahirkan (Stiles, 2002)
Kelima disiplin Yama seharusnya jangan diabaikan oleh seorang Yogi karena disiplin ini akan menyelamatkan dari hambatan-hambatan dalam kehidupan sosial maupun diri sendiri, Jika dikuasai sepenuhnya, maka masingmasing dari kelima keutamaan dapat memberikan kekuatan (siddhi). Sebagai contoh, penguasaan ahimsa akan menciptakan aura kedamaian di sekitar diri sang yogi yang dapat menetralisir semua rasa permusuhan serta penguasaan kebencian. Melalui kebenaran (satya) seorang praktisi yoga mendapatkan kekuatan dengan selalu mewujudkan kata-katanya. Penguasaan keutamaan ‘tidak mencuri’ (asteya) mendatangkan segala macam harta tanpa usaha yang keras, keutamaan brahmacarya dapat menghidarkan godaan-godaan sensual sedangkan ‘ketidaktamakan’ (aparigraha merupakan kunci untuk memahami kelahiran mereka sekarang, masa depan dan sebelumnya (Stiles, 2002).
2. Disiplin Diri (Niyama)
Disiplin yoga bagian kedua dari Raja-yoga Patanjali, yakni: ‘disliplin diri’ (niyama), bertujuan untuk mengendalikan energi psiko-fisis yang ditimbulkan dari pengendalian diri kehidupan batin para yogi. Jika kelima disiplin moral (yama) bertujuan mengatur latihan displin yoga secara teratur untuk mewujudkan keselarasan dan keharmonisan dengan manusia lain, maka kelima aturan ‘disiplin diri’ (niyama) bertujuan menyelaraskan hubungan kelima disiplin diri dengan kehidupan secara menyeluruh dan dengan Realitas Transendental. Dalam Yoga Sutra Patanjali (2.32) Niyama dijelaskan sebagai:
Śaucasantoṣatapaḥsvādhyāyeśvarapraṇidhānāni niyamāh
Niyama terdiri atas kemurnian diri (sauca) berpuas diri (Santosa), pengendalian diri (tapah), belajar sendiri (swadyaya) dan penyerahan diri pada Tuhan (Iswara) (Stiles, 2002).
Kelima latihan niyama yang harus dilakukan oleh seorang Yogi ialah:
a. Kesucian atau kemurnian (shauca)
‘Kemurnian diri’ (sauca) merupakan kata kunci dalam spiritualitas yoga. Karenanya, tidaklah mengherankan bahwa kemurnian diri termasuk dalam daftar pertama dari kelima disiplin diri. Kemurnian yang dimaksudkan adalah bagaimana tubuh dan pikiran dijaga agar tidak tertutupi oleh debu memori yang setiap saat menjejalinya. Debu memori yang setiap saat menmpeli baik tubuh maupun pikiran akan berdampak pada semakin kuatnya vasana membelenggu kesadaran sehingga kemajuan spiritual menjadi tampak mustahil didapat. Dengan secara konsisten menjaga kemurni ini diharapkan debu memori tersebut tidak lagi melekat sehingga memori yang lama dapat secara terus-menerus dikikis dan dalam tahap berikutnya bisa lenyap sehingga kesadaran diri kembali bersinar. Dalam Yoga Sutras (2.40) dijelaskan:
Śaucātsvāṅgajugupsā parairasaṁsargaḥ
Melalui pemurnian badan timbul kemuakan terhadap tubuh sendiri dan terhadap sentuhan dari tubuh yang lain.
b. Berpuas Diri (Samtosha)
Berpuas diri artinya tidak menginginkan lebih dari apa yang sudah dimiliki. Bukan berarti Yogi adalah seorang pesimistis melainkan ia dapat melihat dengan jernih bawasannya segala kebahagiaan dan penderitaan adalah maya, seorang Yogi berjuang untuk kemantapan dirinya dan empati untuk menolong sesama, sehingga harta dan kekayaan yang lebih dari kebutuhannya dianggap sebagai titipan untuk diberikan kepada yang membutuhkan. maka dari itu seorang Yogi tidak memiliki sifat materialistis. Berpuas diri adalah ungkapan dari penyangkalan diri, yakni pengorbanan secara sukarela akan apa yang menurut takdir akan diambil dari kita pada saat kematian. Samtosha membuat para yogi mengalami keberhasilan atau kegagalan, susah atau senang dengan ketenangan hati. Dalam Yoga Sutra (2.42) samtosha dijelaskan sebagai:
Santoṣādanuttama sukha lābhaḥ.
Dengan berpuas diri, kegembiraan tertinggi dicapai.
Di sini, orang harus mengerti perbedaan antara ‘berpuas diri’ (contentment) dengan ‘kepuasan diri’ (satisfaction). Berpuas diri artinya menjadi diri kita seperti apa adanya, tanpa mencari kebahagiaan dari benda-benda di luar. Jika sesuatu datang, biarkan ia datang. Jika tidak, ya tidak masalah. Berpuas diri artinya bersikap apa adanya, yakni tidak menyukai dan juga tidak membenci (Iyengar, 2011). Selalu puas adalah awalan dari sebuah meditasi yang mendalam, sebab pikiran tidak lagi menginginkn apa-apa. Selama ini, hal yang paling mengganggu pikiran adalah perasaan tidak puas sehingga, lontaran pikiran dari satu objek ke objek lainnya sangat mengganggu ketenangan pikiran dan susah membuat kesadaran menjadi terang (Suwantana, 2016).
c. Bertapa (Tapas)
Dalam yoga sutra 2.43 disebutkan Kāyendriyasiddhiraśuddhikṣayāttapasaḥ . Dengan melaksanakan tapa maka ketidakmurnian akan dilenyapkan dan memperoleh kesempurnaan organ-organ indra dan badan. Tapa merupakan unsur atau komponen ketiga dari niyama dan mencakup latihan, seperti: berdiri atau duduk diam dalam waktu lama; menahan kelaparan, kehausan serta panas dan dingin, berdiam diri, serta berpuasa. Kata tapas berarti ‘berkilau’, ‘panas’ dan merujuk pada energi psikosomatis yang dihasilkan dari latihan pertapaan yang seringkali dialami sebagai rasa panas. Para yogi menggunakan energi ini untuk memanaskan kawah energi tubuh dan pikiran mereka, sampai menghasilkan kesadaran yang lebih luhur. Dalam Yoga Sutras (3.46) tapas dijelaskan:
Tato'ṇimādiprādurbhāvaḥ kāyasampattaddharmānabhighātaśca
Sebagai hasil latihan samyama akan datang, pencapaian anima serta kekuatan lain, seperti kesempurnaan tubuh, menjadi kebal terhadap umur tertentu.
Ini mengindikasikan bahsa seorang sadhaka yang melakukan tapa akan merasakan panas di dalam tubuhnya. Melalui panas ini, berbagai dimensi spiritual di dalam diri seorang sadhaka akan tumbuh dan berkembang secara bertahap. Rasa lapar, rasa haus, dan yang sejenisnya yang harus dilalui di dalam pelaksanaan tapa adalah untuk membangkitkan rasa panas ini sehingga tendensi tubuh tidak lagi mengganggu. Tubuh senantiasa memiliki pola ke bawah, yakni menuju penciptaan, sementara energi pembebasan mengarah ke atas menuju samhara (pralaya). Tapa akan mampu membantu setiap sahaka untuk membakar dirinya sehingga terbebas dari unsur prakrti beserta hal-hal yang mengikatnya. Orang yang terbebas dengan berbagai pengaruh prakrti akan sepenuhnya berada di dalam kesadaran (Suwantana, 2020).
d. Studi Teks Spiritual (Svadhyaya)
Studi teks spiritual dan belajar ke dalam diri merupakan komponen keempat dari niyama yang merupakan latihan yoga yang penting. Kata svadhyaya yang dibangun dari kata sva yang berarti ‘sendiri’ dan adhyaya, artinya ‘masuk ke dalam’. Kata ‘studi’ merujuk pada pencarian makna tersembunyi dari teks kitab suci. Tujuan svadhyaya bukanlah sebuah pembelajaran intelektual, melainkan penerapan ke dalam kearifan kuno. Svadhyaya merupakan sebuah renungan meditatif mengenai kebenaran yang dibukakan oleh para Rishi dan arif bijaksana yang telah berjalan ke wilayah di mana pikiran tidak dapat mengikuti serta hanya hati yang menerima. Dalam Yoga Sutras (2.44) dikatakan bahwa:
Svādhyāyād iṣṭa devatāsamprayogaḥ.
Dengan belajar ke dalam diri, akan terjadi penyatuan dengan manisfestasi Tuhan yang di puja.
Sutra di atas memberikan kebebasan kepada seorang Yogi untuk memilih manifestasi Tuhan sebagai pujaan favoritnya,
e. Penyerahan diri pada Tuhan (Ishwara-pranidhana)
Unsur terakhir dari Niyama adalah Ishwara-pranidhana, artinya penyerahan diri secara menyeluruh kepada Tuhan (Ishwara). Dalam Yoga Sutras 2.45 dijelaskan bahwa: Samādhisiddhirīśvarapraṇidhānāt - Melalui penyerahan diri secara totalitas, maka Samadhi/penyatuan dicapai. Dalam sutra di atas menekankan ajaran Bhakti kepada Tuhan yang tertinggi dalam istilah yoga ialah,Ishwara, Menurut definisi yang diberikan Patanjali, status Ishwara yang luar basa diantara banyak diri disebabkan oleh fakta bahwa Ia tidak akan pernah tunduk pada ilusi yang menghilangkan kemahatahuan serta kemahahadiranNy.
Kedua komponen dari ‘delapan ruas yoga’ (ashtanga yoga) Patanjali, yakni yama dan niyama, berfungsi mengatur kehidupan sosial serta personal para praktisi yoga. Yama dan niyama adalah sebuah usaha untuk mengurangi terjadinya keinginan serta tindakan tidak baik, sehingga tidak menambah timbunan karma buruk yang baru dalam kehidupan ini. Berkurangnya pengaruh vasana sngat penting dalam kemajuan spiritual, sebab gangguan terbesar dari perkembangan spiritual adalah vasana. Ia akan menjadi poros hidup yang mengendalikan sebagaian besar arah kehidupan seseorang, sehingga dengan menghilangkan pengaruhnya, kemajuan spiritual dapat dirasakan secara otomatis (Suwantana, 2018).
3. Postur Tubuh (asana)
Secara harfiah, kata asana berarti ‘sikap badan (postur)’. Latihan berbagai postur tubuh (asanas) adalah sebuah usaha untuk mengangkat tubuh ke tahap berikutnya. Secara esensial, asanas adalah sebuah latihan untuk memurnikan dan mendiamkan tubuh fisik. Dalam praktiknya, latihan asana ini mengikuti pose-pose baik binatang maupun tmbuhan dan benda-benda tertentu, sehingga nama-nama dari masing-masing pose tersebut disesuikan dengan binatang atau tumbuhan tersebut. Seperti misalnya salabha asana, yakni asana yang meniru serangga, parvatasana yakni pose yang mengikuti wujud gunung dan yang lainnya. Dalam Yoga Sutras (2.46), dikatakan bahwa:
Sthira sukhamāsanam
Sikap badan haruslah dalam keadaan nyaman dan stabil (Iyengar, 2011).
Dengan melipat anggota tubuhnya, para yogi segera mencapai perubahan suasana dan ketenangan dalam batin. Ketenangan ini membantu untuk mempermudah proses konsentrasi pikiran. Melalui latihan yang teratur, praktisi yoga akan dapat menemukan perubahan yang terjadi sebagai akibat dari asana tertentu. Menurut Patanjali, latihan asanas yang teratur dapat menghilangkan sensitifitas terhadap dualisme ganda, seperti: panas dan dingin, terang dan gelap, hening dan ribut. Panas dan dingin yang dirasakan oleh asmeua manusia adalah produk dari prakrti, sehingga dengan asana yang nyamand an stabil, sensasi atas polaritas hidup ini dapat dinetralisir pengaruhnya, dimana nantinya seseroang dalam tingkatan tertentu tidak lagi terpengaruh olehnya (Sivananda,
2003).
4. Pengendalian Napas (pranayama)
Kata prana berarti ‘daya hidup, ‘vitalitas’. Kata prana seringkali diterjemahkan sebagai ‘napas’ (breath) dan ‘hidup’ (life), padahal sebenarnya napas merupakan sebuah manifestasi luar dari prana, yakni daya hidup yang menembus serta menopang semua kehidupan. Pranayama merupakan komponen ke-empat dari ‘delapan bagian yoga’ Patanjali. Teknik pranayama adalah sebuah cara sistematis yang dikembangkan oleh para yogi untuk untuk mempengaruhi medan bioenergi tubuh. Bahkan latihan disiplin moral (yama), pengendalian diri (niyama), pengendalian indera (pratyahara) dan konsentrasi mental (dharana), juga merupakan bentuk manipulasi daya prana. Bio-energi prana yang menghidupkan semua makhluk hidup bahkan pada benda-benda mati pun terdapat prana di dalamnya seperti batu permata dan benda-benda lainnya. Para praktisi yoga mengetahui bahwa ada hubungan antara prana, napas, emosi dan pikiran. Dalam Yoga Sutras (2.49) dikatakan bahwa: Tasminsati śvāsa praśvāsayorga-tivicchedaḥ prāṇāyāmah - Setelah menguasai asanas, kita harus melatih keluar masuknya napas (Prakas Saraswati, tt).
5. Pengendalian Indera (Pratyahara)
Latihan asana dan pranayama menghasilkan sebuah desensitifikasi yang akan menghentikan ransangan dari luar diri sang yogi. Kemudian secara berangsur sang yogi dapat hidup dalam lingkungan batin pikirannya sendiri. Jika kesadaran sudah bisa secara berangsur sang yogi dapat hidup dalam lingkungan batin pikirannya sendiri. Jika kesadaran sudah bisa secara efektif membebaskan diri dari pengaruh lingkungan luar, maka kondisi tersebut pratyahara. Dalam Yoga Sutras (2.54), pengendalian indera-indera (pratyahara) dijelaskan sebagai:
Svavi ṣayāsamprayoge cittasya svarūpānukāra ivendriyāṇāṁ pratyāhāraḥ
Jika indera-indera menarik diri dari objek (benda-benda) dan meniru seolah-olah memiliki kodrat materi pikiran, maka inilah yang disebut pratyahara.
Saat indera menarik dirinya seperti kura-kura menarik kaki dan kepala ke cangkangnya, maka asupan makanan dari luar atas pikiran menjadi terhenti. Berhentinya kontak langsung antara indera dengan objek-objeknya akan membuat pikiran menjadi lumpuh sehingga keinginan-keinginan tidak lagi mencengkeram. Lumpuh yang dimkasudkan bukan berarti tidak bisa digunakan untuk berkipir, melainkan bagaimana pikiran tidak lagi diberikan kesempatan untuk dipengaruhi oleh aspek prakerti. Objek-objek pikiran sepenuhnya materi sehingga pengaruh dri sifat materi inilah yang dapat menghalangi sadhana seseorang sehingga perkembangan spiritualnya menjadi terhambat (Suwantana, 2018).
6. Konsentrasi (Dharana)
‘Konsentrasi’ merupakan proses lanjutan dari pratyahara. Konsentrasi adalah komponen keenam dari ashtanga-yoga Patanjali. Konsentrasi dapat didefinisikan sebagai ‘memfokuskan perhatian pada satu obyek tertentu’ (desha). Tempat (locus) tersebut dapat merupakan bagian tertentu dari tubuh, serpeti cakra atau objek eksternal yang diinternalisasikan seperti imaji kepada manisfestasi Tuhan yang dipuja Istilah yang dipakai oleh Patanjali untuk ‘konsentrasi’ adalah dharana. Dalam Yoga Sutras (2.53), dharana dijelaskan sebagai berikut: Dhāraṇāsu ca yogyatā manasaḥ (Pikiran telah siap untuk berkonsentrasi). Deśa bandhaścittasya dhāraṇā (Dharana adalah memusatkan pikiran pikiran pada satu tempat, objek atau ide) (Yoga Sutra, 3.1).
7. Meditasi (Dhyana)
Konsentrasi yang diperpanjang serta mendalam, secara alami akan membimbing seseorang ke kondisi yang disebut ‘meditasi’ (dhyana). Dalam meditasi, objek atau locus yang diinternalisasikan mengisi seluruh ruang kesadaran. Jika dalam ‘konsentrasi’ mekanisme utama adalah ‘keterfokusan perhatian’, maka dalam ‘meditasi’ mekanisme yang mendasari proses ini adalah ‘kemengaliran yang tunggal’ (ekatanata). Kondisi meditasi tidak menghilangkan kejernihan pikiran, malah sebaliknya ia memperkuat ke-sadar-an, walaupun memang tidak ada atau terdapat sedikit sekali kesadaran akan lingkungan eksternal. Tujuan awal meditasi dalam yoga adalah untuk menahan, menekan, serta menghentikan modifikasi pikiran (cittas-vritti-nirodhah). Masalah penghancuran samskara dijelaskan dalam Yoga Sutras (1.50): Tajjaḥ saṁskāro' nyasaṁskārapratibandhī (Kesan yang dihasilkan melalui samadhi akan menghapuskan semua kesan-kesan lainnya) (Iyengar, 2011).
8. Ekstasis (Samadhi)
Pada bagian konsentrasi dan meditasi, sudah dijelaskan bahwa konsentrasi (dharana) mengarah pada meditasi (dhyana). Kemudian kita akan melihat bahwa meditasi (dhyana) mengarah pada penyatuan (samadhi). Kondisi samadhi dapat tercapai jika semua modifikasi (vritti) dalam kesadaran bangun sudah dihentikan melalui latihan meditasi. Karena itu, konsentrasi, meditasi dan penyatuan merupakan tiga fase dari satu proses yang berkesinambungan (samyama). Yoga Sutra (3.3) memberikan definisi samadhi sebagai:
Tade vārtha mātra nirbhāsaṁ svarūpaśūnyamiva samādhiḥ.
Samadhi adalah kondisi meditasi yang sama, dimana hanya ada objek saja, seolah tidak ada bentuknya (Iyengar, 2011).
Samadhi adalah suatu kondisi puncak yang dicapai melalui sebuah proses disiplin mental yang panjang dan sulit. Samadhi adalah yoga dan yoga adalah samadhi inilah puncak pencapain dari seorang Yogi. Saat seorang Yogi mampu menyadari bahwa dirinya adalah sepenuhnya sinar, maka ia dinyatakan telah berada pada tahapan Samadhi. Di dalam Samadhi, orang telah berada di dalam kesadaran murni. Artinya, kesadaran itu sudah tidak tertutupi lagi oleh belenggu avidya. Selama ini bukan kesadaran yang kehilangan sinarnya, melainkan oleh karena kesadaran itu sendiri yang ditutupi oleh kabut avidya sehingga sinarnya tampak meredup.
IV. SIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan Patanjali menekankan ajaran Bhakti kepada Tuhan dengan cara sepenuhnya menyerahkan diri kepada-Nya sehingga penyakit-penyakit yang menggerogoti manusia (klesa) tidak mampu mengikat sang diri (Atman) sebagaimana yang dalam sutra disebut yogas citta vrtii nirodhah yaitu yoga penghentian benih-benih pikiran (citta ) dari pengambilan berbagai wujud perubahan; vrtti. Patanjali mengajarkan cara Bhakti kepada Tuhan dengan mengucapkan aksara suci OM secara berulang-ulang. Karena aksara Om merupakan simbol dari yang tidak terbatas (Isvara). Pengulang-ulangan nama Om ini juga ditegaskan di dalam kriya Yoga. Kriya yoga adalah proses terpenting dalam melakukan disiplin yoga, sehingga kedepalapn tahapan atau batang tubuh Yoga dapat dijalankan dengan baik. Hal ini dilakukan secara sistematis dengan melaksanakan astaga yoga atau delapan ruas dalam yoga sutra Patanjali yang meliputi Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana dan Samadhi. Ke delapan aspek atau tahaoan atau batang tubuh yoga ini yang akan mengantarkan seorang Yogi mencapai kelepasan (Moksha).
Judul: Filsafat Kelepasan dalam Yoga Sutra Patanjali
Oleh: Ni Wayan Sumertini
Dari: Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar2
0 Response to "Filsafat Kelepasan dalam Yoga Sutra Patanjali"
Post a Comment