Pengertian Arthaśāstra dan Sejarah Singkatnya

MUTIARAHINDU.COM -- Akhir-akhir ini agama cenderung digunakan sebagai instrumen strategi oleh kalangan politisi guna meraih kemenangan politik untuk mendominasi tampuk pimpinan eksekutif dan mendapat angin dari publik. Perkembangan peranan agama dalam kancah politik, tidak terlepas dari keadaan kehidupan sosial dan memanfaatkan reaksi kaum lemah yang menderita, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:60-66).

Mereka menjadikan agama sebagai alat perjuangan alternatif dan menuntut perbaikan asasi akibat tidak menentunya gejolak politik, melarutnya korupsi dan krisis ekonomi suatu pemerintahan. Tidak terjaminnya ketenteraman sosial dan melarutnya praktik politik praktis serba impulsif, yang sering menyimpang dari aturan konstitusi oleh para birokrat yang berkuasa. Masyarakat awam jenuh karena menjadi mangsa slogan partai politik permainan politisi dan menempatkan posisi agama sebagai penyalur aspirasi.
Pengertian Arthaśāstra dan Sejarah Singkatnya
Goa Gajah (Image:popabogdan90)

Sejauhmana umat Hindu dapat menghadapi tantangan-tantangan besar tersebut dan selanjutnya dapat berperan dalam pembangunan bangsa, adalah tergantung pada pemaknaan dan revitalisasi dharma dalam kehidupan. Dharma semestinya tetap diikuti untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana ditunjukkan oleh orang bijaksana.

Umat yang menempuh jalan dharma akan diberkahi dengan kemakmuran dan juga dilimpahi dengan keturunan (generasi) yang berbudi luhur. Kemenangan dan kebahagiaan sejati dalam hidup adalah hasil dari pelaksanaan dharma. Kemenangan demikian bukan berasal dari kenikmatan yang berasal dari kesenangan sementara. Kerja keras yang dilakukan untuk menegakkan dharma akan menghasilkan kepuasan dan kebahagiaan tertinggi. Rahasia kebahagiaan bukanlah dalam melakukan apa yang disukai, tapi dalam menyukai apa yang harus dilakukan.

Dharma dalam penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik dilakukan dengan penerapan prinsip etika dan moralitas. Untuk menjadi pemimpin pemerintahan yang baik adalah dengan memiliki karakter nasional yang membawahi karakter individu (pribadi). Dengan melepaskan kepentingan pribadi, melepaskan secara total pikiran kepemilikan “punyaku” dan “punyamu”, pemimpin sejati yang berlandaskan dharma senantiasa mempersembahkan segala kemampuannya bagi kesejahteraan bersama dan mengangkat reputasi negaranya.

Dalam kehidupan politik yang berlandaskan dharma pantang untuk menggunakan cara-cara kekerasan (ahimsa). Penyelesaian masalah dengan kekerasan justru akan mengundang kekerasan baru. Kekerasan bukannya menyadarkan lawan politik tetapi justru menyuburkan kebencian dan rasa dendam. Sebaliknya, dengan paham pantang kekerasan, setiap orang dapat mengembangkan cinta kasih dan kemampuannya sehingga dapat mengaktualisasikan diri sebagai makhluk sosial yang menghargai heterogenitas, inklusivitas, pertukaran mutual, toleransi, dan kebersamaan.

Akhirnya, dharma semestinya mampu menjamin tegaknya moralitas, berkembangnya kepercayaan dan kejujuran, rasa tanggung jawab dan karakter, kesadaran nasional dan patriotisme, rasa tanggung jawab sosial, bekerja keras, taat pada hukum, menghormati semua agama, dan rasa tak terpisahkan dengan Hyang Widhi. Pemaknaan kemenangan dharma dari adharma tidak hanya berhenti sampai pelaksanaan ritual tetapi juga diarahkan pada spiritualitas. Jangan sampai sebagai bagian dari bangsa ini, umat Hindu yang agamais, dengan upacara agama yang semarak setiap hari, tetapi pada saat yang sama juga melakukan hal tercela, seperti korupsi sehingga menjadikan negara ini selalu menduduki peringkat atas negara-negara terkorup yang dibuat oleh lembaga-lembaga penilai internasional, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:60-67).

Pengertian Arthaśāstra

Adapun jenis Upaveda yang paling penting adalah yang tergolong Arthaśāstra. Arthaśāstra adalah ilmu tentang politik atau ilmu tentang pemerintahan. Dasar-dasar ajaran Arthaśāstra terdapat dihampir semua bagian kitab sastra dan Veda. Di dalam Rgveda maupun Yajurveda terdapat pula pokok-pokok pemikiran mengenai Arthaśāstra. Penjelasan lebih lengkap dapat ditemukan dalam kitab Itihāsa dan Purāna.

Kitab Mahābhārata dan Rāmāyana boleh dikatakan memuat pokok-pokok ajaran Arthaśāstra dengan nama Rājadharma. Mulai pada abad ke VI SM., bentuk naskah Arthaśāstra mulai memperlihatkan bentuknya yang lengkap dan sempurna setelah Dharmaśāstra meletakkan pokok-pokok pikiran mengenai Arthaśāstra itu. Pada abad ke IV SM., Kautilya menulis bukunya yang pertama dengan nama Arthaśāstra. Kitab Arthaśāstra inilah yang dianggap paling sempurna sehingga dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa Kautilya atau Canakya atau Viṣṇugupta dapat kita anggap sebagai Bapak Ilmu politik Hindu.

Relevansi isi Arthaśāstra yang masih relevan dengan alam pikiran politik modern di Barat, terdapat di dalam ungkapan kitab Arthaśāstra itu. Karena itu untuk mendalami ilmu politik Hindu dianjurkan agar disamping membaca Itihāsa dan Purāna, supaya membaca Dharmaśāstra dan Arthaśāstra karya Canakya itu. Dari berbagai tulisan, dapat disimpulkan bahwa istilah Arthaśāstra adalah bukan satu-satunya istilah yang dikenal dalam kitab sastra Veda. Mengenai penulis di bidang Arthaśāstra pun banyak pula. Nama-nama yang banyak disebut antara lain: Manu, Yajñavalkya, Usaṇa, Bṛhaspati, Visalaksa, Bharadvāja, Parasara dan yang terakhir dan paling banyak disebut-sebut adalah Kautilya sendiri.

Dalam Arthaśāstra terdapat empat aliran pokok. Perbedaan tampak dari sistem penerapan ilmu politik berdasarkan ilmu yang diterima sebagai sistem untuk mencapai tujuan hidup Manusia (Purusārtha). Bhagavad Sūkra yang menulis Arthaśāstra dengan nama Śukrānitiśāstra. Buku ini berisikan ajaran-ajaran teori ilmu politik yang ditulis dalam ± 2200 sair. Disamping itu Kamāṇdaka juga telah menulis Nitiśāstra yang semuanya memberi pandangan yang luas tentang ilmu politik.

Kitab ini ditulis oleh Kautilya saat mana keadaan politik di negeri India kacau, para pejabat atau bangsawan sibuk berpesta pora, negara tidak terurus, korupsi merajalela di sana-sini, yang menjadi korban adalah rakyat, rakyat dibebani berbagai macam pajak dan iuran atau pungutan yang tidak perlu. Terlebih lagi India saat itu mengalami ancaman ekspedisi militer dari Kaisar Alexander Yang Agung raja Yunani, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:60-68).

Sebagai seorang yang terpelajar, cerdas dan perduli dengan keadaan rakyat Kautilya memberikan kritik pada kekuasaan saat itu, namun penguasa saat itu menghinanya. Hal ini tidak menyurutkan semangat dari Kautilya untuk memperjuangkan hak-hak rakyat. Dia bertekad membangun kekuatan rakyat untuk meruntuhkan kekuasaan yang korup.

Langkah awal yang diambilnya adalah membangun kesadaran rakyat terhadap negara, ini dilakukannya dengan berkeliling ke seluruh wilayah India. Setelah kesadaran rakyat terhadap negara terbangun maka beliau mengajarkan tentang kekuasaan, merebut kekuasaan, mempertahankan kekuasaan dan memfungsikan kekuasaan sebagai istrumen kesejahteraan sosial. Kautilya mengajarkan bagaimana menjatuhkan para penguasa yang korup dengan memanfaatkan Indria (nafsu), yaitu dengan membiarkan mereka terjebak dalam kubangan nafsu, sebaliknya kekuatan rakyat digalang dengan melakukan pengendalian Indria (nafsu) seperti yang diajarkan dalam Kitab suci Veda.

Chanakya bersama rakyat berhasil menjatuhkan penguasa dengan menjebak para penguasa pada kubangan nafsu (Indria) mereka. Beliau menobatkan muridnya Chandragupta menjadi Raja kerajaan saat itu. Seorang pemuda dari rakyat jelata, golongan sudra. Sejak itu kerajaan dikuasai oleh rakyat dan pemimpin yang mau melayani rakyat. Kerajaan ini kemudian berkembang pesat sehingga mampu menguasai sebagian besar India selatan. Kerajaan ini kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Asoka. Kerajaan ini merupakan pusat perkembangan kebudayaan yang berbasiskan rasionalitas yang dirintis sejak Upaniṣad dan Buddha sekitar tahun 600 SM. Raja Asoka generasi dari Chandragupta, menghapuskan deskriminasi sosial dan mengumumkan penghapusan segala tindak kekerasan untuk mencapai tujuan apapun dalam wilayah kekuasaanya, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:60-69).


Referensi:

Sudirga, Ida Bagus dan Yoga Segara, I Nyoman. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti                 Untuk SMA/SMK Kelas X (cetakan ke-1). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan,
           Balitbang, Kemdikbud.

0 Response to "Pengertian Arthaśāstra dan Sejarah Singkatnya"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel