Kewajiban Brāhmaṇa, Kṣatriya, Waisya dan Śudra dalam Catur Varna
Monday, November 4, 2019
Add Comment
MUTIARAHINDU.COM -- Ada seorang raja besar yang mempunyai jiwa pengorbanan dan ketidakterikatan yang kuat yaitu Harischandra. Walaupun sebenarnya ia adalah Adiraja, karena suatu kemalangan ia menjadi penunggu tempat perabuan (tempat pembakaran mayat).
Pada suatu hari, ketika Harischandra pertama kali melakukan tugasnya di tempat perabuan, ada jenazah seorang kaya yang di bawa ke sana oleh sejumlah besar hkamui taulan. Mereka membawa jenazah itu membakamya dan segera kembali ke rumah masing-masing. Biasanya bila jenazah dibakar, harus ditaruhi beban di atasnya, sebab jika dipanasi jenazah itu akan melengkung seolah-olah akan bangun dan kemudian terbaring kembali, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:183).
Seorang Pemangku melakukan pemercikan tirta kepada umat di Pura Aditya Jaya Rawamangun. Foto: Mutiarahindu.com |
Hari itu hanya Harischandra yang tetap tinggal di tempat perabuan, diantara teman dan kaum kerabat dan orang yang meninggal itu tidak ada seorangpun yang tinggal untuk memperhatikan jenazah tersebut. Harischandra pergi untuk mengambil kayu api lagi, tiba-tiba ia melihat jenazah itu bangun. la sangat terkejut lalu datang mendekat untuk mengamatinya.
Ketika Harischandra mendekati api, ia melihat jenazah itu telah kembali dalam posisi berbaring. Beberapa saat ia mengira bahwa jenazah itu hidup, duduk seolah-olah mencari keluarga dan kawan-kawannya, namun segera ia menyadari bahwa apa yang terjadi itu hanyalah illusi sementara seakan-akan mayat itu hidup karena panas api. Harischandra berpikir “ Seperti aku mengira mayat itu hidup, aku mengira bahwa dunia ini pun nyata. Tetapi sebenarnya tidak demikian. Dunia ini hanya tampaknya saja nyata.
Harischandra menyayangkan bahwa orang sekaya itu tidak mempunyai sanak keluarga atau teman yang mau menunggu pembakaran jenazahnya sampai selesai. Ia berpikir bagaimanapun kedudukan dan kekayaan seseorang, setelah ia meninggal, istri dan anak- anaknya sekalipun tidak merasa terikat kepadanya. Setelah mengalami hal ini Harischandra mempunyai rasa ketidakterikatan yang kuat terhadap benda-benda dan wujud keduniawian.
Kewajiban Masing-masing Varna
Di dalam kitab Māhabhārata, Maha Reshi Bhisma telah memberi penjelasan tentang sifat-sifat umum yang harus diikuti oleh setiap Varna, yang berarti juga untuk semua orang, yaitu:
- Akrodha atau tidak pernah marah.
- Satyam atau berbicara benar dan jujur.
- Samvibhaga atau adil dan jujur.
- Memperoleh anak dari hasil perkawinan.
- Berbudi bahasa yang baik.
- Menghindari semua macam pertengkaran.
- Srjawam atau berpendirian teguh.
- Membantu semua orang yang tergantung atas dirinya seseorang.
Jika dalam suasana kalut, seperti timbul peperangan atau marabahaya setiap Varna wajib ikut membela negara atau kerajaan. Kewajiban-kewajiban umum yang harus dilakukan oleh setiap pemeluk Hindu, tanpa memperhatikan Varna, pangkat, dan lain sebagainya, disebut Sadharana Dharma.
Sarasamuscaya sloka 63 juga menguraikan kewajiban-kewajiban umum yang berlaku untuk semua Varna. Kewajiban-kewajiban itu sebagai berikut:
"Arjavam cānrśamsyam ca damāś,
cendriyagrahah.
Esa sādhārano dhramaś Catur varnye
brawіmmanuh," (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:184).
"Nyāng ulah pasādhāranan sang Catur Varna, ārjawa, si duga-duga bener, anrcansya, tan nrcansya, nrçansya ngaraning ātmasukhapara, tan arimbawa ri laraning len, yawat mamuhara sukha ryawaknya, yatika nrçansya ngaranya, gatining tan mangkana, anŗçansya ngarnika dama, tumangguhana awaknya, indriyanigraha, hmrta indriya, nahan tang prawrtti pāt, pasadharanan sang Catur varna, ling Bhatara Manu".
Terjemahan:
"Inilah perilaku keempat golongan yang patut dilaksanakan, Arjawa, jujur dan terus terang. Anrcangsya, artinya tidak nrcangsya. Nrcangsya maksudnya mementingkan diri sendiri tidak menghiraukan kesusahan orang lain, hanya mementingkan segala yang menimbulkan kesenangan bagi dirinya, itulah disebut nrcangsya, tingkah laku yang tidak demikian anrcangsya namanya; dama artinya dapat menasehati diri sendiri; indriyanigraha mengekang hawa nafsu, keempat perilaku itulah yang harus dibiasakan oleh sang Catur Varna, demikian sabda Bhatara Manu".
Jadi kalau disingkat kembali perilaku bagi Sang Catur Varna ada empat yaitu Anrcansya (tidak mementingkan diri sendiri), Arjawa (jujur dan berterus terang), Dama (dapat menasehati diri sendiri), Indriyanigraha (mengendalikan hawa nafsu). Jadi, semua etika umum atau peraturan tingkah laku yang berlaku bagi umat Hindu berarti berlaku pula bagi semua Catur Varna. Atau sebaliknya.
Kalau kewajiban-kewajiban Varna itu tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya terjadi percampuradukan Catur Varna itu maka akan datanglah masa yang disebut Kali Yuga dimana masyarakat akan kacau balau dan menuju pada kehancuran. Campur aduknya Varna di sini seperti tidak dapat bekerja menurut profesi dan fungsinya. Misalnya seorang Brahmana yang berfungsi sebagai pembina agama lalu menjadi atau mengambil pekerjaan dagang, seorang penguasa pemerintahan lalu menjadi pengusaha. Orang yang berbakat dan mempunyai pendidikan Guru lalu bekerja tidak pada bidang pendidikan dan sebagainya.
Sarasamuscaya sloka 61 menjelaskan tentang keadaan kacau-balau kalau masing-masing Varna tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sloka tersebut berbunyi sebagai berikut:
"Rājābhir brahmanah sarwabhakso
Waicyo’ nіhāwān hinawarno’ lasaśca,
Widwānacilo wrttahinah kulinah
Bhrasto brāhmanah stri ca dustā".
"Hana pwa mangke kramanya, ratu wedi-wedi, brāhmana sarwabhaksa. waiçya nirutsaha ring krayawikrayādi karma, çūdra alemeh sewakta ring sang triVarna, pandita duccila, sujanma anasar ring maryā dānya, brāhmana tan satya, stri dusta duccila", (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:185).
Terjemahan:
"Jika ada hal yang demikian keadaannya, raja yang pengecut, brahmana doyan segala makanan, waisya tidak ada kegiatan dalam pekerjaan berniaga, berjual beli dan sebagainya, sudra tidak suka mengabdi kepada Tri Varna, pendeta yang bertabiat jahat, orang yang berkelahiran utama nyeleweng dari hidup sopan santun, brahmana yang curang dan wanita yang bertabiat nakal dan berlaku jahat".
Lalu, bagaimanakah semestinya kewajiban masing-masing Varna yang dianjurkan
Hindu? Berikut penjelasan yang lebih rinci:
1. Kewajiban Brāhmaṇa
Istilah Brāhmaṇa berasal dari bahasa Sansekerta dari urat kata “brh” artinya tumbuh. Dari arti kata ini dapat kita gambarkan bahwa fungsi Brāhmaṇa adalah untuk menumbuhkan daya cipta rohani umat manusia untuk mencapai ketenteraman hidup lahir batin. Brāhmaṇa juga berarti pendeta. Pendeta adalah gelar pemimpin agama yang menuntun umat Hindu mencapai ketenangan hidup dan memimpin umat dalam melakukan upacara agamanya.
Karena tugas atau kewajiban pokok dari Varna Brāhmaṇa adalah mempelajari Veda (Vedadhyayana) dan memelihara Veda-veda itu atau disebut Vedarakshana, Varna Brāhmaṇa tidak boleh melakukan pekerjaan duniawi. Untuk kehidupannya dia harus dibantu oleh Varna-varna lainnya. Ini bukanlah berarti memberikan seorang Brāhmaṇa suatu posisi yang istimewa dalam masyarakat dan sebaliknya pula bukanlah menganggap Brāhmaṇa itu sebagai benalu dalam masyarakat.
Kaum Brāhmaṇa dibebani tugas untuk melaksanakan apapun yang diberikan perlu demi memajukan kesejahteraan spiritual masyarakat. Demikian Chandrasekharendra Saraswati menyebutkan dalam bukunya Aspek-Aspek.Agama Hindu. Jadi Varna Brāhmaṇa ini adalah golongan atau mereka yang berkecimpung dalam bidang kerohanian. Brāhmaṇa ini tidak berdasarkan suatu keturunan, melainkan karena ia mendapat kepercayaan dan mempunyai kemampuan untuk menjalankan tugas tersebut. Seseorang disebut Brāhmaṇa karena ia memiliki kelebihan dalam bidang kerohanian.
Dengan kata lain Brāhmaṇa itu adalah golongan fungsional yang setiap orangnya memiliki ilmu pengetahuan suci dan mempunyai bakat kelahiran untuk menyejahterakan masyarakat, negara dan umat manusia dengan jalan mengamalkan ilmu pengetahuannya dan dapat memimpin upacara keagamaan, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:186).
Dalam Kitab Sarasamuscaya sloka 56 kewajiban Brāhmaṇa dijelaskan sebagai berikut:
"Adhiyita brāhmano wai yajeta
dadyādiyat tirthamukyāni caiwa, adhyāpayedyājayecchāpi yājyān
praptigrahan wa wihitānupeyat".
"Nya dharma sang Brāhmana, mangajya, mayajňā, maweha dāna punya, magelema atirta, amarhana, wikwaning ayajňā, managgapa dāna".
Terjemahan:
"Berikut inilah dharma sang Brāhmaṇa, mempelajari Veda, mengadakan upacara kebaktian atau pujaan, memberikan amal sosial, berkunjung ke tempat-tempat suci, memberikan ajaran-ajaran (penerangan-penerangan agama), memimpin upacara dan dibenarkan menerima sedekah".
Keterangan yang senada kita jumpai pula dalam Manawa Dharmaśāstra I, 88, yang berbunyi sebagai berikut:
"Adhyāpanam adhyayanam
Yajanam yājanam tathā,
dānam pratigraham caiva
Brāhmanānām akalpayat".
Terjemahan:
"Kepada Brāhmaṇa, Tuhan menetapkan kewajibannya ialah mempelajari dan mengajarkan Veda, melaksanakan upacara kurban untuk diri sendiri dan masyrakat umum, memberikan dan menerima dana punia".
Demikian fungsi dan kewajiban-kewajiban Brāhmaṇa. Selanjutnya diuraikan kode etik atau lkamusan moral dari Varna Brāhmaṇ̣a. Sarasamuscaya sloka 57 menyebutkan dua belas brata atau lkamusan moral bagi Varna Brāhmaṇa yang diuraikan sebagai berikut:
"Dahrmasca satyam ca tapo damaśca
Wimatsaritwam hristitiksanasuya,
Yajnsca dhiritih ksama ca
Mahawratani dwadasa wai barhmanasya".
"Nyang brata sang Brāhmaṇ̣a, rwa welas kwehnya. prayekanya, dharma, satya, tapa, dama, wimatsaritwa, hrih, titiksa, anasuya, yajňa, dāna, dhrthi, ksma, nahan pra tyekanyan rwawelas, dharma, satya, pagwanya, tapa ngaranya śarira sang śosana, kapanasaning śarira, piharan, kurangana wisaya, dama ngaranya upaśama, dening tuturnya, wimatsaritwa ngarani haywa irsya, hrih ngaran irang, wruh ring arang wih, titiksa ngaraning haywa irsya, hrih ngara ning irang,wruha ring irang wih, titiksāngaraning haywa gong krodha, anasūyā haywa dosagrāhi, yaňa magelem amuja, dāna, maweha dānapunya, dhŗti ngaraning maneb, āhning, ksama ngaraning kelan, nahan brata sang brāhmana," (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:187).
Terjemahan:
"Inilah brata sang Brāhmaṇa, duabelas banyaknya, perinciannya dharma, satya, tapa, dama wimatsaritwa, hrih, titiksa, anasuya yajna, dana, dhrthi, ksama, itulah perinciannya sebanyak duabelas, dharma dari satyalah sumbernya, tapa artinya carira sang cosana yaitu dapat mengendalikan jasmani dan mengurangi nafsu, dama artinya tenang dan sabar, tahu menasehati diri sendiri, wimatsaritwa artinya tidak dengki irihati, hrih berarti malu, mempunyai rasa malu, titiksa artinya jangan sangat gusar, anasuya berarti tidak berbuat dosa, yajna mempunyai kemauan mengadakan pujaan, dana adalah memberikan sedekah, dhrti artinya penenangan dan pensucian pikiran, ksama berarti tahan sabar dan suka mengampuni, itulah brata sang Brāhmaṇa".
Tentang peranan dan fungsinya, Brāhmaṇa harus melakukan Yajnya dan bersahabat dengan semua makhluk. Berperanan sebagai guru (acarya) dengan mengajarkan Veda, Kalpa dan Upanisad, memimpin upacara Garbhadana. Melakukan tapa, brata, dan semadi menurut ajaran Veda. Selama hidupnya seorang Brāhmaṇa harus tetap meladeni Guru atau Nabenya itu sampai meninggal. Belajar dan mengajar adalah Yajnya bagi seorang Brāhmaṇa, harus mengamalkan seluruh ilmu pengetahuannya kepada Varna-varna yang lainnya.
Tentang sifat dan ciri-cirinya, Brāhmaṇa adalah orang yang mampu mengendalikan panca indranya, berpengetahuan yang suci, berbudi baik dan tekun, dapat menguasai dirinya sepenuhnya, tidak makan segala, selalu hormat kepada orang lain. Kalau ada Brāhmaṇa yang tidak tahu Veda ibarat seekor sapi betina yang tidak bisa beranak dan mengeluarkan susu. Selalu waspada kepada pujian dan cemohan. Seorang Brāhmaṇa tidak boleh menyombongkan nama Gotranya apalagi untuk kepentingan mendapatkan makanan, ini makan benda busuk namanya.
Tentang kewajiban dan sifat-sifat seorang Brāhmaṇa: Orang yang bebas dari ketakutan dan ikatan belenggu-belenggu, tenang, seimbang, sadar dan dapat mengatasi hawa nafsu, bebas dari rasa marah, orang yang tidak suka menyakiti dengan pikiran, kata-kata dan perbuatan, orang yang telah padam penderitaannya, di dalam dirinya bersemayam kebenaran dan kebajikan, suka hidup sederhana, telah mencapai penerangan yang sempurna, tabah dan sabar menghadapi hukuman-hukuman, fitnahan penganiayaan walaupun dirinya tak bersalah, orang yang dengan seksama menjalankan tugas-tugas agamanya, sama sekali tidak terikat pada kesenangan-kesenangan duniawi, mengetahui akhir dari penderitaan, orang yang mengetahui dengan jelas jalan yang salah, penuh kebijaksanaan, telah mencapai tujuan yang tertinggi, tidak suka menyiksa dan membunuh makhluk lainnya, tidak pernah mendendam, kata-katanya mudah dipahami, tidak pernah mencuri, dapat melepaskan diri dari kehidupan dunia ini, telah mencapai dasar keabadian, telah dapat melepaskan diri dari tumimbal lahir dan kesesatan, sebagai pahlawan yang dapat menaklukan dunia, mengetahui timbul dan lenyapnya benda-benda yang hidup, mengetahui kehidupannya yang dulu, mengetahui surga dan neraka, dan telah mencapai akhir dari kelahiran, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:188).
2. Kewajiban Kṣatriya
Kata Kṣatriya berasal dari bahasa Sansekerta. Artinya suatu susunan pemerintahan, atau juga berarti pemerintah, prajurit, daerah, keunggulan, kekuasaan dan kekuatan. Memang kewajiban Kṣatriya dalam Catur Varna adalah memimpin pemerintahan, untuk memerintah memerlukan kekuasaan, kekuasaan itu memerlukan kekuatan.
C.P Bhambhri dalam bukunya Substance of Hindu Polity mengartikan kata Kṣatriya sebagai kedaulatan. Jadinya seseorang Kṣatriya untuk dapat memerintah harus punya kekuasaan dan kekuatan yang berdaulat.
Yang dimaksud dengan kekuatan dalam hal ini bukan saja kekuatan fisik tetapi yang lebih utama adalah kekuatan rohani yang berupa kekuatan iman, kekuatan pikiran (intelegensya), dan semangat yang tinggi.
ManawaDharmasastra II sloka 31, menyebutkan untuk golongan atau Varna Kṣatriya nama-namanya hendaknya menggunakan kata-kata mengandung arti “kekuatan”. Sifat-sifat Varna Kṣatriya, Bhagavadgītā XVIII, 43, menguraikari sebagai berikut:
"śauryaḿ tejo dhṛtir dākṣy
yuddhe cāpy apalāyanam
dānam īśvara-bhāvaś ca
kṣātra karma svabhāva-jam".
Terjemahan:
"Berani, perkasa, teguh iman, cekatan dan tak mundur dalam peperangan, dermawan dan berbakat memimpin, adalah karma (kewajiban) Kṣatriya".
Sarasamuccaya, 58, menguraikan kewajiban seorang Ksatriya agak berbeda sedikit dengan uraian Bhagavadgītā di atas, diuraikan sebagai berikut:
"Adhitya wedā parisamstirya cāgni
Nistwā yajňaih palayitwā prajaśca,
Bhrtyan bhrtwa jnatisambandhinaśca
Dānam dattwā ksatriyah swargameti".
"Kunang ulaha sang Ksatriya, umajya sang hyang Veda, nitya agnihotrā, Magawayang yajňa, rumaksang rat, huninga ring wadwa, teka ring kula gotra, maweha dana, yapwan mangkana, swargapada antukanira delāha".
Terjemahan:
"Maka yang dilakukan oleh Sang Ksatriya, harus mempelajari Veda, senantiasa melakukan korban, api suci, mengadakan upacara kebaktian menjaga keamanan negara, mengenal bawahnya sampai sanak keluarga dan kaum kerabatnya, memberikan sedekah, jika ia berbuat demikian, tingkatan alam surga akan diperolehnya kelak", (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:189).
Dalam Lontar Brahmokya Widhisastra lembaran 6a menyebutkan larangan-larangan dan sanksi-sanksi Varna Kṣatriya sebagai berikut: Apabila ada Kṣatriya yang berbuat tidak benar, tidak baik, berbuat di luar sifat Dwijati, di luar sifat Kṣatriya, salah bahasa, salah kerja dan lain-lainnya mereka akan menjadi Sudra. Walaupun mereka kaya akan tetapi tidak memiliki belas kasihan itu disebut: Bagna Brata.
Dalam Buku Tabir Mahabrata oleh Resi Wahono dijelaskan kewajiban Ksatriya yakni menjaga ketentraman dunia untuk kepentingan masyarakat, dan sama sekali terlepas dari kepentingan pribadi. Seseorang barulah dapat disebut bersikap Ksatriya bila telah dapat mengatasi segala keadaan dengan baik dan tak terikat pada kepentingan pribadi, bebas melaksanakan kewajibannya dengan tidak gentar sedikitpun menghadapi segala resiko meskipun harus mengorbankan jiwa raganya. Ini bukan berarti seorang Kṣatriya tidak punya cita-cita hidup untuk diri pribadinya. Bagi seorang Ksatriya kemuliaan dan kenikmatan untuk diri sendiri, sama sekali tidak termasuk dalam hitungan. Yang diutamakan dalam cita-citanya adalah kebahagiaan dan keselamatan buat orang banyak dan justru karena malakukan kewajiban itulah Ksatriya akan memperoleh kesempurnaan hidup.
Dari sumber lontar Brahmokta Widhisastra dan Widhi Papincatan kita memperoleh gambaran bahwa jabatan Kṣatriya itu tidak berlaku permanen karena dapat berubah atau turun kedudukannya (panten) kalau tidak dapat melakukan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh ajaran agama. Dalam Tabir Mahabrata kita memperoleh gambaran bahwa seseorang Kṣatriya tidak boleh ragu-ragu dalam mengambil sikap terutama ketika melakukan tugas dan kewajibannya. Seorang Ksatriya yang taat melakukan kewajiban untuk membela kebenaran akan mendapat pahala utama. Hal ini diuraikan juga dalam kekawin Nitisastra sargah IV bait 2 sebagai berikut:
"Sang śurāmênanging renānggana,
mamukti suka wibhawa bhoga wiryawān.
Sang śūrāpêjahing ranangga mangusir surapada
siniwing surāpsari. Yan bhiru n
mawêdi ng ranānggana pêjah yama-bala manikêp mamidana. Yan tan mati
tininda ringparajanenirang-irang inaňang sinorakên".
Terjemahan:
"Sang Ksatriya menang dalam peperangan menikmati kesenangan, kewibawaan, makan enak dan keagungan. Sang Kṣatriya bila mati dalam peperangan, rohnya menuju swargaloka, dielu-elukan oleh para bidadari. Kalau pengecut, lari dalam peperangan dan mati ditangkap dan dihukum, rohnya diadili oleh Bhatara Yama. Kalau tidak mati, dicerca, diolok-olok, dan ditawan oleh musuh".
Di samping itu Bhagavadgītā II, 31 memberikan penjelasan yang lebih jelas tentang letak kesempurnaan seorang Kṣatriya dalam melakukan tugas dan kewajibannya, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:190). Sloka tersebut berbunyi sebagai berikut:
"sva-dharmam api cāvekṣy
na vikampitum arhasi
dharmyād dhi yuddhāc chreyo ‘nyat
kṣatriyasy na vidyate".
Terjemahan:
"Apabila engkau sadar akan kewajibanmu, engkau tidak akan gentar, bagi Kṣatriya tiada kebahagiaan yang lebih besar daripada berjuang menegakkan kebenaran".
Dari sumber-sumber tersebut kiranya cukup jelas peran dan fungsi Kṣatriya Varna, yaitu memimpin dan melindungi rakyat. Dari sumber-sumber itu pula dapat disebutkan bahwa raja sudah jelas dapat dipastikan tergolong Varna Kṣatriya.
Lontar Raja Pati Gondola menyebutkan tugas dan kewajiban seorang raja sebagai golongan Kṣatriya, antara lain, Raja harus mengetahui upaya sandhi yang terdiri atas tiga unsur yaitu: (a) Rupa artinya raja harus dapat melihat wajah rakyat dengan baik, (b) Wangsa artinya raja harus dapat melihat tata susunan masyarakat yang utama, (c) Guna artinya raja harus mampu mengetahui rakyatnya yang memiliki keahlian.
Di samping itu lontar tersebut juga menggambarkan bahwa seorang raja harus mengetahui Rajaniti Kamkamuka yaitu suatu ajaran yang menyebutkan seorang raja adalah sebagai pengemudi dan negara sebagai perahu. Jika perahu itu tanpa pengemudi, maka ia akan tenggelam di tengah-tengah lautan, demikian pula sang raja tatkala memegang pemerintahan, kalau lengah sedikit saja negara akan bisa hancur.
Disebutkan pula yang patut dipakai sahabat oleh seorang raja adalah:
a. Arya = orang besar
b. Dharma = kebenaran/agama
c. Anirya = orang yang dapat membunuh musuh
d. Mentri = orang yang takut pada kesusahan
e. Salyatawan = orang yang banyak keturunannya
f. Bali = orang yang mempunyai kesaktian
g. Agaduh kaparamartan = rokhaniawan
h. Wang agaduh kadiran = orang yang tetap pendirian
i. Wang agaduh guna = orang pkamui
Sang raja juga harus bersahabat dengan Upaya Guna yaitu :
a. Sidhi = bisa mengadakan persahabatan
b. Wigraha = bisa mengadakan pemisahan
c. Stahna = bisa mengadakan hubungan baik
d. Wibhawa = memperlihatkan kekuatan
e. Naya = mampu melakukan serangan
f. Sacraya = mampu mengadakan hubungan terhadap yang kuat, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:191).
Seorang raja harus hormat kepada Dewa-dewa, memuja para Bhatara dan harus hormat kepada para pendeta. Yang patut dimiliki oleh seorang raja menurut agama Hindu adalah:
a. Utpatiti yaitu pemikiran diri sendiri
b. Castra samudbhavah artinya yang diperoleh dari ajaran agama
c. Sangsarga artinya pemikiran memberi maaf antara sahabat
d. Parinamidi artinya sifat pemaaf bagi seorang pemimpin.
Dalam lontar Siwa Budha Tatwa seorang raja dalam menghadapi musuh harus berpegang pada Panca Upaya Sandhi yaitu:
a. Maya, artinya mengadakan pancingan-pancingan untuk mendapatkan data-data tentang keadaan musuh
b. Upeksa, artinya meneliti hasil pancingan-pancingan itu
c. Indrajala, artinya memasang perangkap untuk menangkap musuh
d. Wikrama, artinya baru mengadakan tindakan
e. Logika, artinya setiap tindakan harus berdasarkan perhitungan akal yang matang.
Menurut Prof. H. Muhammad Yamin, kebahagiaan rakyat dan negara sangat tergantung kepada keutamaan Sang Raja atau Prabu sebagai seorang Kṣatriya yang berfungsi untuk melindungi kebahagiaan rakyat dan negara itu. Sehubungan dengan hal tersebut Prof. H. Muhammad Yamin mengemukakan buah pikiran Rakawi Prapanca terhadap Raja Hayam Wuruk. Menurut Prapanca, Prabu Hayam Wuruk berhasil memimpin kerajaan Majapahit karena memiliki empat sifat Ksatriya yang utama yang disebut Kottamaningnrepati, yaitu:
- Jñāna Wisesa Śudha, artinya mempunyai pengetahuan luhur dan bersih sehingga dapat memadamkan keburukan orang jahat.
- Kaparahitaning Praja, artinya sang prabu menunjukkan tingkah laku belas kasihan kepada rakyatnya.
- Kawiryan, artinya keberanian yang harus menyertai ke dua sifat utama di atas.
- Wibhawa, artinya karena ketiga sifat tersebut di atas itulah sang prabu mendapat keagungan atau kewibawaan.
Di dalam kekawin Ramayana digubah oleh pujangga Walmiki yang terdiri atas 110 sloka, pada sloka pendahuluannya menyebutkan tentang sifat-sifat Hyang Widhi Wasa yang menjadikan kekuatan bagi umatnya dan tentang kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang raja (pemimpin). Dalam sloka kedua disebut:
"Hyang Indra Surya Candranilah
Kuwera Bayuagni nahanwulu ta sira
maka angga sang bupati matangnyah
inisti asta brata".
Terjemahan:
"Dewa Indra, Yama, Surya, Candra, Anila, Bayu, Kuwera, Baruna dan Agni itulah delapan dewa yang merupakan badan sang raja/ pemimpin, delapan itulah yang merupakan Asta Brata", (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:192).
Kedelapan Brata yang menjadi badannya pemimpin itu bukanlah berdiri sendiri, melainkan suatu kebulatan yang tidak dapat dipisahkan. Asta Brata memberi pengaruh yang besar sekali dan kewibawaan yang luhur, sehingga pemimpin itu mudah sekali menggerakkan orang/bawahannya, untuk bekerja menjalankan tugasnya masing-masing. Dewa-dewa tersebut menurut Agama Hindu merupakan personifikasi sifat-sifat Hyang Widhi.
Jadi Dewa itu bukanlah Tuhan melainkan sifat-sifat Tuhan. Dilihat dari sudut ini maka jelas nampak bahwa seorang pemimpin dalam segala tindakannya harus mencerminkan kemulyaan Hyang Widhi Wasa. Penjelasan yang serupa benar dengan Asta Brata menurut Ramayana di atas dijumpai pula dalam Manawa Dharmasastra VII, 4 sebagai berikut:
"Indrānilayam ārkānām,
agneśca varunasya ca
Candravitteśayoś caiva,
mātrā nirhrtya śāśvatih".
Terjemahan:
"Untuk memenuhi maksud dan tujuan itu, raja harus memiliki sifat-sifat partikel yang kekal dari dewa: Indra, Wayu, Yama, Surya, Agni, Waruna, Candra, dan Kuwera".
Menurut naskah kuno Nawa Natya, pembantu raja yaitu Patih Hamengku Bumi, yang termasuk pula Kṣatriya, harus memiliki sifat-sifat utama lahir batin, yang kalau disimpulkan adalah sebagai berikut:
a. Maka nuni lanlaning bhumi, artinya selalu mengawasi keadaan Negara
b. Hamancanagara, artinya selalu mengawasi/menguasai lima penjuru Negara
c. Wruh ring sarwa bhastra, artinya tahu mengatasi kerusuhan
d. Sarwagama, artinya tahu ajaran-ajaran agama
e. Widagda, artinya pandai dan berpengalaman
f. Wira, artinya pemberani
g. Wiweka, artinya dapat membedakan mana yang benar dan yang salah
h. Prajna, artinya berpengetahuan yang luas
i. Pragiwaka, artinya pandai berdiplomasi
j. Sarwa yuda, artinya pandai dalam hal peperangan
k. Wruh ring don, artinya tahu pada tujuan
l. Mwang donyakira kira, artinya dapat menyelesaikan tujuan (pekerjaan)
m. Sama upaya, artinya setia pada janji
n. Samahita, artinya setia pada tujuan suci Negara
Dari seluruh uraian tersebut, maka jelas sekali bahwa yang paling berhak untuk duduk di lapangan pemerintahan adalah Varna Kṣatriya. Rakyat harus menghormati raja sebagai raja (pemerintah) dan sebaliknya Varna Kṣatriya itu harus memperlakukan rakyat sebagai seorang bapak terhadap anaknya. Harta benda rakyat tidak boleh diisap begitu saja dengan mengadakan pajak yang bukan-bukan. Pajak yang dipungut oleh Varna Kṣatriya atau pemeritah harus digunakan untuk kemakmuran negara, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:193).
Di Bali dan Jawa, ada istilah yang terkenal disebut Manunggaling Kawula lawan Gusti yang maknanya harus ada persatuan antara rakyat dan pemerintahan. Demikian pula ada istilah Katemuaming Bakti kelawan sweca yang maknanya rakyat harus hormat dan mendukung pemerintah dan sebaliknya pemerintah harus melindungi rakyatnya dari segala mara bahaya.
Dengan demikian kiranya disimpulkan bahwa Varna Kṣatriya itu adalah golongan fungsional yang setiap orangnya memiliki kewibawaan, cinta tanah air, serta bakat kelahiran untuk memimpin dan mempertahankan kesejahteraan masyarakat, negara dan umat manusia berdasarkan dharmanya.
3. Kewajiban Varna Waisya
Varna Waisya merupakan Varna yang ketiga dalam susunan Catur Varna. Kata Waisya (aslinya Vaisya) berasal dari bahasa Sansekerta dari urat kata “Vie” artinya bermukim di atas tanah tertentu. Dari urat kata tersebut lalu berkembang menjadi kata Waisya yang artinya golongan pekerja atau seorang yang mengusahakan pertanian. Demikianlah dijelaskan oleh A.A. Mac Donel dalam kamusnya. Dari keterangan- keterangan berikutnya memang peranan dan fungsi Varna Waisya tidak begitu jauh menyimpang dari arti katanya. Peranan dan fungsi Waisya dijumpai dalam beberapa pustaka suci Hindu. Dalam Slokantara, 37, diuraikan kewajiban Waisya sebagai berikut:
"Vaicyah krsivalah karyo gopah
sasya bhrtwratah Wartayukto
grhopatah ksetrapalo ‘tha Vaisyajah.
Kalingannya, karyaning sang Waisya,
masawahsawah rumaksa ring lembu,
dhumaranang pari, maka sahaya wuluku,
kahananya umunggah ringgrha kathanyan.
Ksetrapala ngaranya rumaksa sawah.
Yeka Waisya sasana, ling sang Hyang Aji".
Terjemahan:
"Orang Waisya harus bekerja sebagai petani, pengembala, pengumpul hasil tanah, bekerja dalam lapangan perdagangan dan mempunyai hotel-hotel dan rumah penginapan. Orang yang lahir di keluarga Waisya itu lahir sebagai pelindung ladang. Pekerjaan seorang Waisya ialah peladang, memelihara ternak, mengumpulkan padi dan membajak, tempat dalam bertugas ialah pondok. Ksetrapala artinya pelindung ladang. Demikianlah kewajiban seorang Waisya menurut kitab suci", (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:194).
Demikian pula Bhagavadgītā XVIII, 44, menguraikan kewajiban Varna Waisya yang tidak begitu jauh dengan uraian Slokantara di atas. Uraian tersebut adalah sebagai berikut:
"kṛṣi-go-rakṣya-vāṇijya
vaiśya-karma svabhāva-jam
paricaryātmakaḿ karm
śūdrasyāpi svabhāva-jam
kṛṣi-go-rakṣya-vāṇijya
vaiśya-karma svabhāva-jam..."
Terjemahan:
"Bercocok tanam, beternak sapi dan berdagang adalah karma (kewajiban) Waisya menurut bakatnya....."
Sloka ini diterjemahkan oleh Prof. Dr. Ida Bagus Mantra sebagai berikut: “Pertanian, pemeliharaan ternak, dan perdagangan adalah kewajiban Waisya yang lahir dari alamnya.” Jadi singkatnya fungsinya di sini adalah berfungsi dalam bidang ekonomi. Dalam Manawa Dharmasastra I, 90, kewajiban Waisya adalah sebagai berikut:
"Paśūnām raksanam dānam
Ijyā dhyanam eva ca
Vanikpatham kusidam ca
Vaiśyasya krsin eva ca".
Terjemahan:
"Para ditugaskan untuk memelihara ternak, memberikan hadiah, melakukan upacara korban, mempelajari Veda, berdagang, meminjamkan uang, dan bertani".
Ayat (sloka) ini merupakan lkamusan hukum untuk menentukan apakah seseorang tergolong Waisya atau bukan. Berdasarkan ayat ini kriteria seorang Waisya secara fungsional yaitu beternak, berdana, beryadnya, berguru, berdagang, membungakan uang, bertani dan sebagainya yang kesemuanya berkisar di bidang perekonomian.
Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa Varna Waisya itu dibolehkan membungakan uang. Namun, membungakan uang terbatas untuk kepentingan yang produktif dan bukan untuk kepentingan konsumtif. Tidak pula dibenarkan meminjamkan uang dengan motif pemerasan atau yang dikenal dengan istilah riba.
Selanjutnya pustaka suci Sarasamuccaya, 59, juga menguraikan tentang kewajiban Varna Waisya sebagai berikut:
"Waiśyo’ ‘dhitya brāhmanāt ksatriyādwā
dhanaih kāle Sambiwhajyāśritamśca
tretāpūrwan dhūmāmaghrāya punyam
pretya swarge dewasukha bhinukte.
Nihan ulaha Sang waiśya, mangajya sira ri sang Brāhmaṇ̣a, ri sang Kṣ̣atriya kuneng, mwang maweha dāna ri tekaning dānakāla, ring śubhadiwasa,dumdumana nira ta sakwehning mamaracraya ri sira mangelema amūjā ring sang hyang tryagni sang hyang apuy tiga, pratyekenira, ahawaniya,garhaspatya, citāgni. āhawanidha ngaranira apuy ning asuruhan, rumateng pinangan, Garhaspatya ngaranira apuy ri winarang, apan agni saksika kramaning-winarang i kālaning wiwāha,citāgni ngaranira apuy ning manunu cawa, nahan ta sanghyang tryagni ngaranira, sira ta pujan de sang waicya, ulah nira ika mangkana, ya tumekaken sira ring swarga dlaha," (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:195).
Terjemahan:
"Yang patut dilakukan oleh Sang Waisya ialah ia harus belajar pada Sang Brāhmaṇa maupun pada Sang Kṣatriya, dan hendaknya ia memberikan sedekah pada saatnya/waktu persedekahan tiba, pada hari yang baik, hendaklah ia membagi-bagikan sedekah kepada semua orang yang meminta bantuan kepadanya dan taat mengadakan pemujaan terhadap tiga api suci yang disebut Tri Agni. Yaitu tiga api suci yang perinciannya adalah: Ahawania, Grehaspatya dan Citagni. Ahawania artinya api tukang masak untuk memasak makanan, Grehaspatya artinya api untuk upacara perkawinan, inilah api yang dipakai pada waktu perkawinan sebagai api yang berfungsi sebagai saksi dalam perkawinan, Citagni artinya api untuk membakar mayat itulah api yang disebut tri agni, ketiga api inilah yang harus dihormati dan dipuja oleh Sang Waisya, perbuatannya itu akan mengantarkan ia kelak ke surga".
Keterangan Sarasamuccaya ini seperti berbeda dengan keterangan pustaka-pustaka suci Hindu di atas, namun kalau direnungkan lebih mendalam tidak ada perbedaan yang bersifat prinsip. Cuma keterangan Sarasamuccaya ini sedikit menambahkan bahwa seorang Waisya dalam fungsinya sebagai pengatur ekonomi tidak boleh lepas dengan prinsip agama dan prinsip spiritual. Dengan demikian dapat digambarkan bahwa sistem ekonomi Hindu, adalah ekonomi yang menyejajarkan antara kebutuhan jasmani dan rohani.
Dari seluruh keterangan di depan, maka seluruh kewajiban Varna Waisya cukup jelas yaitu berperan dalam mewujudkan kemakmuran ekonomi. Keterangan ini sangat erat hubungannya dengan keterangan Chandra Prakash Bhambhri bahwa salah satu tugas atau lapangan Dkamuniti adalah mewujudkan kemakmuran yang disebut dengan istilah Vartta. Vartta ini meliputi tiga unsur pokok yaitu: pertanian (agricultural), peternakan (cattle breading), dan perdagangan (trade). Resi Kautilya menyebutkan istilah Krsi, Raksya, dan Wanijyam.
Jadi, jika disimpulkan, tugas Varna Waisya adalah untuk kemakmuran negara. Tugas-tugas mereka terutama mengusahakan pertanian, peternakan, dan perdagangan. Waisya harus mengetahui dan mengatur harga barang-barang terutama barang-barang yang merupakan kebutuhan pokok. Mereka harus mahir bercocok tanam, harus tahu soal-soal keadaan tanah di seluruh daerah, apakah tanah itu subur atau tidak, tanaman apa yang cocok untuk ditanam di masing-masing daerah. Mereka harus mahir dalam seluk beluk timbangan dan barang-barang yang paling banyak mendatangkan keuntungan. Waisya harus mahir dalam bidang peternakan, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:196).
Mereka harus selalu berdana punia pada golongan Brāhmaṇa dan membiyayai pendirian tempat-tempat ibadah. Jadi Varna Waisya adalah golongan fungsional yang setiap orang memiliki watak tekun, terampil, hemat, cermat dan keahlian serta bakat kelahirannya untuk menyelenggarakan kemakmuran masyarakat, negara, dan kemanusiaan.
4. Kewajiban Varna Śudra
Kata Śudra berarti golongan pelayan. Keterangan mengenai peranan serta fungsi Varna Śudra dari sumber-sumber pustaka suci agama Hindu hampir senada dengan kata Śudra itu sendiri. Sarasamuccaya, 60, menguraikan peranan dan fungsi Varna Śudra sebagai berikut:
"Brāhmaṇ̣a ksatram waicyaVarnam ca śūdrah Kramenaitan nyāyatah pūjyamanah, tusteswateswawyatho dagdhapāstyaktwā deham sidhimistam labheta.
Yapwan ulahaning śudra, bhaktya sumewāri sang brāhmana, Ri sang ksatriya,ring waiśya, yathākrama juga, paritusta sang telun sinewakanya hilang ta papanya, siddha sakāryannya".
Terjemahan:
"Akan halnya perilaku Śudra, setia mengabdi kepada Brāhmaṇa, Kṣatriya, dan Waisya sebagaimana mestinya, apabila puaslah ketiga golongan yang dilayani olehnya, maka terhapuslah dosanya dan berhasil segalanya".
Bhagavadgītā XVIII, 44 menguraikan peranan dan fungsi Śudra senada dengan uraian di atas yaitu:
"kṛṣi-go-rakṣya-vāṇijya
vaiśya-karma svabhāva-jam
paricaryātmakaḿ karm
śūdrasyāpi svabhāva-jam
paricaryātmakaḿ karm
śūdrasyāpi svabhāva-jam".
Terjemahan:
"Meladeni (menjual tenaga) adalah kewajiban Śudra menurut bakatnya".
Prof. Dr. Ida Bagus Mantra menerjemahkan sloka ini sebagai berikut: “Pekerjaan yang mempunyai karakter pelayanan adalah kewajiban dari Śudra yang lahir dari alamnya.” Seluruh keterangan di atas diperkuat lagi oleh kitab Manawa Dharmasastra I, 91, sebagai berikut:
"Ekam eva tu śūdrasya
prabhuh karma samādiśat
etesām eva varnānām
śuśrusām anasūyaya".
Terjemahan:
"Hanya satu tangan yang Tuhan tentukan untuk para Śudra yaitu memberikan pelayanan dengan setia terhadap ketiga golongan lainnya", (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:197).
Ayat ini merupakan landasan hukum dan kriteria untuk menentukan apakah seseorang termasuk katagori Śudra atau tidak. Menurut ayat ini kehidupan pokok dari Śudra adalah kerja menjadi buruh, pekerja yang menggantungkan hidupnya kepada orang lain, dan hasil dari menjual tenaga. Seandainya seorang Śudra tidak mendapat pekerjaan sebagai buruh atau pelayan, dan hal itu akan mengancam hidupnya dan membuatnya kelaparan, maka seseorang Śudra dapat bekerja sendiri. Hal ini dapat dibenarkan oleh sloka atau ayat 99. Bab X kitab Manawa Dharmaśāstra yang bunyinya sebagai berikut:
"Aśaknuvams tu śuśrūsām
śūdrah karttum dvijanmanām,
putradārātyayam prāpto
jivet kāruka karmabhih".
Terjemahan:
"Seorang Śudra karena tidak mempunyai dan memperoleh pekerjaan sebagai pelayan dan terancam akan kehilangan anak dan istrinya karena lapar ia dapat menunjang hidupnya dengan kerja tangan".
Adapun pustaka Slokantara 38 menguraikan tentang kewajiban Varna Śudra sebagai berikut:
"Vanigranistu bhkamukrad wanijah padajatayah, Krayavikrayakaryatha Ciidrastuvanijyakryah. Kalinganyakaryasang Śudra adagang alayar madwal awali, kawrdhyan ning artha donya, banyak akriya, yeka cudra sasana, ling sanghyang aji. Kunang ikang antyajati ngaranya, walu wilang nika sor jagatyangeng rat ling sanghyang Castra".
Terjemahan:
"Seseorang Śudra adalah pembuat barang pecah belah dan pedagang. la melakukan pembelian dan penjualan, bekerja di lapangan jual beli. Kewajiban seorang Śudra ialah mengembara berkeliling, menjual, dan membeli. Tujuan utamanya ialah memupuk kekayaan. la bekerja di lapangan perdagangan. Inilah kewajiban seorang Śudra menurut kitab suci".
Prof. S.P. Kanal, penulis India modern, mengatakan dalam bukunya Dialogous on India Culture, bahwa kewajiban seorang Śudra yang utama ialah bekerja di bawah bimbingan dan pengawasan ketiga golongan yang lainnya. Ia menjalankan upacara keagamaan yang tidak memerlukan pembacaan mantra-mantra, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:198).
Demikian pula menurut Dr. Gangga Prasad Uphadyaya dalam bukunya Vedic Culture. Jika ada orang yang tingkat kecerdasannya rendah, yang tidak dapat menentukan pekerjaan apa yang harus dipilihnya untuk dirinya sendiri, ia tidak akan dibiarkan hidup malas berpangku tangan saja, kemalasan itu sangat berbahaya bagi masyarakat. Masyarakat memaksakan untuk mengerjakan sesuatu atas petunjuk dan pengawasan mereka yang dapat memilih dan memimpinnya. Orang yang demikian dinamai kaum Śudra, orang malang. Kemalangan ini yang menyebabkan ia diletakkan dalam tingkat yang paling rendah, bukan dipaksakan kepadanya oleh masyarakat. la menjadi Śudra bukan karena dipaksa oleh masyarakat. la menjadi demikian karena ia tidak dapat dan tidak mampu karena kelemahan-kelemahannya sendiri. Meskipun demikian iapun tidak dibuang oleh masyarakat, ia masih tetap sebagai salah seorang anggotanya.
Dari seluruh uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa Varna Śudra itu adalah mereka yang memenuhi kebutuhannya dengan menjadi pelayan, pesuruh atau pembantu orang lain. Atau golongan fungsional yang setiap orangnya hanya memiliki kekuatan jasmaniah, ketaatan, serta bakat kelahiran untuk sebagai pelaku utama dalam tugas-tugas memakmurkan masyarakat, negara, dan umat manusia atas petunjuk-petunjuk dari golongan fungsional lainnya, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:199).
Referensi:
Sudirga, Ida Bagus dan Yoga Segara, I Nyoman. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Untuk SMA/SMK Kelas X (cetakan ke-1). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan,
Balitbang, Kemdikbud.
0 Response to "Kewajiban Brāhmaṇa, Kṣatriya, Waisya dan Śudra dalam Catur Varna"
Post a Comment