Cerita-cerita Terkait dengan Moksa (Moksha)

MUTIARAHINDU.COM -- Dalam artikel ini akan dibahas tiga Cerita-cerita Terkait dengan Moksa (Moksha). Ada pun ketiganya yakni Cerita Singkat Panca Pandawa Masuk Sorga, Cerita Jaratkaru, dan Dialog Sri Rama dengan Dewi Sobari tentang Sembilan Jalan Bakti (Nawa Bhakti) Dalam Epos Ramayana juga disebutkan bahwa Dewi Sobari seorang Nenek tua. Berikut penjelasan dari ketiga cerita tersebut:
Cerita-cerita Terkait dengan Moksa (Moksha)

1. Cerita Singkat Panca Pandawa Masuk Sorga

Setelah berakhir perang Bharata Yudha, Yudhistira menyerahkan tampuk pemerintahan kepada Anak Abimanyu yang bernama Prabhu Parikesit. Beliau sepakat dengan saudara-saudara dan istrinya, Dewi Drupadi berniat untuk mengakhiri masa hidup keduniawiannya dengan maksud menuju pada tujuan akhir hidup sebagai manusia yaitu untuk dapat mencapai Moksha. Yudhistira mengajak saudara-saudara dan istrinya tercinta untuk pergi ke Gunung Mahameru sebagai langkah awal menuju Moksha.

Dalam perjalanannya banyak rintangan yang dihadapi olehnya, selain hutan yang lebat, jalanpun tidaklah bagus, jurang dan tebing serta cuaca panas dan dingin dilaluinya. Singkat cerita akhirnya Dewi Drupadi tidak mampu mengikuti perjalanan suaminya karena kondisinya lemah dan akhirnya meninggal. Adik-adiknya bertanya, “Kak kenapa Dewi Drupadi yang pertama meninggalkan kita?” Dijawablah oleh Yudhistira; ...oh adikku Dewi Drupadi meninggal karena dia terlalu membedakan cintanya pada kita semua, dia paling mencintai sang Arjuna. Selanjutnya meninggal Sahadewa. Adiknya bertanya lagi mengapa Sahadewa meninggal? Dijawab lagi oleh Yudhistira, dia meninggal karena merasa dirinya sebagai lelaki yang paling tampan. Selanjutnya disusul lagi oleh Nakula yang meninggal karena merasa dirinya ahli dalam memainkan pedang. Disusul lagi oleh Arjuna yang meninggal karena merasa paling pintar dalam memanah. Kemudian meninggalah Bima/Werkodara yang disebabkan oleh kesombongan dan keangkuhannya serta merasa paling kuat. Akhirnya tinggal Yudhistira bersama anjing kesayangannya yang berwarna hitam, (Duwijo dan Darta, 2014:32).

Singkat cerita Yudhistira dijemput oleh Dewa Indra dengan kereta emasnya, Yudhistira dibujuk agar naik ke kerata emasnya, akan tetapi anjingnya tidak diperbolehkan naik kereta emas tersebut. Dijawablah oleh Yudhistira kalau anjing saya tidak diperkenankan naik kereta emas ini lebih baik saya tidak jadi naik. Karena saya amat sayang padanya sekalipun dia berwujud anjing. Berkali-kali dibujuknya Yudhistira tetap pada pendiriannya. Di saat itulah anjing tersebut berubah wujud dan mengatakan bahwa dirinya adalah Dewa Dharma yang melindunginya. “Wahai anakku, saya sengaja menguji keluhuran budimu, karena engkau betul-betul berbudi luhur, jujur dan bijaksana, maka sekarang ikutlah di keretaku.”

Diceritrakanlah Yudhistira sampai di Sorga beliau kaget karena melihat saudara Duryodana yang ada di sorga, sedangkan saudaranya tidak satupun yang ada di sorga. Melihat keadaan itu beliau menanyakan keberadaan saudara-saudaranya kepada Dewa Indra, mengapa saudara dan istriku tidak ada di sorga? Mendengar pertanyaan itu kemudian dijawablah oleh Bhatara Indra, wahai Yudhistira semua saudara dan istrimu Dewi Drupadi kami tempatkan di Neraka, karena banyak membunuh saudara-saudaranya pada saat perang Bharata Yudha di Kuruksetra. Kemudian Yudhistira kembali menyampaikan pertanyaan kepada Dewa Indra. Apakah membunuh musuh dalam perang itu salah? kata Yudhistira.

Kalau demikian tolong antarkan saya melihat saudara dan istriku. Baiklah jawab Dewa Indra. Langsung Yudhistira menuju Neraka. Sesampainya di sana didengar saudara dan istrinya merintih kesakitan, kepanasan karena disiksa. Yudhistira pun tak tahan melihat kejadian itu lalu menangis sedih dan tidak mau meninggalkan saudara dan istrinya sekalipun mestinya dia mendapat tempat di Sorga. Oleh karena Yudhistira tetap pada pendiriannya dan setia pada kebenaran, maka seketika itu pula neraka berubah menjadi Sorga. Kejadian ini adalah untuk menguji kejujuran, kebenaran dan kesetiaan Yudhistira terhadap Dharma. Kalau dikaitkan dengan tingkatan Moksha karena kepergian Yudhistira tidak meninggalkan apa-apa, maka dapat digolongkan mencapai Parama Moksha, (Duwijo dan Darta, 2014:33).

2. Cerita Jaratkaru

Dalam sebuah keluarga ada seorang anak bernama Jaratkaru. Keperibadiannya sangat lugu dan patuh pada orang tuanya. Dia sangat tekun belajar sampai tingkat yang paling tinggi di jaman itu. Singkat cerita orang tuanya telah meninggal. Akibat begitu tekunnya dalam menuntut ilmu Jaratkaru lupa kawin. Selanjutnya Jaratkaru menjalani Sukla Brahmacari yaitu tidak kawin seumur hidupnya. Akibat dari ketinggi-an ilmunya, Jaratkaru, akhirnya mampu pergi ke Sorga untuk melihat roh ayahnya. Sesampainya di sorga Jaratkaru menanyakan roh orang tuanya.

Roh orang tuanya ternyata tidak ada di sorga. Dia pun turun ke neraka. Dilihatlah roh-roh yang sedang menjalani hukuman dan penyiksaan yang amat berat. Satu persatu roh itu ditanya dan sampailah dia kepada roh yang tergantung di pohon bambu petung. Dia bertanya, roh itupun menjawab; “Saya punya anak yang tidak melakukan perkawinan selama hidupnya sehingga tidak punya keturunan, maka akibatnya saya mendapat hukuman seperti ini”.

Mendengar ceritra itu secepatnya Jaratkaru kembali ke dunia untuk mencari istri agar memiliki keturu-nan. Tidak lama kemudian dia men-dapat istri yang mampu memiliki keturunan. Begitu Jaratkaru punya keturunan, maka bebaslah roh orang tua Jaratkaru dari siksaan dan hu-kuman di neraka, dan akhirnya roh ayah Jaratkaru dipindahkan ke sorga. Brahmacari terdiri dari: Sukla Brahmacari, Swala Brahmacari dan Tresna Brahmacari. Sukla Brahmacari yaitu tidak kawin seumur hidup. Swala Brahmacari yaitu kawin sekali selama hidup. Tresna Brahmacari yaitu kawin lebih dari satu kali dan paling banyak empat kali tetapi harus atas persetujuan istri pertama, (Duwijo dan Darta, 2014:34).

3. Dialog Sri Rama dengan Dewi Sobari tentang Sembilan Jalan Bakti (Nawa Bhakti)

Dalam Epos Ramayana juga disebutkan bahwa Dewi Sobari seorang Nenek tua yang giginya telah ompong, namun perilakunya mulia dan bijaksana. Dia berniat untuk menuju alam bebas agar rohnya bisa menyatu dengan Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.

Saat itu Dewi Sobari sedang melakukan Homa Yajña yaitu pemujaan terhadap Pancaran Api Dharma dari Guru Mulya. Saat itu lewatlah Sri Rama bersama adik-nya Laksamana. Sri Rama berkata kepada Laksamana. Lihatlah Laksamana, Api Dharma dari Guru Mulya masih tetap menyala sekalipun sudah bertahun-tahun ditinggalkan oleh Guru Mulya. Masih tetap menyala sekalipun sekarang dunia telah dimasuki oleh segala kekerasan dan kepanasan. Sri Rama bersama Laksamana menghaturkan sembah dan mohon agar diberikan kekuatan sinar bhaktinya untuk melaksanakan kewajiban Dharma di dunia ini. Lalu Sri Rama mohon pamit pada nenek tua yang bernama Dewi Sobari. Dewi Sobari melarang kepergian Sri Rama. Oh tuanku, sebelum tuan pergi saya lebih dulu mohon berangkat untuk menyusul Guru Mulya. Sebelum saya berangkat saya harus dapat melakukan bhakti kaki tarateng kepada tuan dan mohon ajarkan sembilan jalan Bhakti yang langsung keluar dari bibir tuan. Mendengar permintaan Dewi Sobari seperti itu lalu Sri Rama berkata, Oh Ibu: sebuah Tahta/Kekuasaan, Kasta/Keturunan, Mahkota/Kebesaran, dan kepintaran itu semuanya tidak akan berarti jika dibandingkan dengan rasa bhakti yang tulus pada hati ibu sendiri terhadap Guru Mulya dan Sang Hyang Widhi Wasa. Oleh karena jalan bhakti itu yang ibu minta, maka saya akan anugrahkan kepada ibu terimalah kata Sri Rama.

Tolong dengarkan dan camkan di dalam hati agar keinginan Ibu bertemu dengan Guru Mulya dapat terlaksana. Oh Ibu inilah Sembilan jalan Bhakti yang kumiliki:
  1. Utamakan bersahabat dengan orang suci.
  2. Tekun mempelajari kisah-kisah sang guru.
  3. Mengabdi kaki pada sang guru untuk keutamaan para dewata.
  4. Menyanyikan lagu-lagu pujaan kepada yang Maha Kuasa.
  5. Mengidungkan nama suciku (Sri Rama).
  6. Mengendalikan diri agar terhindar dari hal-hal yang tidak baik.
  7. Memandang orang suci selalu lebih tinggi.
  8. Bergembiralah dan jangan bermimpi melihat kesalahan orang lain.
  9. Menuntut kesederhanaan dan tidak boleh menipu daya dalam segala tingkah laku, (Duwijo dan Darta, 2014:35).

Dalam buku Srimad Bhagavatham (Ketut Wiana) ada sembilan bentuk bakti (nawa bhakti): Sravanam = mendengarkan, Kirtanam, = kidung suci, Smaranam = mengingat, Padasewanam = mencium altar, Dasyam = Kerja bhakti, Wandenam = membaca kitab suci, Sandhya Bhakti = mengawali doa, Sakyanam = kedekatan, Atmaniwedanam = penyerahan diri total pada Tuhan.

Setelah Sri Rama menyebutkan ajaran Sembilan jalan bhakti Dewi Sobari pun dapat memahami dan melakukan Bhakti Tarateng kepada Sri Rama. Kemudian Dewi Sobari berdiri tegak dengan sikap tangan Giri Mudra selanjutnya beliau men-capai Parama Moksha yaitu tingkat moksha yang tertinggi karena roh dan badan wadahnya musnah di dunia. Melihat kejadian itu kemudian Sri Rama bersama adiknya Laksamana menghaturkan sembah bhakti kepada Roh Dewi Sobari yang telah mencapai Parama Moksha dengan mengucapkan: “Oh Ibu terimalah sembah bhaktiku semoga kewajibanku menjalankan Bhakti selalu dapat aku laksanakan dalam kehidupan ini.”

Demikianlah dialog Sri Rama dengan Dewi Sobari. Salah satu dari ajaran Catur Marga yaitu Bhakti Marga sangat memungkinkan seseorang untuk bisa mencapai Moksha, asalkan Bhakti Marga tersebut dijalankan dengan dasar kewajiban yang tulus untuk berbakti kepada Guru Mulya. Seperti apa yang dilakukan oleh Sri Rama terhadap orang tuanya Prabhu Dasarata. Dari keempat putra Prabhu Dasarata, Rama merupakan saudara yang tertua. Dari status mestinya Sri Rama sebagai pengganti ayahanda Dasarata, tetapi karena Ibu Dewi Sumitra menghendaki Barata putranya sendiri yang harus menjadi Raja di Ayodhya, maka Sri Rama dengan rela dan tulus memberikan tahta tersebut kepada adiknya.

Didasari oleh rasa bhak-tinya kepada orang tua kemudian Rama di suruh menjaga pesraman para Resi di dalam hutan agar tidak diganggu oleh para Raksasa. Atas perin-tah Prabhu Dasarata seba-gai pemegang kekuasaan, Rama bersama dengan Istrinya Dewi Sita dan adiknya Laksamana pergi meninggalkan kerajaan menuju hutan. Betapa mulianya pikiran dan sikap Rama terhadap orang tuanya, (Duwijo dan Darta, 2014:36).

Di samping itu Rama tidak pernah haus kekuasaan, tidak terlena dengan harta yang melimpah, tidak ingin dihormati karena jabatan. Semua itu tidaklah menjadi ukuran keagungan baginya. Sekalipun beliau berada dalam hutan, kalau sudah berpikir yang suci, berperilaku yang bijaksana orang akan selalu menyebut-nyebutkan kemuliaannya dan selalu akan menjadi suri tauladan sepanjang masa.

Cerita di atas memberikan gambaran kepada kita betapa besarnya arti pendidikan dalam kehidupan. Betapa besarnya makna sebuah kerukunan dalam keluarga serta betapa tingginya nilai bhakti dan keyakinan sehingga mampu untuk mencapai jalan kebahagiaan.

Rangkuman

Moksha adalah kebebasan abadi yang merupakan tujuan akhir hidup manusia sesuai dengan ajaran agama Hindu. Dalam pustaka suci Veda disebutkan dengan seloka Mokshartam Jagadhitaya ca iti dharma artinya kebahagiaan la-hir dan batin berdasarkan dengan dharma.

Dalam cerita Jaratkaru disebutkan bahwa dalam kehidupan ini kita diwajibkan memiliki keturunan agar nantinya roh orang tua yang meninggal bisa mendapatkan sorga. Jaratkaru adalah anak yang tekun belajar (Brahmacari) sehingga lupa untuk mencari pasangan hidup, sebagai akibat ketinggian ilmunya. Setelah dia tahu bahwa apabila seorang anak menjalankan Sukla Brahmacari roh orang tuanya yang meninggal tidak akan mendapat Sorga, maka Jaratkaru kawin dengan wanita yang dicintainya untuk memiliki ketu-runan.

Keluarga Panca Pandawa masuk sorga, semua kematiannya pasti ada penyebabnya. Dewi Drupadi meninggal karena terlalu memilih kasih sayang pada Arjuna. Sahadewa meninggal karena merasa sebagai lelaki yang paling tampan. Nakula meninggal karena mengaku paling pintar memainkan pedang.Arjuna meninggal karena mengaku paling pintar dalam memanah. Bima meninggal karena mengaku dirinya yang paling kuat dan perkasa, maka janganlah sombong dan jangan pilih kasih. Jadi, di antara keluarga Panca Pandawa hanya Yudhistira yang pertama masuk sorga. Dalam sloka disebutkan Satyam eva jayate terjemahannya, kesetiaan dan kebenaran akhirnya menang, (Duwijo dan Darta, 2014:37).

Referensi

Duwijo dan Darta, I Ketut. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas V. Jakarta: Pusat                  Kurikulum dan Perbukuan. Balitbang Kemdikbud

0 Response to "Cerita-cerita Terkait dengan Moksa (Moksha)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel