Pengertian dan Kedudukan Mahabharata dalam Veda
Friday, November 29, 2019
Add Comment
MUTIARAHINDU.COM -- Itihǎsa adalah suatu bagian dari kesusastraan Hindu yang menceritakan kisah-kisah epik atau kepahlawanan para Raja dan ksatria Hindu pada masa lampau. Di dalamnya berisi ajaran filsafat agama, mitologi, dan makhluk supernatural. Iti hǎsa berarti “kejadian yang nyata” (Titib, 1998:137), dalam hal ini itihǎsa yang terkenal ada dua, yaitu Ramayana dan Mahǎbhǎrata. Kitab Itihǎsa disusun oleh para Rsi dan pujangga India masa lampau, misalnya Rsi Walmiki (Ramayana) dan Rsi Vyǎsa (Mahǎbhǎrata). Cerita dalam Kitab Itihǎsa tersebar di seluruh daratan, (Suhardi dan Sudirga, 2015:64).
Gapura Pura Agung Taman Sari Halim (foto mutiarahindu.com) |
India sampai ke wilayah Asia Tenggara. Pada zaman kerajaan di Indonesia, kedua Kitab Itihǎsa diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa kuno dan diadaptasi sesuai dengan kebudayaan lokal. Cerita dalam Kitab Itihǎsa diangkat menjadi pertunjukkan wayang dan digubah menjadi kakawin.
Mahabharata berasal dari kata "mate" yang berarti besar atau agung sedangkan kata "Bharata" berarti raja-raja dari di Nastibharata. Mahabharata (Sanskerta: महाभारत) adalah sebuah karya sastra yang ditulis oleh Bhagawan Vyasa dari India yang dibantu oleh Dewa Ganesha. Buku ini terdiri atas delapan belas kitab, maka dinamakan astadasaparwa (asta = 8, dasa = 10, parwa = bagian). Namun demikian, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan kumpulan dari banyak cerita yang semula ter-pencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum Masehi. Di Indonesia, salinan berbagai bagian dari epos besar Mahǎbhǎrata banyak ragamnya, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa, Arjunawiwǎha.
Beberapa parwa yang lain yang diketahui telah terjemahkan dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi, dan kemudian pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh (991- 1016 M) dari Kadiri (Suhardi, 2011). Oleh karena sifatnya itu, bentuk prosa ini dikenal juga sebagai sastra parwa. Dalam masa-masa kemudian , yang terlebih populer adalah penggubahan cerita itu dalam bentuk kakawin, yakni puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa Kuno. Salah satu yang terkenal ialah kakawin Arjunawiwǎha (perkawinan Arjuna) gubahan Mpu Kanwa. Karya yang di perkirakan ditulis antara 1028-1035 M ini (Zoetmulder, 1984) dipersembahkan untuk Raja Airlangga dari kerajaan Medang Kamulan, menantu Raja Dharmawangsa.
Karya sastra lain yang juga terkenal adalah kakawin Bharatayuddha, yang digubah oleh Mpu Sedah dan belakangan diselesaikan oleh Mpu Panuluh (Panaluh). Kakawin ini dipersembahkan bagi Prabu Jayabhaya (1135-1157 M), ditulis pada sekitar akhir masa pemerintahan Raja Daha (Kediri) tersebut. Di luar itu, Mpu Panuluh juga menulis kakawin Hariwangsa yang berisi silsilah Wisnu atau Hari yang ditulis pada masa Jayabaya dan diperkirakan pula menggubah Gaţotkacǎsraya pada masa Raja Kertajaya (1194-1222 M) dari Kediri. Beberapa kakawin lain turunan Mahabharata yang juga penting untuk disebut, di antaranya adalah Kşşnǎyana (karya Mpu Triguna) dan Bhomǎntaka (pengarang tak dikenal), keduanya dari zaman Kerajaan Kediri, dan Pǎrthayajña (Mpu Tanakung) di akhir zaman Majapahit. Salinan naskah-naskah kuno yang tertulis dalam lembar-lembar daun lontar tersebut juga diketahui tersimpan di Bali (Zoetmulder, 1985: 396), (Suhardi dan Sudirga, 2015:65).
Di samping itu, mahakarya sastra tersebut juga berkembang dan memberikan inspirasi bagi berbagai bentuk budaya dan seni pengungkapan, terutama di Jawa dan Bali. Bentuk budaya dan seni pengungkapan tersebut mulai dari seni patung dan seni ukir (relief) pada candi-candi, seni tari, seni lukis hingga seni pertunjukan seperti wayang kulit dan wayang orang. Di masa yang lebih lampau, ditulis kakawin Bhǎratayuddha yang telah disalin pula oleh pujangga keraton Surakarta, Yasadipura, ke dalam bahasa Jawa modern pada sekitar abad ke-18 yang kemudian dikenal seperti saat ini.
Dalam perkembangannya Mahǎbhǎrata merupakan epos besar selain Ramǎyana yang di dalamnya terdapat berbagai nilai-nilai pendidikan yang sejalan dengan perkembangan zaman yang terjadi. Dari pembahasan tersebut, bahwa kedudukan Mahǎbhǎrata sebagai kitab itihǎsa yang merupakan tu- runan dari smrti sebagai sumber Veda yang kedua selain sruti. Untuk itu, proses belajar tentang Itihǎsa yang di dalamnya ada Kitab Ramǎyana dan Mahǎbhǎrata, harus dipelajari terlebih dahulu agar ketika belajar tentang Veda baik sruti maupun smrti, pemaknaannya tidak disalahartikan pada hal- hal di luar kebenaran Veda itu sendiri, (Suhardi dan Sudirga, 2015:66).
Referensi:
Suhardi, Untung dan Sudirga, Ida Bagus. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas IX (Cetakan Ke-1, 2015). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
0 Response to "Pengertian dan Kedudukan Mahabharata dalam Veda"
Post a Comment