Sistem Pawiwahan (Perkawinan) dalam Ajaran Agama Hindu
Sunday, August 18, 2019
Add Comment
MUTIARAHINDU.COM -- Sistem perkawinan Hindu adalah tata-cara perkawinan yang dilakukan oleh seseorang secara benar menurut hukum Hindu. Seseorang hendaknya dapat melaksanakan upacara perkawinan sesuai dengan tata-cara upacara perkawinan Hindu, sehingga yang bersangkutan dapat dinyatakan sah sebagai suami istri. Kitab Suci Hindu yang merupakan kompidium hukum Hindu Manawa Dharmasastra memuat tentang beberapa sistem atau bentuk perkawinan Hindu, sebagai berikut;
Baca: Pengertian dan Hakikat Wiwaha Dalam Ajaran Agama Hindu
Baca: Pengertian dan Hakikat Wiwaha Dalam Ajaran Agama Hindu
"Brahma Dai vastat hai varsyah,
prapaja yastatha surah,
gandharwa raksasa caiva,
paisacasca astamo dharmah".
Terjemahan:
"Adapun sistem perkawinan itu ialah Brahma wiwaha, Daiwa wiwaha, Rsi wiwaha, Prajapati wiwaha, Asura wiwaha, Gandharwa wiwaha, Raksasa wiwaha, dan Paisaca wiwaha".
Menurut penjelasan kitab Manawa Dharmasastra tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa sistem atau bentuk perkawinan itu ada 8 jenis, yaitu sebagaimana berikut.
1. Brahma Wiwaha adalah perkawinan yang terjadi karena pemberian anak wanita kepada seorang pria yang ahli Veda (Brahmana) dan berperilaku baik dan setelah menghormati yang diundang sendiri oleh w anita. Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan:
"ācchādya cārcayitvā ca ṡruti ṡila vate svayaṁ,
āhuya dānaṁ kanyāyā brāhmyo dharmaá prakirtitaá", (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:156).
Terjemahan:
"Pemberian seorang gadis setelah terlebih dahulu dirias (dengan pakaian yang mahal) dan setelah menghormati (dengan menghadiahi permata) kepada seorang yang ahli dalam veda lagi pula budi bahasanya yang baik, yang diundang (oleh ayah si wanita) disebut acara brahma wiwaha", (Manawa Dharmasastra III.27).
2. Daiwa Wiwaha adalah perkawinan yang terjadi karena pemberian anak wanita kepada seorang pendeta yang melaksanakan upacara atau yang telah berjasa. Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan:
"Yajñe tu vitate samyag ṛtvije karma kurvate, alankṛtya sutādānaṁ daivaṁ dharmaṁ pracakṣate".
Terjemahan:
"Pemberian seorang anak wanita yang setelah terlebih dahulu dihias dengan perhiasan-perhiasan kepada seorang Pendeta yang melaksanakan upacara pada saat upacara itu berlangsung disebut acara Daiwa wiwaha", (Manawa Dharmasastra III.28).
3. Arsa Wiwaha adalah perkawinan yang dilakukan sesuai dengan peraturan setelah pihak wanita menerima seekor atau dua pasang lembu dari pihak calon mempelai laki-laki, kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan:
“ekaṁ gomithunṁm dve vā varādādāya dharmataá,
kanyāpradānaṁ vidhiva dārṣo dharmaá sa ucyate”. (Manawa Dharmasastra III.29)
Baca: Tujuan Wiwaha Menurut Ajaran Agama Hindu
Baca: Tujuan Wiwaha Menurut Ajaran Agama Hindu
4. Prajapati Wiwaha adalah perkawinan yang terlaksana karena pemberian seorang anak kepada seorang pria, setelah berpesan dengan mantra semoga kamu berdua melaksanakan kewajibanmu bersama dan setelah menunjukkan penghormatan (kepada pengantin pria), Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan:
“sahobhau caratam dharmam iti vacanubhasya ca, kanyapradanam abhyarcya prajapatyo vidhih smrtah”.
Terjemahannya:
“Pemberian seorang anak perempuan (oleh ayah si wanita) setelah berpesan (kepada mempelai) dengan mantra “semoga kamu berdua melaksanakan kewajiban-kewajiban bersama-sama” dan setelah menunjukkan penghormatan (kepada pengantin pria), perkawinan ini dalam kitab Smrti dinamai acara perkawinan Prajapati”. (Manawa Dharmasastra III.30)
5. Asura Wiwaha adalah bentuk perkawinan yang terjadi di mana setelah pengantin pria memberikan mas kawin sesuai kemampuan dan didorong oleh keinginannya sendiri kepada si wanita dan ayahnya menerima wanita itu untuk dimiliki, Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:157);
“jnatibhyo dravinam dattva kanyayai caiva sakitah, kanya pradanam svacchandyad asuro dharma ucyate”.
Terjemahannya:
“Kalau pengantin pria menerima seorang perempuan setelah pria itu memberi mas kawin sesuai menurut kemampuannya dan didorong oleh keinginannya sendiri kepada mempelai wanita dan keluarganya, cara ini dinamakan perkawinan Asura” (Manawa Dharmasastra III.31).
6. Gandharwa Wiwaha adalah bentuk perkawinan suka sama suka antara seorang wanita dengan pria, Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan:
“icchayānyonya saṁyogaá kanyāyāṡca varasya ca, gāndharvaá sat u vijñeyo maithunyaá kāmasambhavaá”.
Terjemahannya:
“Pertemuan suka sama suka antara seorang perempuan dengan kekasihnya yang timbul dari nafsunya dan bertujuan melakukan perhubungan kelamin dinamakan acara perkawinan Gandharwa” (Manawa Dharmasastra III.32).
7. Raksasa Wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan menculik gadis secara kekerasan, Kitab Manawadharmasastra menjelaskan:
“hatvā chitvā ca bhittvā ca kroṡantiṁ rudatiṁ grhāt, prasahya kanyā haranaṁ rākṡaso vidhi rucyate”.
Terjemahannya:
“Melarikan seorang gadis dengan paksa dari rumahnya di mana wanita berteriak-teriak menangis setelah keluarganya terbunuh atau terluka, rumahnya dirusak, dinamakan perkawinan Raksasa”. (Manawa Dharmasastra III.33).
8. Paisaca Wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan cara mencuri, memaksa, dan membuat bingung atau mabuk, Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan:
“suptāṁ mattāṁ pramattāṁ vā raho yatropagacchati, sa pāpiṣþho vivāhānāṁ paisācaṡcāṣþamo ‘dharmaá”.
Terjemahannya:
“Kalau seorang laki-laki dengan cara mencuri-curi memperkosa seorang wanita yang sedang tidur, sedang mabuk atau bingung, cara demikian adalah perkawinan paisaca yang amat rendah dan penuh dosa”. (Manawa Dharmasastra III.34)
Baca: Syarat Sah Suatu Perkawinan atau Pawiwahan Menurut Hindu
Baca: Syarat Sah Suatu Perkawinan atau Pawiwahan Menurut Hindu
Dari delapan sistem perkawinan di atas ada dua sistem yang dihindari dalam membangun kehidupan grhastha. Mengapa patut dihindari tentu karena berlawanan dengan norma-norma agama, norma-norma hukum. Kedua sistem perkawinan yang dimaksud antara lain: Raksasa wiwaha dan Paisaca wiwaha. Menurut tradisi adat di Bali, ada empat bentuk atau sistem perkawinan, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:158).
- Sistem memadik/meminang, yaitu pihak calon suami serta keluarganya datang ke rumah calon istrinya untuk meminang. Biasanya kedua calon mempelai sebelumnya telah saling mengenal dan ada kesepakatan untuk berumah tangga. Dalam masyarakat Bali, sistem ini dipandang sebagai cara yang paling terhormat.
- Sistem ngererod/ngerangkat, yaitu bentuk perkawinan yang berlangsung atas dasar cinta sama cinta antara kedua calon mempelai yang sudah dipandang cukup umur. Jenis perkawinan ini sering disebut kawin lari.
- Sistem nyentana/nyeburin, yaitu sistem perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan perubahan status hukum dimana calon mempelai wanita secara adat berstatus sebagai purusa dan calon mempelai laki-laki berstatus sebagai pradana. Dalam hubungan ini laki-laki tinggal di rumah istri
- Sistem melegandang, yaitu bentuk perkawinan secara paksa yang tidak didasari atas cinta sama cinta. Jenis perkawinan ini dapat disamakan dengan Raksasa Wiwaha dan Paisaca Wiwaha dalam Manawa Dharmasastra.
Dalam perkembangan selanjutnya dikenal adanya Sistem Perkawinan Makaro Lemah dan Sistem Campuran. Sistem Makaro Lemah adalah upacara perkawinan yang dilaksanakan pada dua tempat (pihak purusa dan pradana) yang selanjutnya kedua mempelai masing-masing diberikan hak pewaris. Sedangkan perkawinan campuran adalah perkawinan yang dilaksanakan oleh mempelai berdua masing-masing yang berbeda agama, suku adat dan bangsa.
Sesuai dengan ajaran agama Hindu yang bersifat fleksibel dan universal, sistem yang berkembang di setiap wilayah yang ada di Nusantara ini sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur ajaran agama Hindu dapat dilaksanakan dan diterapkan.
Selain itu dalam ketentuan Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan diatur tentang perkawinan campuran antara mereka yang berbeda kewarganegaraan. Sebagai suatu kenyataan, tidak jarang terjadi perkawinan di antara mereka yang berbeda agama. Menurut Ordenansi Perkawinan Campuran, hukum agama pihak suami yang harus diikuti. Terkait dengan hal ini, agar perkawinan dapat berlangsung dengan baik dan dipandang sah menurut Agama Hindu, dilaksanakanlah upacara sudhiwadani. Para rohaniawan yang memimpin (muput) upacara pawiwahaan tersebut melaksanakan upacara sudhiwadani kepada si wanita, yang sudah tentu diawali dengan suatu pernyataan bahwa si wanita sanggup mengikuti agama pihak suami. Setelah itu, barulah upacara wiwaha itu dilaksanakan, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:159).
Pelaksanaan perkawinan dilarang apabila, calon mempelai berdua belum dapat memenuhi persyaratan sebuah perkawinan yang diinginkan. Larangan suatu perkawinan diawali dengan pencegahan. Hal ini bisa terjadi karena dipandang belum memenuhi syarat-syarat hukum agama maupun hukum Nasional. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Undang-Undang Perkawinan, pencegahan dilakukan dengan cara mengajukan ke Pengadilan Negeri dalam wilayah hukum di mana dilangsungkan perkawinan itu. Atau Pengadilan Negeri meminta batalnya suatu perkawinan karena dipandang yang bersangkutan tidak memenuhi syarat hukum yang berlaku. Pencegahan yang dilakukan lebih banyak bersifat preventif. Pencegahan preventif dapat juga dilakukan oleh pendeta atau Brahmana dengan menolak untuk mengesahkannya, karena dipandang tidak memenuhi syarat menurut hukum agama.
Baca: Membina Keharmonisan dalam Keluarga Menurut Perspektif Hindu
Baca: Membina Keharmonisan dalam Keluarga Menurut Perspektif Hindu
Selain pencegahan secara preventif juga bersifat represif, yaitu dengan memutuskan suatu perkawinan karena perkawinan itu didasarkan atas penipuan atau kekerasan, misalnya melalui sistem raksasa dan Paisaca Wiwaha atau juga Sistem Melegandang. Dalam peristiwa ini hakim dapat membatalkan perkawinan dan mengancam dengan sanksi hukum bagi pelakunya. Perkawinan lain juga dapat dibatalkan apabila salah satu pihak calon mempelai memiliki penyakit menular atau impotensi, atau juga yang menderita sakit jiwa.
Dalam kitab Manawa Dharmasastra disebutkan, pencegahan perkawinan dapat dilakukan apabila yang bersangkutan memiliki hubungan sapinda, artinya mempunyai hubungan darah yang dekat dari keluarga. Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974, suatu perkawinan dapat dibatalkan bila tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 24 dan Pasal 27 yang isinya dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Suatu perkawinan dapat dimintakan pembatalannya apabila bertentangan dengan hukum agama, misalnya dilaksanakan dengan Sistem Raksasa atau Paisaca Wiwaha.
- Perkawinan dapat dibatalkan bilamana calon mempelai masih mempunyai ikatan perkawinan dengan seseorang sebelumnya.
- Perkawinan dapat dibatalkan apabila calon istri atau suami mempunyai cacat yang disembunyikan, sehingga salah satu pihak merasa ditipu, misalnya memiliki penyakit menular yang berbahaya, tidak sehat pikiran atau impotensi, mengandung karena akibat berhubungan dengan laki-laki lain.
- Perkawinan dibatalkan berdasarkan hubungan sapinda atau masih memiliki hubungan darah.
- Perkawinan bisa dibatalkan apabila si istri tidak menganut agama yang sama dengan suami menurut hukum Hindu, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:160).
Larangan perkawinan ini dilakukan bukan berarti melanggar hak azasi seseorang, melainkan bertujuan untuk menghormati hak azasi masing-masing individu yang bersangkutan. Dengan demikian ada baiknya kita dapat mengikuti guna dapat mewujudkan masa grehastha yang harmonis. Berikut ini akan diuraikan tentang sistem perkawinan menurut Hindu sebagai berikut:
Wiwaha menurut Suku Bali
Upacara perkawinan merupakan upacara pesaksian, baik ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa maupun kepada masyarakat, bahwa kedua orang tersebut mengikatkan diri sebagai suami istri, dan segala akibat perbuatannya menjadi tanggung jawab mereka bersama. Di samping itu, upacara tersebut juga merupakan pembersihan terhadap sukla (sperma) dan swanita (ovum) serta lahir batinnya. Hal ini dimaksudkan agar bibit (benih) dari kedua mempelai bebas dari pengaruh-pengaruh buruk (gangguan bhuta kala), sehingga kalau keduanya bertemu (terjadi pembuahan) dan terbentuklah sebuah “manik” (embrio) yang sudah bersih.
Demikian, diharapkan agar roh yang menjiwai manik (janin muda) itu adalah roh yang suci dan baik dan kemudian dapat melahirkan seorang anak yang suputra dan berguna di dalam masyarakat. Selain itu dengan adanya upacara perkawinan ini, berarti kedua mempelai telah memilih agama Hindu serta ajaran-ajarannya sebagai pegangan hidup di dalam berumah tangga. Disebutkan pula bahwa hubungan seks di dalam suatu perkawinan yang tidak didahului dengan upacara pekalan-kalaan dianggap tidak baik dan disebut “kama keparagan” dan anak yang lahir akibat kama tersebut adalah anak yang tidak menghiraukan nasihat orangtua atau ajaran-ajaran agama. Sifat dan sikap anak yang demikian sering disebut dengan istilah “rare dia-diu”.
Sahnya suatu perkawinan menurut adat-istiadat Hindu di Bali dari segi ritualnya terbagi menjadi beberapa tingkatan, antara lain nista (kecil), madya (sedang), dan uttama (besar). Walaupun ditingkat-tingkatkan menjadi tiga tahapan, namun nilai ritual yang dikandung sama. Tata cara upacara perkawinan yang dimaksud antara lain sebagaimana dijelaskan berikut ini.
a. Tata Urutan Upacara
Pelaksanaan ritual upacara perkawinan menurut adat Hindu di Bali sesuai ajaran agama yang dianutnya oleh masing-masing umat adalah;
1) Penyambutan kedua mempelai;
Penyambutan kedua mempelai sebelum memasuki pintu halaman rumah adalah simbol untuk melenyapkan unsur-unsur negatif yang mungkin dibawa oleh kedua mempelai sepanjang perjalanan menuju rumah pihak purusa, agar tidak mengganggu jalannya upacara, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:161).
2) Mabyakala
Upacara ini dimaksudkan untuk membersihkan dan menyucikan lahir batin dari kedua mempelai terutama sukla dan swanita, yaitu sel benih pria dan sel benih wanita agar menjadi janin yang suci dan dapat melahirkan anak yang suputra.
3) Mepejati atau Pesaksian
Mepejati merupakan upacara pesaksian tentang pengesahan perkawinan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, juga kepada masyarakat, bahwa kedua mempelai telah meningkatkan diri sebagai suami atau istri yang sah dengan membangun grehastha atau rumah tangga baru.
b. Sarana/Upakara
Jenis upakara yang dipergunakan pada upacara ini secara sederhana dapat dirinci, sebagai berikut:
- Banten Pemagpag, segehan, dan tumpeng dadanan.
- Banten Pesaksi, prasdaksina, dan ajuman.
- Banten untuk mempelai terdiri dari byakala, banten kurenan, dan pengulap pengambean.
Adapun kelengkapan upakara yang lainnya patut disiapkan dan dipersembahkan antara lain, sebagai berikut:
- Tikeh dadakan: Tikeh dadakan adalah sebuah tikar kecil yang dibuat dari daun pandan yang masih hijau. Ini merupakan simbol kesucian si gadis.
- Papegatan : Pepegat yaitu berupa dua buah cabang pohon kayu dapdap yang ditancapkan di tempat upacara. Jarak yang satu dengan yang lainnya agak berjauhan dan keduanya dihubungkan dengan benang putih dalam keadaan terentang.
c. Upacara Mapejati atau Persaksian
Dalam upacara persaksian, kedua mempelai melaksanakan puja bhakti (sembahyang) sebanyak lima kali kepada Ida Sang Hyang Widhi. Setelah sembahyang (mebhakti), mempelai berdua diperciki tirtha pembersihan oleh pemimpin upacara. Kemudian Natab Banten Widhi Widhana dan mejaya-jaya.
Dengan demikian, maka selesailah pelaksanaan Samskara Wiwaha. Setelah prosesi Wiwaha Samskara selesai, baru kemudia dilanjutkan penandatanganan surat akta perkawinan oleh kedua belah pihak di hadapan saksi dan pejabat yang berwenang sebagai legalitas secara hukum nasional, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:162).
Wiwaha menurut suku Jawa.
Secara umum pelaksanaan upacara Wiwaha (perkawinan) di daerah Bali dengan di daerah Jawa dan yang lainnya adalah sama. Namun dari beberapa tradisi atau kebiasaan yang berkembang di masyarakat setempat sepertinya ada perbedaan tetapi hanya bersifat sebatas istilah. Tidak ada perbedaan makna dan tujuan yang ingin dicapai. Berikut ini dapat disajikan beberapa rangkaian upacara Wiwaha di Jawa.
a. Rangkaian Upacara Perkawinan
Dalam rangka upacara perkawinan Hindu di Jawa, sebelum upacara inti dilakukan serangkaian acara sebelumnya wajib dilaksanakan. Adapun rangkaian acara tersebut adalah sebagaimana dijelaskan berikut:
- Nontoni, yaitu melihat dari dekat calon istri oleh calon suami dengan cara berkunjung ke rumah keluarga calon istri.
- Pinangan, yaitu dalam acara ini bukan orangtua suami yang datang melamar, melainkan kerabat dan keluarga orangtua calon suami yang dianggap mampu. Apabila lamaran diterima, diteruskan perundingan untuk menentukan hari baik perkawinan.
- Pinengset, yaitu (asok tukon) utusan keluarga pihak pria berkunjung ke rumah pihak wanita dengan membawa tanda ikat berupa cincin, pakaian, kerbau, sapi atau berupa kebutuhan hidup lainnya.
- Midodareni, yaitu sehari sebelum melaksanakan upacara puncak perkawinan, pihak keluarga wanita menyiapkan keperluan untuk melaksanakan perkawinan esok hari. Seperti kembang mayang dan keperluan lainnya, termasuk mulai merawat calon pengantin wanita.
- Panggih Manten, yaitu upacara puncak dari seluruh upacara perkawinan.
b. Sarana-sarana lain yang Perlu Disiapkan.
- Tarub, yaitu bangunan darurat saat pelaksanaan upacara perkawinan dilangsungkan.
- Janur, yaitu daun kelapa yang muda untuk keperluan tanda masuk rumah halaman rumah, kembar mayang, dan dekorasi.
- Kelapa dua buah sebagai lambang benih yang di pasang di kanan kiri pintu masuk.
- Pisang raja yang sudah tua, dipotong dengan batangnya dipasang di kanan kiri pintu masuk sebagai lambang raja atau ratu.
- Kembang setaman yang dibuat dari janur, bunga pisang yang sedang mekar, daun beringin, daun andong, daun puring, yang dilengkapi sesaji berupa pisang, dan nasi golong dengan lauk pauknya beserta gantalan.
- Tebu Wulung yang dipajang di pintu kanan masuk, sebagai lambang benih suami istri yang sudah matang, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:163).
c. Beberapa sesajen
- Sesajen gede yang ditaruh di atas tarub, unsurnya adalah pisang dua sisir, kelapa yang dikupas, beras lawe, telur, beberapa daun-daunan, jajan pasar, bunga, gantalan dan uang/sari.
- Sok Bakal (daksina), unsurnya, empon-empon, teri, kluak, telor, badek, tuak, gantalan, dan uang/sari. Sesajen ini ditaruh di pojok setiap rumah dan satu di tanam di halaman rumah.
- Sesajen yang terdiri dari jajanan pasar, beras kuning, gantalan, yang ditaruh di dapur, di sumur, dan perempatan jalan terdekat.
- Dua buah kendil yang diisi beras, telur, dan kelapa gading 2 buah yang di letakkan dekat pelaminan.
- Kembang mayang sebanyak 4 buah yang digunakan dalam panggih manten.
- Bubur merah putih, bunga dalam gelas berisi air dan gantalan atau kinang serta lampu minyak kelapa dan sambu lawe
d. Upacara Panggih Manten
1) Upacara Pengesahan Pengantin
Pendeta atau Pinandita selaku pemimpin upacara memuja di tempat upacara, kemudian mempelai menghadap Pendeta atau Pinandita untuk memperoleh penyucian. Kemudian berjalan mengitari sesajen ke arah kiri sebanyak 3 kali, setelah itu duduk sembahyang muspa dan dilanjutkan matirtha. Barulah mempelai mendapatkan pembekalan.
2) Upacara Panggih Manten
Urut-urutan upacara adalah sebagai berikut.
- Balanga Gantal, yaitu kedua penganten dipertemukan dengan berpakaian adat kebesaran. Si pria sebelumnya dituntun ke rumah pondokan diiringi oleh dua orang jejaka dengan membawa kembang mayang di sampingnya. Menjelang ke pelaminan, pengiring tidak boleh masuk, kecuali yang membawa kembang mayang, bersama pengantin putri menjemput penganten pria. Pada saat itu, mempelai membawa gantalan, setelah jarak pertemuan sekitar 2 meter mereka saling melempar gantalan.
- Menginjak Telur, yaitu setelah kedua mempelai dipertemukan dan saling berjabat tangan maka diadakan penukaran kembang mayang kedua mempelai. Selanjutnya mempelai wanita jongkok untuk membasuh kaki mempelai pria dengan air kembang setaman, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:164).
- Timbangan, yaitu sebuah selendang kedua mempelai dituntun mengikuti ayah dan ibu mempelai wanita. Kemudian ayah duduk di pelaminan dan kedua mempelai duduk di pangkuannya sebagai simbol bibit, bobot, dan bebet. Selanjutnya kedua mempelai duduk di pelaminan kembali.
- Dahar Kembul Nasi Kuning, adalah cara makan bersama kedua mempelai dalam satu piring dengan saling suap.
- Sungkem, adalah cara sembah bhakti kedua mempelai ke hadapan orangtua.
Rangkaian upacara pawiwahan suku adat Jawa pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan tradisi yang berlaku di daerah lainnya, khususnya seperti di Bali. Makna, hakikat dan tujuan yang ingin diwujudkan dalam kehidupan berumah-tangga oleh suku adat Jawa dibandingkan dengan suku
adat yang lainnya yang menganut agama Hindu sesungguhnya sama yakni untuk membangun rumah tangga yang sejahtera dan bahagia. Inilah bentuk keindahan dari umat beragama Hindu yang berada di Nusantara ini.
Wiwaha menurut Suku Dayak
Perkawinan atau wiwaha menurut umat Hindu adat Dayak dapat dibagi menjadi tiga tahapan sebagai berikut.
a. Mamupuh
Bila keluarga pihak laki-laki telah mencapai sepakat tentang seorang wanita yang akan dilamar, maka keluarga laki-laki mengirim utusan kepada pihak perempuan untuk menyampaikan lamarannya. Utusan tersebut membawa persyaratan adat, seperti : Sangku Tambak (mangkok yang berisi beras dan uang logam yang berguna sebagai Singa Sangku). Persyaratan tersebut merupakan simbolis bahwa pihak laki-laki melamar seorang wanita. Persyaratan tersebut diserahkan langsung kepada orangtua atau wali pihak perempuan. Jika, pihak perempuan menerima lamaran tersebut, mereka harus menyampaikan kepada utusan laki-laki yang melamar. Setelah mengetahui lamarannya diterima, pihak laki-laki menyerahkan pakaian Sinde (selembar kain panjang atau kemben) kepada wanita yang dilamar dan pada saat itu juga pihak laki-laki menetapkan rencana untuk meminang.
b. Meminang
Peminangan biasanya dilakukan dalam kurun waktu tiga bulan setelah pihak laki-laki menyerahkan pakaian Sinde Mendeng. Persyaratan meminang yang dibawa oleh pihak laki-laki, antara lain satu buah gong untuk batu Pisek, pakaian Sinde Mendeng, seekor ayam, dan lilis/lamaiang, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:165).
Dalam peminangan itu kedua belah pihak merundingkan persyaratan perkawinan yang ditanggung oleh masing-masing pihak, seperti pelaku/mas kawin, saput, pakaian, dan panginan jandau. Jika telah dicapai kata sepakat, barulah pihak laki-laki menyerahkan pinangan tersebut kepada pihak perempuan. Ayam tersebut dibuatkan sesajen, darahnya diambil sedikit untuk mencucikan kedua calon mempelai. Lilis/Lamiang dari pihak laki-laki diikatkan pada pergelangan tangan calon mempelai perempun. Begitu juga lilis dari pihak perempuan diikatkan pada pergelangan tangan calon mempelai laki-laki. Semua kesepakatan yang dicapai dalam acara peminangan ini dibuatkan surat yang diketahui oleh Demang Kepala Adat.
c. Tahap pengukuhan perkawinan.
Sebelum keberangkatan mempelai laki-laki menuju kediaman mempelai perempuan, terlebih dahulu diadakan upacara pemberangkatan. Setiba di rumah mempelai perempuan, mempelai laki-laki terlebih dahulu menginjak telur ayam yang diletakkan di atas batu yang disiapkan di depan pintu. Setelah itu mempelai laki-laki Mapas dengan menggunakan daun andong yang dicelupkan dalam air
cucian beras. Maksud memapas ini adalah untuk menyucikan lahir bathin, untuk mempelai wanita telah diadakan pada malam sebelumnya. Setiba di rumah diadakan upacara Haluang Hapelek (perkawinan adat).
Pengukuhan perkawinan secara Agama Hindu di Dayak berlangsung keesokan harinya, pada pengukuhan perkawinan, kedua mempelai duduk bersanding di atas sebuah gong, tangan mereka memegang ponjon andong, rabayang, rotan, serta menghadap sajen yang ditunjukkan kepada Putir Santang (manifestasi Ranjung Hattala/Tuhan di bidang perkawinan). Yang melaksanakan pengukuhan perkawinan adalah tujuh orang rohaniawan Agama Hindu menggunakan darah binatang kurban, minyak kelapa, dan beras. Setelah itu, kedua mempelai diberi makan tujuh buah nasi tumpeng yang terlebih dahulu digabungkan menjadi satu, kemudian dibagi berdua. Sebagai penutup kedua mempelai manuhei sebanyak tujuh kali di depan rumah. Sore harinya dilanjutkan dengan upacara Mahenjean Penganten yang pada prinsipnya memberikan nasihat tentang pekawinan terhadap kedua mempelai.
Baca: Pahala Bagi Anak-anak yang Berbhakti Kepada Orang Tua Menurut Perspektif Hindu
Baca: Pahala Bagi Anak-anak yang Berbhakti Kepada Orang Tua Menurut Perspektif Hindu
Selama tujuh hari terhitung sejak upacara pengukuhan perkawinan, kedua mempelai menjalankan beberapa pantangan, antara lain tidak keluar rumah dan tidak membunuh atau menyiksa binatang. Pada hari yang kedelapan kedua mempelai melakukan kunjungan ke rumah sesepuh keluarga mempelai untuk memohon doa restu, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:166).
Wiwaha menurut Suku Batak Karo
Proses pelaksanaan wiwaha atau adat perkawinan Hindu di Batak Karo dapat dipaparkan sebagai berikut:
a. Tahap sebelum Upacara Perkawinan
- Ertutut maksudnya saling memperkenalkan diri dari pihak laki-laki dari keturunan mana, dan pihak perempuan itu dari keturunan mana. Hal ini penting untuk mengetahui bebet, bobot, dan bibit.
- Naki-naki maksudnya kedua belah pihak (mempelai berdua) saling berkenalan untuk mengetahui sifat pribadi calon mempelai. Masing-masing pihak mempelai menyerahkan suatu benda atau uang yang disebut Tagih-tagih.
- Nungkuni maksudnya jika pihak pria sudah menyetujui calon wanita maka pihak orang tua laki-laki mengadakan hubungan dengan keluarga pihak wanita, untuk menyampaikan keinginan anaknya dan mengusahakan agar perkawinan mereka dapat dilaksanakan.
Demikian tahap awal persiapan tentang rangkaian upacara perkawinan menurut adat Hindu menurut suku Batak Karo.
b. Nangkih
Pihak laki-laki (purusa) membawa si wanita ke rumah keluarganya dengan diantar
oleh satu atau dua orang. Biasanya si wanita dibawa oleh laki-laki ke rumah pihak anak berunya. Secara langsung tujuan acara ini adalah untuk mengetahui maksud, tujuan pihak bersangkutan sekaligus dapat menentukan serta mengambil langkah seperlunya.
Dalam hubungan ini, Anak Beru bertanggung jawab menghubungi Anak Beru pihak si wanita dan orangtuanya untuk mengatur acara adat selanjutnya. Dalam rangka mewujudkan langkah permulaan Nangkih ini, sebelum pihak laki-laki meninggalkan tempat pemberangkatan, terlebih dahulu disiapkan Penandingen yang biasanya berupa uang atau barang. Dalam Nangkih ini sarana upacaranya adalah Kampil dan Tabung.
c. Maba Belo Selambar
Empat atau delapan hari setelah Nangkih diadakan kunjungan yang disebut Maba Belo Selambar (membawa selembar sirih). Acara kunjungan tersebut cukup sederhana, pihak keluarga laki-laki yang berkunjung sangat terbatas. Demikian juga pihak keluarga wanita sebagai tuan rumah hanya memberitahu dua orang saudara dari Anak Berunya. Upacara yang sederhana ini sejenis dengan upacara Byakaon di Bali, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:167).
Pada kesempatan ini pula ikut dibicarakan tentang ketentuan : waktu, hari dan yang lainnya secara adat yang disebut dengan membawa manuk (ayam). Alat yang dipakai dalam upacara ini adalah kampil berisi sirih, belo sempedi, gambir dua buah, pinang secukupnya, tembakau segulung, tabung, beras, setumba, pinggan tempat uang, dan beberapa ekor ayam.
d. Maba Manuk (membawa ayam).
Acara ini dilaksanakan sesuai dengan hasil kesepakatan pada acara Maba Belo Salambar yang lalu. Untuk pihak laki-laki adalah Anak Beru, Kalimbubu Singalo Ulu Emas, yaitu pihak saudara laki-laki ibu mempelai laki-laki Singalo Peminin, Singalo Perbibi, dan Serembah Kulau (aron) dapat menghadiri. Dalam hal ini, untuk lebih jelasnya yang disebut Anak Beru adalah saudara perempuan pihak laki-laki, Kalimbubu Singalo Ulu Emas adalah saudara laki-laki ibu mempelai laki (paman si laki). Singalo Peminin adalah saudara laki-laki pihak ibu penganten perempuan dalam bahasa Karo adalah Turang Impal yang tidak bisa dikawini. Singalo Perbibi adalah saudara ibu perempuan dari pihak pengantin wanita (bibi). Dalam hal ini, keluarga masing-masing pihak sebagaimana yang telah diuraikan tadi pada acara Maba Manuk turut ambil bagian dalam musyawarah besar kecilnya Gantang Tumba (mas kawin) yang harus ditanggung oleh pihak keluarga mempelai laki-laki.
Anak Beru, Senina masing-masing pihak mengambil tempat di tengah-tengah pertemuan duduk berhadapan di atas tikar. Mula-mula Anak Beru pihak laki-laki menyuguhkan 5 buah kampil (tempat sirih) kepada pihak mempelai wanita, satu untuk Singalo Bere-bere, satu untuk Senina Singalo Peminin dan satu untuk anak Beru. Kampil tersebut diberikan dengan maksud untuk minta ijin apakah musyawarah sudah dapat dimulai. Setelah kampil tersebut dikembalikan, maka acara musyawarah dapat dimulai dengan berdialog. Dalam pembicaraan antara kedua belah pihak, anak Beru bertindak sebagai penyambung pembicaraan.
Hal–hal yang menjadi pembahasan pada acara tersebut, atara lain pengesahan dari pihak mempelai perempuan mengenai kesenangan hatinya atas perkawinan yang telah dilaksanakan oleh anaknya. Untuk menentukan jumlah bere-bere harus dimusyawarahkan dengan Kalimbubu Singalo Bere-bere, di mana harus dihubungkan dengan jumlah kado yang akan dibawanya dengan prinsip pihaknya tidak dirugikan. Semua kelompok keluarga yang telah disebutkan tadi berhak menerima bagian masing-masing dari Tukur, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:168).
Unjukan mempelai perempuan, bagian tersebut diterima sewaktu di aksanakan pesta perkawinan si mempelai, khusus bagi Kalimbubu pihak mempelai laki-laki juga mendapat bagian. Bagian tersebut dinamai Ulu Emas, yaitu sejumlah uang diserahkan pihak laki-laki kepada kalimbubunya sendiri (pihak saudara laki ibu mempelai laki-laki). Ulu Emas tersebut merupakan penghormatan kepada kalimbubu serta meminta izin bahwa mempelai laki-laki telah kawin dengan seorang perempuan bukan dari kelompoknya.
Setelah diketahui besar kecilnya Unjukan atau Tukur melalui musyawarah, ditentukan jumlah bere-bere. Maka dapat pula ditentukan jumlah peminin dan perbibi. Di dalam tingkat ini juga dibicarakan mengenai tingkatan pesta (Kerja Erdemu Bayu) yang akan dilaksanakan. Untuk jaminan sebagai pengikat janji pelaksanaan pesta pada waktu yang telah ditetapkan, kepada pihak mempelai wanita diserahkan Pemindih Pudun masing-masing dalam bentuk uang dengan jumlah ditetapkan bersama.
Sekiranya mempelai wanita ingkar dan menggagalkan perkawinan, uang tersebut harus dikembalikan dua kali lipat. Sebaliknya jika pihak laki-laki tidak menepati janjinya maka uang tersebut dianggap hilang.
Setelah hal tersebut selesai dimusyawarahkan dan dilaksanakan, maka Pendingen yang telah diserahkan kepada pihak mempelai wanita, suatu anaknya nangkih dulu dikembalikan. Sebagai penutup maka Anak Beru, Senina, masing-masing pihak melakukan Sijalepen artinya saling memperkenalkan diri, yakni tentang nama dan marganya.
e. Kerja Edermu Bayu.
Untuk acara selanjutnya adalah Kerja Erdemu Bayu yang biasanya dilaksanakan di siang hari. Ini merupakan inti pesta adat Karo yang beragama Hindu. Tingkatan pesta adat ini ada yang besar, sedang, dan sederhana. Dalam pelaksanaan upacara Kerja Erdemu Bayu ini, sarana yang diperlukan dalam Kampil, Tabling, Beras Piher Setumbu, Uis Nipes untuk mempelai wanita banyaknya dua lembar yang dipakai sebagai penutup kepala (Tudung) bagi yang disebut dengan Bulang. Di samping itu, untuk pihak laki diberikan kain Pelihat, dan barang perhiasan untuk pihak wanita, Pisau Tumbuk Lada untuk pihak laki-laki.
Proses pelaksanaannya, setelah rombongan laki-laki tiba di rumah wanita, disodorkan sirih kepada hadirin, setelah itu penyerahan Kampil dan Tudung kepada ibu dan ayah si wanita dengan perantara Anak Beru Jabu kedua belah pihak. Sesudah makan sirih dan merokok maka berbicaralah Anak Beru Jabu pihak laki-laki (sipempo) kepada Kalimbubu si nenek perempuan pihak orangtua si wanita dengan perantara Anak Beru Si Nereh, tentang keputusan pembicaraan waktu Maba Manuk. Setelah selesai semua pembicaraan maka dilaksanakan secara berturut-turut oleh Anak Beru Dipempo dengan perantara Anak Beru Si Nereh (mempelai wanita), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:169).
Memberi Unjukan (beli) kepada Si Mupus (yang melahirkan antara ayah dan ibu) kepada Si Mupus salah seorang dari senina, Bere-bere, Perbibin, Perninin, Si Rembah Jalai, dan penghulu. Sebaliknya pihak menerima (Si Nereh) juga memberikan sesuatu kepada kedua mempelai. Menurut adat, penyerahan dilakukan oleh Senina (orangtua wanita) berupa sehelai kain kawin (Uis Sereh), emas perhiasan, dan menyerahkan modal rumah tangga berupa alat dapur kepada kedua mempelai.
Setelah selesai upacara penyerahan adat itu, diakhiri dengan upacara Mejuah-juah (Selamatan), sambil menaburkan beras agar kedua mempelai selamat dalam menempuh hidup baru. Selanjutnya diteruskan acara makan bersama. Ini dilakukan oleh pihak laki-laki. Pada saat mukul ini diadakan jamuan makan bersama dalam satu piring berisi makanan, nasi, telor, gulai, dan ayam yang masih utuh (masak). Acara makan dalam satu piring ini merupakan suatu sumpah untuk hidup bersama dan saling setia untuk selama-lamanya. Ini melambangkan persatuan dan kesatuan dalam perkawinan. Upacaranya dihadiri oleh keluarga terdekat dari kedua belah pihak yaitu Anak Beru, Kalimbubu, Senina, dan Aron. Setelah berakhirnya upacara ini maka sahlah perkawinan mereka dan sah pula sebagai suami istri.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, sahnya suatu perkawinan menurut Hukum Adat Hindu apabila telah memenuhi tiga syarat yang disebut Tri Upa Saksi, yaitu saksi kepada keluarga, masyarakat (pemerintah), dan saksi kepada Dewa/Tuhan. Saksi kepada keluarga akan terlihat pada waktu upacara Maba Manuk yang hanya dihadiri oleh beberapa keluarga yang terdekat. Sedangkan saksi kepada masyarakat akan nampak pada acara kerja Erdemu Bayu yang dihadiri oleh kepala desa, kaum kerabat dan masyarakat lainnya. Yang terakhir saksi kepada Dewa atau Tuhan akan dijumpai pada waktu upacara Mukul, di mana kedua belah pihak mempelai makan berdua dalam satu piring dengan mengucapkan sumpahnya kepada Tuhan di mana akan berjanji hidup bersama untuk selama-lamanya.
f. Sesudah Perkawinan.
Upacara terakhir menurut Adat Karo yang beragama Hindu adalah Nguluhken Limbas yang sering disebut dengan istilah Ertedeh Atai (kangen). Ini dilaksanakan di rumah orangtua wanita sarana yang disiapkan, yaitu ayam dua ekor, beras secukupnya, kelapa segandeng, sayur-sayuran secukupnya, sirih seperangkat, dan tabung, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:170).
Proses pelaksanaannya adalah dengan menyodorkan sirih kepada hadirin pihak Sineren (mempelai wanita). Selanjutnya acara makan bersama karena mereka telah sah menjadi suami istri yang sebentar lagi membuat rumah tangga yang baru. Pada umumnya laki-laki dan wanita Batak Karo yang sudah kawin, kedua pengantin itu tidak lama hidup atau tinggal bersama orangtua laki-laki. Mereka akan berdiri sendiri berpisah dari rumah tangga orangtuanya. Tindakan mereka yang dilakukan dengan memisahkan diri dari orangtua pihak lelaki disebut dengan istilah ”Penyanyon atau Njoyo“. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa beberapa hal berikut.
- Perkawinan umat Hindu yang berlaku di Sumatra menggunakan sistem meminang.
- Perkawinan yang dianggap ideal dalam masyarakat Batak Karo adalah perkawinan orang-orang Rimpal, yakni di mana seorang laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya.
- Dalam menyelesaikan segala kegiatan adat, maka Anak Beru, Kalimbubu dan Senina ini harus ada (Sangkep Sitelu atau Rakut Sitelu) dan ketiganya ini mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda-beda.
- Pelaksanaan pesta perkawinan disesuaikan dengan keadaan. Misalnya bagi yang mampu dapat melaksanakan upacara perkawinan secara besar-besaran atau tingkat utama (Kerja Sinita dalam bahasa Karo).
Biasanya acara seperti ini disertai dengan iringan gendang adat. Bagi umat yang termasuk ekonomi sedang maka dapat melangsungkan upacara dengan tingkat madya atau menengah, sedangkan bagi umat sedharma yang tingkat perekonomiannya rendah dapat melangsungkan upacara perkawinan dengan kecil-kecilan dengan tidak mengurangi nilai pokok dalam ajaran agama, yaitu disesuaikkan dengan Desa, Kala, dan Patra. Pelaksanaan acara perkawinan yang berlangsung secara sederhana ini di Bali disebut dengan istilah Byakaonan, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:171).
Renungan Manawa Dharmasastra III. 7
"Hina kriyām niṣpurusaṁ niṡchando roma ṡārṡasam, kṣayyāmayāvya pasmāri ṡvitrikuṣþhi kulāni ca".
Terjemahan:
"Kesepuluh macam itu (perkawinan) ialah, keluarga yang tidak menghiraukan upacara-upacara suci, keluarga yang tidak mempunyai keturunan laki, keluarga yang tidak mempelajari veda, keluarga yang anggota badannya berbulu tebal, keluarga yang mempunyai penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit mag, penyakit ayan atau lepra".
Referensi
Mudana dan Ngurah Dwaja. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti : Buku Siswa / Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. -- Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014.vi, 190 hlm.; 25 cm
Untuk SMA/SMK Kelas XI
Kontributor Naskah : I Nengah Mudana dan I Gusti Ngurah Dwaja.
Penelaah : I Wayan Paramartha. – I Made Sutrisna.
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud
Cetakan Ke-1, 2014
0 Response to "Sistem Pawiwahan (Perkawinan) dalam Ajaran Agama Hindu"
Post a Comment