Pengertian Itihasa dan Bagian-Bagiannya

MUTIARAHINDU -- Perdebatan panjang tentang adanya sistem pengajaran dalam Veda merupakan suatu hal yang menjadi pembicaraan yang menarik. Selanjutnya dalam arus modernitas dituntut adanya sistem pembelajaran yang bersifat komprehensif namun dilain hal adanya banyak tuntutan yang “memaksa” seseorang untuk melakukan tindakan yang biasanya disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan orang tersebut.

Pada pembahasan ini akan diulas tentang sistem pendidikan Veda yang mengacu pada pembelajaran Vedic Literature yang biasanya seorang guru sering memberikan bahan pembelajaran yang berupa cerita baik itu dalam Itihāsa maupun kesusasteraan lainnya. Akan tetapi, ada juga yang memberikan arahan kepada anak didiknya untuk langsung membaca Veda itu sendiri yang biasanya adalah kitab Catur Veda maupun Bhagavadgītā tanpa diajarkan terlebih dahulu tentang konsep Itihāsa maupun Purana sebagai pondasi pengetahuan anak didik.
Pengertian Itihasa dan Bagian-Bagiannya
Image : balibestpackages

Selanjutnya untuk pembahasan tentang pendidikan agama Hindu bahwa sejak dini sudah ada tentang materi mendongeng tentang agama Hindu yang isinya adalah cerita kepahlawanan yang ada dalam epos Itihāsa baik itu Rāmāyana dan Mahābhārata serta cerita tentang patriotisme dari Purana tentang kelahiran para dewa. Untuk itu perlu adanya pembaharuan dalam kurikulum untuk memasukan Itihāsa dan puraṇa sebagai materi pokok untuk mempermudah peserta didik memahami ajaran Veda. Karena dalam metode pendidikan adanya yang dinamakan dengan story telling yang memudahkan peserta didik dalam menyerap materi yang diajarkan oleh guru melalui metoda cerita. Karena dalam hal ini Itihāsa dan Puraṇa sebagai suhrita samhita sangat memungkinkan sekali untuk bisa dipahami oleh anak-anak dan bahkan orang awam sekalipun.

Pengertian Itihāsa

Kitab Upaveda, Itihāsa ini merupakan kelompok kitab jenis epos, wiracarita atau cerita tentang kepahlawanan. Pada umumnya pengertian Itihāsa adalah nama sejenis karya sastra sejarah agama Hindu. Itihāsa adalah sebuah epos yang menceritakan sejarah perkembangan raja-raja dan kerajaan Hindu dimasa silam. Ceritanya penuh fantasi, roman, kewiraan dan di sana sini dibumbui dengan mitologi sehingga memberi sifat kekhasan sebagai sastra spiritual. Di dalamnya terdapat beberapa dialog tentang sosial politik, tentang filsafat atau idiologi, dan teori kepemimpinan yang diikuti sebagai pola oleh raja-raja Hindu. Kata Itihāsa terdiri atas tiga kata, yaitu iti-ha-asa, sesungguhnya kejadian itu begitulah nyatanya.

Walaupun Itihāsa merupakan kitab sejarah agama, namun secara materiil sangat sulit untuk dijadikan pembuktian sejarah. Sebagai kitab sejarah banyak memuat hal-hal yang menurut fakta sejarah masih dapat dibuktikan, termasuk sosial politik, pertentangan berbagai suku bangsa yang ada antara berbagai kerajaan yang kontemporer pada masa itu, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:50).

Oleh karena itu peranan dan fungsi Itihāsa tidak dapat diabaikan begitu saja. Ketika hendak mempelajari Veda dan perkembangannya, mempelajari sejarah agama Hindu dan kebudayaannya, berbagai konsep politik dan idiologi yang relevan, maka kitab Itihāsa sangat penting artinya untuk dipelajari. Secara tradisional jenis yang tergolong Itihāsa ada dua macam, yaitu Rāmāyana dan Mahābhārata.

Kedua epos ini sangat terkenal di dunia dan memikat imajinasi masyarakat Indonesia di masa silam hingga sekarang. Kedua kitab ini telah digubah ke dalam sastra Jawa Kuno yang sangat indah. Ceritanya banyak diambil dalam bentuk drama dan pewayangan. Demikian pula dalam seni pahat dan seni lukis sangat gemar mengambil tokoh-tokoh dari cerita ini. Khusus dalam bab ini akan meninjau kedua epos yang terbesar di dalam agama Hindu, yaitu: Rāmāyana dan Mahābhārata.

1. Rāmāyana

Cerita Rāmāyana dalam sari patinya mengandung nilai-nilai pendidikan tentang moral dan etika yang mengacu nilai-nilai agama atau nilai tentang kebenaran agama yang hakiki yang artinya mengandung nilai-nilai kebenaran yang bersifat kekal dan abadi. Cerita Rāmāyana dapat dibedakan menjadi 7 bagian yang disebut Sapta Kanda. Rāmāyana adalah sebuah epos yang menceritakan riwayat perjalanan Rāmā dalam hidupnya di dunia ini. Rāmā adalah tokoh utama dalam epos Rāmāyana yang disebutkan sebagai awatara Visnu. Kitab Purāna menyebutkan ada sepuluh awatara Visnu, satu diantaranya adalah Rāmā.

Kitab Rāmāyana adalah hasil karya besar dari Mahārṣi Vālmīki. Hasil penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa Rāmāyana tersusun atas 24.000 stansa yang dibagi atas 7 bagian yang setiap bagiannya disebut kanda. Ketujuh dari kanda Rāmāyana itu merupakan suatu cerita yang menarik dan mengasyikkan, karena ceritanya disusun dengan sangat sistematis yang isinya mengandung arti yang sangat dalam.

Karena cerita yang dikandung oleh kitab Rāmāyana itu sangat mempesona dengan penuh idealisme pendidikan moral, kewiraan serta disampaikan dalam gaya bahasa yang baik, menyebabkan epos ini sangat digemari di seluruh dunia. Pengaruhnya yang sangat besar dirasakan di seluruh Asia dan ceritanya dipahatkan sebagai hiasan candi-candi atau tempat-tempat persembahyangan umat Hindu. Demikian pula nama-nama kota yang terdapat di dalamnya banyak ditiru sebagai sumber inspirasi. Dengan demikian Rāmāyana menjadi sebuah Adikavya dan Mahārṣi Vālmīki diberi gelar sebagai Adikavi.

Keahlian Vālmīki dalam kemampuannya memahami perasaan manusia secara mendalam, menyebabkan kitab Rāmāyana dengan mudah dapat menguasai emosi masyarakat dan sebagai apresiasi dari kata-kata tulis baru yang mengambil tema dari Rāmāyana, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:51).

Di Indonesia misalnya gubahan yang dijumpai adalah Rāmāyana kekawin yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno. Sampai saat ini kekawi Rāmāyana oleh para peneliti dinyatakan sebagai karya sastra tertua di Indonesia. Kekawin ini adalah kekawin yang paling besar dan paling panjang dalam kesusastraan Jawa Kuno.

Sumber asli dalam kekawin Rāmāyana itu adalah kitab Ravanavadha karangan Bhatti, kitab ini sering juga disebut Bhattikavya. Secara tradisional kekawin Rāmāyana dikarang oleh Empu Yogisvara. Kitab-kitab gubahan Rāmāyana sesungguhnya sangat banyak kita jumpai di India ataupun di luar India, tetapi semua kitab gubahan tersebut pada hakikatnya mengambil materi langsung maupun tidak langsung dari Rāmāyana karya Vālmīki.

Adapun isi singkat dari tiap-tiap kanda dari kitab Rāmāyana dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Bala Kanda

Negeri Kosala dengan ibukotanya Ayodhyā diperintah oleh raja Daśaratha. Raja Dasaratha memiliki tiga orang istri, Kausalya yang berputra Rāmā sebagai anak tertua, Kaikeyi yang berputra Bharata, dan Sumitra yang berputra Laksmana dan Satrughna. Dalam sayembara di Wideha, Rāmā berhasil memperoleh Sītā putri raja Janaka sebagai istrinya.

b. Ayodhyā Kanda

Dasaratha merasa sudah tua, maka ia hendak menyerahkan mahkotanya kepada Rāmā. Datanglah Kaikeyi yang memperingatkan bahwa ia masih berhak atas dua permintaan yang mesti dikabulkan oleh raja. Maka permintaan Kaikeyi yang pertama ialah supaya bukan Rāmā melainkan Bharatalah yang menjadi raja menggantikan Dasaratha. Permintaan kedua ialah supaya Rāmā dibuang ke hutan selama 14 tahun.

Demikianlah Rāmā, Lakṣmaṇa dan Sītā istrinya meninggalkan Ayodhyā. Tak lama kemudian Dasaratha meninggal dan Bharata menolak untuk dinobatkan menjadi raja. Ia pergi ke hutan mencari Rāmā. Bagaimana pun ia membujuk kakaknya, Rāmā tetap pada pendiriannya untuk mengenbara terus sampai 14 tahun. Pulanglah Bharata ke Ayodhyā dengan membawa terompah Rāmā. Terompah inilah yang ia letakkan di atas singgasana, sebagai lambang bagi Rāmā yang seharusnya menjadi raja yang sah. Ia sendiri memerintah atas nama Rāmā.

c. Aranyaka Kanda

Di dalam hutan Rāmā berkali-kali membantu para pertapa yang tidak habis-habisnya diganggu oleh raksasa. Suatu ketika ia berjumpa dengan raksasa perempuan Surpanaka namanya, ia jatuh cinta padanya. Oleh Laksmana raksasa ini dipotong telinga dan hidungnya. Kemudian ia melaporkan peristiwa ini kepada kakaknya Ravana, seorang raja raksasa yang berkepala sepuluh dan memerintah di Alengka. Diceritakan pula betapa cantiknya istri Rama.

Ravana pergi ke tempat Rāmā, dengan maksud menculik Sītā sebagai pembalasan terhadap penghinaan adiknya. Marica seorang raksasa teman Ravana, menjelma sebagai kijang emas, dan berlari-lari kecil di depan kemah. Rama dan Sītā sangat tertarik, dan Sita meminta kepada suaminya untuk menangkap kijang itu., (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:52).

Ternyata kijang itu tidak sejinak nampaknya, dan Rama makin jauh dari tempat tinggalnya. Akhirnya kijang itu dipanahnya. Seketika kijang itu menjelma menjadi raksasa dan menjerit keras.

Jeritan itu dikira oleh Sītā berasal dari Rama, maka disuruhnyalah iparnya memberi pertolongan. Sītā tinggal sendirian. Datanglah seorang Brahmana kepadanya untuk berpura-pura meminta nasi. Sītā dilarikannya. Dengan sangat bersedih hati, Rama dan Laksmana mencari jejak Sītā. Dalam pengembaraan yang tidak menentu itu, mereka bertemu dengan burung Jatayu. Burung tersebut merupakan bekas kawan baik Dasaratha, dan ketika ia melihat Sītā dibawa terbang oleh Rawana, ia mencoba mencegahnya. Dalam pertempuran yang terjadi, Jatayu kalah. Setelah memberikan penjelasan itu, Jatayu mati.

d. Kiskindha Kanda

Rāmā berjumpa dengan Sugriva, seorang raja kera yang kerajaan serta istrinya direbut oleh saudaranya sendiri yang bernama Walin. Rāmā bersekutu dengan Sugriwa untuk memperoleh kerajaan dan istrinya dan sebaliknya Sugriwa akan membantu Rāmā untuk mendapatkan Sītā dari negeri Alengka.

Khiskinda digempur. Walin terbunuh oleh panah Rāmā. Sugriwa kembali menjadi raja Kiskinda dan Anggada, anak Walin dijadikan putra mahkota. Tentara kera berangkat ke Alengka. Di tepi pantai selatan yang memisahkan Alengka dari daratan India, tentara itu berhenti. Dicarilah akal bagaimana untuk dapat menyeberangi lautan. 

e. Sundara Kanda

Hanuman, kera kepercayaan Sugriwa, mendaki gunung Mahendra untuk melompat ke negeri Alengka. Akhirnya ia dapat menemukan Sītā. Kepada Sītā dijelaskan bahwa tak lama lagi Rāmā akan datang menjemput. Hanuman ditahan oleh tentara Lengka. Ia diikat erat-erat dan kemudian dibakar. Ia meloncat ke atas rumah dengan ekornya yang menyala menimbulkan kebakaran di kota Lengka. Kemudian Hanuman melompat kembali menghadap Rāmā untuk memberi laporan.

f. Yudha Kanda

Dengan bantuan Dewa Laut tentara kera berhasil membuat jembatan ke Lengka. Rawana yang mengetahui bahwa negaranya terancam musuh menyusun pertahanannya. Adiknya, Wibisana menasihatkan untuk mengembalikan Sītā kepada Rāmā dan tidak usah berperang. Rawana bukan main marahnya. Adiknya itu diusir dari Alengka dan menggabungkan diri dengan Rāmā.

Setelah itu terjadilah pertempuran yang sengit, setelah Indrajit dan Kumbakarna gugur, Rawana terjun ke dalam kancah peperangan yang diakhiri dengan kemenangan dipihak Rāmā dan Ravana terbunuh dalam peperangan tersebut. Setelah peperangan selesai Vibhisana adik Ravana yang memihak Rāmā diangkat menjadi raja di negeri Lengka serta Sītā bertemu kembali dengan Rāmā.

Rāmā tidak mau menerima kembali istrinya, karena sudah sekian lamanya tinggal di Alengka dan tidak mungkin masih suci. Sītā sedih sekali kemudian ia menyuruh para abdinya membuat api unggun. Kemudian ia terjun ke dalam api. Nampaknya Dewa Agni di dalam api tersebut menyerahkan Sītā kepada Rāmā, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:53).

Rāmā menjelaskan, bahwa ia sama sekali tidak sanksi dengan kesucian Sītā, akan tetapi sebagai permaisuri kesuciannya harus terbukti di depan mata rakyatnya. Diiringi oleh tentara kera Rāmā beserta istri dan adiknya kembali ke Ayodhyā. Mereka disambut oleh Bharata yang segera menyerahkan tahta kerajaan kepada Rāmā.

g. Uttara Kanda

Dalam bagian ini diceritakan bahwa kepada Rāmā terdengar desas-desus bahwa rakyat menyangsikan kesucian Sītā. Maka untuk memberi contoh yang sempurna kepada rakyat diusirlah Sītā dari istana. Tibalah Sītā di pertapaan Vālmīki, yang kemudian mengubah riwayat Sītā itu wiracarita Rāmāyana. Di pertapaan itu Sītā melahirkan dua anak laki-laki kembar, Kusa dan Lava. Kedua anak ini dibesarkan oleh Vālmīki.

Waktu Rāmā mengadakan Aswamedha, Kusa dan Lava hadir di istana sebagai pembawa nyanyi-nyanyian Rāmāyana yang digubah oleh Vālmīki. Segeralah Rāmā mengetahui, bahwa kedua anak laki-laki itu adalah anaknya sendiri. Maka dipanggilah Vālmīki untuk mengantarkan kembali Sītā ke istana.

Setiba di istana, Sītā bersumpah, janganlah hendaknya raganya diterima oleh bumi seandainya ia memang tidak suci. Seketika itu, tanah terbelah dan muncul Dewi Pertiwi di atas singasana emas yang didukung oleh ular-ular naga. Sītā dipeluknya dan dibawanya lenyap ke dalam bumi. Rāmā sangat sedih dan menyesal, tetapi tidak dapat memperoleh istrinya kembali. Ia menyerahkan mahkotanya kepada kedua anaknya, dan kembali ia ke kahyangan sebagai Visnu.

2. Mahābārata

Kitab Mahābhārata ditulis oleh Rsi Wiyasa. Kitab ini terdiri atas Asthadasaparwa artinya 18 parwa atau 18 bagian atau jilid dan digubah dalam bentuk syair sebanyak 100.000 sloka yaitu Adiparwa, Sabhaparwa, Wanaparwa, Wirathaparwa, Udyogaparwa, Bismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Striparwa, Santiparwa, Anusasanaparwa, Aswamedaparwa, Asrāmāwasanaparwa, Mausalaparwa, Prasthanikaparwa, dan Swargarohanaparwa.

a. Adi Parwa

Dalam parwa yang pertama yaitu Adi Parwa, dimuat beberapa macam cerita, misalnya matinya Arimba, burung dewata mengaduk laut susu yang menyebabkan keluarnya air hidup dan juga timbulnya gerhana matahari dan bulan yang dalam ceritanya terungkap bulan yang ditelan oleh raksasa yang hanya berwujud kepala. Ada juga cerita tentang Pandawa dan Kurawa ketika masih kecil misalnya lakon Dewi Lara Amis, Bale si Gala-gala dan cerita Santanu, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:54).

Negeri Hastina yang rajanya bernama Prabu Santanu mempunyai anak bernama Prabata atau disebut juga Bisma yang artinya teguh janji. Suatu saat Prabu Santanu tertarik dengan kecantikan Dewi Satyawati. Padahal Prabu Santanu sudah pernah sumpah tak akan kawin lagi, hanya akan mengasuh sang Prabata saja.

Bisma pun mengetahui bahwa sang ayah telah bersumpah tak akan kawin lagi. Namun demikian Bisma sangat iba hati melihat sang ayah Prabu Santanu jatuh cinta kepada Dewi Satyawati yang hanya mau dikawini bila keturunannya dapat naik tahta. Melihat gelagat yang kurang pas itu, Bisma rela untuk melepaskan haknya sebagai raja pengganti sang ayah. Bisma kemudian bersumpah akan hidup sendiri dan tidak menikah selamanya (wadat). Ini berarti Bisma tidak menggantikan tahta ayahnya, agar sang ayah bisa kawin dengan Satyawati. Pernikahan Santanu dengan Dewi Satyawati berputra dua yaitu Citragada dan Wicitrawirya. 

Citranggada tidak lama hidup dia mati muda maka Wicatrawirya yang menggantikan sang prabu sebagai raja Hastina dengan istri dua Dewi Ambika dan Ambalika dari negara Kasi. Belum sampai punya keturunan prabu Wicitrawirya meninggal. Oleh Satyawati Bisma disuruh mengawini kedua janda itu, tetapi dengan tegas Bisma menolak. Kemudian Dewi Satyawati menyuruh anaknya, Abiyasa (Wiyasa) hasil perkawinannya dengan begawan Parasara untuk mengawini janda Ambika dan Ambalika dengan harapan ada keturunan dari silsilah Bharata yang meneruskan menjabat sebagai raja di negara Astina.

Dewi Ambika yang menikah dengan resi Wiyasa punya keturunan laki-laki bernama Dretharastra yang sejak lahir menderita buta dan tidak bisa menjadi raja. Sedangkan pernikahan antara Wiyasa dengan Dewi Ambalika menurunkan anak laki-laki bernama Pandhu si muka pucat. Pandhulah yang kemudian menduduki singgasana kerajaan Hastina. Pandhu menikah dengan dua wanita yaitu Dewi Kunthi dan Dewi Madrim. Pernikahanya dengan Dewi Kunthi berputra 3 laki-laki, yaitu Yudhistira, Bima, dan Arjuna. Sedangkan pernikahanya dengan Dewi Madrim berputra 2 laki-laki, yaitu Nakula dan Sadewa. Sehingga Prabu Pandhu mempunya 5 orang anak, dan kelima anak tersebut disebut Pandawa.

Drestharastra akhirnya menikah dengan kakak perempuan Sangkuni yang bernama Dewi Gandari dan mempunyai keturunan 100 orang. Ketika Pandhu meninggal, Drestharastra terpaksa menggantikan raja sementara meskipun buta. Drestharastra menjabat raja hanya sementara, inilah yang menimbulkan perang besar Bharatayuda selama 18 hari yang memakan korban sangat banyak.

b. Sabha Parwa

Pada parwa yang kedua yaitu Sabha Parwa menceritakan tentang permainan dadu hingga Pandawa menjalani hukuman. Usaha Kurawa untuk menghancurkan Pandawa tidak pernah mau berhenti. Kali ini Pandawa yang sudah menempati Indraprastha sebagai tempat berteduh diajak main dadu. Ternyata atas kelicikan orang Kurawa, meskipun Yudhistira ahli main dadu, tetapi tetap kalah karena tipu muslihat Sengkuni. Dalam permainan tersebut Yudhistira juga menyerahkan dirinya untuk dijadikan taruhan, hingga Yudhistira kalah dan menerima hukuman. Tetapi karena usaha Drestharastra para Pandawa menjadi bebas, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:55).

Kurawa tetap menginginkan kehancuran Pandawa dan diajaknya main dadu lagi dengan taruhan bila Pandawa kalah harus menjalani pembuangan selama 12 tahun dan tahun ke 13 dan mereka harus menyelinap atau bersembunyi tanpa diketahui orang dan baru pada tahun ke 14 kembali ke istana. Jika dalam penyelinapannya diketahui para Kurawa, Pandawa harus kembali ke hutan selama 12 tahun lagi dan menyelinap pada tahun ke 13 dan seterusnya.

c. Wana Parwa

Dalam Wana Parwa yaitu bagian yang ketiga ini mengisahkan pengalaman-pengalaman Pandawa ketika berada dalam hutan buangan selama 12 tahun. Pernah para Pandawa menolong seorang desa yang akan dimakan oleh seorang raja raksasa bernama prabu Baka dari negeri Ekacakra. Prabu Baka mati terkena kuku Pancanaka Bratasena, perutnya sobek usus keluar. Negeri Ekacakra tentram dan seorang yang tertolong itu berjanji akan sanggup menjadi korban saji (tawur) ketika perang besar nanti terjadi.

Di samping itu dikisahkan pula bahwa Arjuna juga pernah merukunkan suami istri yang belum akur menjadi satu selama perkawinannya. Setelah Raden Arjuna yang merukunkannya, maka orang tersebut sanggup menjadi tawur pada perang besar nanti. Pada saat Pandawa dalam hutan buangan sering menerima kehadiran para Brahmana yang hadir untuk mendoakannya. Mahārṣi Wiyasa datang untuk memberikan nasehat-nasihatnya agar Arjuna mau bertapa di gunung Mahameru untuk memohon senjata-senjata yang ampuh dan sakti. Tapa Arjuna inilah yang menjadi bahan cerita Arjunawiwaha.

d. Wiratha Parwa

Parwa yang ke empat yaitu Wiratha Parwa mengisahkan Pandawa sudah selesai menjalani pembuangan selama 12 tahun di hutan. Maka mereka keluar dari hutan ingin menyelinap sesuai perjanjian. Para Kurawa berpendapat bahwa Pandawa pasti sudah mati dimakan binatang buas. Tetapi ternyata mereka sudah berada di negeri Wiratha sebagai budak sang Prabu Matsyapati.

Penyamaran yang dilakukan para Pandawa adalah sebagai berikut: Yudhistira sebagai kepala pasar berpangkat tandha bernama Dwijangkangka, Bhima sebagai tukang menyembelih sapi (jagal) dengan nama Ballawa dan ikut seorang jagal Walakas di desa Pajagalan. Arjuna diterima sebagai abdi sang permaisuri Dewi Sudisna bersama putri mahkota Dewi Utari, tugasnya mengajar tari dan Sinden bernama Kandhi Wrehatnala dengan watak banci (wandu). Sedangkan Nakula dan Sadewa sebagai tukang memelihara kuda dan tukang rumput (Gamel), bernama Grantika dan Tantripala. Drupadi bernama Salindri sebagai pelayan sang permaisuri Dewi Sudesna dan merangkap sebagai penjual kinang di pasar. Penyamaran Ini memang strategi mereka biar tidak jauh dengan Kandhi Wrehatnala, dan pada saat keluar supaya mudah berhubungan dengan tandha Dwijangkangka dan Jagal Ballawa serta Grantika dan Tantripala.

Meskipun di Wiratha sering mendapat marah dari sang Prabu Matsyapati, tetapi Pandawa sadar itu suatu perjalanan penuh kesabaran dan tawakal (laku prihatin) yang harus dijalani. Mengabdi sebagai budak kerajaan harus mau menerima apa adanya meskipun menerima siksa, dihina, dicerca, meskipun benar dianggap salah toh mereka beranggapan bahwa kebenaranlah yang akan mendapat anugerah, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:56).

Sabagai abdi mereka berenam dalam strateginya mampu mengamankan negara Wiratha yang sedang terancam bahaya, misalnya jagal Billawa mampu membunuh tritunggal Kencakarupa-Praupakenca dan Rajamala. Sedangkan Arjuna si Kandhi Wrehatnala mampu membunuh beribu-ribu tentara sekutu Astina bersama para senapatinya sehingga negeri itu menjadi tenang dan tentram. Setelah para budak bersembunyi dan menyelinap di Wirataha selama satu tahun, barulah Prabu Matsyapati menyadari bahwa keenam bersaudara tersebut adalah para Pandawa yang terhitung masih cucunya sendiri. Demikianlah kata para budak si Pandawa. “Kakek Matsyapati, akulah cucu-cucumu Pandawa.” Seketika itu kemarahan Matsyapati menjadi kesabaran dan berjanji akan mengutamakan kebijaksanaan.

e. Udyoga Parwa

Udyoga Parwa adalah parwa yang kelima mengisahkan bahwa pada tahun ke 14 Pandawa tak bisa dicari orang Hastina, apalagi para Kurawa yakin bahwa Pandawa sudah mati. Maka orang Hastina cemas bahwa Pandawa kembali ke Indraprastha. Di dalam bagian ke 5 ini Sri Kresna sebagai perantara minta separuh negara, tetapi Kurawa tidak rela. Oleh karena itu tidak ada jalan lain, kecuali harus mempersiapkan diri untuk menghadapi peperangan.

f. Bhisma Parwa

Pada Bisma Parwa dikisahkan bahwa perang Bharatayuda sudah dimulai dan Bisma sebagai panglima perang Hastina dan Dhresthadyumna sebagai panglima perang Pandawa akan berhadapan di medan perang Tegalkurukasetra. Pembela Pandawa yang lain adalah dari negara Wirata diantaranya adalah Seta, Utara, Wratsangka yang akhirnya ketiga kesatriya tersebut gugur terkena panah Bisma.

Dalam perang besar Bharatayuda, kedudukan Sri Kresna sebagai penasehat Pandawa dan pengatur siasat perang serta menjadi kusir atau pengendara kereta Arjuna. Dikala Arjuna bimbang menghadapi musuhnya yaitu saudara-saudara, guru, kakek, kakak, maka Sri Kresna memberikan nasihat (wejangan) tentang hakikat dan kewajiban manusia secara mendalam. Wejangan yang mendalam dan panjang itu merupakan bagian yang disebut Nyanyian Tuhan (Baghawadgita).

Sepuluh hari pertempuran berlangsung, maka gugurlah Bisma. Ia tidak terus mati, melainkan masih hidup beberapa lama lagi. Kemudian masih mampu memberikan wejangan kepada kedua belah pihak yang bertikai.

g. Drona Parwa

Drona Parwa adalah bagian yang ketujuh mengisahkan tentang begawan Drona sebagai senapati Kurawa dan gugurnya Gathotkaca. Drona telah menjadi panglima perang Kurawa, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:57). Sedangkan Karna mengamuk telah ditantang Gathotkaca namun Gathotkaca gugur, Abimanyu anak Arjuna juga gugur oleh Jayajerata. Raja Drupada pun gugur, sebagai seorang anak maka Dhresthadyumna mengamuk dan pada hari ke 15 Drona gugur oleh Dhresthadyumna.

h. Karna Parwa

Karna Parwa adalah parwa yang kedelapan. Pada bagian ke-8 ini juga diceritakan Bima merobek dada Dursasana secara sadis dan meminum darah Dursasana. Pada hari ke 17, Karna terbunuh oleh Arjuna hingga terpenggal kepalanya.

i. Salya Parwa

Salya Parwa adalah bagian yang kesembilan mengisahkan tentang Prabu Salya raja Mandraka menjadi panglima perang Kurawa namun hanya setengah hari gugur oleh tipu muslihat Nakula dan Sadewa. Hal tersebut dilakukan oleh Nakula dan Sadewa karena perintah Sri Kresna sebagai dalang Pandawa.

j. Sauptika Parwa

Dalam parwa yang kesepuluh yaitu Sauptika Parwa, menceritakan perihal Aswatama putra Drona. Karena dendam, maka pada malam hari yang dinyatakan tidak perang itu, Aswatama masuk ke kemah-kemah membunuh semua yang ditemuinya, di antaranya Dresthadyumna. Dalam parwa ini diungkapkan bahwa Aswatama lari ke hutan dan berlindung di pertapaan Wiyasa. Keesokan harinya datanglah Pandawa ke pertapaan Wiyasa. Dalam pertemuan itu terjadi perang ramai antara Pandawa dan Aswatama yang kemudian dilerai oleh resi Wiyasa dan Kresna. Aswatama menyerahkan senjata dan kesaktiannya. Akhirnya Aswatama pergi menjadi pertapa.

k. Stri Parwa

Stri Parwa adalah bagian yang kesebelas, mengisahkan tentang Prabu Dhrestharastra, Pandawa, Kresna dan semua istri pada pahlawan datang di medan Tegal Kurukasetra. Mereka mencari suaminya masing-masing dan hari itu adalah hari tangis. Mereka menyesali kejadian itu. Semua jenazah para pahlawan yang ditemukan dibakar bersama. Yudhistira menyelenggarakan upacara pembakaran mayat mereka yang tewas di medan perang dengan mempersembahkan ais suci kepada para arwah leluhur dan pada saat itu pulalah Dewi Kunti menceritakan kelahiran Karna yang dari semula menjadi rahasia pribadinya.

l. Santi Parwa

Pada bagian yang ke duabelas yaitu Santi Parwa menceritakan para Pandawa mencari pencerahan jiwa dan pembersihan diri. Sebulan lamanya Pandawa tinggal di hutan untuk membersihkan diri. Atas petunjuk Rsi Wyasa dan Kresna, diharapkan agar Yudhistira mau memerintah di Hastina dan didukung oleh adik-adiknya, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:58).

Wiyasa dan Kresna memberi wejangan tentang kewajiban dan kesanggupan manusia dan para ksatria sebagai generasi penerus. Akhirnya Yudhistira mau menjadi raja di istana Hastina serta mereka menunaikan tugas bersama.

m. Anusasana Parwa

Anusasanaparwa adalah bagian yang ketigabelas. Parwa ini mengisahkan kejadian-kejadian sebagai penutup Bharatayuda dan wejangan dari Bisma terhadap Yudhistira. Dengan detail Bisma mengajarkan ajaran Dharma. Artha, aturan kedarmawanan, aturan luhur permasalahan, dan sebagainya. Juga dijelaskan tentang berbagai jenis upacara dan tentang kewajiban yang berhubungan dengan waktu. Akhirnya Bisma meninggal dengan tenang sesudah perang.

n. Aswamedha Parwa

Dalam bagian yang keempatbelas yaitu Aswameda Parwa mengisahkan Prabu Yudhistira pada saat mengadakan upacara untuk naik tahta kerajaan dengan cara membiarkan dan membebaskan kuda. Pembebasan kuda tersebut dilakukan selama satu tahun dengan penjagaan ketat. Siapa saja yang mengganggu kuda tersebut akan dihukum. Pada bagian ini juga diceritakan kisah seekor tikus yang mengunjungi upacara Aswamedha itu, serta menguraikan tentang hakikat Yajna.

o. Asramawasika Parwa

Asramawasana Parwa adalah bagian yang kelimabelas. Parwa ini mengisahkan tentang Drestharastra yang menarik diri dari keramaian dan ingin hidup di hutan dengan Gandari dan Kunthi yang juga ingin menjadi pertapa. Tetapi setelah hidup di hutan selama satu tahun lalu mereka mati karena hutan terbakar oleh api Drestharastra sendiri.

p. Mausala Parwa

Mausala Parwa adalah parwa yang keenambelas. Parwa ini menceritakan musnahnya kerajaan Dwarawati akibat berkobarnya perang saudara antara kaum Yadawa atau bangsa kulit hitam (Wangsa Wresni). Wangsa ini lenyap karena saling perang dengan menggunakan gada alang-alang. Baladewa mati, Kresna lari ke hutan dan mati terbunuh dengan tidak sengaja oleh seorang pemburu. Wyasa menyarankan Pandawa mengundurkan diri pula, melakukan kehidupan sanyasa.

q. Mahaprastanika Parwa

Parwa ini menceritakan sesudah pemerintahan diserahkan ke cucunya Pandawa yang bernama Prabu Parikesit, maka Pandawa lima bersama-sama Dropadi menarik diri untuk menuju pantai. Satu demi satu mereka meninggal secara berurutan dari Dropadi, kemudian dari yang muda Sadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima.

Tinggal Yudhistira dengan seekor anjing yang selalu mengikuti pengembaraan pada Pandawa. Batara Indra datang menjemput Yudhistira tetapi ditolak bila anjing tidak boleh ikut serta. Akhirnya anjingnya pun diperbolehkan ikut. Maka masuklah Yudhistira ke Indraloka bersama Batara Indra. Sedangkan anjing itu masuk ke Sorgaloka berubah menjadi Sang Hyang Batara Darma/Hyang Suci, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:59).

r. Swargarohana Parwa

Swargarohana Parwa adalah bagian yang kedelapanbelas atau parwa yang terakhir. Parwa ini menceritakan sewaktu Yudhistira ke Surga tidak bertemu dengan saudara-saudaranya dan juga dengan Dropadi. Justru malah bertemu dengan kakak-kakaknya dari Hastina. Oleh karena itu dia mencari ke neraka dan bertemu dengan adiknya-adiknya dalam penyiksaan. Namun dengan masuknya Yudhistira ke neraka maka berbaliklah keadaannya. Neraka dibalik menjadi Surga. Sedangkan Surganya orang-orang Kurawa telah berbalik menjadi neraka, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:60).


Referensi:

Sudirga, Ida Bagus dan Yoga Segara, I Nyoman. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti                 Untuk SMA/SMK Kelas X (cetakan ke-1). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan,
           Balitbang, Kemdikbud.

0 Response to "Pengertian Itihasa dan Bagian-Bagiannya"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel