Kontribusi Kebudayaan Hindu dalam Pembangunan Nasional dan Parawisata Indonesia Menuju Era Globalisasi
Monday, September 17, 2018
Add Comment
MUTIARAHINDU -- Bahasa (budaya) menunjukkan bangsa, demikian para budayawan menyatakan. Brandes (Blanda) tahun 1884 M. menerangkan bahwa bangsa- bangsa di seluruh kepulauan Indonesia mulai dari pulau Formosa di sebelah utara, dan Madagaskar di sebelah barat, tanah Jawa, Bali dan seterusnya disebelah selatan, sampai ke tepi Amerika pada jaman dahulu berbahasa satu. H. Kern (Blanda) tahun 1889 M. mengadakan penyelidikan bahasa di kepulauan Indonesia, menyatakan penduduk kepulauan Indonesia berbahasa Tjempa (tanah Annam; sekarang) (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 155).
Sampai tahun 1500 SM bangsa Indonesia masih berkumpul di Tjempa, karena desakan bangsa lain (orang Asia tengah), lalu mereka berpindah ke Kamboja, ke Thailand dan ke Malaka. Dari Malaka berpindah ke Sumatera, Borneo (Kalimantan), Jawa dan sebagainya. Sampai pada permulaan masehi bangsa-bangsa ‘Hindu’ tersebut sudah ada di Borneo (Kutai) yang dari padanya baru diketahui ada ke’Hindu’an tahun 400 Masehi (abad ke 4 M) di Borneo Timur (Kutai) dan Jakarta.
“Çrimatah çri-narendrasya, Kundungasya mahàtmanah, putro’çvavarmo vikhyàtah, vançakarttà yathànçumàn, tasya putra mahàtmànah, trayas traya ivàgnayah, tesan trayànàm pravarah, tapo-bala-damànvitah, çri-Mùlavarman ràjendro, yastvà buhusuvarnnakam, tasya yajnasya yùpo’yam, dvijendrais samprakalpitah.
Terjemahan:
“Sang Maharaja Kundunga, yang amat mulia, mempunyai putra yang mashur, Sang Acwawarman namanya, yang seperti sang ancuman (Deva matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Acwawarman mempunyai putra tiga, seperti api (yang suci) tiga. Yang terkemuka dari ke tiga putra itu ialah Sang Mulawarman, raja yang berperadaban baik, kuat dan kuasa. Sang Mulawarman telah mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan) emas amat banyak. Buat peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu batu ini didirikan oleh para Brahmana” (Purbatjaraka, R.M.Ng. 1968).
Sebagai anak bangsa Indonesia sudah sepantasnya kita bersyukhur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, karena telah dilahirkan, dipelihara/dibesarkan menjadi insan-insan yang beragama dan berbudaya. Berangkat dari pemikiran Dr. H. Kern, dapat disimak bahwa Bangsa Indonesia di lahirkan oleh nenek moyang-nya yang religius, berbudaya sesuai dengan zamannya. Hindu yang disebut-sebut sebagai agama tertua di dunia menurut penuturan sejarah, memiliki benang merah dengan keberadaan nenek moyang Indonesia.
Oleh karena panjangnya perjalanan yang dilalui maka sangat wajar memiliki beraneka macam bentuk, sifat dan ciri khas peninggalan kebudayaan yang dimilikinya termasuk karya sastra. Apa kontribusi budaya Hindu Indonesia?
Berdasarkan fakta-fakta sejarah Indonesia dengan peninggalan benda-benda budaya yang bernafaskan ke’Hindu’an dengan yang ada, dapat dinyatakan Agama Hindu memiliki kontribusi yang besar terhadap pembangunan pariwisata Indonesia menuju era global (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 156).
Kontribusi yang dimaksud antara lain;
1. Pariwisata Alam;
Indonesia dikenal oleh dunia memiliki sumber daya alam yang kaya dan indah bernafaskan ke-Hinduan. Keindahan alam Indonesia mejadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan dunia untuk berkunjung ke Indonesia. Atas kunjungan itu sudah menjadi kewajiban bangsa dan negara kita menyiapkan fasilitas yang memadai, seperti; transportasi (jalan dan angkutan) umum dan khusus, gedung atau rumah- rumah penginapan beserta fasilitasnya, makanan dan minuman sesuai kebiasaannya, jasa pelayanan (harus mengetahui dan fasih berbahasa asing), keamanan dan kenyamanan para wisatawan dalam berwisata, administrasi yang akurat/jelas (tidak berbelit-belit atau membingungkan) dan lainnya.
Bangsa Indonesia lebih dari wajar harus memelihara kelestarian alamnya sebagaimana mestinya. Realisasi dari wisata alam ini dapat memberikan pendapatan negara yang juga dapat meningkatkan kesejahteraan bangsa ini.Ajaran Hindu yang bersifat kreatif mengantarkan bangsa ini bebas dari kemiskinan material dan rohani.
2. Wisata Budaya;
Budaya anak Bangsa Indonesia melahirkan kebudayaan. Dari berbagai macam suku bangsa yang ada di Indonesia berbuah beraneka- macam kebudayaanya yang dapat dikonsumsi oleh para wisatawan yang berkunjung ke Indonesia. Hindu sebagai agama tertua di dunia termasuk di Indonesia, menjiwai kebudayaan anak bangsa ini sehingga semuanya itu menjadi hidup “metaksu”. Kebudayaan yang ‘metaksu’ menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan (lokal dan asing) untuk menikmatinya. Semuanya itu lagi-lagi dapat menambah pendapatan negara dan daerah yang dikunjunginya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 157).
Berikut ini beberapa bentuk dari pariwisata budaya sumbangan Agama Hindu yang dapat disajikan antara lain;
a. Candi
1) Candi Jabung
Candi Hindu ini terletak di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Struktur bangunan candi yang terbuat dari bata merah ini mampu bertahan ratusan tahun. Menurut kitab Nagarakertagama Candi Jabung di sebutkan dengan nama Bajrajinaparamitapura (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 157).
Kitab Nagarakertagama juga menyebutkan bahwa Candi Jabung pernah dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk dalam lawatannya keliling Jawa Timur pada tahun 1359 Masehi. Pada kitab Pararaton disebut Sajabung yaitu tempat pemakaman Bhre Gundal salah seorang keluarga raja. Arsitektur bangunan candi ini hampir serupa dengan Candi Bahal yang ada di Bahal, Sumatera Utara. Bagaimana hubungan raja-raja Sumatra dengan raja-raja Jawa, lakukanlah penelusuran selanjutnya!
2) Candi Tikus
Candi ini terletak di kompleks Trowulan, sekitar 13 km di sebelah tenggara kota Mojokerto. Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam tanah ditemukan kembali pada tahun 1914. Penggalian situs dilakukan berdasarkan laporan bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro, tentang ditemukannya miniatur candi di sebuah pekuburan rakyat.
Pemugaran secara menyeluruh dilakukan pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Nama ‘Tikus’ hanya merupakan sebutan yang digunakan masyarakat setempat. Konon, pada saat ditemukan, tempat candi tersebut berada merupakan sarang tikus.
3) Candi Dieng
Secara administratif dataran tinggi Dieng (Dieng Plateau) berada di lokasi wilayah kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Dataran tinggi Dieng (Dieng Plateau) berada pada ketinggian kurang lebih 2088 m dari permukaan laut dengan suhu rata-rata 13-17 C, Dataran tinggi Dieng merupakan dataran yang terbentuk oleh kawah gunung berapi yang telah mati (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 158).
Bentuk kawah jelas terlihat dari dataran yang terletak di tengah dengan dikelilingi oleh bukit-bukit. Sebelum menjadi dataran, area ini merupakan danau besar yang kini tinggal bekas- bekasnya berupa telaga. Bekas-bekas kawah pada saat ini, kadang- kadang masih menampakan aktivitas vulkanik, misalnya pada kawah Sikidang. Disamping itu juga aktivitas vulkanik, yang berupa gas/uap panas bumi dan dialirkan melalui pipa dengan diameter yang cukup besar, dan dipasang di permukaan tanah untuk menuju ke lokasi tertentu yang berada cukup jauh dari lokasi pemukiman penduduk dan dimanfaatkan untuk Pembangkit Tenaga Listrik Panas Bumi.
Dengan kondisi topografi, pemandangan alam yang indah dan situs-situs peninggalan purbakala yang berupa candi, sehingga Dataran Tinggi Dieng mempunyai potensi sebagai tempat rekreasi dan sekaligus obyek peninggalan sejarah Hindu yang indah. Dataran Tinggi Dieng pandang sebagai suatu tempat yang memiliki kekuatan misterius, tempat bersemayamnya arwah para leluhur, sehingga tempat ini dianggap suci. Dieng berasal dari kata Dihyang yang artinya tempat arwah para leluhur. Terdapat beberapa komplek candi di daerah ini, komplek Candi Dieng dibangun pada masa Agama Hindu, dengan peninggalan Arca Deva Siwa,Wisnu, Agastya, Ganesha dan lain-lainya bercirikan Agama Hindu.
Candi-candi yang berada di dataran tinggi Dieng diberi nama yang berhubungan dengan cerita atau tokoh-tokoh wayang Purwa dalam lokan Mahabarata, misalnya candi Arjuna, candi Gatotkaca, candi Dwarawati, candi Bima, candi Semar, candi Sembadra, candi Srikandi dan candi Punta Deva. Nama candi tersebut tidak ada kaitannya dengan fungsi bangunan dan diperkirakan nama candi tersebut diberikan setelah bangunan candi tersebut ditinggalkan atau tidak digunakan lagi. Siapa yang membangun candi tersebut belum dapat dipastikan, dikarenakan informasi yang terdapat di 12 prasasti batu tidak ada satupun yang menyebutkan siapa tokoh yang membangun candi religius ini.
Tugas para ilmuwan muda untuk membuka tabir misteri yang ada pada peninggalan budaya Candi Dieng secara tuntas. Sudah menjadi pakem kita bahwa segala sesuatu yang ada pasti ada yang menciptakannya. Hal ini patut ditelusuri kebenarannya, walau bagaimanapun ini adalah salah satu aset pariwisata budaya yang patut digali eksistensinya untuk kesejahteraan dan kebahagiaan anak Bangsa Indonesia (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 159).
4) Candi Cetho
Candi Cetho adalah sebuah candi bercorak Agama Hindu, yang merupakan peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit (abad ke-15). Laporan ilmiah pertama tentang keberadaan candi Cetho dibuat oleh Van de Vlies pada tahun 1842. Masehi A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian yang berhubungan dengan keberadaan candi ini.
Ekskavasi atau penggalian untuk kepentingan rekonstruksi candi ini dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda.
Berdasarkan keadaannya ketika itu, pada reruntuhan Candi Cetho diteliti dan diketahui bahwa usianya tidak jauh dengan Candi Sukuh. Lokasi candi berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Candi Cetho berada pada ketinggian 1400 m di atas permukaan laut. Candi ini patut dikunjungi oleh umat sedharma untuk mengetahui keberadaannya.
5) Candi Sukuh
Merupakan sebuah kompleks candi Agama Hindu yang terletak di wilayah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya objek pujaan lingga dan yoni. Candi Sukuh ini tergolong kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya objek-objek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas. Candi Sukuh telah diusulkan ke UNESCO untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995 (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 160).
6) Candi Surawana
Merupakan candi Hindu yang terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, sekitar 25 kilometer arah timur laut dari Kota Kediri. Candi Surawana juga dikenal dengan nama Candi Wishnubhawanapura. Candi ini diperkirakan dibangun pada abad 14 Masehi, untuk memuliakan Bhre Wengker, yang dikenal sebagai seorang raja dari Kerajaan Wengker yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Raja Wengker ini mangkat pada tahun 1388 M. Dalam Negarakertagama diceritakan bahwa pada tahun 1361 Raja Hayam Wuruk dari Majapahit pernah berkunjung bahkan menginap di Candi Surawana. Candi Surawana saat ini keadaannya sudah tidak utuh. Hanya bagian dasar yang telah direkonstruksi. Untuk menghormati jasa para pendahulu negara kita, candi ini sebaiknya dilanjutkan rekonstruksinya sehingga menjadi utuh dan tetap lestari keberadaannya dalam rangka mewujudkan pariwisata berwawasan budaya.
7) Candi Gerbang Lawang
Dalam bahasa Jawa, Wringin Lawang berarti ‘Pintu Beringin’. Gapura agung ini terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14 Masehi. Candi Gerbang ini lazim disebut bergaya candi bentar atau tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini diduga muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 161).
b. Karyasastra
Indonesia memiliki banyak pujangga besar pada masa pemerintahan raja-raja di nusantara ini. Para pujangga pada masa itu tergolong varna Brahmana yang memiliki kedudukan sebagai purohita kerajaan. Banyak karya sastra yang ditulis oleh pujangga kerajaan. Kekawin Ramayana ditulis oleh Mpu Yogiswara. Dalam satu bait karya beliau menjelaskan sebagai berikut;
"Bràhmana ksatryàn padulur, jàtinya paras paropasarpana ya, wiku tan panatha ya hilang, tan pawiku ratu wiçîrna".
Terjemahan:
"Sang Brahmana dan sang Ksatria mestinya rukun, jelasnya mesti senasib sepenanggungan tolong menolong, pendeta tanpa raja jelas akan kerusakan, raja tanpa raja tentu akan sirna", (Ramayana Kekawin, I.49).
Dalam karya ini Mpu Yogiswara ingin mengajarkan bagaimana pentingnya hubungan harmonis dan timbal-balik antara para raja dengan para brahmana. Karya sastra yang lainnya yang penuh dengan makna tersebar di masyarakat dapat dijadikan penuntun hidup menghadapi dunia pariwisata di era globalisasi ini, antara lain;
1) Carita Parahyangan Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara
Carita Parahiyangan merupakan nama suatu naskah Sunda kuno yang dibuat pada akhir abad ke-16, yang menceritakan sejarah Tanah Sunda, utamanya mengenai kekuasaan di dua ibukota Kerajaan Sunda yaitu Keraton Galuh dan Keraton Pakuan. Naskah ini merupakan bagian dari naskah yang ada pada koleksi Museum Nasional Indonesia Jakarta. Naskah ini terdiri dari 47 lembar daun lontar ukuran 21 x 3 cm, yang dalam tiap lembarnya diisi tulisan 4 baris. Aksara yang digunakan dalam penulisan naskah ini adalah aksara Sunda (Soeroto. 1970:1650).
Naskah Carita Parahiyangan menceritakan sejarah Sunda, dari awal kerajaan Galuh pada zaman Wretikandayun sampai runtuhnya Pakuan Pajajaran (ibukota Kerajaan Sunda akibat serangan Kesultanan Banten, Cirebon dan Demak (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 162).
2) Kresnayana Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara
Kakawin Kresnâyana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuno karya Mpu Triguna, yang menceritakan pernikahan prabu Kresna dan penculikan calonnya yaitu Rukmini. Singkat, ceritanya sebagai berikut. Devi Rukmini, putri Prabu Bismaka di negeri Kundina, sudah dijodohkan dengan Suniti, raja negeri Cedi. Tetapi ibu Rukmini, Devi Pretukirti lebih suka jika putrinya menikah dengan Kresna. Maka karena hari besar sudah hampir tiba, lalu Suniti dan Jarasanda, pamannya, sama-sama datang di Kundina. Pretukirti dan Rukmini diam-diam memberi tahu Kresna supaya datang secepatnya. Kemudian Rukmini dan Kresna diam-diam melarikan diri.
Mereka dikejar oleh Suniti, Jarasanda dan Rukma, adik Rukmini, beserta para bala tentara mereka. Kresna berhasil membunuh semuanya dan hampir membunuh Rukma namun dicegah oleh Rukmini. Kemudian mereka pergi ke Dwarawati dan melangsungkan pesta pernikahan. Kakawin Kresnâyana ditulis oleh Mpu Triguna pada saat prabu Warsajaya memerintah di Kediri pada kurang lebih tahun 1104 Masehi (Yamin, Muhammad. 1975 : 29.
3) Arjunawiwaha Kahuripan, Jatim Abad ke-10 M Medang Kamulan
Kakawin Arjunawiwāha adalah kakawin pertama yang berasal dari Jawa Timur. Karya sastra ini ditulis oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga, yang memerintah di Jawa Timur dari tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi. Sedangkan kakawin ini diperkirakan digubah sekitar tahun 1030.
Kakawin ini menceritakan sang Arjuna ketika ia bertapa di gunung Mahameru. Lalu ia diuji oleh para Deva, dengan dikirim tujuh bidadari. Bidadari ini diperintahkan untuk menggodanya. Nama bidadari yang terkenal adalah Devi Supraba dan Tilottama. Para bidadari tidak berhasil menggoda Arjuna, maka Batara Indra datang sendiri menyamar menjadi seorang brahmana tua. Mereka berdiskusi soal agama dan Indra menyatakan jati dirinya dan pergi. Lalu setelah itu ada seekor babi yang datang mengamuk dan Arjuna memanahnya. Tetapi pada saat yang bersamaan ada seorang pemburu tua yang datang dan juga memanahnya. Ternyata pemburu ini adalah batara Siwa (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 163).
Setelah itu Arjuna diberi tugas untuk membunuh Niwatakawaca, seorang raksasa yang mengganggu kahyangan. Arjuna berhasil dalam tugasnya dan diberi anugerah boleh mengawini tujuh bidadari ini (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 15).
4) Lubdhaka Kediri, Jatim Abad ke-11 M Kediri
Kakawin ini ditulis dalam bahasa Jawa Kuno oleh mpu Tanakung pada paruh kedua Abad ke 15. Dalam kakawin ini diceritakan bagaimana seseorang yang berdosa besar sekalipun dapat mencapai surga. Dikisahkan bagaimana Lubdhaka seorang pemburu sedang berburu di tengah hutan. Tetapi sudah lama ia mencari-cari buruan, tidak dapat. Padahal hari mulai malam. Supaya tidak diterkam dan menjadi mangsa binatang buas, ia lalu memanjat pohon dan berusaha supaya tidak jatuh tertidur. Untuk itu ia lalu memetik daun-daun pohon dan dibuangnya ke bawah. Di bawah ada sebuah kolam. Kebetulan di tengah kolam ada sebuah lingga dan daun-daun berjatuhan di atas sekitar lingga tersebut. Lalu malam menjadi hari lagi dan iapun turun dari pohon lagi.
Selang beberapa lama iapun melupakan peristiwa ini dan kemudian meninggal dunia. Arwahnya lalu gentayangan di alam baka tidak tahu mau ke mana. Maka Deva Maut; Batara Yama melihatnya dan ingin mengambilnya ke neraka. Tetapi pada saat yang sama Batara Siwa melihatnya dan ingat bahwa pada suatu malam yang disebut “Malam Siwa” (Siwaratri) ia pernah dipuja dengan meletakkan dedaunan di atas lingga, simbolnya di bumi. Lalu pasukan Yama berperang dengan pasukan Siwa yang ingin mengambilnya ke surga. Siwapun menang dan Lubdhaka dibawanya ke surga (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 32).
5) Baratayuda Kediri, Jatim Abad ke-12 M Kadiri.
Baratayuda, adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut perang besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Kurawa (Mahabharata). Perang ini merupakan klimak dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 164).
Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha (Perang Bharata), yaitu judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuno yang ditulis pada tahun 1157 Masehi oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kediri. Karya ini merupakan gubahan dari Mahabarata. Isi dari kitab ini menjelaskan peperangan dari darah bharata yaitu Pandawa dan Kurawa, yang berlangsung 18 hari. Boleh jadi kekawin baratayuda yang ditulis pada masa Kediri itu sebagai simbolis keadaan perang saudara antara Kerajaan Kediri dengan Jenggala yang sama-sama keturunan Raja Airlangga. Keadaan perang saudara itu digambarkan seolah-olah seperti yang tertulis dalam Kitab Mahabarata karya Vyasa yaitu perang antara Pandawa dan Kurawa yang sebenarnya juga keturunan Vyasa sang penulis (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 22).
6) Negarakertagama, Majapahit abad ke 14 Masehi.
Merupakan karya kesusasteraan kuno seiring perkembangan waktu sebagai hasil karya pujangga jaman Majapahit. Sedangkan dari isinya merupakan uraian sejarah. Isi dari Kekawin Negarakertagama merupakan uraian sejarah dari Kerajaan Singasari dan Majapahit dan ternyata sesuai dengan prasasti- prasasti yang ditemukan. Di dalamnya terdapat pula uraian tentang kota Majapahit, jajahan-jajahan Majapahit, perjalanan Raja Hayam Wuruk di sebagian Jawa Timur yang dijalin dengan daftar candi-candi yang ada, upacara craddha yang dilakukan untuk roh Gayatri dan tentang pemerintahan serta keagamaan dalam zaman Hayam Wuruk. Negarakertagama merupakan karya Mpu Prapanca tahun 1365 Masehi (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 37)
7) Sutasoma
Kekawin Sutasoma menggunakan bahasa Jawa kuno sehingga dimasukkan dalam kesusasteraan zaman Majapahit I. Kitab Sutasoma menceritakan tentang seorang anak raja bernama Sutasoma. Sutasoma, seorang anak raja yang menjadi pendeta Budha. Sutasoma rela meninggalkan kehidupan duniawi karena taat kepada Agama Buddha. Ia bersedia berkorban untuk kebahagiaan makhluk hidup. Bahkan diceritakan ia rela dimakan raksasa agar raksasa tersebut kenyang.
Dalam kitab ini tergambar adanya kerukunan umat beragama di Majapahit antara umat Hindu dengan umat Budha. Kalimat Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa tertulis didalamnya (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 38) (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 165).
8) Pararaton
Pararaton termasuk ke- susasteraan jaman Majapahit II. Kitab ini menggunakan bahasa Jawa tengahan dan berbentuk tembang atau kidung namun ada pula yang berupa gancaran. Kitab Pararaton merupakan uraian sejarah, namun kurang dapat dipercaya karena isinya sebagian besar lebih bersifat mitos atau dongeng. Selain itu, angka-angka tahun yang ada tidak cocok dengan sumber sejarah yang lain. Dari kitab ini mula- mula diuraikan tentang riwayat Ken Arok, yang penuh dengan kegaiban. Raja-raja Singasari berikutnya juga demikian. Bagian kedua menguraikan Raden Wijaya pada saat sebagai pengikut Kertanegara sampai menjadi raja Majapahit. Kemudian diceritakan tentang Jayanegara dan pemberontakan-pemberontakan Rangga Lawe dan Lembu Sora, serta peristiwa Putri Sunda di Bubat. Pada bagian penutup memuat daftar raja-raja sesudah Hayam Wuruk (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 65).
9) Calon Arang
Calon Arang termasuk kesusasteraan kuno yang menggunakan bahasa Jawa tengahan, sehingga dapat dimasukkan ke dalam jaman Majapahit II. Kitab Calon Arang ini berisi tentang cerita Calon Arang yang dibunuh oleh Mpu Bharadah atas perintah Raja Airlangga. Kitab Calon Arang ini juga mengisahkan tentang pemisahan Kerajaan Kediri oleh Mpu Bharada atas perintah Raja Airlangga (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 55).
Pada awalnya, karya sastra ini ditulis di atas daun lontar yang bila rusak selalu diperbaiki. Sejalan dengan kemajuan teknologi kemudian diubah menggunakan kertas. Karya sastra ini bisa berbentuk puisi, kakawin, maupun prosa. Berikut karya sastra yang bercorak ke-Hindu-an seperti;
Kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya, karya Mpu Panuluh; Kitab Smaradhana, karya Mpu Dharmaja; Kitab Lubdaka dan Kitab Wrtasancaya karya Mpu Tanakung; Kitab Sundayana yang mengisahkan terjadinya peristiwa Bubat, yakni perkawinan yang berubah menjadi pertempuran; Kitab Ranggalawe yang menceritakan pemberontakan Ranggalawe; Kitab Sorandaka yang menceritakan pemberontakan tentang Lembu Sora; Kitab Usana Jawa yang menceritakan penaklukan Bali oleh Gajah Mada bersama Arya Damar (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 23) (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 166).
Cerita Panji; Mengisahkan perkawinan Panji Inu Kertapati, putra raja Kahuripan dengan Galuh Candra Kirana, putri raja Daha. Perkawinan berlangsung setelah berhasil mengatasi berbagai kesulitan.
Tradisi tulisan peninggalan kerajaan-kerajaan Islam yang berupa karya sastra mendapat pengaruh dari Persia. Namun pengaruh sastra Indonesia dan Hindu juga masih ada. Pada masa itu munculah hikayat, yakni karya sastra yang kebanyakan berisi dongeng belaka. Ada pula hikayat berisi cerita sejarah; di pulau Jawa ‘babad’ biasa di Jawa berupa puisi (tembang) di luar Jawa bisa berbentuk syair atau prosa. Pertunjukan seni drama biasanya banyak bersumberkan karya sastra tersebut.
Kesusasteraan merupakan hasil kebudayaan yang mengandung makna penting menurut sejarah. Dinyatakan demikian karena dari karya sastra tersebut kita banyak bisa mengetahui gambaran sejarah dimasa lampau. Menurut waktu perkembangannya kesusasteraan kuno dapat dibagi menjadi beberapa zaman, diantaranya; kesusasteraan zaman Mataram (sekitar abad; 9 dan 10 Masehi), zaman Kediri (sekitar abad; 11 dan 12 Masehi), zaman Majapahit I (sekitar abad; 14 Masehi), dan zaman Majapahit II (sekitar abad; 15 dan 16 Masehi). Disebutkan terdapat dua zaman Majapahit karena adanya perbedaan bahasa yang digunakan pada kesusasteraan tersebut. Zaman Majapahit I menggunakan bahasa Jawa kuno, sedangkan zaman Majapahit II menggunakan bahasa Jawa tengahan. Sudah tentu masih banyak karya sastra yang belum terungkap sampai saat ini, oleh karena itu adalah tugas kita bersama (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 167).
Renungan Ågveda X. 156.45
“Agne nakûatram ajaram à sùrya rohayo divi, dadhaj jyotir janebhyaá agne ketur viúam asi preûþah srestah upasthasat bhodhà stotre bayo dadhat.
Terjemahan:
‘Ya Engkau yang bersinar, Engkau telah menciptakan matahari, bintang- bintang, bergerak di langit, menyinari manusia; Engkau yang bercahaya, menjadi pelita bagi manusia; sangat mulia dan tercintalah Engkau yang mendampingi kami; berkatilah penyanyi, berilah dia kehidupan yang baik’.
Referensi
Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015
Referensi
Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015
0 Response to "Kontribusi Kebudayaan Hindu dalam Pembangunan Nasional dan Parawisata Indonesia Menuju Era Globalisasi"
Post a Comment