Prioritas Penerapan Catur Purusartha untuk Kebahagiaan Rohani Dalam Ajaran Hindu
Friday, March 29, 2019
Add Comment
MUTIARAHINDU -- Hidup dan kehidupan ini tidak mudah melainkan penuh gejolak. Tetapi sekuat apa pun gejolaknya akan menjadi lebih ringan, kalau kita mau selalu berupaya melaksanakan tugas yang diberikan dalam kehidupan dengan sebaik-baiknya. Apa pun yang ditugaskan oleh kehidupan, lakukan yang terbaik. Meskipun dengan begitu, juga tidak jaminan semua keinginan kita akan tercapai. Karena ada wilayah kedua yang tidak menjadi wewenang kita, yaitu wilayah semesta. Kerja, usaha, upaya, memang dapat merubah jalan kehidupan, tapi tidak mutlak. Sehebat-hebatnya wilayah kerja selalu menyisakan wilayah kedua, yaitu wilayah semesta itu.
Umat Hindu Melaksanakan Persembahyangan di PAJ |
"Brahmacārì gṛhasthaṡ ca vānaprastho yatis tathā, ete gṛhastha prabhāvās catvāraá pṛthagāṡramaá".
Terjemahannya:
"Pelajar, kepala rumah tangga, pertapa di hutan, pertapa pengembara, semua mis, merupakan empat tahapan yang terpisah yang semuanya berkembang dari tahapan rumah tangga",(Manawa Dharmasastra, VI.87).
Masing-masing fase kerohanian di dalam Catur Asrama mempunyai tujuan hidup yang berbeda-beda menurut Catur Purusa Artha. Prioritas penerapan Catur Purusa Artha pada tahapan-tahapan Catur Asrama dapat dipaparkan sebagai berikut, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:140).
1. Brahmacari
Brahmacari adalah suatu tingkatan masa hidup berguru untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Jenjang ini merupakan tingkatan pertama yang ditempuh oleh manusia. Pada tahap ‘Brahmacari’ tujuan hidup yang diutamakan mendapatkan Dharma. Kekawin Niti Sastra menjelaskan sebagai berikut.
"Taki-taki ning sewaka guna widya,
smarawisaya rwang puluh ing ayusya,
tengahi tuwuh san wacana gogonta,
Patilaring atmeng tanu paguronaken".
Terjemahannya:
"Seorang pelajar wajib menuntut ilmu pengetahuan dan keutamaan, jika sudah berumur 20 tahun orang boleh kawin. Jika setengah tua, berpeganglah pada ucapan yang baik hanya tentang lepasnya nyawa kita mesti berguru", (Niti Sastra, V. 1).
Memperhatikan penjelasan Niti Sastra di atas, dapat ditegaskan bahwa jenjang pertama adalah Brahmacari saat umur masih muda kemudian Grhasta, setelah cukup dewasa, selanjutnya Wanaprastha setelah umur setengah lanjut dan terakhir Bhiksuka setelah umur lanjut.
Pada masa Brahmacari tujuan utama manusia adalah tercapainya dharma dan artha. Seseorang belajar untuk memahami dharma dan dapat mencari nafkah di masa depan. Dharma merupakan dasar dan bekal mengarungi kehidupan berikutnya.
"Sarvān parityajed arthān svādhyāyasya virodinaá, yathā tathā dhyāpayaṁstu sā hyasya kṛta kṛtyata".
Terjemahannya:
"Hendaknya ia menghindari semua jalan mencapai kekayaan yang dapat mengganggu pelajaran vedanya, bagaimana pun juga hendaknya ia mengukuhkan diri dalam mempelajari veda berdasarkan kebhaktian akan sampai pada saat segala-galanya menjadi kenyataan", (Manawa Dharmasatra, IV.17).
Dharma sebagai dasar utama mempunyai pengertian yang sangat luas. Dharma dapat diartikan sebagai mematuhi semua ajaran-ajaran agama yang terlihat dari pikiran, perkataan dan perbuatan sehari-hari, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:141).
2. Ghrahasta
Pada tahap hidup ‘Ghrahasta’ yaitu berumah tangga tujuan hidup lebih diutamakan untuk mendapatkan artha dan kama. Grhastha adalah tingkat hidup kedua yaitu masa berumah tangga. Pada masa membangun rumah tangga, manusia harus sudah bekerja dan dapat hidup mandiri. Tingkatan hidup Grhastha diawali dengan upacara perkawinan. Di dalam Nitisastra disebutkan seseorang boleh memasuki Grhasta (masa berumah tangga) setelah berumur 20 tahun. Pada masa Grhastha, tujuan hidup/utama manusia adalah mendapatkan artha dan kama yang dilandasi oleh dharma. Mencari harta benda untuk memenuhi kebutuhan hidup (kama) yang berdasarkan kebenaran (dharma). Seorang Grhastha memiliki kewajiban-kewajiban : bekerja mencari harta berdasarkan dharma, menjadi pemimpin rumah tangga, menjadi anggota masyarakat yang baik dan melaksanakan yadnya, yang semuanya itu memerlukan dana.
3. Wanaprasta
Pada tahap "Wanaprasta", hidup lebih diutamakan mencari moksa. Hidup pada tahap ini sudah lepas dari kewajiban hidup bermasyarakat dan urusan keduniawian. Wanaprastha adalah tingkatan hidup manusia mulai menyiapkan untuk melepaskan diri dari ikatan keduniawiaan. Masa ini dimasuki setelah orang menyelesaikan kewajiban dalam keluarga dan masyarakat. Pada masa ini orang akan mulai sedikit demi sedikit melepaskan ikatan keduniawian dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai moksa. Artha dan kama hendaknya kita mulai mengurangi, berkonsentrasi dalam spiritual, mencari ketenangan batin dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tujuan hidup pada masa ini adalah persiapan mental dan fisik untuk dapat menyatu dengan Tuhan (Sang Hyang Widhi), sehingga tujuan hidup ini diprioritaskan kepada kama dan moksa.
4. Sanyasa
Pada tahap ‘Sanyasa’, hidup lebih diutamakan mencari moksa. Hidup pada tahap inisudah lepas dari kewajiban dan urusan keduniawian. Bhiksuka atau Sanyasin adalah tingkatan hidup kerohanian yang telah lepas sama sekali dari ikatan keduniawian (Moksa) dan hanya mengabdikan diri kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi). Pada masa Bhiksuka/sanyasin, tujuan hidup manusia yang utama adalah pada situasi di mana benar-benar mampu melepaskan diri dari ikatan duniawi dan sepenuhnya mengabdikan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan jalan menyebarkan ajaran agama, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:142).
Pada masa ini orang tidak merasa memiliki apa-apa dan tidak terikat sama sekali oleh materi serta selalu berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tujuan hidup manusia yang utama pada masa Bhiksuka/sanyasin adalah tercapainya moksa (kebahagiaan yang tertinggi).
Tujuan hidup berlandaskan ajaran Catur Purusartha selain wajib dicapai secara bertahap berdasarkan Catur Asrama, juga wajib dicapai dengan keahlian yang dimiliki atau profesionalisme. Yajna Valkya mengajarkan juga ‘Guna Dharma’ yaitu kewajiban untuk melaksanakan dharma sesuai dengan sifat dan bakat yang dimiliki atau dibawa lahir. Dan "Warna Dharma" yaitu kewajiban untuk mengamalkan dharma berdasarkan Warna (Varna Dharma) artinya lapangan pekerjaan masing-masing umat berlandaskan keahliannya. Warna Dharma akan melahirkan Catur Warna, yang membagi masyarakat Hindu menjadi empat kelompok berdasakan profesi secara pararel horizontal. Warna dalam Kitab Bhagvad Gita dijelaskan sebagai berikut.
"Cātur-varnayam mayā sṛṣþaṁ guṇa-karma-vibhāgasaá, tasya kartāram api mām viddhy akartāram avyayam".
Terjemahannya:
"Catur varna (empat tatanan masyarakat) adalah ciptaan-Ku menurut pembagian kualitas dan kerja; tetapi ketahuilah bahwa walaupun Aku penciptanya, Aku tak berbuat dan merubah diri-Ku", (Bhagavad Gita. IV.13)
Berdasarkan kutipan tersebut, tidak dimuat tentang Wangsa di Bali dan Kasta di India. Sistem warna memberikan kesempatan setiap orang mengembangkan hakikat dirinya mencapai puncak kesempurnaan menuju profesionalisme yang berlandaskan moral religius. Orang akan bahagia apabila dapat bekerja sesuai dengan sifat dan bakatnya yang dibawa sejak lahir.
Sistem warna di Bali, sepertinya tidak ada karena yang ditemukan dan berkembang adalah sistem "Tri Wangsa". Nampaknya sistem varna dalam agama Hindu di Bali dijadikan Tri Wangsa. Dari perkembangan itulah (Brahmana, Ksatria dan Waisya) menjadi tri wangsa sebagai sebuah sistem tatanan masyarakat Hindu Bali.
Sekarang umat Hindu yang ada di Indonesia, bukan saja bermukim di Bali, tetapi telah tersebar di beberapa kepulauan Nusantara. Lingkungan umat Hindu di lingkungan tertentu, lain dengan situasi lingkungan di Bali. Masyarakat Hindu sekarang sudah semakin kritis, baik karena dasar pendidikan, perkembangan zaman maupun situasi lingkungan. Kita perlu memikirkan suatu sistem lebih berdasarkan pada pengertian logis, terutama untuk menanggulangi masalah keagamaan di Bali dan di daerah-daerah lain di luar Bali, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:143).
Permasalahan tersebut di atas perlu dicarikan jalan pemecahannya, lebih-lebih mengingat masalah keagamaan yang dirasakan semakin mendesak untuk daerah-daerah di luar Bali. Melalui tulisan ini diharapkan kita bersama mampu mengatasi sedikit demi sedikit permasalahan yang ada. Sebagai realisasi dalam mengkomunikasikan pelaksanaan kegiatan keagamaan apabila kurang memungkinkan sebaiknya menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Bali tetap dipakai demi untuk menjaga kemantapan rasa, sepanjang istilah-istilah tersebut masih sulit ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Diharapkan kepercayaan dan kesetiaan beragama yang hanya berlandaskan "gugon tuwon" akan semakin menipis, akhirnya lenyap diganti oleh rasa kesetiaan, kepercayaan dan keyakinan yang berlandaskan pengertian yang kritis.
"Brahmanaksatriyavisam,
sudranam ca paramtapa,
karmani pravibhaktani,
svabhava prabhavair gunaih".
Terjemahannya:
"Oh, Arjuna tugas-tugas adalah terbagi menurut sifat dan watak kelahirannya sebagai halnya Brahmana, Ksatriya, Vaisya, dan juga Sudra", (Bhagavad Gita XVIII.41).
Berdasarkan analisa dari kedua makna sloka Bhagavad Gita di atas ternyata bahwa keduanya memberikan pengertian yang sama tentang dasar pembagian Catur Warna. Catur Warna sebagai sistem tata kemasyarakatan dalam Agama Hindu, diklasifikasikan berdasarkan guna (bakat dan sifat) dan karma (perbuatan dan pekerjaan). Jadi bukanlah berdasarkan darah keturunan seperti yang terdapat dalam kasta.
Baca: Pengertian dan Bagian-bagian Catur Purusartha Dalam Agama Hindu
Baca: Pengertian dan Bagian-bagian Catur Purusartha Dalam Agama Hindu
"Brahmana adining warna, tumut ksatriya, tumut waisya, ika sang warna tiga, kapwa dwijati sira, dwijatingaraning ping rwa mangjanma, apan ri sedeng niran Brahmacari gurukulawasi kinenan sira diksabrata sangskara, kaping rwaning janma nira tika, ri huwus nira krtasangskara, nahan matangnyan kapwa dwijati sira katiga, kunang ikang sudra kapatning warna, ekajati sang kadi rasika, tan dadi kinenane bratasangskara, tatan Brahmacari, mangkana kandanikang warna empat, ya ika catur Varna ngaranya, tan hana kalimaning warna ngaranya", (Sarasamuccaya, 55), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:144).
Terjemahannya:
"Brahmana adalah golongan yang pertama menyusul Ksatriya, lalu Waisya, ketiga golongan itu sama-sama Dwijati. Dwijati artinya lahir dua kali, sebab tatkala mereka menginjak masa kelahiran yang kedua kali, adalah setelah selesai menjalani upacara penyucian (pentasbihan), itulah sebabnya mereka ketiga-tiganya disebut lahir dua kali. Adapun Sudra yang merupakan golongan keempat disebut Ekajati; lahir satu kali artinya tidak diharuskan melakukan Brahmacari. Itulah yang disebut Catur Warna, tidak ada golongan yang kelima".
"Brahmanah ksatriyo vaisyas,
trayovarna dwijatayah,
caturtha ekajatistu,
sudra nastitu pancamah"
Terjemahannya:
"Brahmana, Ksatriya, dan Vaisya ketiga golongan ini adalah Dwijati sedangkan Sudra yang keempat adalah Ekajati dan tidak ada golongan yang kelima", (Manawa Dharmasastra, X.4)
Berikut ini kita dapatkan keterangan yang sangat berbeda dengan kitab suci Sarasamuçcaya dan Manawa Dharmasastra. Berikut ini adalah bait slokanya; di dalam kitab suci Yajur Veda kita temukan sloka yang berbunyi sebagai berikut.
"Yathcnam vacham kalyanim,
avdani canebhyah,
Brahma rajanyabhyam,
çudraya caryaya ca, svaya caranaya ca"
Terjemahannya:
"Biar kunyatakan di sini kata suci ini kepada orang-orang banyak kepada kaum Brahmana, kaum Ksatriya, kaum Sudra, dan kaum Waisya dan bahkan orang-orang-Ku dan kepada mereka (orang-orang asing) sekalipun". (Yayur Veda, XXV.2).
Catur Warna berarti empat sifat dan bakat kelahirannya dalam mengabdi pada masyarakat berdasarkan kecintaan yang menimbulkan kegairahan kerja. Catur Warna adalah empat golongan karya dalam masyarakat Hindu yang terdiri dari; Brahmana Warna, Ksatria Warna, Wesya Warna, dan Sudra Warna, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:145).
Prioritas penerapan Catur Purusa Artha pada Catur Warna dapat dipaparkan sebagai berikut.
- Brahmana Warna adalah golongan karya yang setiap orangnya memiliki pengetahuan suci dan mempunyai bakat kelahiran untuk mewujudkan tujuan/ kekayaan (artha), keinginan/kenikmatan (kama), kesejahteraan dan kebahagiaan (moksa) masyarakat, Negara, dan umat manusia dengan jalan mengamalkan ilmu pengetahuannya dan dapat memimpin upacara keagamaan (karyawidhi-yoga dan karya-arcana) berlandaskan kebenaran (dharma) - nya.
- Ksatria Warna adalah golongan karya yang setiap orangnya memiliki kewibawaan alami dan mempunyai bakat kelahiran yang cinta tanah air untuk pemimpin guna mewujudkan dan mempertahankan tujuan/kekayaan (artha), keinginan/ kenikmatan (kama), kesejahteraan dan kebahagiaan (moksa) masyarakat, negara, dan umat manusia dengan jalan mengamalkan kepemimpinannya berlandaskan kebenaran (dharma) - nya.
- Wesya Warna adalah golongan karya yang setiap orangnya memiliki watak tekun, terampil, hemat, cermat dan mempunyai bakat kelahiran untuk mewujudkan tujuan/ kekayaan (artha), keinginan/kenikmatan (kama), kesejahtraan dan kebahagiaan (moksa) masyarakat, Negara, dan umat manusia dengan jalan mengamalkan keahliannya sebagai pedagang dan petani berlandaskan kebenaran (dharma) - nya.
- Sudra Warna adalah golongan karya yang setiap orangnya memiliki kekuatan jasmani, ketaatan, dan mempunyai bakat kelahiran untuk mewujudkan tujuan/ kekayaan (artha), keinginan/kenikmatan (kama), kesejahteraan dan kebahagiaan
(moksa) masyarakat, Negara, dan umat manusia atas petunjuk golongan karya lainnya dengan jalan mengamalkan ketaatan dan kekuatan jasmaninya yang berlandaskan kebenaran (dharma) - nya.
Hendaknya keempat warna ini bekerjasama bantu-membantu sesuai dengan swadharmanya (watak, sifat/bakatnya masing-masing) untuk membina kesejahteraan masyarakat, negara, umat manusia. Pengabdian setiap anggota masyarakat yang berdasarkan swadharma itu sudah semestinya didasari oleh Catur Purusartha, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:146).
Renungan Yajur Veda IX.22
"Asme vo astu-indriyam,
asme nṛmṇam, uta kratur asme,
varcāmsi santu vah".
Terjemahannya:
"Ya para Dewata, semoga tenagamu, kekayaanmu, kerajinanmu, kecemerlanganmu ada di dalam diri kami".
Referensi
Mudana dan Ngurah Dwaja. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti : Buku Siswa / Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. -- Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014.vi, 190 hlm.; 25 cm
Untuk SMA/SMK Kelas XI
Kontributor Naskah : I Nengah Mudana dan I Gusti Ngurah Dwaja.
Penelaah : I Wayan Paramartha. – I Made Sutrisna.
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud
Cetakan Ke-1, 2014
0 Response to "Prioritas Penerapan Catur Purusartha untuk Kebahagiaan Rohani Dalam Ajaran Hindu"
Post a Comment