Tantangan dan Hambatan Dalam Mencapai Moksa Sesuai Ajaran Agama Hindu Berdasarkan Zaman Globalisasi
Sunday, September 2, 2018
Add Comment
MUTIARAHINDU -- Membangun kehidupan spiritual dalam perilaku sehari-hari sering mengalami kendala, tantangan dan hambatan. Berbagai macam pertanyaan bermunculan dari berbagai lapisan masyarakat, terutama generasi muda. Apakah untuk melakukan kegiatan spiritual kita harus meniadakan aktivitas keseharian “karma” bekerja sebagai wujud swadharma hidup ini? Benarkah bahwa aktifitas spiritual manusia itu akan berhasil dengan baik bila dilaksanakan setelah masa-masa tua (masa persiapan pensiun), mengingat saat itu seseorang telah memiliki waktu panjang serta berkurangnya tanggung-jawab dan kewajiban hidupnya? Bukankah sebaiknya penataan keseimbangan hidup manusia (rohani dan jasmani) dibangun sejak awal seirama dengan pembelajaran hidup ini? Kesenjangan hidup (rohani dan jasmani) mengantarkan terhambatnya pencapaian keseimbangan hidup seseorang.
Foto: IG @understandbali |
Bagaimana tantangan untuk mencapai kebahagiaan hidup ini “Moksa” dapat teratasi dengan baik?
1. Menjauhkan diri dari keterikatan materialistis.
Mengumpulkan harta-benda (material) untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berkecukupan dalam kehidupan ini merupakan hal yang baik, namun apabila kekayaan yang kita kumpulkan membuat orang lain menjadi menderita adalah tindakan yang kurang terpuji. Menjadikan diri sebagai insan yang koruptor, pemeras, membuat masyarakat miskin dan menderita adalah tindakan yang sangat bertentangan dengan tujuan hidup “Moksa”. Sikap dan tindakan seseorang yang suka berlebihan mengumpulkan materi mengantarkan yang bersangkutan susah mewujudkan kebahagian yang dicita-citakannya.
2. Mengutamakan aktivitas yang bernuansakan spiritual.
Menjadi orang yang kreatif, rajin, tekun, dan cekatan yang bernafaskan keagamaan dan kemanusiaan dapat mengantarkan yang bersangkutan mampu mewujudkan kebahagiaan hidupnya. Namun apabila sebaliknya, seperti rajin, tekun, pekerja keras hanya untuk memenuhi ambisi semata, lupa dengan kewajiban hidup beragama tentu berakibat tidak baik, dan sekaligus dapat mengantarkan yang bersangkutan menjadi insan yang menderita.
Oleh karena itu bila kita memutuskan diri menjadi orang-orang rajin mendapatkan harta-benda jangan pernah lupa untuk rajin mendekatkan diri kepada Sang Pencipta guna memohon keteduhan dalam hidup ini. Datanglah ke Pura (tempat suci) untuk melakukan aktivitas keagamaan dengan tulus. Walaupun disibukkan dengan kegiatan duniawi akan tetapi jangan pernah lupa mengimbanginya dengan kegiatan spiritual (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 25-26).
3. Jauhkan dan hindarkanlah diri dari tindakan tidak terpuji.
Tindakan manusia terpuji adalah menjauhkan diri dari kebodohan (Punggung), iri hati (Irsya), dan marah (Krodha) serta sifat-sifat negatif yang lainnya seperti ‘mabuk, berjudi, bermain wanita, dan bertindak anarkis’ karena dapat mengantarkan seseorang menjadi insan yang nista.
Manusia sepatutnya selalu berusaha untuk menjadi insan yang terpuji, sebab pada dasarnya setiap kelahiran manusia adalah baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan diberikannya berbagai macam predikat kepada manusia, seperti; manusia adalah makhluk: (individu, berpikir, religius, sosial, berbudaya) dan yang lainnya, (Wigama dkk, 1995:204).
Semestinya kita patut bersyukur dilahirkan hidup menjadi manusia, karena hanya yang menjadi manusia saja yang dapat berbuat baik atau melebur perbuatan yang buruk menjadi baik. Kitab suci Veda menjelaskan sebagai berikut;
“Mànusah sarvabhùteûu varttate vai ûubhàúubhe,
aúubheûu samaviûþam úubhesvevàvakàrayet.
Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wënang gumawayaken ikang subhasubhakarma, kuneng panëntasakëna ring úubhakarma juga ikangaúubhakarma phalaning dadi wwang”.
Terjemahan:
Di antara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk; leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu; demikianlah gunanya (phalanya) menjadi manusia, (Sarasamuçcaya, 2).
“Iyam hi yonih prathamà yonih pràpya jagatipate,
àtmànam ûakyate tràtum karmabhih úubhalakûaóaih.
Apan iking dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wënang ya tumulung awaknya sangkeng sangsàra, makasàdhanang úubhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika”.
Terjemahan:
Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia, (Sarasamuçcaya, 4).
Sebagai akibat dari kemampuan untuk memilih yang dimiliki oleh manusia, mengakibatkan manusia dapat meningkatkan kehidupannya dari yang kurang baik menjadi lebih baik, dan akhirnya sampai manusia dinyatakan memiliki kedudukan yang paling tinggi (istimewa) dari semua makhluk yang ada. Meskipun demikian bukan berarti pula manusia akan terlepas sama sekali dari perbuatan-perbuatannya yang kurang baik.
Secara kodrati kelahiran manusia dilengkapi dengan: sifat tri guna yakni tiga sifat utama (sattwam; ketenangan, rajas; dinamis, dan tamas; lamban). Ketiga sifat utama ini hendaknya terjaga keseimbangannya untuk tidak menjadi memicu tumbuh dan berkembangnya sad ripu yaitu enam musuh utama yang ada pada setiap manusia, yang terdiri dari: kāma; nafsu, lobha; tamak, krodha; kemarahan, mada; kemabukan, moha; kebingungan, matsarya; iri-hati.
“Yo durlabhataram pràpya mànusyam lobhato narah, dharmàvamantà kàmàtma bhavet sakalavañcitah”.
Hana pwa tumënung dadi wwang, wimukha ring dharmasadhana, jënëk ring arthakàma arah, lobhambëknya, ya ika kabañcana ngaranya.
Terjemahan:
Bila ada orang berkesempatan menjadi orang (manusia), ingkar akan pelaksanaan dharma; sebaliknya amat suka ia mengejar harta dan kepuasan nafsu dan berhati tamak; orang itu disebut kesasar, tersesat dari jalan yang benar (Sarasamuçcaya, 9) (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 26-27)..
Dalam hidup dan kehidupan ini manusia dihadapkan pada banyak faktor kemungkinan untuk menjadi kurang baik. Kemungkinan yang dimaksud seperti; kebodohan, kemiskinan, dan kemelaratan yang disebabkan oleh karena kelelahan, lingkungan yang kurang bersahabat, dan juga karena keinginan yang tidak terkendali. Semuanya itu mengantarkan manusia dapat diliputi oleh kegelapan (awidya/timira) dan kebingungan.
Disebutkan ada 7 (tujuh) macam sifat manusia secara kodrati dapat mengantarkan hidup manusia menjadi awidya, gelap, suram, timira yang dikenal dengan istilah “sapta timira”. Yang disebut sapta timira antara lain; surupa; ketampanan/kecantikan, dana; kekayaan, guna; kepandaian, kulina; kebangsawanan, yowana; keremajaan, sura; minuman keras, dan kasuran; kemenangan. Ketujuh unsur/sifat alami itulah yang mengantarkan manusia menjadi awidya atau gelap sebagai akibat dari kebodohannya.
“Ajñànaprabhavam hidaý yadduhkhamupalabhyate, lobhàdeva tad ajñànam ajñàna lobha eva ca.
Apan ikang sujhaduhkha kabhukti, punggung sangkanika, ikang punggung, kalobhan sangkanika, ikang kalobhan, punggung sangkanika matangnyan
punggung sangkaning sangsàra.
Terjemahan:
Sebab suka duka yang dialami, pangkalnya adalah kebodohan; kebodohan ditimbulkan oleh lobha, sedang lobha (keinginan hati) itu kebodohan asalnya; oleh karenanya kebodohanlah asal mula kesengsaraan itu (Sarasamuçcaya, 400).
Tujuh macam sifat awidya atau kegelapan yang ada pada manusia apabila tidak dapat dikendalikan dengan baik akan menimbulkan berbagai-macam tindakan kejam. Disebutkan manusia memiliki enam peluang untuk bertindak kejam apabila keberadaan sapta timira tidak terkendalikan. Enam tindakan kejam itu disebut dengan istilah sad atatayi, yang terdiri dari: agnidā; membakar, wisada; meracun, atharwa; mensihir, çastraghna; mengamuk, dharatikrama; memperkosa, rajapisuna; memfitnah.
Menjadi pekerja aktif dengan jabatan sebagai atasan kurang memungkinkan untuk melakukan kegiatan spiritual karena disibukkan oleh berbagai macam aktivitas kantor. Perilaku seseorang kadang menyimpang dari dharma akibat tugas yang diberikan oleh majikan untuk mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan atasan (pihak manajemen). Biasanya pada saat menjabat semestinya seseorang dapat memanfaatkan kesempatan untuk menegakkan dharma. Setiap keputusan yang diambil oleh seorang atasan seharusnya menguntungkan masyarakat banyak (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 27-27).
.
Terkadang banyak orang yang kurang sabar dalam mengumpulkan harta dari pekerjaan yang ditekuninya, seperti dengan mengambil jalan pintas melakukan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Berdasarkan dharma, dalam mengumpulkan harta tidak harus dengan korupsi. Tidak sedikit orang menjadi kaya tanpa korupsi, karena mereka berusaha dengan profesional dan hasil usahanya dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak seperti dengan mendirikan yayasan untuk orang yang tidak mampu (fakir miskin) atau mendirikan sekolah yang dapat menunjang pendidikan demi masa depan anak-anak bangsa ini.
Sikap dan perilaku yang diwujudkan oleh seseorang seperti tersebut di atas (mendirikan yayasan fakir miskin) berarti yang bersangkutan telah mampu membangun spiritualnya dan sekaligus dapat mengendalikan sifat-sifat awidya yang dimilikinya. Agar manusia tidak terjerumus ke penderitaan sebagai akibat dari kebodohan, dan kegelapannya di tengah-tengah arus globalisasi yang serba terbuka maka ia berkewajiban untuk meningkatkan kecerdasan intelektual dan religiusnya. Umat sedharma hendaknya selalu dapat meningkatkan diri untuk belajar, menumbuh kembangkan kebijaksanaannya, memohon tuntunan-Nya untuk berlatih berpikir jernih, berketetapan hati, dan selalu bersikap baik “dharma” serta sikap positif yang lainnya. Dengan demikian umat sedharma akan selalu tenang, sabar, dan penuh kedamaian dalam mewujudkan tujuan hidup dan tujuan agamanya.
Untuk mencapai moksa seseorang dapat memilih salah satu diantara Catur Marga Yoga. Apakah melalui Jnana Marga Yoga, Karma Marga Yoga, Bakti Marga Yoga dan Raja Marga Yoga, diharapkan dapat disesuaikan dengan kemampuan serta bidang yang digeluti saat ini. Pada saat perang Berata Yuda sudah berakhir, dimana kemenangan berada dipihak Pandawa, semua musuh-musuhnya sudah kalah perang tinggal Pendawa yang hidup.
Yudistira sebagai pemimpin Pandawa memutuskan pergi kehutan untuk mengasingkan diri dengan maksud mendekatkan diri kehadapan Hyang Widhi Wasa dengan mengikuti ajaran Raja Marga Yoga sebagai salah satu bagian dari Catur Marga Yoga. Arjuna sebagai orang yang bijaksana yang mempunyai visi dan misi jauh kedepan menganjurkan kepada Prabu Yudistira agar kembali untuk memimpin kerajaan. Untuk mencapai moksa tidak harus pergi ke hutan bersemadi atau beryoga, di dalam kerajaan pun dengan berbuat baik dan menegakkan kebenaran “dharma” moksa dapat dicapai.
“Kamarthau lipsamànastu dharmmamevàditaûcaret,
na hi dharmmàdapetyarthah kàmo vapi kadàcana”.
Yan paramarthanya, yan arthakàma sàdhyan, dharma juga lëkasakëna rumuhun, niyata katëmwaning arthakàma mëne tan paramàrtha wi katemwaning arthakàma deninganasar sakeng dharma.
Terjemahan:
Pada hakikatnya, jika artha dan kama dituntut, maka seharusnya dharma hendaknya dilakukan lebih dahulu; tak tersangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti; tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma (Sarasamuçcaya, 12).
Keterikatan adalah moha, kebebasan adalah moksa. Selama kita masih awidya dan terikat oleh hal-hal duniawi maka, moksa sangat sulit untuk tercapai. Kesulitan untuk melepaskan keterikatan itu, dapat diatasi dengan latihan- latihan secara rutin. Untuk mengendalikan Sad Ripu tidak mudah, karena membutuhkan kesabaran dan ketekunan untuk selalu melakukan introspeksi terhadap diri kita sendiri, dan evaluasi diri sejauh mana telah dilakukan latihan-latihan kearah pengendalian diri yang dimaksud.
Melaksanakan ajaran Catur Marga Yoga memang membutuhkan mental yang tangguh, tidak mudah menyerah, dan harus mengetahui kemampuan yang dimiliki. Seseorang sebaiknya harus mengetahui bakat yang dikaruniakan oleh Hyang Widhi Wasa kepadanya, sehingga dalam melaksanakannya sesedikit mungkin mendapat halangan atau kendala. Dengan demikian dalam waktu yang relatif singkat kita sudah dapat melakukannya mendekati sempurna walaupun belum mencapai moksa tetapi sudah dirasakan hasilnya.
Moksa merupakan sraddha yang ke lima dari Panca Sraddha sebagai dasar keyakinan bagi umat Hindu. Percaya dengan adanya moksa berarti meyakini bahwa kebahagiaan itu ada, terjadi, dan dapat dicapai oleh setiap umat Hindu. Moksa merupakan tujuan hidup tertinggi dari umat Hindu. Kebahagiaan yang sejati ini baru akan dapat tercapai oleh seseorang bila ia telah dapat menyatukan jiwanya dengan Tuhan.
Penyatuan Jiwa dengan Tuhan itu baru akan didapat bila ia telah melepaskan semua bentuk ikatan keduniawian pada dirinya. Keterikatan yang melekat pada diri kita itulah yang dinamakan maya atau kepalsuan. Maya dalam Agama Hindu juga dinamakan sakti, prakrti, kekuatan dan pradhana. Maya selalu mengalami perubahan yang pada hakikatnya tidak ada. Keberadaannya semata-mata disebabkan oleh adanya hubungan indria dengan objek duniawi ini. Keterikatan akan kekuatan maya atau kepalsuan duniawi merupakan hambatan bagi umat sedharma untuk mewujudkan ‘moksa’ (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 29-30).
Perenungan Bhagavagità, XVIII.49
“Asakta-buddhiá sarvatra jitàtmà vigata-spåhaá, naiûkarmya-siddhiý paramàý sannyàsenàdhigacchati”.
Terjemahan:
“Orang yang kecerdasannya tidak terikat dimana saja, telah menguasai dirinya dan melepaskan keinginannya, dengan penyangkalan ia mencapai tingkat tertinggi dari kebebasan akan kegiatan kerja.
Referensi
Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015
0 Response to "Tantangan dan Hambatan Dalam Mencapai Moksa Sesuai Ajaran Agama Hindu Berdasarkan Zaman Globalisasi"
Post a Comment