Cerita Terkait dan Upaya-upaya Menghindar dari Perilaku Catur Pātaka

MUTIARAHINDU.COM -- Umat Hindu yang taat tidak pernah berhenti untuk melakukan perbuatan baik (subha karma), sebab dengan melakukan perbuatan yang baik dapat menggiring kita mencapai kebahagian. Adapun upaya- upaya untuk menjauhkan diri dari perilaku Catur Pātaka, antara lain:

1. Upaya- Upaya Untuk Menjauhkan Diri dari Perilaku Catur Pātaka
Cerita Terkait dan Upaya-upaya Menghindar dari Perilaku Catur Pātaka
Pura Besakih

  1. selalu mejalankan ajaran Tri Kaya Parisudha,
  2. mengingat dan menjalankan Tattvamasi,
  3. melaksanakan Tri Sandhya setiap hari,
  4. mengucapkan nama-nama suci Sang Hyang Widhi,
  5. mengusahakan ajaran Tri Parartha,
  6. teguh menjalankan Panca Yadnya, dan
  7. menyanyikan lagu-lagu pujian kerohanian atau Dharmagita.
Dalam Kitab Suci Sarasamuscaya dikatakan bahwa kita harus menghindari berteman dengan orang yang jahat perbuatannya, sebab kita dapat tertular oleh noda perbuatan jahatnya. Pohon kayu hidup akan turut terbakar, jika bercampur dengan kayu kering, karenanya jangan berkawan apalagi bersahabat dengan orang yang jahat perbuatannya. Dengan tidak berteman dengan orang jahat dapat membimbing kita tidak melakukan perbuatan Asubha Karma, (Duwijo dan Susila, 2014: 31).

Sebaiknya anak-anak bergaul dengan orang yang budi pekerti luhur, sebabdenganbergauldenganorangyangdemikiandapatmembawa kita ke arah yang baik.

2. Cerita Terkait dengan Catur Pātaka

Brāhmanā dan Seekor Kambing

Zaman dahulu di sebuah desa terpencil tinggal seorang Brāhmanā yang kehidupannya sangat sederhana. Pada suatu hari Sang Brāhmanā diundang oleh seseorang dari desa tetangga untuk menyelesaikanYadnya yang akan dilaksanakan. Selesai melaksanakan Yadnya, Sang Brāhmanā mendapat seekor kambing, kemudian beliau kembali ke rumahnya. Dalam perjalanan ke rumah Sang Brāhmanā sangat senang “Wah betapa beruntungnya aku mendapatkan seekor kambing yang sehat, istri dan anakku pasti sangat gembira menyaksikannya,” pikir Sang Bahmana.

Kambingyanggemuktersebutdipangguldibahunya,sepanjang perjalanan ada tiga orang pencuri sedang mengikuti dari belakang. Melihat kambing yang dibawa Sang Brāhmanā sangat gemuk para pencuri tersebut berdiskusi bagaimana cara mendapatkan kambing tersebut. Setelah mencapai kesepakatan, maka para pencuri tersebut mengatur strategi.

Pencuri pertama kemudian mengejar dan mencegah Brāhmanā “Wahai Brāhmanā, paduka adalah orang suci mengapa paduka memanggul anjing kotor di bahu paduka?” Mendengar pertanyaan seperti itu Sang Brāhmanā terkejut“Apa seekor anjing kotor katamu? Hai pencuri kamu pikir saya buta, ini bukan anjing tapi ini kambing.” Dengan wajah yang kesal Sang Brāhmanā melanjutkan perjalanannya, (Duwijo dan Susila, 2014: 32).

Kemudian pencuri kedua berteriak memanggil Sang Brāhmanā, “Tuan, katanya sambil berpura-pura melihat dengan kaget, apa yang Tuan perbuat dengan sapi mati yang ada di bahu Tuan itu? Apakah Tuan berniat mempermalukan diri Tuan sendiri? Tuan dipandang sebagai seorang suci dan mengapa Tuan melakukan hal ini? Sang Brāhmanā menjawab “Anak sapi mati? Tidak, ini adalah kambing hidup, bukan anak Sapi mati. Oh Tuan, apa aku yang salah, yang kulihat bukan kambing tetapi anak Sapi yang sudah mati”.

Mendengar dua muslihat dari kedua pencuri itu membuat Sang Brāhmanā berpikir, “Apakah aku sudah gila atau orang itu yang gila?” Sang Brāhmanā bergegas berjalan beberapa langkah ketika pencuri ketiga berlari-lari menyongsongnya.

“Stop! berhenti, wahai Brāhmanā. Cepat turunkan keledai itu. Bila orang-orang melihat Tuan sedang memanggul keledai itu di bahu Tuan, mereka semua akan menghindari Tuan”.

Sekarang Sang Brāhmanā benar-benar merasa bingung. Tiga orang telah memberitahunya bahwa ia telah memanggul hewan yang bukan kambing. “Pasti ada yang tidak beres. Ini pasti bukan kambing, mungkin sejenis monster karena selalu berubah wujud. Kadang-kadang menjadi anjing, kadang-kadang menjadi anak sapi dankadang-kadangmenjadiseekorkeledai.Apamaksudorang-orang desa tetangga mempermainkan aku?” pikir Sang Brāhmanā seraya merasa ketakutan. Segera diturunkan kambing yang dibawanya dan berlari sekuat tenaga cepat-cepat pulang ke rumahnya.

Melihat Sang Brāhmanā berlari terbirit-birit, ketiga pencuri tersebut tertawa terbahak-bahak. “Ha...ha...ha... betapa dungunya Brāhmanā itu yang tidak yakin dengan dirinya sendiri,”sambil berkata demikian, mereka memungut kambing yang gemuk itu dan berlalu. Akhirnya pencuri tersebut dapat memperdayai Sang Brāhmanā sehinggakambingyangdiberikansebagaihadiahtelahmelaksanakan yadnya, dicuri dengan tipu muslihat oleh para pencuri tersebut, (Duwijo dan Susila, 2014: 33).

Dua Orang Sahabat

Desayangindahdanpenuhdenganwarna-warnibunga,tinggal- lah dua orang sahabat yang selalu bermain, menari, dan melakukan kegiatan bersama. Dua orang sahabat tersebut bernama Karman dan Dursila. Karman seorang anak remaja yang selalu berperilaku sederhana, sopan, dan jujur, akan tetapi Dursila seorang remaja yang kurang jujur, suka pamer, dan bahkan cenderung kurang sopan, Dursila selalu bermimpi menjadi orang terkenal, kaya dan menjadi sanjungan orang.

Pagi hari saat matahari baru terbit, Dursila duduk di bawah pohon sambil memikirkan bagaimana caranya menjadi orang yang kaya. Kemudian terlintas dalam pikirannya untuk membuat usaha bersama dan hasilnya akan ia curi dengan cara tipu daya. Dursila yang telah tergoda oleh keinginannya untuk menjadi orang kaya dan bisa hidup bersenang-senang, kemudian bangun dari tempat duduknya dan melangkah menuju rumah Karman. Sampai depan pintu rumah Karman, Dursila memanggil“Karman kamu sedang apa? Aku ingin bicara dengan kamu sesuatu yang penting,"(Duwijo dan Susila, 2014: 34).

Mendengar suara panggilan dari luar Karman keluar dan berkata “Ada apa Dur- sila?” Karman aku punya ide, bagaimana kalau kita pergi meninggalkan kampung halaman kita untuk mencari pekerjaan.Setelah kita berhasil barulah kita kembali ke rumah,” dengan manis dan penuh keyakinan Dursila meyakinkan Karman untuk pergi merantau. Akhirnya kedua sahabat ini pun pergi keluar dari desanya.

Singkat cerita di kota tempat kedua sahabat ini mengadu nasib tidak menemui kesulitan yang berarti. Hari demi hari mereka lalui dengan bekerja sepenuh hati, setelah beberapa tahun mereka kerja, kedua sahabat ini pun memiliki harta yang cukup banyak. Pada sore hari yang mendung, Dursila berkata pada Karman “Kar, bagaimana kalau kita pulang, aku sudah rindu dengan kampung halaman. Karman dengan riang menjawab, “Aku juga ingin pulang”. Setelah mengemasi barang-barangnya Karman dan Dursila pulang.

Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba Dursila berhenti dan berkata, “Karman aku khawatir tak aman membawa uang banyak pulang ke rumah. Ayo kita bawa sekedarnya saja dan sisanya kita sembunyikan. Karman menganggukkan kepalanya dan berkata, “Baiklah kita sembunyikan di mana?”. Sambil menunjuk pada sebatang pohon tua Dursila berkata, ”Kita akan menggali lubang kecil di bawah pohon ini untuk menyembunyikan kantong-kantong uang kita di dalamnya dan menutupinya kembali. Uang itu akan aman dalam tanah. “Karman dengan senyum berkata “Itu gagasan yang baik. Kita akan kembali nanti bila memerlukan uang.”Karman dan Dursila kemudian menggali lubang di dekat pohon, setelah cukup dalam mereka cepat-cepat memasukkan kantong yang berisi uang itu dimasukan ke dalam lubang, kemudian menutup lubang itu kembali, Karman dan Dursila pulang ke rumahnya masing-masing.

Malam harinya diam-diam Dursila keluar dari rumahnya dan mengendap-endap menuju pohon tua tempat meyimpan uangnya, dan mulai menggalinya. Kemudian cepat-cepat diambilnya semua uangnya, tanpa sepengetahuan siapa-siapa.

Hari-haritelahmerekalewati,KarmandanDursilamulaikehabisanuangbawaannya, kemudian dengan nada yang memelas berkata pada Karman, “Kar, uang belanjaku sudah mulai habis nih, bagaimana kalau kita ambil uang yang kita simpan itu?”  “Wah ide kamu memang cemerlang, aku juga mulai kehabisan uang,” jawab Karman. Kemudian Karman dan Dursila berjalan menuju pohon tua tempat menyimpan uang, sesampainya di sana keduanya langsung menggali, tiba-tiba dengan wajah yang  pucat Dursila berteriak “Mana kantong uang kita?” Siapa yang telah mengambil uang kita? Apakah kamu berlaku curang sama aku, Karman?”. Mendengar teriakan yang kencang dan menuduh Karman melihat lubang galian dan melihat tidak ada satupun kantong simpanan mereka, Karman menjawab, “Dursila, kamu tahu aku orang jujur tidak pernah berpikir kotor untuk mencuri ataupun yang lain, jangan-jangan malah kamu yang mencurinya?, (Duwijo dan Susila, 2014: 35).

Kedua sahabat ini mulai terlibat perdebatan yang saling menyalahkan, sehingga keadaan mulai memanas. Dursila berkata, “Mari kita ajukan kepada hakim, siapa tahu Pak Hakim dapat memberikan solusi dari musibah ini.” Pak Hakim mendengarkan penjelasaan kedua sahabat tersebut, setelah mendengarkan dan didukung bukti-bukti, akhirnya sang hakim mulai melakukan penelitian dan hasilnya menemukan bukti bahwa Dursila telah melakukan pencurian uang, bukti menunjukkan keadaan rumah Dursila dan uang yang dimiliki Dursila lebih banyak dari pada Karman, sedangkan pola hidup Dursila dan Karman berbeda. Akhirnya, Pak Hakim memutuskan Dursila bersalah karena mencuri uang temannya sendiri. Dursila dan Karman akhirnya tidak berteman lagi, karena orang seperti Dursila tidak pantas dijadikan teman, (Duwijo dan Susila, 2014: 36).

Referensi:

Duwijo dan Susila, Komang. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. - Edisi Revisi. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

0 Response to "Cerita Terkait dan Upaya-upaya Menghindar dari Perilaku Catur Pātaka"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel