Tujuan Wiwaha Menurut Ajaran Agama Hindu

MUTIARAHINDU.COM -- Tujuan Wiwaha Menurut Hindu, Untuk masyarakat Hindu, soal perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang khusus dalam dunia kehidupan mereka. Istilah perkawinan sebagaimana terdapat di dalam berbagai sastra dan kitab hukum Hindu (Smrti), dikenal dengan nama wiwaha. Peraturan-peraturan yang mengatur tata laksana perkawinan itu merupakan peraturan yang menjadi sumber dan pedoman dalam meneruskan pembinaan hukum Agama Hindu di bidang perkawinan. Berikut ini dapat diuraikan tentang tujuan perkawinan menurut Hindu sebagai berikut.

Baca: Pengertian dan Hakikat Wiwaha Dalam Ajaran Agama Hindu

Tujuan Wiwaha Menurut Ajaran Agama Hindu
Pura Gunung Salak

Pada dasarnya manusia selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial, sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing telah menyadari perannya. Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava Dharmasastra IX. 96 sebagai berikut, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:152).

“Prajānartha striyaá sṛṣtāá samtānārtha ca mānawāá tasmāt sādhāraṇo dharmaá çrutau patnyā sahāditaá”.

Terjemahan:

“Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya”, (Pudja dan Sudharta, 1977/1978: 553).

Baca: Sistem Pawiwahan (Perkawinan) dalam Ajaran Agama Hindu

Tujuan pokok perkawinan adalah terwujudnya keluarga yang bahagia lahir dan bathin. Kebahagiaan ini ditunjang oleh unsur-unsur material dan nonmaterial. Unsur material adalah tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan/ perumahan (yang semuanya disebut artha). Unsurnon material adalah rasa kedekatan dengan Hyang Widhi (yang disebut dharma), kasih sayang antara suami-istri-anak, adanya keturunan, keamanan rumah tangga, harga diri keluarga, dan eksistensi sosial di masyarakat (yang semuanya disebut kama).

Berdasarkan kitab Manusmrti, perkawinan bersifat religius dan obligator karena dikaitkan dengan kewajiban seseorang untuk mempunyai keturunan dan untuk menebus dosa-dosa orangtua dengan jalan melahirkan seorang “putra”. Kata Putra berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya “ia yang menyebrangkan atau menyelamatkan arwah orangtuanya dari neraka”.

“Anuvrataá pituá putro, mātrā bhavatu saṁmanāá”.

Terjemahan:

“Hendaknya anak laki patuh kepada ayahnya dan menyenangkan hati ibunya “ (Atharva Veda III.30. 2).

Wiwaha/perkawinan dalam Aga-ma Hindu dipandang sebagai suatu yang amat mulia dan sakral. Dalam Manawa Dharmasastra dijelaskan bahwa wiwaha itu bersifat sakral yang hukumnya bersifat wajib, dalam artian harus dilakukan oleh setiap orang yang normal sebagai suatu kewajiban dalam hidupnya. Penderitaan yang dialami oleh seseorang dan juga oleh para leluhur dapat dikurangi bila memiliki keturunan. Penebusan dosa dapat dilakukan oleh keturunannya, seperti dijelaskan dalam berbagai karya sastra Hindu, baik Itihasa maupun Purana, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:153).
Jadi, tujuan utama dari wiwaha adalah untuk memperoleh keturunan “sentana” terutama yang “suputra”. Suputra dapat diartikan anak yang hormat kepada orangtua, cinta kasih, terhadap sesama, dan berbhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dan para leluhurnya. Suputra sebenarnya berarti anak yang mulia dan mampu menyeberangkan orangtuanya dari penderitaan menuju kebahagiaan. Seorang anak yang suputra dengan sikapnya yang mulia mampu mengangkat derajat dan martabat orangtuanya. Bagaimana keutamaan seorang anak yang ”Suputra” dijelaskan dalam kitab Nitisastra sebagai berikut.

“Padaning ku-putra taru çuṣka tumuwuh i ri madhyaning wana, maghasāgérit matéah agni sahana-hananing halas géséng, ikanang su-putra taru candana tumuwuh i ring wanāntara, plawagoragā mréga kaga bhramara mara riyā padaniwi”.

Terjemahan:

“Anak yang jahat sama dengan pohon kering di tengah hutan, karena pergeseran dan pergesekan, keluar apinya, lalu membakar seluruh hutan, akan tetapi anak yang baik sama dengan pohon cendana yang tumbuh di dalam lingkungan hutan, kera, ular, hewan berkaki empat, burung dan kumbang datang mengerubunginya”. (Nitisastra XII. 1).

Selanjutnya dijelaskan bahwa orang yang mampu membuat seratus sumur masih kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang mampu membuat satu waduk, orang yang mampu membuat sutu waduk kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang mampu membuat satu yajna secara tulus-ikhlas, dan orang yang mampu membuat seratus yajna masih kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang mampu melahirkan seorang anak yang suputra. Demikian keutamaan seorang anak yang suputra.

Baca: Membina Keharmonisan dalam Keluarga Menurut Perspektif Hindu

Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan bahwa wiwaha itu disamakan dengan samskara yang menempatkan kedudukan perkawinan sebagai lembaga yang memiliki keterkaitan yang erat dengan Agama Hindu. Oleh karena itu, semua persyaratan yang ditentukan hendaknya dipatuhi oleh umat Hindu. Dalam Upacara Manusa Yajna, Wiwaha Samskara (upacara perkawinan) dipandang merupakan puncak dari Upacara Manusia Yajna, yang harus dilaksanakan oleh seseorang dalam hidupnya, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:154).

Wiwaha bertujuan untuk membayar hutang kepada orangtua atau leluhur. Maka dapat disamakan dengan dharma. Wiwaha Samskara diabdikan berdasarkan Veda, karena ia merupakan salah satu Sarira Samskara atau penyucian diri melalui perkawinan. Sehubungan dengan itu Manawa Dharmasastra menjelaskan bahwa untuk menjadikan bapak dan ibu maka diciptakan wanita dan pria oleh Ida Sang Hyang Parama Kawi/Tuhan Yang Maha Esa, dan karena itu Veda akan diabdikan sebagai dharma yang harus dilaksanakan oleh pria dan wanita sebagai suami istri dalam berbagai macam kewajibannya.

Setiap orang yang telah hidup berumah tangga memiliki beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan, antara lain sebagai berikut.
  1. Melanjutkan keturunan
  2. Membina rumah tangga
  3. Bermasyarakat
  4. Melaksanakan Yajna (Panca Yajna). Keempat kewajiban ini sesungguhnya adalah tugas mulia yang patut diemban dan dilaksanakan selama hidup bersuami-istri, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:155).
Baca: Pahala Bagi Anak-anak yang Berbhakti Kepada Orang Tua Menurut Perspektif Hindu

Renungan Åg Veda X. 85.47

"Samañjantu viṡve deavāá,
sam āpo hþdayāni nau".

Terjemahan:

"Semoga para dewata dan apah mempersatukan hati kami, suami istri".

 Referensi

Mudana dan Ngurah Dwaja. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementerian             Pendidikan dan Kebudayaan.
Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti : Buku Siswa / Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. -- Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014.vi, 190 hlm.; 25 cm
Untuk SMA/SMK Kelas XI
Kontributor Naskah  : I Nengah Mudana dan I Gusti Ngurah Dwaja.
Penelaah : I Wayan Paramartha. – I Made Sutrisna.
Penyelia Penerbitan  : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud
Cetakan Ke-1, 2014

0 Response to "Tujuan Wiwaha Menurut Ajaran Agama Hindu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel