Argumen Gottfried Wilhelm Leibniz Terhadap Pembuktian Eksistensi Tuhan

MUTIARAHINDU.COM -- Argumen Gottfried Wilhelm Leibniz Terhadap Pembuktian Eksistensi Tuhan. Persoalan dan perdebatan tentang eksistensi Tuhan merupakan suatu garis kontinuitas yang mengalir dan menuju pada keseluruhan sejarah filsafat Ketuhanan terutama Teodicea. Maka tentu saja di dalamnya terdapat suatu peta bukti-bukti eksistensi Tuhan yang direfleksikan oleh para filsuf sehingga membantu manusia untuk mengerti dan sampai kepada-Nya melalui terang akal budi dan terang realitas. Peta Teodicea tersebut secara umum menyimpulkan Tuhan adalah penyebab segala yang ada sekaligus menunjukkan bahwa segala yang ada tidak memiliki alasan untuk bereksistensi di dalam dirinya sendiri, tetapi adanya diberikan oleh Ada yang lain yang adalah prinsip tertinggi.


Salah satu filsuf yang diingat dan berkontribusi vital dalam sejarah Teodicea adalah G.W. Leibniz. Leibniz merupakan seorang pioner dalam memberikan nama Teodicea untuk disiplin pengetahuan ini Teodicea yang berarti “pembenaran Tuhan”. Leibniz telah menguraikan kelima argumennya tentang eksistensi Tuhan secara implisit di dalam karya-karyanya, yaitu: (1) bukti kosmologis, (2) bukti tentang kebenaran kekal, (3) bukti tentang keharmonian yang telah dibangun sebelumnya, (4) bukti ontologis dan (5) argumen modal. Pembahasan kelima argumen eksistensi Tuhan tersebut dilakukan dengan mengambil dua haluan, yang pertama adalah haluan a-priori dan yang kedua haluan a-posteriori.

Bukti kebenaran kekal, bukti ontologis dan argumen modalitas termasuk ke dalam haluan a-priori adalah sementara haluan a-posteriori mencakup argumen kosmologi dan argumen keharmonian yang telah dibangun sebelumnya. Marilah kita menyelami bukti-bukti tentang eksistensi Tuhan yang digagas oleh Leibniz secara lebih utuh karena sebagai dikatakan oleh Leibniz sendiri “semakin kita diterangi dan diinformasikan akan karya-karya Tuhan, semakin kita mampu untuk menemukan bahwa karya-karya-Nya begitu sempurna dan memuaskan di dalam  segala sesuatunya yang bisa kita pikirkan” (Leibniz, 1873: 1).

PEMBAHASAN

1. Bukti Kosmologis

Argumen ini diawali dengan mengamati alam semesta secara sederhana. Pengamatan akan dunia semesta mengundang suatu pertanyaan di dalam diri: Mengapa segala sesuatunya itu ada? Leibniz dalam usahanya menjawab pertanyaan ini memberikan argumentasi yang dapat diringkas dalam preposisi berikut ini; (1) Segala yang ada pasti memiliki penjelasan tentang eksistensinya atau dalam keniscayaan akan naturanya atau dalam causa abadi dan penjelasannnya niscaya adalah Tuhan, (2) Semesta ini adalah suatu ada yang mengada sehingga segala yang mengada atau yang memiliki eksistensi pastilah memiliki causa atau disebabkan oleh Tuhan. Kedua preposisi kiranya dapat diuraikan secara lebih dalam demi menunjukkan poin kosmologis yang menjelaskan eksistensi Tuhan secara komprehensif.

Argumen ini membangun suatu dalil bahwa causa semesta yang utama adalah Tuhan. Semesta memiliki causanya di dalam Tuhan dan tidak memiliki causa di dalam dirinya sendiri, dan seandainya ada semesta merupakan ada kontingen yaitu ada yang akan mengalami perubahan dan tergantung maka causa adanya pasti disebabkan oleh suatu Ada yang niscaya, Ada yang tetap dan tak berubah. Selanjutnya, Leibniz menggaris-bawahi kesempurnaan yang ada di dalam semesta. Kesempurnaan dari segala sesuatu yang ada dijumpai di dalam causanya sekaligus mendeklarasikan bahwa segala kesempurnaan semesta ini, bahkan termasuk jiwa kita adalah mengada di dalam Tuhan. Alasannya bahwa di dalam Tuhan segala kesempurnaan diberikan adalah bahwa tidak ada kesempurnaan yang dapat terjadi kecuali diberikan oleh “Ada Yang Sempurna” itu sendiri. Kesempurnaan berasal dan merupakan karya Tuhan yang Dia sendiri mentakdirkannya (Leibniz, 1873: 19). Sehingga, melalui bukti kesempurnaan kosmologis dan causa kosmologis eksistensi Tuhan terafirmasi. Leibniz dalam Monadology (2014: 32) memaparkan argumen tersebut sebagai berikut:

"Yang kedua adalah prinsip alasan yang cukup, yang sungguh kita pegang bahwa tidak ada fakta yang dapat menjadi benar atau menjadi ada dan tidak ada pernyataan yang menjadi benar, tanpa adanya alasan yang cukup untuk membuatnya demikian dan tidak berbeda, meskipun alasan-alasan tersebut sering kali tetap tidak diketahui oleh kita.”

Prinsip kecukupan alasan juga menyertakan causa finalis, yang mana alasan final segala yang ada harus dicari di dalam suatu substansi yang niscaya dan substansi tersebut kita sebut sebagai Tuhan.

2. Keharmonian yang telah dibangun sebelumnya

Argumen keharmonian yang telah dibangun sebelumnya merupakan bukti khas ala Leibniz dalam menjelaskan eksistensi Tuhan. Sebab, Leibniz telah membangun hubungan antara keharmonian dan eksistensi: existere nihil alium est quam harmonicum esse (tidak ada lagi yang mengada selain harmoni). Atribut keharmonian, yaitu yang telah dibangun sebelumnya berasal dari posteriori, universal dan niscaya. Jadi bukti keharmonian yang telah dibangun sebelumnya adalah suatu akses rasional akan eksistensi Tuhan yang berasal dari pengamatan.

Bagi Leibniz, semesta adalah natura dari keharmonian kosmos sehingga keharmonian merupakan suatu efek yang dapat membawa kita kepada causa primer (penyebab utama). Tetapi juga bahwa dengan mempertimbangkan karya-karya, seluruh kehidupan yang ada di semesta kita pun juga mampu menemukan sang arsitek dari karya-karya tersebut dengan gamblang, membawa dan mencerminkan jejak dan tanda sang arsitektur. Berikut pernyataan Leibniz dalam Discourse on Metaphysics (1873: 2) “Semuanya ini amatlah pasti bahwa ketika mempertimbangkan karya-karya, maka kita akan menemukan sang pekerja sehingga karya-karya tersebut kiranya membawa tanda-tandanya di dalam diri sang pekerja”. Tuhan adalah causa yang sebenarnya dari semesta dan sekaligus sang arsitektur semesta ini.

Bukti keharmonian yang telah dibangun sebelumnya tidaklah sesederhana seperti demikan tetapi memiliki relasi dengan pemikiran Leibniz tentang monade, bahwa semesta dibangun oleh monade-monade atau suatu kesatuan kekuatan fisik karena monade-monade merupakan elemen-elemen dari segala yang ada (Leibniz, 2014: 3). Monade adalah atom-atom semesta yang sebenarnya dan sederhana (karena komposisinya terjadi bukan karena akumulasi dari yang sederhana) tetapi tanpa bagian, tanpa ekstensi, tanpa figurasi, dan tak terbagi. Monade-monade dimulai dengan penciptaan dan berakhir dengan pemusnahan (Leibniz, 2014: 47).

Menurut Leibniz, ada perbedaan antara Tuhan sebagai monade dan monade ciptaan. Monade ciptaan mempresentasikan determinasi sementara Tuhan segala kemungkinan di dalam koridor Tuhan adalah monade segala monade. Lalu, problem yang muncul adalah bagaimana monade-monade membangun semesta jika di antara mereka tidak berkomunikasi dan sungguh tertutup satu sama lainnya? Meskipun tidak ada interaksi causal di antara monade-monade, tetapi mereka tampaknya saling memengaruhi. Setiap bagian dari kondisi mempresentasikan suatu multiplisitas sebagai kesatuan. Tuhan menciptakan monade-monade untuk saling bercermin satu sama lainnya. Suatu monade mengandung di dalam dirinya baik masa lalu dan masa sekarang termuat di dalam dirinya sendiri, sehingga, apa pun yang dilakukan oleh monade, dia melakukannya karena kepastian. Jadi, seandainya kita bisa mengetahui seluruh masa lalu dari suatu monade yang diberikan, kita pun akan meramalkan masa depan dengan gamblang karena adanya kepastian yang disebabkan oleh hukum internal monade.

Untuk memetakan keharmonian yang telah ditetapkan sebelumnya secara lebih jelas, Leibniz membuat metaphora, yaitu Tuhan sebagai tukang yang membuat dua pendula yang tergantung pada sebuah balok. Dua pendula ini dibuat sedemikian sama di dalam gerakan yang teratur satu sama lain sejak kedua pendula itu dibuat. Mereka selalu bergerak serentak, tanpa perlu lagi memperbaiki, mengotak-atik maupun menyesusaikan satu sama lain untuk mensinkronkan kedua pendula tersebut. Perbandingan ini begitu penting untuk memahami keharmonian yang telah ditetapkan sebelumnya.

Melalui analogi dua pendula tersebut, Leibniz mencoba untuk menjelaskan, pertama bahwa pengaruh yang bersifat timbal-balik. Hal ini mendeklarasikan ketidakmungkinan monade-monade mengikuti hukum yang bersifat heterogen tetapi hanya satu hukum yang berlaku di dalam setiap monade: hukum internal karena ibarat dua pendula yang bekerja menurut hukum internalnya. Jadi Tuhan telah memprogram monade-monade dengan hukum internalnya sehingga tercipta keharmonian. Program Tuhan yang terwujud di dalam hukum internal monademonade itulah yang disebut sebagai atribut keharmonian yang telah ditetapkan sebelumnya.

Kedua, dia ingin mengatakan tentang disfungsi bantuan dan kepalsuan dari sistem causa ocasional. Menurut Leibniz, dua buah pendula yang tidak berfungsi dengan baik masih dapat mempertahankan keharmonian karena adanya hukum internal di dalam mereka. Prinsip hukum internal yang ada di dalam setiap monade menjaga keharmonian semesta. Jelas, Leibniz mendobrak sistem causa ocasionalisme, bagi Leibniz sistem causa ocasional memiliki kesalahan ketika memperkenalkan suatu deux ex machina (Tuhan dari mesin).

Ketiga, dua pendula ini telah dibuat dengan kesempurnaan dan seni yang sedemikian rupa sehingga selalu sesuai dengan masa depan. Leibniz kemudian memparalelkan jiwa dan tubuh sebagai dua pendula yang sempurna. Tubuh dan jiwa membentuk kesatuan dan saling berinteraksi sejauh jiwa mengikuti hukumnya dan tubuh mengikuti hukumnya sehingga mereka ada di dalam keharmonian yang sempurna. Memang persepsi dan appetif jiwa bebas dan tidak tergantung kepada tubuh, tetapi persepi dan appetif jiwa bersesuaian secara tepat dengan aksi dan gerakan tubuh yang mana tubuh itu sendiri juga berfungsi, terikat dan bersesuaian secara sempurna dengan segala monade yang lain.

Jadi keharmonian yang telah dibangun sebelummnya adalah hakikat yang sama bagi segala monade karena mereka semua bertepatan dan bersesuaian satu sama lainnya, selama mereka adalah konstitusi alam semesta. Setiap monade bertindak menurut hukum internal dan pada saat yang sama berada di dalam keharmonian yang sempurna dengan semua monade yang lain. Dunia ini begitu mengagumkan dan begitu sempurna bukan karena satu monade, tetapi karena kombinasi harmonis monade. Dan Tuhan sendirilah yang menciptakannya.

3. Argumen Ontologis

Argumen ontologis merupakan suatu usaha untuk menunjukkan eksistensi Tuhan secara a priori, bukan kontradiksi, tetapi dengan fundamen posibilitas (yang mungkin). Haluan apriori secara substansial sama dengan argumen ontologis yang digagas Anselmus, tetapi Leibniz memaparkan argumen dengan cara yang berbeda, yaitu dengan mengembangkan konsep apriori tentang kemungkinan, jika Tuhan (Ada Niscaya) adalah mungkin, maka sesuatu itu pasti ada. Struktur dari argumen ini memang a priori karena berasal dari ide yang terdapat di dalam akal budi: menurut Leibniz suatu ide kiranya bisa benar atau salah tergantung pada kemungkinan-kemungkinannya dari suatu hal.

Gagasan tentang Tuhan adalah gagasan tentang ‘ada’ sempurna secara sempurna. Argumen a-priori ini menyimpulkan bahwa esensi dan eksistensi Tuhan tidak dapat dipisahkan. Eksistensi adalah keniscayaan dan Tuhan satu-satunya yang memilikinya. Maka, argumen ontologis dapat diringkas dalam bentuk berikut ini:

  1. Jika Ada Niscaya bukanlah yang mungkin, maka tak satu pun eksistensi adalah mungkin.
  2. Jika Ada Niscaya adalah yang mungkin, maka semua bereksistensi.
  3. Jadi, jika Ada Niscaya tidak ada, maka tidak ada yang mengada
  4. Tetapa ada sesuatu, maka Ada Niscaya pasti ada.

Argumen ontologis ini berpegang pada prinsip bahwa tanpa Tuhan sebagai ‘Ada Niscaya’, maka tak satu pun yang real memiliki eksistensi, dengan kata lain, realitas harus berfundamen pada sesuatu yang bereksistensi sehingga realitas sungguh adalah realitas.

4. Argumen Modalitas

Untuk mengintensifkan argumen ontologis, Leibniz memakai argumen modalitas yang mana Leibniz menghubungkan penciptaan dunia dengan kemungkinan-kemungkinan. Masalahnya adalah berkaitan dengan kemungkinan itu sendiri: Mengapa Tuhan tidak merealisasikan semua kemungkinan yang ada tetapi hanya satu kemungkinan di antara segala kemungkinan? Leibniz sendiri menegaskan bahwa memang terdapat dunia kemungkinan yang tak terbatas, tetapi hanya satu yang mengada, oleh karena itu harus ada alasan yang cukup mengapa Tuhan memilih ini dan bukan yang lain. Tidak semua kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah mungkin untuk diwujudkan dan juga bahwa dunia kemungkinan selalu lebih luas daripada dunia nyata.

Tuhan memilih satu yang terbaik dan yang paling sempurna di antara dunia kemungkinan. Tuhan kiranya mampu mewujudkan suatu infinitas dunia kemungkinan atau dunia kemungkitan yang tak terbatas tersebut, tetapi dia telah mewujudkan satu yang sempurna dan yang terbaik dengan satu pilihan bebas melalui kebijaksanaan tertinggi. Sebagaimana yang dijelaskan Leibniz di dalamTeodicea-nya, Tuhan menciptakan substansi unik yang selaras dengan entitas lain sebisa mungkin. Mengingat bahwa yang mungkin itu sepenuhnya tidak dapat dipahami, maka dunia yang sekarang mengada adalah yang terbaik dari segala dunia yang mungkin (Kauffman dan Baird, 1997: 232).

5. Argumen Kebenaran Abadi

Argumen ini juga memiliki konotasi atau karakter a priori -preposisi ini dapat disimpulkan dari analisis akal budi terkait dengan argumen ontologis. Leibniz (2014) menyatakan dalam Monadology no. 43 sebagai berikut:

“Di sisi lain, memang benar bahwa Tuhan tidak hanya satu-satunya sumber dari semua eksistensi, tetapi juga semua esensi yang dianugerahi realitas, yaitu, sumber dari apa yang real di dalam apa segala yang mungkin. Pemahaman ilahi itulah yang menjadi wilayah kebenaran abadi dan segala ide yang bergantung kepadanya, tanpanya, tidak aka ada yang real di dalam yang mungkin, yaitu tanpa dia tidak hanya segala sesuatunya tidak memiliki eksistensi, tetapi juga tidak akan ada yang mungkin.”

Melalui argumen ontologis kita mengetahui bahwa seandainya Tuhan tidak ada, maka tidak akan ada yang real di dalam kemungkinan-kemungkinan, bahkan yang mungkin tidak akan ada pula. Hal ini membawa kita kepada gagasan tentang Ada Niscaya yang eksistensi-Nya secara logika adalah niscaya, suatu ada yang kiranya tidak mungkin gagal untuk mengada karena Keniscayaan dari eksistensinya juga adalah esensinya. Maka, pada saat yang bersamaan, argumen ontologis menyatakan fakta kebenaran abadi karena kenyataan ini adalah kebenaran niscaya yang mana segala realitas kiranya harus bergantung kepada ada niscaya yang tanpanya realitas maupun yang mungkin tidak akan ada.

Bagi Leibniz, kebenaran abadi sama dengan kebenaran matematika atau logika yang tidak dapat lagi diperdebatkan sehingga memiliki keabsahan obyektif di dalam dirinya sendiri dan memiliki forma atau karakter yang absolut. Juga bahwa preposisi matematika adalah niscaya dan kekal, dalam arti bahwa kebenaran matematika tidak tergantung kepada eksistensi ada kontingen.

Pada dasarnya, Leibniz (2014: 33) membedakan dua kebenaran: kebenaran akal budi dan kebenaran fakta. Kebenaran akal budi adalah niscaya yang mana segala yang berkontradiksi tidaklah mungkin dan tanpanya pula segalanya menjadi tidak mungkin (Leibniz, 2014: 34). Oleh karena itu, kebenaran akal budi ditetapkan oleh bagian yang terbatas. Kebenaran akal budi adalah objek internal. Sementara kebenaran fakta bersifat kontingen dan hanya realitas yang efektif. Kebenaran ini difondasikan kepada prinsip kecukupan alasan yang mana tidak satupun yang dapat diverifikasi tanpa adanya alasan yang memadai. Kebenaran fakta merupakan prinsip intelegibel yang menjamin kontingensi hal-hal yang nyata (Abbagnano, 1993: 119-120).

PENUTUP

Kegelisahan Leibniz adalah untuk menarik konklusi dari jurang non konklusi tentang satu-satunya substansi Spinoza mengenai martabat dan otonomi invididu. Dalam usahanya memecahkan persoalan Spinoza tersebut, Leibniz membangun filsafat monadelogi yang mengantarnya kepada kebesaran pemikirannya. Memang, bukti-bukti yang disodorkan oleh Leibniz tampakanya koheren, logis dan membantu kita dalam mengenali Tuhan tetapi bukti-bukti tersebut tidak terlepas dari kesalahan.

Tentang keharmonian yang telah dibangun sebelumnya, menurut Leibniz terdapat sebuah hukum internal yang berkerja di dalam monade-monade sehingga monade-monade adalah suatu natura yang telah terdeterminasi dan konsekuensinya hanya memiliki satu natura: natura yang mengatur segala sesuatunya. Hukum internal ini telah menjadi monisme materialistik oleh karena hanya ada satu natura yang mengatur segala yang ada dan semuanya dibatasi, terikat oleh satu natura yang adalah hukum internal itu. Monisme materialistik, kemudian, sebagaimana yang kita tahu menjadi akar paham komunis. Juga tampaknya dengan bukti keharmonian yang telah dibangun sebelumnya, Leibniz jatuh ke dalam jeratan ateisme secara implisit karena menyangkal eksistensi Tuhan yang personal dan hanya mengandalkan kepada hukum internal. Tuhan bukanlah monade seperti yang dipercayai Leibniz sebagai monade dari segala monade tetapi Tuhan adalah Tuhan yang personal. Tuhan yang personal berarti Tuhan yang selalu mencintai, berkomunikasi, berelasi dengan ciptaan-Nya dan bukan monade yang tertutup dan tanpa relasi satu sama lainnya.

Tentang argumen ontologis, Leibniz telah mengafirmasi bahwa esensi Tuhan adalah sama dengan eksistensi-Nya. Segala yang ada bergantung kepada esensi Tuhan yang adalah juga eksistensi-Nya. Tampaknya juga Leibniz jatuh kepada panteisme. Alasannya adalah pemikiran ini menyatakan hanya ada satu substansi yaitu Tuhan dan konsekuensinya adalah segala bentuk realitas yang lain adalah mode (atau penampakan) Tuhan atau identik dengan Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan adalah segalanya dan segalanya adalah Tuhan; dunia entah identik dengan Tuhan atau dalam beberapa cara merupakan ekspresi dari natura-Nya. Dengan demikian, segala sesuatu yang ada membangun kesatuan dan kesatuan ini dimaknai sebagai satu keilahian. Inilah argumen panteisme.


Judul : Argumen Gottfried Wilhelm Leibniz Terhadap Pembuktian Eksistensi Tuhan

Oleh: Krisna S. Yogiswari

Dari: STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja


0 Response to "Argumen Gottfried Wilhelm Leibniz Terhadap Pembuktian Eksistensi Tuhan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel