Penempatan Hindu di Bawah Kualitas Agama Smitis adalah Klasifikasi Cacat
MUTIARAHINDU -- Penelusuran jejak-jeka Veda dari hulu ke hilir sesuai dengan tema webinar 1 Ikatan Dosen Hindu Indonesia (IDHI) yaitu menelusuri jejak-jejak Veda dari Hulu ke Hilir yang dilaksanakan pada Manis Galungan, hari Kamis 17 September 2020 adalah persoalan cara berfikir yang mengalir mengikuti sifat air yang selalu mengalir sampai batas aiyr itu tidak mampu mengalir lagi. Artinya, air itu senantiasa akan mengalir selama energi alirnya masih bisa mengalir, tetapi jika energi alirnya kehilangan anergi disebabkan oleh penghalang yang tidak mungkin dilewati, maka air itu akan mengendap atau menggenang pada tempat itu.
Tetapi sifat metafisika air secara natural dianggap final jika dapat mengalir hingga ke pantai atau tepi samudera. Sebagaimana sifat metafisika air yang rindu bertemu samudera, maka walau air tertahan oleh batu cadas atau batu kali yang kedap air, maka air akan menggunakan kemampuan energi lainnya untuk sampai ke samudera, yaitu kemampuan metafisik air untuk menguap. Beranalog dengan Gambar 1.1 di atas, maka penelusuran yang dilakukan dapat berhenti pada cabang manapun apabila energi alir pikiran telah tersumbat dan penelusuran dapat dilanjutkan dengan cara membuka sumbatan melalui webinar ke-2, ke-3, dst.
Berdasarkan analogi sifat fisik-metafisik air tersebut, maka sesuai harapan penggagas dan peserta webinar-I Ikatan Dosen Hindu Indonesia (IDHI) bahwa hasil diskusinya akan dijadikan buku, maka upaya penelusuran veda juga dapat berhenti di mana saja. Sebab Veda yang mengalir dari hulu danau Pengetahuan hingga ke hilir muara sungai di tepi pantai Pengetahuan yang menyatu dengan samudera Ilmu Pengetahuan Veda tidak mungkin menciduk seluruh air samudera Pengetahuan itu sesuai sifat Veda yang mahaluas. Atas analogi tersebut, maka judul buku hasil webinar-I ini menjadi Menciduk Sedikit Demi Sedikit Air Pengetahuan dalam Samudera Pengetahuan Veda yang Mahaluas. Semoga pikiran yang baik selalu mengalir menyirami kelopak padma hati yang rindu kesejukan.
HINDU NENEK MOYANG AGAMA YANG DIBULI OLEH CUCU-CUCUNYA
Agama Hindu adalah agama tertua yang pernah ada dan masih ada sampai saat ini. Ungkapan ini bukan satu apologi, tetapi seorang pakar Barat ahli sejarah agama, Prof. Dr. C. J. Bleeker (1985:18-19) menyatakan dalam bukunya berjudul Titik Temu Agama-Agama:
"Hinduisme yang dibicarakan paling pertama, karena agama inilah yang tertua dari agama-agama besar yang masih ada sekarang. Dan kalau dipandang dari sudut kehadirannya sampai sekarang ini pun Hinduisme cukup mengherankan, karena sampai sekarang agama Hindu masih hidup, sedang agama Mesir, Mesopotamia, Yunani-tua yang kualitas dan karakterisiknya mirip dengan Hinduisme, sudah lama tinggal nama Saja.
Hinduisme memperlihatkan daya hidup yang kentara uletnya. Jelasnya, dalam kehidupan kejiwaan India tampak kelangsungan yang kentara. Kehidupan kejiwaan itu tinggal tetap seperti sediakala, meskipun banyak perubahan bentuk yang dialaminya dan sepanjang masa banyak gagasan baru yang diterimanya. Oleh sebab itulah, maka nama Hinduisme hanya tepat untuk dikenakan pada bentuk-bentuk keagamaan India yang lebih kemudian. Tetapi, Hinduisme dalam strukturnya yang seperti sekarang hanya dapat dimengerti apabila diikuti sejarahnya dari sejak dahulu".
Fakta agama Hindu sebagaimana uraian di atas mengejutkan bagi para peneliti sejarah agama.t Sebab ada beberapa agama yang sama umumya dengan agama Hindu, bahkan lebih muda usianya, saat ini tinggal namanya saja. Walaupun Hindu sebagai agama paling tua di muka bumi, namun banyak orang non-Hindu bahkan umat Hindu sendiri asing dengan ajaran Hindu. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antar, lain; pertama para non-Hindu sengaja mengelompokkan Hindu sebagai agama bumi atau agama budaya sehingga mereka takut membaca buku-buku agama Hindu, khawatir akan terpengaruh atau goyah imannya jika membaca ajaran Hindu. Gambaran Hindu sebagai agama bumi sudah gejak beberapa puluh tahun disebarkan oleh para ahli perbandingan agama. Kedua, Hindu yang sifatnya memang natural, berkembang sesuai dengan kehendak hukum alam, maka kurang memiliki tokoh-tokoh yang memiliki sikap militan untuk menyampaikan ajaran Hindu. Kalaupun ada jumlahnya dapat dihitung dengan jari tangan sebelah saja.
Sementara itu, para pakar Ilmu Perbandingan agama Indonesia seperti; Dr. Harun Hadiwiyono, Prof. Dr. H.M. Rasjidi mantan Menter Agama RI dalam bukunya yang berjudul Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi dengan mengutip pendapat Dr. Harun Hadiwijono yang pendapatnya juga mengutip dari pendapat Barat yang hegemonis, menyatakan bahwa Hindu adalah agama bumi atau agama budaya. Kutipan-kutipan yang menempatkan agama Hindu sebagai agama di bawah kualitas agama Smitis (Yahudi, Knsten, dan Islam) dianggap sah-sah saja dan telah menjadi ilmu yang sah di wilayah intelektual, walaupun klasifikasinya itu jika ditelusuri dengan kecerdasan spiritual adalah klasifikasi cacat.
Argumentasi yang digunakan kenapa orang boleh bersikap apologis dengan sikap meninggi-ninggikan agama sendiri, digunakan suatu pandangan seorang teolog Kristen, yaitu Paul Tillich yang mengatakan bahwa agama adalah: “the problem of ultimate concern” yang artinya: “persoalan yang mutlak penting bagi diri seseorang”, Oleh karena itu, jika seorang sarjana membicarakan soal agama, ia tidak dapat bersikap objektif; karena ia sudah terikat dengan kepercayaannya, dengan kata lain, ia sudah terlibat (involved) (Rasjidi, 2003:50). Selain itu, ia kemudian melanjutkan sub bab tentang pengelompokkan agama yang tidak terlalu penting untuk dikutip, karena uraiannya juga berupa kutipan. Tetapi, ada uraian Rasjidi yang dianggap penting untuk diketahui tentang asal mula istilah-istilan agama bumi atau juga agama alamiah. Ia menyatakan: “Selain cara-cara tersebut di atas ada lagi pengelompokkan agama dalam dua kelompok, yaitu: natural religion dan revealed religion. Natural religions atau agama alamiah adalah agama-agama yang timbul di antara manusia - manusia itu sendiri dan lingkungan di mana mereka hidup. Sedangkan revealed religions adalah agama-agama yang diwahyukan atau agama -agama samawi, yakni agama-agama yang diturunkan Allah agar menjadi petunjuk bagi manusia. Secara konkret, agama samawi ada tiga, yaitu agama Yahudi, agama Nasrani, dan agama Islam. Adapun agama-agama selain tiga itu dapat dinamakan agama alamiah” (Rasjidi, 2003:52). Rasjidi melanjutkan uraiannya tentang agama-agama alamiah dengan mengutip buku karya Dr. Harun Hadiwijono, Rektor Sekolah Tinggi Teologia Duta Wacana, Yogyakarta, sebagai berikut:
"Sebenarnya agama Hindu itu bukan agama dalam arti yang biasa (ada juga penulis lain menulis lebih ekstrim dengan menyatakan “bukan agama dalam arti yang sebenar-benarnya, ed.). Agama Hindu sebenarnya adalah suatu bidang keagamaan dan kebudayaan yang meliputi zaman kira-kira 1500 SM (ini jelas menggunakan landasan teori Aryan yang sudah gugur, ed.) hingga zaman sekarang. Dalam perjalanannya sepanjang abad-abad itu, agama Hindu berkembang sambil berubah dan terbagi-bagi, sehingga agama ini memiliki ciri-ciri yang bermacam-macam yang oleh penganutnya kadang-kadang tidak diindahkan sama sekali. Berhubung dengan itu, Govinda Das mengatakan bahwa agama Hindu itu sesungguhnya adalah suatu proses antropologis yang hanya karena nasib yang ironis saja diberi nama agama.
Dengan berpanhkal pada veda-veda yang mengandung adat istiadat dan gagasan-gagasan salah satu atau beberpa suku bangsa, agama Hindu sudah berguling-guling terus sepanjang abad hingga kami, sebagai suatu bola salju yang makin lama makin besar, karena menyerap semua adat-istiadat dan gagasan-gagasan bangsa-bangsa yang dijumpainya di dalam dirinya.Tak ada satupun yang ditolak. Ia meliputi segala sesuatu dan menyesuaikan diri dengan segala sesuatu. Tiap-tiap gagasan mendapat makna darinya. la memiliki aspek-aspek rohani dan jasmani yang berlaku bagi umum dan berlaku bagi beberapa orang saya, yang subjektif dan objektif, yang akali (rasional) dan yang tidak akali (irrasional), yang murni dan yang tidak murni. Agama ini dapat diumpamakan sebagai tubuh yang sangat besar, yang memiliki segi banyak sekali dan tidak teratur. Satu segi bagi hal-hal yang praktis, yang lain lagi benar-benar bersifat moral, sedang yang lain lagi bagi kebaktian yang tidak dapat dihayalkan, dan yang lain lagi bagi hal-hal yang melulu bersifat pertapaan, dan yang lain lagi yang bersifat nafsani, dan yang lainnya lagi bagi yang bersifat falsafah dan yang spekulatif’ (Rasjidi, 2003:52-53).
Petikan di atas diacu oleh setiap penulis, peneliti, dan para Youtuber, seperti diuraikan oleh Guru Gembul ketika berbicara tentang Hindu. Jika baca buku-buku Ilmu Perbandingan Agama dan juga buku-buku Studi Agama-agama akan jelas terbaca bahwa mereka menginformasikan Hindu secara negatif agar golongannya jangan sampai tertular (bahasa kerennya sekarang terpapar) oleh kepercayaan Hindu. Pengetahuan ini telah menjadi pengetahuan umum bagi masyarakat non-Hindu, karena itu tidak mungkin mereka akan secara ikhlas menerima agama Hindu sebagai agama yang sama dengan agama mereka. Oleh sebab itu, umat Hindu yang tidak memiliki pengetahuan Hindu memadai pasti minder menghadapi pandangan umat non-Hindu. Mereka sudah membuat klasifikas1 tidak sama, suatu perbedaan yang jauh antara bumi dan langit.
Referensi:
Buku Pengantar Singkat Teologi Dalam Veda. Menciduk Sedikit Demi Sedikit Air Samudra Ilmu Pengetahuan yang Mahaluas.
Olh :IDHI
0 Response to "Penempatan Hindu di Bawah Kualitas Agama Smitis adalah Klasifikasi Cacat"
Post a Comment