Pahala Bagi Anak-anak yang Berbhakti Kepada Orang Tua Menurut Perspektif Hindu

MUTIARAHINDU.COM -- Kehadiran seorang putra (anak yang baik) dalam kehidupan berumah-tangga sangat diharapkan. Dalam rumah tangga sebagai anak yang berbudi pekerti baik, akan selalu dituntut untuk dapat melaksanakan ajaran agama yang dianutnya secara baik dan benar. Melaksanakan ajaran-Nya  berarti  harus  meninggalkan  segala larangan-Nya.  Sifat  dan  sikap  yang  demikian merupakan wujud dari salah satu swadharma anak yang berbhakti kepada orangtuanya. Dalam arti luas anak-anak yang berbhakti kepada orangtuanya berarti berbuat sesuatu yang baik terhadap sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara serta lingkungan alam sekitar kita. Sedangkan dalam arti sempit anak-anak  yang berbhakti kepada orang tuanya dapat diartikan anak yang dengan sungguh-sungguh melaksanakan petuah dan petunjuk-petunjuk orangtuanya.

Baca: Pengertian dan Hakikat Wiwaha Dalam Ajaran Agama Hindu

Pahala Bagi Anak-anak yang Berbhakti Kepada Orang Tua Menurut Perspektif Hindu
Desa Adat Penglipuran, Bali (Image: adityasudanta)
"Sa vahniá putraá pitroá pavitravān,
punāti dhiro bhuvanani mayaya".

Terjemahan:

"Putra dari orangtua (ayah) yang mulia, saleh, gagah-berani, dan berseri-seri bagaikan Sang Hyang Agni membersihkan (menyucikan) dunia ini dengan perbuatan-perbuatannya yang hebat", (Rg Veda VI. 160.3).

Permasalahan yang sering dihadapi dalam kehidupan bermasyarakat tidaklah demikian adanya. Kadang-kadang seorang anak sulit untuk menghindarkan diri dari pengaruh teman, bahkan seringkali malah ikut-ikutan terbujuk untuk berbuat negatif. Mabuk-mabukan, merokok, menyalahgunakan narkotika dan yang lainnya adalah perilaku yang negatif, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:177).

Sifat dan sikap munafik itu masih mewarnai anak-anak bangsa ini dalam hidup dan kehidupannya. Misalnya yang bersangkutan seolah-olah dengan sungguh-sungguh melaksanakan swadharma agamanya, namun sejatinya dalam kehidupan sehari-hari segala perbuatan dan tindak-tanduknya sangat bertentangan dengan ajaran Ketuhanan. Pengamatan sementara yang kita dapatkan melalui media baik cetak maupun elektronik ternyata masih ada anak-anak bangsa ini yang nampak rajin melakukan ibadah agamanya lalu bersikap anarkis yang nyata-nyata dapat menyesatkan dan menyengsarakan kelangsungan hidupnya di kemudian hari. Di mana hati nurani anak orang yang berperilaku demikian? Ingatlah bahwa:

Kelahiran sebagai manusia ini adalah neraka bagi Dewa-dewa, neraka bagi manusia biasa ialah kelahiran menjadi binatang ternak, neraka bagi binatang ternak ialah kelahiran menjadi binatang hutan, neraka bagi binatang hutan/buas ialah kelahiran menjadi bangsa burung, neraka bagi bangsa burung ialah kelahiran menjadi binatang busuk, neraka bagi binatang busuk ialah kelahiran menjadi binatang penyengat, neraka binatang penyengat ialah kelahiran menjadi binatang berbisa, karena binatang berbisa ini sangat berbahaya dan kejam. (Ç’lokāntara -52-53 (13-14) hal. 80).

Baca: Tujuan Wiwaha Menurut Ajaran Agama Hindu

Bila perbuatan seperti itu yang dilakukan, maka sudah jelas anak yang bersangkutan tidak dapat lagi disebut taat dan patuh dengan ajaran agamanya dan berbhakti kepada orangtuanya. Agar sikap taat dan kepatuhan itu tertanam dalam diri seorang anak serta dapat terus-menerus bersikap bhakti kepada orangtuanya maka perlu ada upaya yang harus dilakukan. Upaya yang dimaksud adalah dengan meningkatkan swadharma hidup sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Agama yang kita pelajari bukan hanya sebagai pengetahuan, namun harus disertai keyakinan dan keimanan untuk mengamalkannya. Semakin banyak mempelajari agama, semakin bertambahlah pengetahuan keagamaan kita. Oleh sebab itu hendaknya semakin meningkat swadharma atau ibadahnya dan rasa sosial serta kesetiakawanannya. Keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan ajaran agama mendorong manusia dan masyarakat berbuat baik dan benar. Kebaikan dan kebenaran adalah anugrah Tuhan yang wajib kita jalankan. Beribadah kepada Tuhan merupakan kewajiban kita sebagai makhluk, insan, dan hamba Tuhan. Ikut serta dalam berbagai kegiatan sosial merupakan kepedulian kita sebagai pencerminan orang yang taat melaksanakan swadharma, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:178).

Perbuatan yang dapat dikatakan sebagai pencerminan seorang anak yang berbhakti kepada orangtuanya dan taat serta patuh terhadap ajaran agamanya, meliputi beberapa hal berikut:

a. Bhakti dan taat kepada orangtua, guru, dan orang yang lebih tua.

Berbhakti kepada orang tua, guru, dan orang yang dituakan berarti kita mau mendengarkan dan mampu melaksanakan nasehat-nasehatnya, menghormati, menyayangi, dan tidak pernah berpikir, berkata serta berperilaku menyakiti perasaan mereka. Hal semacam ini penting dilakukan kepada mereka yang patut kita hormati.

b. Membiasakan introspeksi (mengoreksi diri sendiri), serta perbuatan yang selaras dengan ketentuan-ketentuan agama dan negara.

Selalu mengupayakan mawas diri serta koreksi diri adalah perbuatan yang terpuji. Mawas diri dimaksudkan agar kita tidak terpengaruh oleh berbagai hal yang membawa ke arah kehancuran. Kita tidak boleh gegabah dalam bertindak sebelum tahu betul apa yang seharusnya dilakukan. Koreksilah diri kita terlebih dahulu apakah perbuatan-perbuatan kita sudah sesuai dengan ketentuan agama maupun ketentuan negara. Untuk dapat mengoreksi diri diperlukan kejujuran dan keberanian. Apabila tingkah laku kita memang belum sesuai dengan ketentuan itu, maka segeralah berusaha memperbaikinya. Dengan mawas diri dan koreksi diri dapat membawa kita selalu berada di jalan yang benar dan terhindar dari perbuatan tercela.

Baca: Syarat Sah Suatu Perkawinan atau Pawiwahan Menurut Hindu

c. Membiasakan diri untuk selalu berpikir, berucap dan berperilaku yang baik. 

Dalam kehidupan sehari-hari kita harus berpikir, berucap dan berperilaku baik. Merendahkan diri kepada orang lain, tidak suka membanggakan diri sendiri, sabar dalam menghadapi gangguan dan cobaan serta tidak marah, mengeluh serta berputus asa. Hindarkan diri dari perbuatan memutus tali persahabatan sesama teman. Tidak suka bertengkar apalagi berkelahi atau tawuran. Setiap orang harus merasa malu untuk melakukan perbuatan yang buruk walaupun tidak ada yang melihatnya. Ajaran agama mengajarkan bahwa Tuhan maha melihat.

d. Menyelenggarakan kegiatan keagamaan dalam berbagai macam kehidupan. 

Kegiatan keagamaan bukan hanya dapat dilaksanakan dengan perayaan-perayaan keagamaan, tetapi dapat juga dengan selalu mawas diri atau mulat sarira.

e. Melakukan bhakti sosial.

Bhakti sosial adalah kegiatan yang dilakukan atas dasar sukarela dan penuh keikhlasan untuk kepentingan bersama maupun untuk menolong orang lain. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan memberikan bantuan material maupun spiritual ke panti-panti asuhan, panti jompo maupun tempat-tempat penampungan korban bencana alam. Bhakti sosial bersama masyarakat dapat diwujudkan dengan kerja bhakti bersama membersihkan lingkungan, memperbaiki jalan-jalan kampung yang rusak, dan ikut mendirikan rumah bagi penduduk yang sedang ditimpa bencana alam, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:179).

Dalam kehidupan ini, kita diharapkan dapat bekerja-sama, saling menyayangi, saling memberi dan menerima, serta saling mengingatkan dan menasehati. Terkadang kita berbuat suatu kesalahan atau merugikan berbagai pihak tanpa kita sadari. Kita harus siap menerima teguran dari kawan atau siapa saja. Kawan yang baik adalah yang mau menunjukkan kesalahan kita, bukan yang selalu memuji-muji kita saja.

"Bulan itu lampu di malam hari, Surya
atau matahari lampu dunia di siang hari,
Dharma ialah lampu ke tiga dunia ini,
dan putra yang baik itu cahaya keluarga". (Ç’lokāntara -24 (52) hal. 44)

Demikianlah setiap anak hendaknya dapat berbhakti kepada orangtua sebagai wujud nyata mematuhi dan menaati agamanya masing-masing. Di antara mereka yang sudah mematuhi dan menaati ajaran agama sesungguhnya adalah orang-orang yang berbudi pekerti luhur dengan pahala yang baik.

"Tayor nityaṁ priyaṁ kuryād ācāryasya ca sarvadā, 
teṣyeva triṣu tuṣþeṣu tapaá sarvaṁ samāpyate", (Manawa Dharmasastra, II.228).

Terjemahan:

"Seorang anak harus melakukan apa yang disetujui oleh kedua orangtuanya dan apa yang menyenangkan gurunya; kalau ketiga orang itu senang ia mendapatkan segala pahala dari tapa bratanya", (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:180).

Dalam kitab Taittiriya Upanisad disebutkan bahwa ayah dan ibu itu adalah ibarat perwujudan Deva dalam keluarga: “Pitri deva bhava, matri deva bhava”. Vana Parva 27, 214 menyebutkan bahwa ayah dan ibu termasuk sebagai Guru, di samping Agni, Atman, dan Rsi.

Di Bali ayah dan ibu disebut sebagai Guru Rupaka di samping Hyang Widhi sebagai Guru Svadyaya, pemerintah sebagai Guru Visesa, dan para pengajar sebagai Guru Pengajian. Ada lima hal yang menyebabkan anak-anak harus berbakti kepada ayah dan ibunya, yang dalam kekawin Nitisastra VIII.3 disebut sebagai Panca Vida, yaitu sebagai berikut.

Baca: Sistem Pawiwahan (Perkawinan) dalam Ajaran Agama Hindu
  1. Sang Ametwaken, karena pertemuan (hubungan suami/ istri) ayah dan ibu maka lahirlah anak-anak dari kandungan ibu. Perjalanan hidup ayah dan ibu sejak kecil hingga dewasa, kemudian menempuh kehidupan Gryahasta, sampai mengandung bayi dan selanjutnya melahirkan, dipenuhi dengan pengorbanan-pengorbanan.
  2. Sang Nitya Maweh Bhinojana, ayah dan ibu selalu mengusahakan memberi makan kepada anak-anaknya. Bahkan tidak jarang dalam keadaan kesulitan ekonomi, ayah dan ibu rela berkorban tidak makan, namun mendahulukan anak-anaknya mendapatkan makanan yang layak. Ibu memberi air susu kepada anaknya, cairan yang keluar dari tubuhnya sendiri.
  3. Sang Mangu Padyaya, ayah dan ibu menjadi pendidik dan pengajar utama. Sejak bayi anak-anak diajari makan, merangkak, berdiri, berbicara, sampai mengajarinya berbagai pengetahuan. Pendidikan dan pengajaran oleh ayah dan ibu merupakan dasar pengetahuan bagi kesejahteraan anak-anaknya di kemudian hari.
  4. Sang Anyangaskara, ayah dan ibu melakukan upacara-upacara manusa yadnya bagi anak-anaknya dengan tujuan mensucikan atma dan stula sarira. Upacara-upacara itu sejak bayi dalam kandungan sampai lahir, besar dan dewasa: Magedong-gedongan, Embas rare, Kepus udel, Tutug Kambuhan, Telu bulanan, Otonan, Menek kelih, Mepandes, Pawiwahan.
  5. Sang Matulung Urip Rikalaning Baya, ayah dan ibulah pembela anak-anaknya bila menghadapi bahaya, menghindarkan serangan penyakit dan menyelamatkan nyawa anak-anaknya dari bahaya lainnya.
Oleh karena itu pahala bagi anak-anak yang berbhakti kepada orangtua seperti yang telah dijelaskan dalam kitab suci Sarasamuscaya disebutkan ada empat sebagaimana di bawah ini, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:181).

1. Kirti

Selalu dipuji dan didoakan untuk mendapatkan kerahayuan oleh sanak keluarga dan orang-orang lain dalam keluarga, karena dipandang terhormat. Puji dan doa yang positif seperti itu akan mendorong aktivitas dan gairah kehidupan sehingga anak-anak akan menjadi lebih meningkat kualitas kehidupannya.

2. Ayusa (berumur panjang dan sehat)

Umur panjang dan sehat sangat diperlukan agar manusia dapat menempuh tahapan-tahapan kehidupannya dengan sempurna, yaitu melalui Catur Ashrama, yang meliputi brahmacarya, gryahasta, wanaprastha, dan bhiksuka. Brahmacarya adalah masa menempuh pendidikan, gryahastha adalah masa berumah tangga dan mengembangkan keturunan, wanaprastha adalah masa menyiapkan diri menuju kehidupan yang lebih suci, dan bhiksuka adalah masa kehidupan yang suci, lepas dari ikatan keduniawian.

3. Bala

Mempunyai kekuatan yang tangguh dalam menempuh kehidupan baik yang berupa pemenuhan kebutuhan hidup, kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan, dan juga ketangguhan dalam arti menguatkan kesucian mental/ rohani.

4. Yasa Pattinggal Rahayu

Kebhaktian pada orangtua akan menjadi contoh bagi keturunan selanjutnya dan akan dilanjutkan, bila anak-anak sudah menjadi tua atau meninggal dunia. Secara sambung menyambung para keturunannya pun akan menghormati dan berbakti kepadanya, karena kebaktian itu sudah menjadi tradisi yang baik di dalam keluarganya.

Guru tidak terpaku mengajarkan siswa dari buku siswa tetapi dapat mengembangkan materi dari sumber lain yang ada di masyarakat terutama dari pengalaman langsung dalam kehidupan sehari-hari. Dapat juga melalui kegiatan ektrakurikuler. Guru memberikan motivasi kepada siswanya untuk bertanya dan mengerjakan soal-soal latihan, Guru memberikan evaluasi, dan setiap akhir pembelajaran memberikan tugas-tugas baik mandiri maupun berkelompok untuk mendapatkan informasi kompetensi peserta didik berkaitan dengan materi Wiwaha, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:182).

Baca: Membina Keharmonisan dalam Keluarga Menurut Perspektif Hindu

Renungan Atharvaveda XX. 129. 5

"Sadhuṁ putraṁ hiranyayam".

Terjemahan:

"Semoga kami memperoleh seorang putra yang mulia dan makmur".

Referensi:

Mudana dan Ngurah Dwaja. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementerian             Pendidikan dan Kebudayaan.
Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti : Buku Siswa / Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. -- Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014.vi, 190 hlm.; 25 cm
Untuk SMA/SMK Kelas XI
Kontributor Naskah  : I Nengah Mudana dan I Gusti Ngurah Dwaja.
Penelaah : I Wayan Paramartha. – I Made Sutrisna.
Penyelia Penerbitan  : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud
Cetakan Ke-1, 2014

0 Response to "Pahala Bagi Anak-anak yang Berbhakti Kepada Orang Tua Menurut Perspektif Hindu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel