Keyakinan dalam Agama Hindu dan Bagian-bagian Panca Sraddha Serta Contohnya
Tuesday, March 17, 2020
Add Comment
MUTIARAHINDU.COM - Agama adalah suatu kepercayaan dan keyakinan terhadap ajaran-ajaran suci yang terdapat pada kitab suci yang diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi. Agama Hindu memiliki tiga kerangka yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Sebagaimana halnya dengan tubuh manusia. Kepala tidak dapat dipisahkan dengan badan dan kaki, untuk membentuk tubuh manusia yang sempurna. Demikian pula dengan sebutir telur antara kulit, putih telur, dan kuning telur tdak dapat dipisahkan, untuk menjadi sempurna dan bisa menetas dengan baik.
Dalam ajaran Hindu dikenal Tiga Kerangka dasar yang menjadi keyakinan umat Hindu. Adapun tiga kerangka itu adalah :
- Tatwa adalah filsafat agama
- Susila adalah etika agama
- Upacara adalah ritual dalam agama
Ketiga kerangka ini harus dimiliki dan dilaksanakan oleh umat Hindu. Jika ajaran filsafat agama saja dipelajari tanpa melaksanakan etika dan upacara, tidaklah sempurna. Demikian pula sebaliknya, jika melaksanakan upacara tanpa memperhatikan dasar-dasar etika dan filsafat agama, juga tidak sempurna. Jadi ketiga-tiganya harus dilaksanakan dalam kehidupan umat Hindu agar hidup kita menjadi sempurna.
Selain ke tiga kerangka tadi, agama Hindu juga memiliki keyakinan yang sangat mendasar yang harus dipegang teguh oleh setiap umat Hindu. Setiap umat hendaklah memiliki keyakinan akan kebenaran isi kitab sucinya, tidak ada keragu-raguan, memahami, menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan. Dalam terjemahan salah satu seloka kitab suci Rg. Weda disebutkan:
"Api pengorbanan (persembahan) dinyalakan dengan keyakinan yang mantap (sraddha). Persembahan dihaturkan dengan keyakinan yang mantap (sraddha), yang memiliki nilai tertinggi dalam kemakmuran". (Rg. Weda X.151.1)
Dengan demikian, keyakinan itu sangatlah penting agar hidup kita makmur, sejahtera dan bahagia lahir batin, (Sumarni dan Raharjo, 2015:63).
Bagian-bagian Panca Sraddha
Dalam agama Hindu ada lima keyakinan yang harus dimiliki oleh setiap umat yaitu :
- Widhi Tattwa atau Widhi Sraddha, yaitu keyakinan terhadap adanya Sang Hyang Widhi dengan berbagai manifestasiNya.
- Atma Tattwa atau Atma Sraddha, yaitu keyakinan terhadap adanya Atma yang menghidupi semua makhluk.
- Karma phala Tattwa atau Kramaphala Sraddha, yaitu keyakinan terhadap kebenaran adanya hukum sebab akibat, atau hasil dari perbuatan.
- Punarbhawa Tattwa atau Punarbhawa Sraddha, yaitu keyakinan terhadap adanya kelahiran kembali.
- Moksa Tattwa atau Moksa Sraddha, yaitu keyakinan terhadap kebebasan yang tertinggi yakni bersatunya Atman dengan Brahman.
Kelima jenis keyakinan ini disebut Panca Sraddha, yang dipergunakan sebagai pedoman bagi umat Hindu di Indonesia sebagai pokok keimanan. Panca berarti lima, dan Sraddha berarti kepercayaan atau keyakinan. Jadi Panca Sradha artinya lima keyakinan atau kepercayaaan yang harus dimiliki oleh setiap umat Hindu, (Sumarni dan Raharjo, 2015:64).
Contoh bagian-bagian Panca Sraddha
#1. Contoh Keyakinan akan Keberadaan Sang Hyang Widhi (Widhi Tattwa)
Keyakinan terhadap Sang Hyang Widhi dalam ajaran Panca sradha disebut Widhi Tattwa atau Widhi Sradha. Kata Widhi berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya takdir, Sang Takdir, pencipta, Tuhan, ketuhanan dan perintah. Sedangkan tattwa artinya kebenaran, hakekat, kenyataan, filsafat dan sifat kodrati, (Sumarni dan Raharjo, 2015:65).
Jadi Widhi Tattwa adalah filsafat ketuhahan, yang mempelajari secara mendalam tentang Tuhan Yang Maha Esa atau Sang Hyang Widhi dengan berbagai manifestasinya. Weda mengajarkan bahwa Tuhan itu adalah Esa (tunggal) adanya, namun ia meliputi segalanya, dan memiliki banyak nama. Ia berada pada segala yang ada di dunia ini.
Dalam kitab suci Rg. Weda I.164.46 disebutkan:
"Ekam sad wiprah bahuda wadantyagnim yaman matarisvanam ahuh."
Terjamahan:
"satu itu (Tuhan) orang bijaksana menyebut dengan banyak nama seperti Agni, Yama, Matarisvan."
Sang Hyang Widhi adalah Dia yang Maha Kuasa, sebagai pencipta, pemelihara dan pemralina segala yang ada di alam semesta ini. Sang Hyang Widhi adalah asal mula dan kembalinya segala yang ada di alam semesta ini, maka ia disebut Sang Hyang Sangkan Paraning Dumadi. Dalam salah satu sloka kitab suci Bhagawadgita VII, 6 disebutkan :
"etadyonini bhūtāni,
sarvāni ‘ty upadhāraya,
ahaṁ krtsnasya jagataḥ,
prabhavaḥ pralayas tathāa"
Terjemahan:
"Ketahuilah bahwa semua makhluk ini asal kelahirannya di dalam alam-Ku ini. Aku adalah asal mula dari dunia ini dan juga kehancurannya (pralaya)", (I.B Mantra, 1992:116).
Karena kemahakuasaannya Ia dapat berada di mana-mana sebagai pelindung yang agung dari semua ciptaannya. Maka dari itu sudah merupakan kewajiban bagi umat manusia untuk selalu sujud bakti kepada-Nya, meyakini keberadaan-Nya, melaksanakan semua petunjuk kitab suci Weda, (Sumarni dan Raharjo, 2015:66).
Seseorang yang terus menerus memuja Tuhan dengan sungguh-sungguh dia akan memperoleh kebahagian hidup. Seperti yang disebutkan dalam Bhagwadgita VII,17 sebagai berikut:
"teṣām jῆāni nityayukta,
ekabhaktir viśiṣyate,
priyo hi jῆānino ‘tyartham,
ahaṁ sa ca mama priah".
Terjemahan:
"Diantara ini orang yang bijaksana, yang selalu terus menerus bersatu dengan Hyang Suci, kebaktiannya hanya terpusat satu arah (Tuhan) adalah yang terbaik. Sebab Aku kasih sekali kepadanya dan dia kasih pada-Ku", (I.B Mantra, 1992:121 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:67).
Meyakini Keberadaan Sang Hyang Widhi melalui Tri Pramana
Seseorang dapat meyakini keberadaan Sang Hyang Wdhi secara mendalam, dapat dilakukan melalui ajaran Tri Pramana yaitu Agama (Sabda) Pramana, Anumana, Pramana, dan Prtyaksa Pramana. Dengan Agama (sabda) Pramana seseorang dapat meyakini adanya Sang Hyang Widhi melalui kesaksian yang disampaikan dalam kitab suci Weda, (Sumarni dan Raharjo, 2015:67).
Apa yang disampaikan dalam kitab Weda itulah yang benar tidak perlu diragukan lagi. Disamping itu Agama Pramana juga mengajarkan seseorang meyakini adanya Tuhan melalui mendengar cerita-cerita yang disampaikan oleh orang-orang suci yang dipercaya tahu tentang Tuhan melalui penglihatan batinnya. Semua itu hendaklah dipercaya tanpa ada keraguan lagi.
Seseorang dapat meyakini adanya Tuhan dengan Anumana Pramana melalui suatu analisa yang logis dan sistematis terhadap segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Bila kita melihat adanya matahari, bulan, bintang, planet-planet, dan semua yang ada di alam ini tentu ada yang mencipta dan mengaturnya. Semua itu tidak mungkin ada, tanpa ada yang mencipakannya. Dan pada akhirnya timbulah kesimpulan bahwa semua itu diciptakan oleh Tuhan yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi).
Meyakini keberadaan Sang Hyang Widhi melalui Pratyaksa Pramana yaitu seseorang akan dapat meyakini adanya Tuhan dengan merasakan dan mengalaminya secara langsung. Hal ini dialami oleh para Rsi atau Maha Yogin yang sudah sempurna. Tuhan akan menampakkan dirinya kepada mereka yang menyampaikan sabdanya untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, (Sumarni dan Raharjo, 2015:68).
2. Contoh Keyakinan akan Atma (Atma Tatwa)
Kata Atma berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti jiwa atau roh. Atma adalah percikan-percikan kecil dari Parama Atma (Sang Hyang Widhi) yang berada dalam tubuh makhluk. Atma yang berada dalam tubuh manusia disebut jiwAtma. JiwAtmalah yang menghidupi tubuh manusia dan makhluk lainnya. Bila Atma meninggalkan tubuh, maka tubuh akan mati. Indra manusia tidak dapat bekerja tanpa ada Atma. Mata tidak dapat melihat tanpa adanya Atma. Lidah tidak dapat merasakan rasa jika tidak ada Atma. Kulit tak dapat merasakan rasa sentuhan, dan semua tidak dapat berfungsi bila tidak ada Atma. Bila seseorang sudah memasuki usia tua maka satu persattu indranya akan mati, seperti kuping menjadi tuli, rambut menjadi putih, mata tidak dapat melihat dengan jelas, tetapi tubuhnya masih hidup karena Atma masih bersemayam dalam tubuhnya. Tetapi bila Atma sudah tidak bersemayam lagi dalam tubuh manusia maka manusia akan mati. Bila badan terpisah dengan jiwAtma pada saat manusia mati, hanya badanlah yang hancur, tetapi jiwAtma tidak mati, ia akan mengalami surga dan neraka sesuai dengan baik buruk perbuatannya. JiwAtma juga tidak selama-lamanya di sana, ia akan mengalami kelahiran kembali dengan mengambil wujud sesuai dengan perbuatannya, (Sumarni dan Raharjo, 2015:69).
Sesungguhnya pada hakekatnya Parama Atma dan JiwAtma adalah satu adanya. Hal ini disebutkan dalam kitab Upanishad, “Brahma Atma aikyam” yang artinya bahwa Brahma dan Atma itu satu adanya. Parama Atma adalah sumber dan berakhirnya segala yang ada di alam semesta ini. Dalam kitab Bhagawadgita X. 20 disebutkan:
"aham ātmā gudākeśa,
sarvabhūtāśyasthitaḥ,
aham ādiś ca madyaṁ ca,
bhūtānām anta eva ca".
Terjemahan:
"O, Arjuna, Aku adalah Atma yang menetap dalam hati semua makhluk, aku adalah permulaan, pertengahan dan akhir dari semua makhluk"., (I.B Mantra, 1992:264 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:70).
Ia dapat mengatasi pengaruh maya, sehingga dia tidak pernah lupa. Sedangkan JiwAtma pada dasarnya adalah suci, tetapi setelah bersatu dengan tubuh makhluk ia mengalami awidya, ia melupakan sifat aslinya, ia terpengaruh oleh sifat-sifat tubuh yang dihidupinya. Atma itu tetap sempurna, tetapi manusia itu sendiri tidaklah sempurna, karena manusia lahir dalam keadaan awidya. Manusia tidak luput dari hukum kematian, dan Atma tidak akan mati. Dalam kitab Bhagawadgita II.20 disebutkan:
"na jāyate mriyate vā kadācin,
nā’ yaṁ bhūtvā vā na bhūyah,
ajo nityah sāsvato’yaṁ purāno,
na hanyamāne śarire"
Terjemahan:
"Ia tidak pernah lahir pun tidak pernah mati kapanpun, pun tidak pernah muncul dan lagi tidak pernah menghilang. Ia adalah tidak mengenal kelahiran, kekal, abadi dan selalu ada. Ia tidak dapat dibunuh bila badan dibunuh," (I.B Mantra, 1992:23)
Dengan demikian Atma tidak akan mati walaupun manusia telah mati, karena Atma pada hakekatnya adalah sempurna. Adapun sifat-sifat Atma, sesuai dengan yang disebutkan dalam kitab Bhagawadgita adalah sebagai berikut:
Dalam terjemahan seloka Bhagawadgita II.24 disebutkan sebagai berikut:
"acchedyayam adāhyo yam,
akledyo’śoṣya eva ca,
nityah sarvagatah sthānur,
acalo’yam sanātanaḥ"
Terjemahan:
"Ia tidak dapat dipotong, ia tidak dapat dibakar, ia tidak dapat dibasahi maupun dikeringkan. Ia abadi, berada di mana-mana, tidak berobah dan bergerak. Ia adalah selalu sama," (I.B Mantra, 1992:24)
"avyato’yam acintyo’yam,
avikāryo’yam ucyate,
tasmād evaṁ viditvai’naṁ,
nā’nuśocitum arhasi", ( Bhagawadgita, II. 25).
Terjemahan:
"Ia dikatakan tidak terwujud, tidak terpikirkan, tidak berobah. Oleh karena itu, mengetahui Ia demikian, engkau seharusnya tidak bersedih hati," (I.B Mantra, 1992:24).
Dengan demikian pada saat jiwAtma terpisah dengan badan pada saat manusia mati, janganlah bersedih, karena jiwAtma tetap hidup, ia akan mengalami sorga dan neraka, dan akan lahir kembali kedunia dengan wujud sesuai dengan karma phalanya, (Sumarni dan Raharjo, 2015:72).
3. Contoh Keyakinan akan Karma Phala
Karma Phala berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari kata “Karma” yang artinya perbuatan, dan “Phala” yang artinya buah atau hasil. Jadi Karma Phala artinya hasil dari perbuatan seseorang. Manusia hidup selalu berbuat, karena berbuat atau bekerja adalah kodrat manusia didorong oleh kekuatan alam. Dalam terjemahan seloka kitab suci Bhagawadhita III. 5 disebutkan sebagai berikut:
"na hi kaścit kṣanam api,
jātu tiṣṭhaty akarmakṛṭ,
kāryate hy avaśah karma,
sarvah prakṛtijairguṇaiḥ"
Terjemahan:
"Sebab siapun tidak akan dapat tinggal diam, meskipun dengan sekejap mata, tanpa melakukan pekerjaan. Tiap-tiap orang digerakkan oleh dorongan alamnya, dengan tidak berdaya apa-apa lagi", (I.B Mntra, 1992:11)
"niyataṁ kuru karma tvaṁ,
karmajyāyo hy akarmaṇaḥ,
śarirayātrā’pi ca te,
na prasi dhyed akarmaṇaḥ", (Bhagawadgita, III.8)
Terjemahan:
"Lakukanlah pekerjaan yang diberikan padamu, karena melakukan perbuatan itu lebih baik sifatnya dari pada tidak melakukan apa-apa. Sebagai juga untuk memelihara badanmu, tidak akan mungkin jika engkau tidak bekerja", (I.B Mantra, 1992:42 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:74).
Disadari atau tidak perbuatan itu pasti mempunyai akibat. Semua aktivitas yang kita lakukan baik berupa pikiran, perkataan, maupun perbuatan pasti mendatangkan akibat atau hasil. Baik buruk perbuatan itu ditentukan oleh hasil yang ditimbulkan. Akibat dari perbuatan itu ada yang menyebabkan orang lain senang, dan ada juga yang menyebabkan orang lain susah atau marah. Kita percaya bahwa perbuatan yang baik akan membawa hasil yang baik. Demikian pula sebaliknya perbuatan yang buruk mendatangkan hasil yang buruk. Akibat yang baik akan memberikan kesenangan dan kebahagiaan, misalnya lahir dalam keluarga yang rukun, lahir dengan wajah rupawan, lahir menjadi anak pintar dan dihormati. Sebaliknya akibat yang buruk akan memberikan kesusahan dan kesengsaraan, misalnya lahir di keluarga yang selalu kesusahan, miskin, sengsara, cacat, buruk rupa dan lain-lain.
Perbuatan baik mendatangkan hasil yang baik, perbuatan buruk mendatangkan hasil yang buruk.
Di suatu desa hiduplah seorang janda dengan dua orang anak perempuan, yang satu bernama Putri, dan yang satunya bernama Murti. Sifat ke dua anak ini sangat berbeda. Putri adalah seorang anak yang baik, rajin bekerja dan penurut. Sedangkan Murti adalah anak yang malas, pesolek, culas, dan suka memfitnah, (Sumarni dan Raharjo, 2015:75).
Pada suatu hari mereka diberi tugas oleh ibunya untuk menumbuk padi, dari menjemur sampai menjadi beras. Ibunya pergi ke pasar untuk menjual hasil kebunnya. Putri dari pagi sudah bekerja memasak, mencuci piring, dan mencuci pakaian. Sedangkan Murti diam saja, hanya mengaca, bersolek, dan bermalas-malasan. Setiap disuruh bekerja dia selalu menolak. Sampai selesai Putri menumbuk padi dan sudah menjadi beras, Murti tidak mau membantu. Setelah selesai menumbuk padi, Putri pergi ke sungai mandi sambil mencuci. Setelah Putri pergi mandi, Murti mengotori badannya dengan dedak di tempat Putri menumbuk padi. Sesampai ibunya di rumah sepulang dari pasar, Murti mengatakan kepada ibunya bahwa dialah yang bekerja dari tadi, sedangkan Putri hanya malas-malasan, dan bersolek saja tidak mau membantu. Ibunya terkejut mendengar dan marah. Sepulang dari mandi Putri dimarahi oleh ibunya, dan disuruh pergi dari rumah. Murti sangat senang hatinya melihat Putri dimarahi oleh ibunya. Putri menangis sedih. Walaupun dia tahu dirinya difitnah oleh saudaranya, tetapi Putri tidak melawan, justru dia mengikuti apa kata ibunya. Putri lalu pergi dari rumah dengan hati sedih. Dia berjalan tidak tentu arah. Dalam perjalanan dia selalu berdoa kepada Tuhan supaya dianugerahi keselamatan, dan dia juga mendoakan ibu dan saudaranya hidup bahagia di rumah.
Diceritakan perjalanan Putri sampai di sebuah hutan. Di bawah pohon Putri duduk beristirahat sambil menangis dan menahan rasa laparnya. Tiba-tiba datanglah seekor burung memberikan hadiah emas dan permata yang banyak kepada Putri. Burung itu berpesan jika Putri pulang jangan pulang ke rumah ibunya, sebaiknya Putri pulang ke rumah neneknya di desa. Akhirnya Putri pulang ke rumah neneknya sesuai pesan si burung tadi.
Diceritakan akhirnya Murti mendengar berita bahwa Putri tinggal di rumah neneknya hidup bahagia dan kaya raya. Murti datang ke rumah neneknya untuk minta sebagian kekayaan Putri, tapi Putri tidak memberikannya. Pulanglah Murti dengan hati kecewa. Sesampainya di rumah dia berkata,” Ibu pukullah aku, marahilah aku, aku akan pergi ke hutan agar aku mendapat kekayan seperti Putri.” Ibunya memukul Murti, dan memarahinya. Murti merobek-robek pakaiannya, dan mengotori dengan lumpur, lalu pergi ke dalam hutan pura-pura menangis. Datanglah seekor burung mendekatinya. Murti sangat senang dalam hatinya, karena yakin akan diberi hadiah oleh burung itu sama seperti Putri. Burung itu berkata,” Aku akan berikan hadiah kepadamu, pejamkanlah matamu.” Dengan senang hati Murti memejamkan matanya, berharap akan mendapatkan kekayaan yang berlimpah. Burung itu lalu mematuk badan Murti dan menghadiahi semua binatang yang berbisa, seperti ular, lipan, kalajengking, tawon dan lain-lain. Sekarang bukalah matamu, “kata burung itu.” Setelah Murti membuka matanya, betapa terkejutnya dia karena semua binatang berbisa itu menyengat tubuhnya. Dia menangis sejadi-jadinya, tetapi tidak ada yang menolongnya. Ampun, ampun maafkan aku, aku berdosa,” demikian katanya sambil menangis.” Lama kelamaan bisa binatang itu masuk dan menggerogoti tubuhnya, akhirnya Murti meninggal dunia. Demikianlah upah orang yang selalu berbuat buruk menyebabkan orang lain susah dan sengsara, (Sumarni dan Raharjo, 2015:76).
Kita berhak membuat hidup kita yang akan datang bahagia
Hukum Karma phala tidak menyebabkan kita putus asa dan menyerah pada nasib, melainkan hukum Karma phala merupakan suatu hal yang positif dan dinamis. Kita harus menyadari bahwa penderitaan yang kita alami sekarang adalah sebagai akibat perbuatan kita terdahulu. Penderitaan itu suatu saat pasti akan berakhir, dan diganti dengan kebahagiaan. Kita berhak membuat hidup kita mendatang bahagia, dengan selalu berbuat baik walaupun dalam keadaan menderita. Perbuatan yang baik sekarang pasti akan mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan di masa yang akan datang, karena hukum Karma phala itu ada tiga macamnya yaitu :
Dengan demikian kita tidak perlu menyesal dan sedih akan penderitaan yang kita terima dalam kehidupan sekarang ini, karena itu sudah merupakan hukum yang harus kita terima sebagai akibat perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu. Kebahagiaaan hidup sekarang maupun yang akan datang kita sendiri yang menentukan, asalkan kita selalu berbuat baik dalam keadaan menderita maupun dalam keadaan beruntung. Kita juga tidak boleh lupa untuk selalu sujud bakti kepada Sang Hyang Widhi, karena Ia lah yang menentukan phala dari karma yang telah kita perbuat, macam phala dan kapan memetiknya semua ditentukan oleh Sang Hyang Widhi. Kita hendaknya menggunakan kesempatan pada hidup yang sekarang ini untuk berbuat baik agar hidup kita bahagia di masa yang akan datang. Dalam terjemahan seloka kitab suci Sarasamuscaya 4 disebutkan sebagai berikut :
"Apan ikang dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wenang ua tumulung awaknya sangkenga sangsara, makasadhananing cubhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika".
Terjemahan:
"Sebab menjadi manusia sungguh utama juga, karena itu, ia dapat menolong dirinya dari keadaan samsara dengan jalan karma yang baik, demikian keistimewaan menjadi manusia", (Kajeng, 1997:11)
"Ikang tang janma wwang, ksanikaswabhawa ta ya, ta pahi lawan kedapning kilat, durlabha towi, matangyan pongakenaya ri kagawayaning dharmasadhana, makasarananing manacanang sangsara, swargaphala kunang", (Sarasamuscaya, 9)
Terjemahan:
"Menjelama menjadi manusia itu, sebentar sifatnya, tak beda dengan kerdipan petir, sungguh sulit, karenanya pergunakanlah itu untuk melakukan dharma sadhana yang menyebabkan musnahnya penderitaan, surgalah pahalanya itu", (Kajeng, 1997:14 dalam (Sumarni dan Raharjo, 2015:78).
4. Contoh Keyakinan akan Punarbhawa
Sradha yang ke empat dari agama Hindu adalah percaya adanya Punarbhawa, yaitu kelahiran yang berulang-ulang dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain. Secara rasio sangat sulit dibuktikan Punarbhawa itu, karena berada di luar batas pemikiran kita. Oleh karena itu ajaran Punarbhawa itu harus diyakini dengan keimanan.
Kelahiran yang berulang-ulang di dunia ini menimbulkan suka dan duka. Adanya kelahiran berulang-ulang disebabkan karena JiwAtma masih dipengaruhi oleh kenikmatan duniawi, dan kematian selalu diikuti oleh kelahiran, demikian sebaliknya kelahiran selalu diikuti oleh kematian.
Kelahiran, hidup dan mati secara berulang-ulang sesungguhnya itu adalah penderitaan, yang disebabkan oleh perbuatan kita pada kehidupan terdahulu. Karma atau perbuatan yang kita lakukan terdahulu akan menimbulkan bekas (wasana) yang melekat pada badan astral (jiwAtma), dan inilah yang menimbulkan adanya Punarbhawa. Jika bekas-bekas itu adalah keduniawian misalnya kemewahan, dendam dan yang lainnya maka jiwAtma akan gampang ditarik oleh hal-hal duniawi itu, dan jiwAtma mengalami kelahiran kembali. Simak cerita di bawah ini:
Ikatan keduniawian menimbulkan Punarbhawa
Setelah Bhisma memenangkan sayembara maka dia menyerahkan Dewi Amba dan Dewi Ambika kepada Citrangada, dan Dewi Ambalika kepada Citrawrya. Dewi Amba menolak diserahkaan kepada Citrangada, karena Bhismalah yang memenangkan sayembara, maka Bhismalah yang berhak mengambilnya menjadi istri. Tetapi Bhisma menolak, dan menjelaskan bahwa ia telah bersumpah sukla brahmacari. Dia menyarankan Dewi Amba untuk memilih salah satu dari adiknya. Dewi Amba tetap menolak memilih salah satu adik Bhisma, dan bersikeras menuntut Bisma untuk mengawininya.
Bhisma berusaha menghindar dari Dewi Amba, maka Bhisma dengan sembunyi-sembunyi pergi ke luar kota dan bersembunyi di pertapaan Bhagawan Parasu Rama. Dewi Amba akhirnya berhasil menemukan jejak Bhisma di pertapaan Bhagawan Parasu Rama. Dewi Amba menjelaskan kepada Bhagawan Parasu Rama mengapa dia mengejar Bhisma. Setelah mendengar penjelasan Dewi Amba, lalu Bhagawan Parasu Rama menyarankan Bhisma memenuhi keinginan Dewi Amba. Bhisma menolak saran tersebut. Karena Bhisma menolak, Bhagwan Parasu Rama marah dan menyuruh Bhisma pergi dari pasramannya, (Sumarni dan Raharjo, 2015:80).
Bhisma lalu pergi dari pasraman, Dewi Amba terus mengikutinya. Iapun membentangkan panahnya ke arah Dewi Amba dengan maksud menakut-nakuti, namun Sang Dewi tidak bisa ditakut-takuti. Karena terlalu lama memegang panah, tangan Bhisma menjadi berkeringat, tanpa sengaja terlepaslah panahnya mengenai dada Dewi Amba. Sebelum meninggal Dewi Amba sempat berkata, “ Kanda Bhisma, demi cinta saya kepada kakanda saya selalu mengikuti kakanda, namun kakanda malah membunuh saya. Pada penjelmaan saya yang akan datang, saya akan menuntut balas membunuh kakanda.” Dewi Amba menjelma menjadi Srikandi, dan pada perang Bharata Yudha dia bersama Arjuna berhasil membunuh Bhisma. Jadi Dewi Amba mengalami kelahiran yang berulang karena ditarik oleh kekuatan duniawi yaitu rasa dendamnya kepada Bhisma.
Punarbhawa sesungguhnya adalah merupakan pergantian badan yang lama ke badan yang baru bagi Atma yang dialaminya dari kehidupan yang lain. Dalam terjemahan seloka Bhagawadgita II.22 disebutkan sebagai berikut :
"vāsāmsi jirnani yathā wihāya,
navāni grhnati naro’parāni,
tathā sarirani vihāya ‘jirnany,
ānyani samyati navāni dehi"
Terjemahan:
"Sebagaimana seseorang melemparkan bajunya yang sudah robek, dan memakai yang baru lainnya, demikian juga keadaan jiwa sejati, JiwAtma membuang badan yang telah hancur dan mengambil yang lainnya," (I.B Mantra, 1992:23 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:81).
"sribhagavan uvaca:
bahūni me vyantitāni,
janmāni tava ca ‘rjuna’
tany ahaṁ veda sarvāni,
na tvam vitha paramtapa", ( Bhagawadgita, IV.5)
Terjemahan:
"Banyak kehidupan yang Ku-telah jalani dan demikian pula engkau, O, Arjuna. Semua kelahiran itu Aku ketahui, tetapi engkau tidak mengetahuinya, O, Arjuna," (I.B Mantra, 1992:61)
Semua orang sudah mengalami kelahiran yang berulang-ulang, tetapi mereka tidak mengetahui karena gelap/lupa diri (awidya). Misalnya sorang bayi yang sejak baru lahir telah bisa menyusu pada ibunya tanpa dilatih, itu suatu pertanda bahwa dia telah memiliki pengalaman pada kelahirannya terdahulu. Adanya kelahiran manusia yang dalam kelahirannya sekarang memiliki kegemaran yang berbeda-beda, itu pertanda bahwa mereka telah memiliki pengalaman-pengalaman tentang kegemarannya itu pada kehidupannya yang sudah-sudah, tetapi mereka tidak mengingatnya karena Awidya. Hanya Tuhanlah yang mengetahui kelahiran yang berulang-ulang itu. Dalam agama Hindu Tuhan juga dikatakan mengalami kelahiran yang berulang-ulang. Kelahiran Tuhan secara berulang-ulang disebut Awatara. Tujuannya adalah untuk menegakkan Dharma di dunia ini. Dalam terjemahan seloka kitab Bhagawadgita disebutkan sebagai berikut:
"ajo ‘pi sann avyayātmā,
bhūtānām iśvaro ‘pi san,
prakṛtim svām adhiṣṭāya,
sambhavāmy ātmamāyayā", (Bhagawadgita, IV. 6)
Terjemahan:
"Meskipun Aku-tidak terlahirkan, dan sifat Ku kekal dan menjadi Iswara dari segala makhluk akan tetapi Aku, dengan memegang teguh pada sifat-Ku, Aku datang menjelma dengan jalan maya-Ku",
(I.B Mantra, 1992:61 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:82).
"yadā-yadā hi dharmasya,
glānir bhavati bhārata,
abhyutthānam adharnmsya,
tadā ‘tmānaṁ sṛjāmy aham", ( Bhagawadgita, IV.7).
Terjemahan:
"O,Bharata, bilamana dharma di dunia ini hilang, dan adharma makin menguasai dunia, pada waktu itu Aku menjelmakan diri-Ku," (I.B.Mantra, 1992:62)
"paritrānāya sādhūnaṁ,
vināsāya ca duṣkṛtāma,
dharmasaṁsthāpanarthāya,
sambhavāmi yuge-yuge," (Bhagawadgita, IV.8)
Terjemahan:
"Untuk memberi perlindungan kepada yang baik, dan membasmi yang jahat dan untuk membangkitkan perasaan keadilan dan kebaikan Aku menjelma pada tiap-tiap jaman," (I.B Mantra, 1992:63)
Sedangkan tujuan manusia mengalami kelahiran yang berulang-ulang adalah untuk memperbaiki karmanya agar dapat menyatu dengan asalnya yaitu Tuhan. Dalam kelahiran yang berulang-ulang Atma memilih tubuh yang berbeda-beda sesuai dengan karmanya, sehingga terjadilah keadaan berbeda pada setiap kelahiran ke kelahiran yang lainnya. Bila kita amati kehidupan manusia di dunia ini, maka akan terlihat perbedaan-perbedaan kehidupan diantara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Misalnya, ada yang lahir dalam keadaan cacat jasmaninya, ada yang lahir dengan keadaan jasmani dan rohani yang sempurna, ada yang lahir penuh penderitaan dalam hidupnya, ada yang lahir dipenuhi dengan kemewahan, cantik rupawan, dan berkuasa. Semua itu ditentukan oleh karmanya sendiri, (Sumarni dan Raharjo, 2015:83).
Dalam terjemahan seloka kitab suci Sarasamuscaya 22 disebutkan sebagai berikut:
"Kunang ikang wwang gumaway ikang cubhakarma, janmanyan sangke ring wsarga delaha, litu hayu maguna, syjanma sugih, mawirya, phalaning cubhakarmawasana tinemunya".
Terjemahan:
"Adapun orang berbuat baik, kelahiran dari surga kelak menjelma menjadi orang yang rupawan, gunawan, muliawan, hartawan dan berkuasa, pahala dari perbuatan baik yang diperolehnya", (Kajeng, 1997 :19).
Adanya perbedaan-perbedaan kehidupan manusia yang lahir ke dunia ini bukanlah karena suatu kebetulan, bukan karena keturunan, bukan karena pengaruh pendidikan, melainkan karena faktor karma yang dilakukan pada masa hidupnya yang lampau. Bakat dan pembawaan yang dimiliki pada kelahiran yang sekarang adalah merupakan pengalaman pada masa kelahirannya terdahulu. Hal ini menunjukkan tentu ada kelahiran sebelumnya, kelahiran sekarang, kelahiran masa yang akan datang. Kelahiran yang sekarang akan menjadi masa lampau pada kelahiran yang akan datang. Jadi dengan demikian jelaslah bahwa Punarbhawa itu ada dan harus diyakini oleh umat Hindu berdasarkan keimanan, (Sumarni dan Raharjo, 2015:84).
5. Contoh Keyakinan akan Moksa
Moksa merupakan sraddha yang kelima dalam agama Hindu. Moksa adalah tujuan terakhir yang ingin dicapai oleh umat Hindu. Dalam kitab suci disebutkan, “Moksartham jagadhita ya ca iti dharmah” Yang artinya tujuan dari agama (dharma) adalah untuk mencapai Moksa (mokartham), dan kesejahteraan umat manusia (jagadhita).
Kata “Moksa” berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya kebebasan dari ikatan keduniawian, bebas dari karmaphala, bebas dari penderitaan, bebas dari punarbhawa, dan akhirnya Atma menyatu dengan Tuhan. Ia tidak mengalami kelahiran kembali, ia bebas dari belengggu maya. Jadi Moksa adalah bersatunya Atma dengan Brahman (Tuhan), suka tanpa wali duka. Moksa bukan saja dapat dicapai ketika manusia mengakhiri hidupnya di dunia ini ( meninggal ), tetapi Moksa juga dapat dicapai di dunia ini ketika manusia masih hidup, namanya Jiwan mukti yaitu Moksa semasih hidup. Jiwan Mukti ini tercapai bila sudah bebas dari ikatan keduniawian. Dia tidak merasa senang dengan mendapatkan kesenangan, demikan juga dia tidak merasa susah dengan mendapatkan kesusahan. Semua itu diterima dengan rasa bersyukur, (Sumarni dan Raharjo, 2015:85).
Apapun yang dimiliki, apapun yang diterima, dia tetap menikmatinya dengan senang hati, dia tidak pernah menyesali, dia dapat menahan keinginan dan kemarahan, dia adalah orang yang bahagia, seperti bahagianya seorang anak ketika mendapat hadiah dari orang tuanya. Itulah Jiwan Mukti yaitu moksa yang dicapai ketika masih hidup.
Bila seseorang telah dapat melepaskan jiwanya dari keterikatan dengan obyek-obyek keduniawian, dia hanya menemukan kesenangan di dalam Atmanya. Orang yang demikian itulah yang dapat manunggal (menyatu) dengan Tuhan, merasakan kebahagiaan terus menerus tanpa wali duka. Dalam kitab suci Bhagawadita disebutkan sebagai berikut :
"bāhyasparśesv asaktātma,
ātmani yat sukham,
sa brahmayogayuktātmā,
sukham akṣayam aśnute," (Bhagawadgita, V.21)
Terjemahan:
"Bilamana jiwa tidak lagi terikat oleh hubungan dari luar (obyek-obyek) orang mendapat kesenangan yang ada di dalam Atma. Orang yang demikian itu yang manunggal dengan Tuhan merasai kebahagiaan yang tak padam-padam," (I.B Mantra, 1992:89)
"yo ‘ntahsukho ‘natarārāmas,
tathā‘ntarjyotir eva yah,
sa yogi brahmanirvānaṁ,
brahmabhūto ‘dhigacchati," (Bhagawadgita, V.24)
Terjemahan:
"Ia yang menemui kesenangannya, kebahagiaannya dan begitu juga sinarnya hanya dalam batin, sucilah yogin itu dan mencapai panunggalan dengan Tuhan (Brahmanirwana)," (I.B Mantra. 1992 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:86).
Memperhatikan uraian seloka di atas, dapat disimpulkan bahwa Moksa itu dapat dicapai setelah manusia itu meninggalkan dunia ini, hanya dapat dicapai oleh seseorang yang batinnya sudah sempurna, yaitu seorang yogin. Dalam kitab suci ada disebutkan seloka sebagai berikut :
"Seorang yogin yang bebas dari segala noda dan dapat mengendalikan pikirannya, adalah sudah dapat mencapai kebahagiaan yang tertinggi, yaitu bersatu dengan Tuhan," (Swami Vireswarananda. Hal.197).
Jalan untuk mencapai Moksa
Sesungguhnya banyak ada jalan untuk mencapai Moksa, tetapi dengan menyucikan pikiran, dengan menentramkan pikiran, sesungguhnya kita telah memberi pegangan kepada diri kita untuk mencapai Moksa. Seperti yang disebutkan dalam terjemahan salah satu seloka kitab suci Sarasamuscaya sebagai berikut :
"Ana mangkana purih niking janma, kinawacakening kala, sangsara swabhawanya, haywa ta pramada, pahahening ikang buddhi, heneben, wehen rumegepang moksamarga", ( Sarasamuscaya, 348)
Terjemahan
"Dengan demikian keadaannya, menjadi manusia dikuasai oleh waktu, sengsara sebagai sifatnya, janganlah engkau lalai, sucikanlah pikiran itu, tentramkan, berilah pegangan jalan mencapai Moksa," (Kajeng, 1997 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:87).
Dalam agama Hindu disebutkan ada empat cara untuk mencapai kesatuan dengan Sang Hyang Widhi yang disebut Catur Marga atau Catur Yoga terdiri dari:
1. Bhakti Marga,
Bhakti Marga yaitu cara atau jalan untuk menghubungkan diri Tuhan beserta manifestasinya, dengan cara sujud bhakti, menyucikan pikiran, mengagungkan kebesaran-Nya dan menghindarkan diri dari perbuatan tercela. Seseorang yang menempuh jalan Bhakti Marga dia melakukan sujud bakti kepada Tuhan atas dasar kecintaan yang suci murni serta tulus ikhlas. Segala tingkah lakunya akan menunjukkan sikap cinta kasih dan kasih sayang kepada semua makhluk. Terlebih lagi terhadap sesama manusia. Jalan Bhakti Marga ini mudah ditempuh oleh semua kalangan baik orang miskin, pedagang atau pejabat bisa menempuh jalan ini. Dalam terjemahan salah satu seloka kitab Bhagawadgita disebutkan sebagai berikut:
"bhaktyā māṁ abhijanati,
yāyān yaś ca ‘smi tattvataḥ,
tato māṁ tttvato jῆātvā,
viśate tadanantaram", (Bhagawadgita, XVIII.55)
Terjemahan:
"Dengan jalan bakti ia mengetahui Aku, siapa dan bagaimana Aku sebenarnya, dan setelah mengetahui Aku sebenarnya ia seketika manunggal dengan Aku," (I.B Mantra, 1992:251)
2. Karma Marga,
Karma Marga yaitu cara atau jalan untuk mencapai persatuan dengan Tuhan dengan jalan ditekankan pada pengabdian yang berwujud kerja tanpa pamerih untuk kepentingan diri sendiri. Seseorang yang berkerja tanpa terikat oleh hasilnya dia akan mendapatkan kesempurnaan. Bila seseorang terikat oleh hasil kerjanya, dia bekerja hanya untuk kemasyuran dan kemewahan, yang dapat menimbulkan kesombongan dan keangkuhan. Seseorang seperti itu tidak akan mencapai kesempurnaan, (Sumarni dan Raharjo, 2015:88).
Dalam terjemahan salah satu seloka kitab Bhagawadgita III.19 disebutkan sebagai berikut :
"tasmādasaktah satataṁ,
kāryaṁ karma samācara,
asakto hy ācaran karma,
param āpnoti pūruṣaḥ".
Terjemahan:
"Dari itu bekerjalah kamu selalu yang harus dilakukan dengan tiada terikat olehnya, karena orang mendapat tujuannya tertinggi dengan melakukan pekerjaan yang tak terikat olehnya," (I.B Mantra, 1992:47)
3. Jnana Marga
Jnana Marga, yaitu cara/jalan untuk mencapai persatuan dengan Tuhan berdasarkan atas pengetahuan atau kebijaksanaan terutama mengenai kebenaran dan pembebasan diri dari ikatan–ikatan keduniawian. Dengan pengetahuan dan kebijaksanaan mereka akan mencapai dharma yang dapat memberikan kebahagiaan lahir dan batin dalam kehidupannya yang sekarang, di akhirat dan di dalam penjelmaannya yang akan datang.
Dalam terjemahan salah satu seloka kitab Bhagawadgita IV.39 disebutkan sebagai berikut:
"śraddhāvaṁ labhate jῆānaṁ,
tatparah saṁyatendriyah,
jῆānam labdhvā param sāntim,
acireṇā’ dhigcchati".
Terjemahan:
"Ia yang mempunyai kepercayaan, yang memusatkan dirinya kepadanya (pengetahuan), dan yang menaklukkan indrianya akan mendapat kebijaksanaan. Dan setelah mendapat kebijaksanaan, ia segera akan mencapai puncak ketenangan," (I.B Mantra.1992:78 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:89).
4. Raja Marga
Raja Marga, yaitu cara atau jalan untuk mencapai persatuan dengan Tuhan dengan cara pengendalian pikiran dan konsentrasi, melalui latihan-latihan yang teratur dan berkelanjutan. Mengendalikan pikiran amatlah sulit, karena pikiran tidak mengenal jarak, geraknya amat cepat lebih cepat dari angin, maka cara yang terbaik untuk mengendalikan pikiran adalah dengan cara konsentrasi (pemusatan pikiran) melalui latihan terus menerus.
Dalam terjemahan salah satu seloka kitab Bhagawadgita XVIII.57 disebutkan sebagai berikut:
"cetasā sarvakarmāni,
mayi samnyasya matparah, b
uddhiyogam upāśritya,
maccittaḥ satataṁ bhava,".
Terjemahan:
"Menyerahkan dalam pikiran semua perbuatan pada-Ku, memandang aku sebagai Yang Maha Tinggi, menyerahkan kepada ketetapan dalam pengertian, pusatkanlah pikiranmu selalu padaku,"(I.B Mantra, 1992:251).
Demikianlah empat jalan untuk mencapai persatuan dengan Tuhan (Moksa). Semua jalan itu telah diatur dan disesuaikan dengan kepribadian, watak dan kesanggupan manusia untuk menjalankannya. Ke empat jalan ini semua sama tidak ada yang lebih rendah, atau lebih tinggi. Semua adalah utama tergantung pada kemampuan dan bakat masing-masing. Asalkan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh keyakinan semua akan dapat mencapai tujuan yaitu Moksa.
Dalan terjemahan salah satu seloka kitab Bhagawadgita IV.11 disebutkan :
"ye yathā māṁ prapadyante,
tāṁs tathai ‘va bhajāmy aham,
mama vartmā ‘nuvartante,
manuṣyāḥ pārtha savaśaḥ," (Sumarni dan Raharjo, 2015:90).
Terjemahan:
"Dengan jalan bagaimanapun orang-orang mendekati dengan jalan yang sama juga Aku memenuhi keinginan mereka. Melalui banyak jalan manusia mengikuti jalan-Ku, O, Partha," (I.B Mantra, 1992:65 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:91).
"etadyonini bhūtāni,
sarvāni ‘ty upadhāraya,
ahaṁ krtsnasya jagataḥ,
prabhavaḥ pralayas tathāa"
Terjemahan:
"Ketahuilah bahwa semua makhluk ini asal kelahirannya di dalam alam-Ku ini. Aku adalah asal mula dari dunia ini dan juga kehancurannya (pralaya)", (I.B Mantra, 1992:116).
Karena kemahakuasaannya Ia dapat berada di mana-mana sebagai pelindung yang agung dari semua ciptaannya. Maka dari itu sudah merupakan kewajiban bagi umat manusia untuk selalu sujud bakti kepada-Nya, meyakini keberadaan-Nya, melaksanakan semua petunjuk kitab suci Weda, (Sumarni dan Raharjo, 2015:66).
Seseorang yang terus menerus memuja Tuhan dengan sungguh-sungguh dia akan memperoleh kebahagian hidup. Seperti yang disebutkan dalam Bhagwadgita VII,17 sebagai berikut:
"teṣām jῆāni nityayukta,
ekabhaktir viśiṣyate,
priyo hi jῆānino ‘tyartham,
ahaṁ sa ca mama priah".
Terjemahan:
"Diantara ini orang yang bijaksana, yang selalu terus menerus bersatu dengan Hyang Suci, kebaktiannya hanya terpusat satu arah (Tuhan) adalah yang terbaik. Sebab Aku kasih sekali kepadanya dan dia kasih pada-Ku", (I.B Mantra, 1992:121 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:67).
Meyakini Keberadaan Sang Hyang Widhi melalui Tri Pramana
Seseorang dapat meyakini keberadaan Sang Hyang Wdhi secara mendalam, dapat dilakukan melalui ajaran Tri Pramana yaitu Agama (Sabda) Pramana, Anumana, Pramana, dan Prtyaksa Pramana. Dengan Agama (sabda) Pramana seseorang dapat meyakini adanya Sang Hyang Widhi melalui kesaksian yang disampaikan dalam kitab suci Weda, (Sumarni dan Raharjo, 2015:67).
Apa yang disampaikan dalam kitab Weda itulah yang benar tidak perlu diragukan lagi. Disamping itu Agama Pramana juga mengajarkan seseorang meyakini adanya Tuhan melalui mendengar cerita-cerita yang disampaikan oleh orang-orang suci yang dipercaya tahu tentang Tuhan melalui penglihatan batinnya. Semua itu hendaklah dipercaya tanpa ada keraguan lagi.
Seseorang dapat meyakini adanya Tuhan dengan Anumana Pramana melalui suatu analisa yang logis dan sistematis terhadap segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Bila kita melihat adanya matahari, bulan, bintang, planet-planet, dan semua yang ada di alam ini tentu ada yang mencipta dan mengaturnya. Semua itu tidak mungkin ada, tanpa ada yang mencipakannya. Dan pada akhirnya timbulah kesimpulan bahwa semua itu diciptakan oleh Tuhan yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi).
Meyakini keberadaan Sang Hyang Widhi melalui Pratyaksa Pramana yaitu seseorang akan dapat meyakini adanya Tuhan dengan merasakan dan mengalaminya secara langsung. Hal ini dialami oleh para Rsi atau Maha Yogin yang sudah sempurna. Tuhan akan menampakkan dirinya kepada mereka yang menyampaikan sabdanya untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, (Sumarni dan Raharjo, 2015:68).
2. Contoh Keyakinan akan Atma (Atma Tatwa)
Kata Atma berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti jiwa atau roh. Atma adalah percikan-percikan kecil dari Parama Atma (Sang Hyang Widhi) yang berada dalam tubuh makhluk. Atma yang berada dalam tubuh manusia disebut jiwAtma. JiwAtmalah yang menghidupi tubuh manusia dan makhluk lainnya. Bila Atma meninggalkan tubuh, maka tubuh akan mati. Indra manusia tidak dapat bekerja tanpa ada Atma. Mata tidak dapat melihat tanpa adanya Atma. Lidah tidak dapat merasakan rasa jika tidak ada Atma. Kulit tak dapat merasakan rasa sentuhan, dan semua tidak dapat berfungsi bila tidak ada Atma. Bila seseorang sudah memasuki usia tua maka satu persattu indranya akan mati, seperti kuping menjadi tuli, rambut menjadi putih, mata tidak dapat melihat dengan jelas, tetapi tubuhnya masih hidup karena Atma masih bersemayam dalam tubuhnya. Tetapi bila Atma sudah tidak bersemayam lagi dalam tubuh manusia maka manusia akan mati. Bila badan terpisah dengan jiwAtma pada saat manusia mati, hanya badanlah yang hancur, tetapi jiwAtma tidak mati, ia akan mengalami surga dan neraka sesuai dengan baik buruk perbuatannya. JiwAtma juga tidak selama-lamanya di sana, ia akan mengalami kelahiran kembali dengan mengambil wujud sesuai dengan perbuatannya, (Sumarni dan Raharjo, 2015:69).
Sesungguhnya pada hakekatnya Parama Atma dan JiwAtma adalah satu adanya. Hal ini disebutkan dalam kitab Upanishad, “Brahma Atma aikyam” yang artinya bahwa Brahma dan Atma itu satu adanya. Parama Atma adalah sumber dan berakhirnya segala yang ada di alam semesta ini. Dalam kitab Bhagawadgita X. 20 disebutkan:
"aham ātmā gudākeśa,
sarvabhūtāśyasthitaḥ,
aham ādiś ca madyaṁ ca,
bhūtānām anta eva ca".
Terjemahan:
"O, Arjuna, Aku adalah Atma yang menetap dalam hati semua makhluk, aku adalah permulaan, pertengahan dan akhir dari semua makhluk"., (I.B Mantra, 1992:264 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:70).
Ia dapat mengatasi pengaruh maya, sehingga dia tidak pernah lupa. Sedangkan JiwAtma pada dasarnya adalah suci, tetapi setelah bersatu dengan tubuh makhluk ia mengalami awidya, ia melupakan sifat aslinya, ia terpengaruh oleh sifat-sifat tubuh yang dihidupinya. Atma itu tetap sempurna, tetapi manusia itu sendiri tidaklah sempurna, karena manusia lahir dalam keadaan awidya. Manusia tidak luput dari hukum kematian, dan Atma tidak akan mati. Dalam kitab Bhagawadgita II.20 disebutkan:
"na jāyate mriyate vā kadācin,
nā’ yaṁ bhūtvā vā na bhūyah,
ajo nityah sāsvato’yaṁ purāno,
na hanyamāne śarire"
Terjemahan:
"Ia tidak pernah lahir pun tidak pernah mati kapanpun, pun tidak pernah muncul dan lagi tidak pernah menghilang. Ia adalah tidak mengenal kelahiran, kekal, abadi dan selalu ada. Ia tidak dapat dibunuh bila badan dibunuh," (I.B Mantra, 1992:23)
Dengan demikian Atma tidak akan mati walaupun manusia telah mati, karena Atma pada hakekatnya adalah sempurna. Adapun sifat-sifat Atma, sesuai dengan yang disebutkan dalam kitab Bhagawadgita adalah sebagai berikut:
- Achodya artinya tak terlukai oleh senjata
- Adahya artinya tak terbakar oleh api
- Akledya artinya tak terkeringkan oleh angin
- Acesyah artinya tak terbasahkan oleh air
- Nitya artinya abadi
- Sarwagatah artinya dimana-mana ada
- Sthanu artinya tak berpindah-pindah
- Acala artinya tak bergerak
- Sanatana artinya selalu sama
- Ayakta artinya tak dilahirkan
- Achintya artinya tak terpikirkan
- Awikara artinya tak berubah, sempurna tidak laki-laki ataupun prempuuan, (Sumarni dan Raharjo, 2015:71).
Dalam terjemahan seloka Bhagawadgita II.24 disebutkan sebagai berikut:
"acchedyayam adāhyo yam,
akledyo’śoṣya eva ca,
nityah sarvagatah sthānur,
acalo’yam sanātanaḥ"
Terjemahan:
"Ia tidak dapat dipotong, ia tidak dapat dibakar, ia tidak dapat dibasahi maupun dikeringkan. Ia abadi, berada di mana-mana, tidak berobah dan bergerak. Ia adalah selalu sama," (I.B Mantra, 1992:24)
"avyato’yam acintyo’yam,
avikāryo’yam ucyate,
tasmād evaṁ viditvai’naṁ,
nā’nuśocitum arhasi", ( Bhagawadgita, II. 25).
Terjemahan:
"Ia dikatakan tidak terwujud, tidak terpikirkan, tidak berobah. Oleh karena itu, mengetahui Ia demikian, engkau seharusnya tidak bersedih hati," (I.B Mantra, 1992:24).
Dengan demikian pada saat jiwAtma terpisah dengan badan pada saat manusia mati, janganlah bersedih, karena jiwAtma tetap hidup, ia akan mengalami sorga dan neraka, dan akan lahir kembali kedunia dengan wujud sesuai dengan karma phalanya, (Sumarni dan Raharjo, 2015:72).
3. Contoh Keyakinan akan Karma Phala
Karma Phala berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari kata “Karma” yang artinya perbuatan, dan “Phala” yang artinya buah atau hasil. Jadi Karma Phala artinya hasil dari perbuatan seseorang. Manusia hidup selalu berbuat, karena berbuat atau bekerja adalah kodrat manusia didorong oleh kekuatan alam. Dalam terjemahan seloka kitab suci Bhagawadhita III. 5 disebutkan sebagai berikut:
"na hi kaścit kṣanam api,
jātu tiṣṭhaty akarmakṛṭ,
kāryate hy avaśah karma,
sarvah prakṛtijairguṇaiḥ"
Terjemahan:
"Sebab siapun tidak akan dapat tinggal diam, meskipun dengan sekejap mata, tanpa melakukan pekerjaan. Tiap-tiap orang digerakkan oleh dorongan alamnya, dengan tidak berdaya apa-apa lagi", (I.B Mntra, 1992:11)
"niyataṁ kuru karma tvaṁ,
karmajyāyo hy akarmaṇaḥ,
śarirayātrā’pi ca te,
na prasi dhyed akarmaṇaḥ", (Bhagawadgita, III.8)
Terjemahan:
"Lakukanlah pekerjaan yang diberikan padamu, karena melakukan perbuatan itu lebih baik sifatnya dari pada tidak melakukan apa-apa. Sebagai juga untuk memelihara badanmu, tidak akan mungkin jika engkau tidak bekerja", (I.B Mantra, 1992:42 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:74).
Disadari atau tidak perbuatan itu pasti mempunyai akibat. Semua aktivitas yang kita lakukan baik berupa pikiran, perkataan, maupun perbuatan pasti mendatangkan akibat atau hasil. Baik buruk perbuatan itu ditentukan oleh hasil yang ditimbulkan. Akibat dari perbuatan itu ada yang menyebabkan orang lain senang, dan ada juga yang menyebabkan orang lain susah atau marah. Kita percaya bahwa perbuatan yang baik akan membawa hasil yang baik. Demikian pula sebaliknya perbuatan yang buruk mendatangkan hasil yang buruk. Akibat yang baik akan memberikan kesenangan dan kebahagiaan, misalnya lahir dalam keluarga yang rukun, lahir dengan wajah rupawan, lahir menjadi anak pintar dan dihormati. Sebaliknya akibat yang buruk akan memberikan kesusahan dan kesengsaraan, misalnya lahir di keluarga yang selalu kesusahan, miskin, sengsara, cacat, buruk rupa dan lain-lain.
Perbuatan baik mendatangkan hasil yang baik, perbuatan buruk mendatangkan hasil yang buruk.
Di suatu desa hiduplah seorang janda dengan dua orang anak perempuan, yang satu bernama Putri, dan yang satunya bernama Murti. Sifat ke dua anak ini sangat berbeda. Putri adalah seorang anak yang baik, rajin bekerja dan penurut. Sedangkan Murti adalah anak yang malas, pesolek, culas, dan suka memfitnah, (Sumarni dan Raharjo, 2015:75).
Pada suatu hari mereka diberi tugas oleh ibunya untuk menumbuk padi, dari menjemur sampai menjadi beras. Ibunya pergi ke pasar untuk menjual hasil kebunnya. Putri dari pagi sudah bekerja memasak, mencuci piring, dan mencuci pakaian. Sedangkan Murti diam saja, hanya mengaca, bersolek, dan bermalas-malasan. Setiap disuruh bekerja dia selalu menolak. Sampai selesai Putri menumbuk padi dan sudah menjadi beras, Murti tidak mau membantu. Setelah selesai menumbuk padi, Putri pergi ke sungai mandi sambil mencuci. Setelah Putri pergi mandi, Murti mengotori badannya dengan dedak di tempat Putri menumbuk padi. Sesampai ibunya di rumah sepulang dari pasar, Murti mengatakan kepada ibunya bahwa dialah yang bekerja dari tadi, sedangkan Putri hanya malas-malasan, dan bersolek saja tidak mau membantu. Ibunya terkejut mendengar dan marah. Sepulang dari mandi Putri dimarahi oleh ibunya, dan disuruh pergi dari rumah. Murti sangat senang hatinya melihat Putri dimarahi oleh ibunya. Putri menangis sedih. Walaupun dia tahu dirinya difitnah oleh saudaranya, tetapi Putri tidak melawan, justru dia mengikuti apa kata ibunya. Putri lalu pergi dari rumah dengan hati sedih. Dia berjalan tidak tentu arah. Dalam perjalanan dia selalu berdoa kepada Tuhan supaya dianugerahi keselamatan, dan dia juga mendoakan ibu dan saudaranya hidup bahagia di rumah.
Diceritakan perjalanan Putri sampai di sebuah hutan. Di bawah pohon Putri duduk beristirahat sambil menangis dan menahan rasa laparnya. Tiba-tiba datanglah seekor burung memberikan hadiah emas dan permata yang banyak kepada Putri. Burung itu berpesan jika Putri pulang jangan pulang ke rumah ibunya, sebaiknya Putri pulang ke rumah neneknya di desa. Akhirnya Putri pulang ke rumah neneknya sesuai pesan si burung tadi.
Diceritakan akhirnya Murti mendengar berita bahwa Putri tinggal di rumah neneknya hidup bahagia dan kaya raya. Murti datang ke rumah neneknya untuk minta sebagian kekayaan Putri, tapi Putri tidak memberikannya. Pulanglah Murti dengan hati kecewa. Sesampainya di rumah dia berkata,” Ibu pukullah aku, marahilah aku, aku akan pergi ke hutan agar aku mendapat kekayan seperti Putri.” Ibunya memukul Murti, dan memarahinya. Murti merobek-robek pakaiannya, dan mengotori dengan lumpur, lalu pergi ke dalam hutan pura-pura menangis. Datanglah seekor burung mendekatinya. Murti sangat senang dalam hatinya, karena yakin akan diberi hadiah oleh burung itu sama seperti Putri. Burung itu berkata,” Aku akan berikan hadiah kepadamu, pejamkanlah matamu.” Dengan senang hati Murti memejamkan matanya, berharap akan mendapatkan kekayaan yang berlimpah. Burung itu lalu mematuk badan Murti dan menghadiahi semua binatang yang berbisa, seperti ular, lipan, kalajengking, tawon dan lain-lain. Sekarang bukalah matamu, “kata burung itu.” Setelah Murti membuka matanya, betapa terkejutnya dia karena semua binatang berbisa itu menyengat tubuhnya. Dia menangis sejadi-jadinya, tetapi tidak ada yang menolongnya. Ampun, ampun maafkan aku, aku berdosa,” demikian katanya sambil menangis.” Lama kelamaan bisa binatang itu masuk dan menggerogoti tubuhnya, akhirnya Murti meninggal dunia. Demikianlah upah orang yang selalu berbuat buruk menyebabkan orang lain susah dan sengsara, (Sumarni dan Raharjo, 2015:76).
Kita berhak membuat hidup kita yang akan datang bahagia
Hukum Karma phala tidak menyebabkan kita putus asa dan menyerah pada nasib, melainkan hukum Karma phala merupakan suatu hal yang positif dan dinamis. Kita harus menyadari bahwa penderitaan yang kita alami sekarang adalah sebagai akibat perbuatan kita terdahulu. Penderitaan itu suatu saat pasti akan berakhir, dan diganti dengan kebahagiaan. Kita berhak membuat hidup kita mendatang bahagia, dengan selalu berbuat baik walaupun dalam keadaan menderita. Perbuatan yang baik sekarang pasti akan mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan di masa yang akan datang, karena hukum Karma phala itu ada tiga macamnya yaitu :
- Sancita Krama phala, adalah hasil perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu belum habis dinikmati, dan merupakan benih yang menentukan kehidupan kita yang sekarang.
- Prarabda Karma phala, adalah akibat dari perbuatan kita sekarang langsung dinikmati tanpa ada sisanya.
- Kriyamana Karma phala, adala hasil perbuaan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada kehidupan yang sekarang, (Sumarni dan Raharjo, 2015:77).
Dengan demikian kita tidak perlu menyesal dan sedih akan penderitaan yang kita terima dalam kehidupan sekarang ini, karena itu sudah merupakan hukum yang harus kita terima sebagai akibat perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu. Kebahagiaaan hidup sekarang maupun yang akan datang kita sendiri yang menentukan, asalkan kita selalu berbuat baik dalam keadaan menderita maupun dalam keadaan beruntung. Kita juga tidak boleh lupa untuk selalu sujud bakti kepada Sang Hyang Widhi, karena Ia lah yang menentukan phala dari karma yang telah kita perbuat, macam phala dan kapan memetiknya semua ditentukan oleh Sang Hyang Widhi. Kita hendaknya menggunakan kesempatan pada hidup yang sekarang ini untuk berbuat baik agar hidup kita bahagia di masa yang akan datang. Dalam terjemahan seloka kitab suci Sarasamuscaya 4 disebutkan sebagai berikut :
"Apan ikang dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wenang ua tumulung awaknya sangkenga sangsara, makasadhananing cubhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika".
Terjemahan:
"Sebab menjadi manusia sungguh utama juga, karena itu, ia dapat menolong dirinya dari keadaan samsara dengan jalan karma yang baik, demikian keistimewaan menjadi manusia", (Kajeng, 1997:11)
"Ikang tang janma wwang, ksanikaswabhawa ta ya, ta pahi lawan kedapning kilat, durlabha towi, matangyan pongakenaya ri kagawayaning dharmasadhana, makasarananing manacanang sangsara, swargaphala kunang", (Sarasamuscaya, 9)
Terjemahan:
"Menjelama menjadi manusia itu, sebentar sifatnya, tak beda dengan kerdipan petir, sungguh sulit, karenanya pergunakanlah itu untuk melakukan dharma sadhana yang menyebabkan musnahnya penderitaan, surgalah pahalanya itu", (Kajeng, 1997:14 dalam (Sumarni dan Raharjo, 2015:78).
4. Contoh Keyakinan akan Punarbhawa
Sradha yang ke empat dari agama Hindu adalah percaya adanya Punarbhawa, yaitu kelahiran yang berulang-ulang dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain. Secara rasio sangat sulit dibuktikan Punarbhawa itu, karena berada di luar batas pemikiran kita. Oleh karena itu ajaran Punarbhawa itu harus diyakini dengan keimanan.
Kelahiran yang berulang-ulang di dunia ini menimbulkan suka dan duka. Adanya kelahiran berulang-ulang disebabkan karena JiwAtma masih dipengaruhi oleh kenikmatan duniawi, dan kematian selalu diikuti oleh kelahiran, demikian sebaliknya kelahiran selalu diikuti oleh kematian.
Kelahiran, hidup dan mati secara berulang-ulang sesungguhnya itu adalah penderitaan, yang disebabkan oleh perbuatan kita pada kehidupan terdahulu. Karma atau perbuatan yang kita lakukan terdahulu akan menimbulkan bekas (wasana) yang melekat pada badan astral (jiwAtma), dan inilah yang menimbulkan adanya Punarbhawa. Jika bekas-bekas itu adalah keduniawian misalnya kemewahan, dendam dan yang lainnya maka jiwAtma akan gampang ditarik oleh hal-hal duniawi itu, dan jiwAtma mengalami kelahiran kembali. Simak cerita di bawah ini:
Ikatan keduniawian menimbulkan Punarbhawa
Setelah Bhisma memenangkan sayembara maka dia menyerahkan Dewi Amba dan Dewi Ambika kepada Citrangada, dan Dewi Ambalika kepada Citrawrya. Dewi Amba menolak diserahkaan kepada Citrangada, karena Bhismalah yang memenangkan sayembara, maka Bhismalah yang berhak mengambilnya menjadi istri. Tetapi Bhisma menolak, dan menjelaskan bahwa ia telah bersumpah sukla brahmacari. Dia menyarankan Dewi Amba untuk memilih salah satu dari adiknya. Dewi Amba tetap menolak memilih salah satu adik Bhisma, dan bersikeras menuntut Bisma untuk mengawininya.
Bhisma berusaha menghindar dari Dewi Amba, maka Bhisma dengan sembunyi-sembunyi pergi ke luar kota dan bersembunyi di pertapaan Bhagawan Parasu Rama. Dewi Amba akhirnya berhasil menemukan jejak Bhisma di pertapaan Bhagawan Parasu Rama. Dewi Amba menjelaskan kepada Bhagawan Parasu Rama mengapa dia mengejar Bhisma. Setelah mendengar penjelasan Dewi Amba, lalu Bhagawan Parasu Rama menyarankan Bhisma memenuhi keinginan Dewi Amba. Bhisma menolak saran tersebut. Karena Bhisma menolak, Bhagwan Parasu Rama marah dan menyuruh Bhisma pergi dari pasramannya, (Sumarni dan Raharjo, 2015:80).
Bhisma lalu pergi dari pasraman, Dewi Amba terus mengikutinya. Iapun membentangkan panahnya ke arah Dewi Amba dengan maksud menakut-nakuti, namun Sang Dewi tidak bisa ditakut-takuti. Karena terlalu lama memegang panah, tangan Bhisma menjadi berkeringat, tanpa sengaja terlepaslah panahnya mengenai dada Dewi Amba. Sebelum meninggal Dewi Amba sempat berkata, “ Kanda Bhisma, demi cinta saya kepada kakanda saya selalu mengikuti kakanda, namun kakanda malah membunuh saya. Pada penjelmaan saya yang akan datang, saya akan menuntut balas membunuh kakanda.” Dewi Amba menjelma menjadi Srikandi, dan pada perang Bharata Yudha dia bersama Arjuna berhasil membunuh Bhisma. Jadi Dewi Amba mengalami kelahiran yang berulang karena ditarik oleh kekuatan duniawi yaitu rasa dendamnya kepada Bhisma.
Punarbhawa sesungguhnya adalah merupakan pergantian badan yang lama ke badan yang baru bagi Atma yang dialaminya dari kehidupan yang lain. Dalam terjemahan seloka Bhagawadgita II.22 disebutkan sebagai berikut :
"vāsāmsi jirnani yathā wihāya,
navāni grhnati naro’parāni,
tathā sarirani vihāya ‘jirnany,
ānyani samyati navāni dehi"
Terjemahan:
"Sebagaimana seseorang melemparkan bajunya yang sudah robek, dan memakai yang baru lainnya, demikian juga keadaan jiwa sejati, JiwAtma membuang badan yang telah hancur dan mengambil yang lainnya," (I.B Mantra, 1992:23 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:81).
"sribhagavan uvaca:
bahūni me vyantitāni,
janmāni tava ca ‘rjuna’
tany ahaṁ veda sarvāni,
na tvam vitha paramtapa", ( Bhagawadgita, IV.5)
Terjemahan:
"Banyak kehidupan yang Ku-telah jalani dan demikian pula engkau, O, Arjuna. Semua kelahiran itu Aku ketahui, tetapi engkau tidak mengetahuinya, O, Arjuna," (I.B Mantra, 1992:61)
Semua orang sudah mengalami kelahiran yang berulang-ulang, tetapi mereka tidak mengetahui karena gelap/lupa diri (awidya). Misalnya sorang bayi yang sejak baru lahir telah bisa menyusu pada ibunya tanpa dilatih, itu suatu pertanda bahwa dia telah memiliki pengalaman pada kelahirannya terdahulu. Adanya kelahiran manusia yang dalam kelahirannya sekarang memiliki kegemaran yang berbeda-beda, itu pertanda bahwa mereka telah memiliki pengalaman-pengalaman tentang kegemarannya itu pada kehidupannya yang sudah-sudah, tetapi mereka tidak mengingatnya karena Awidya. Hanya Tuhanlah yang mengetahui kelahiran yang berulang-ulang itu. Dalam agama Hindu Tuhan juga dikatakan mengalami kelahiran yang berulang-ulang. Kelahiran Tuhan secara berulang-ulang disebut Awatara. Tujuannya adalah untuk menegakkan Dharma di dunia ini. Dalam terjemahan seloka kitab Bhagawadgita disebutkan sebagai berikut:
"ajo ‘pi sann avyayātmā,
bhūtānām iśvaro ‘pi san,
prakṛtim svām adhiṣṭāya,
sambhavāmy ātmamāyayā", (Bhagawadgita, IV. 6)
Terjemahan:
"Meskipun Aku-tidak terlahirkan, dan sifat Ku kekal dan menjadi Iswara dari segala makhluk akan tetapi Aku, dengan memegang teguh pada sifat-Ku, Aku datang menjelma dengan jalan maya-Ku",
(I.B Mantra, 1992:61 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:82).
"yadā-yadā hi dharmasya,
glānir bhavati bhārata,
abhyutthānam adharnmsya,
tadā ‘tmānaṁ sṛjāmy aham", ( Bhagawadgita, IV.7).
Terjemahan:
"O,Bharata, bilamana dharma di dunia ini hilang, dan adharma makin menguasai dunia, pada waktu itu Aku menjelmakan diri-Ku," (I.B.Mantra, 1992:62)
"paritrānāya sādhūnaṁ,
vināsāya ca duṣkṛtāma,
dharmasaṁsthāpanarthāya,
sambhavāmi yuge-yuge," (Bhagawadgita, IV.8)
Terjemahan:
"Untuk memberi perlindungan kepada yang baik, dan membasmi yang jahat dan untuk membangkitkan perasaan keadilan dan kebaikan Aku menjelma pada tiap-tiap jaman," (I.B Mantra, 1992:63)
Sedangkan tujuan manusia mengalami kelahiran yang berulang-ulang adalah untuk memperbaiki karmanya agar dapat menyatu dengan asalnya yaitu Tuhan. Dalam kelahiran yang berulang-ulang Atma memilih tubuh yang berbeda-beda sesuai dengan karmanya, sehingga terjadilah keadaan berbeda pada setiap kelahiran ke kelahiran yang lainnya. Bila kita amati kehidupan manusia di dunia ini, maka akan terlihat perbedaan-perbedaan kehidupan diantara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Misalnya, ada yang lahir dalam keadaan cacat jasmaninya, ada yang lahir dengan keadaan jasmani dan rohani yang sempurna, ada yang lahir penuh penderitaan dalam hidupnya, ada yang lahir dipenuhi dengan kemewahan, cantik rupawan, dan berkuasa. Semua itu ditentukan oleh karmanya sendiri, (Sumarni dan Raharjo, 2015:83).
Dalam terjemahan seloka kitab suci Sarasamuscaya 22 disebutkan sebagai berikut:
"Kunang ikang wwang gumaway ikang cubhakarma, janmanyan sangke ring wsarga delaha, litu hayu maguna, syjanma sugih, mawirya, phalaning cubhakarmawasana tinemunya".
Terjemahan:
"Adapun orang berbuat baik, kelahiran dari surga kelak menjelma menjadi orang yang rupawan, gunawan, muliawan, hartawan dan berkuasa, pahala dari perbuatan baik yang diperolehnya", (Kajeng, 1997 :19).
Adanya perbedaan-perbedaan kehidupan manusia yang lahir ke dunia ini bukanlah karena suatu kebetulan, bukan karena keturunan, bukan karena pengaruh pendidikan, melainkan karena faktor karma yang dilakukan pada masa hidupnya yang lampau. Bakat dan pembawaan yang dimiliki pada kelahiran yang sekarang adalah merupakan pengalaman pada masa kelahirannya terdahulu. Hal ini menunjukkan tentu ada kelahiran sebelumnya, kelahiran sekarang, kelahiran masa yang akan datang. Kelahiran yang sekarang akan menjadi masa lampau pada kelahiran yang akan datang. Jadi dengan demikian jelaslah bahwa Punarbhawa itu ada dan harus diyakini oleh umat Hindu berdasarkan keimanan, (Sumarni dan Raharjo, 2015:84).
5. Contoh Keyakinan akan Moksa
Moksa merupakan sraddha yang kelima dalam agama Hindu. Moksa adalah tujuan terakhir yang ingin dicapai oleh umat Hindu. Dalam kitab suci disebutkan, “Moksartham jagadhita ya ca iti dharmah” Yang artinya tujuan dari agama (dharma) adalah untuk mencapai Moksa (mokartham), dan kesejahteraan umat manusia (jagadhita).
Kata “Moksa” berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya kebebasan dari ikatan keduniawian, bebas dari karmaphala, bebas dari penderitaan, bebas dari punarbhawa, dan akhirnya Atma menyatu dengan Tuhan. Ia tidak mengalami kelahiran kembali, ia bebas dari belengggu maya. Jadi Moksa adalah bersatunya Atma dengan Brahman (Tuhan), suka tanpa wali duka. Moksa bukan saja dapat dicapai ketika manusia mengakhiri hidupnya di dunia ini ( meninggal ), tetapi Moksa juga dapat dicapai di dunia ini ketika manusia masih hidup, namanya Jiwan mukti yaitu Moksa semasih hidup. Jiwan Mukti ini tercapai bila sudah bebas dari ikatan keduniawian. Dia tidak merasa senang dengan mendapatkan kesenangan, demikan juga dia tidak merasa susah dengan mendapatkan kesusahan. Semua itu diterima dengan rasa bersyukur, (Sumarni dan Raharjo, 2015:85).
Apapun yang dimiliki, apapun yang diterima, dia tetap menikmatinya dengan senang hati, dia tidak pernah menyesali, dia dapat menahan keinginan dan kemarahan, dia adalah orang yang bahagia, seperti bahagianya seorang anak ketika mendapat hadiah dari orang tuanya. Itulah Jiwan Mukti yaitu moksa yang dicapai ketika masih hidup.
Bila seseorang telah dapat melepaskan jiwanya dari keterikatan dengan obyek-obyek keduniawian, dia hanya menemukan kesenangan di dalam Atmanya. Orang yang demikian itulah yang dapat manunggal (menyatu) dengan Tuhan, merasakan kebahagiaan terus menerus tanpa wali duka. Dalam kitab suci Bhagawadita disebutkan sebagai berikut :
"bāhyasparśesv asaktātma,
ātmani yat sukham,
sa brahmayogayuktātmā,
sukham akṣayam aśnute," (Bhagawadgita, V.21)
Terjemahan:
"Bilamana jiwa tidak lagi terikat oleh hubungan dari luar (obyek-obyek) orang mendapat kesenangan yang ada di dalam Atma. Orang yang demikian itu yang manunggal dengan Tuhan merasai kebahagiaan yang tak padam-padam," (I.B Mantra, 1992:89)
"yo ‘ntahsukho ‘natarārāmas,
tathā‘ntarjyotir eva yah,
sa yogi brahmanirvānaṁ,
brahmabhūto ‘dhigacchati," (Bhagawadgita, V.24)
Terjemahan:
"Ia yang menemui kesenangannya, kebahagiaannya dan begitu juga sinarnya hanya dalam batin, sucilah yogin itu dan mencapai panunggalan dengan Tuhan (Brahmanirwana)," (I.B Mantra. 1992 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:86).
Memperhatikan uraian seloka di atas, dapat disimpulkan bahwa Moksa itu dapat dicapai setelah manusia itu meninggalkan dunia ini, hanya dapat dicapai oleh seseorang yang batinnya sudah sempurna, yaitu seorang yogin. Dalam kitab suci ada disebutkan seloka sebagai berikut :
"Seorang yogin yang bebas dari segala noda dan dapat mengendalikan pikirannya, adalah sudah dapat mencapai kebahagiaan yang tertinggi, yaitu bersatu dengan Tuhan," (Swami Vireswarananda. Hal.197).
Jalan untuk mencapai Moksa
Sesungguhnya banyak ada jalan untuk mencapai Moksa, tetapi dengan menyucikan pikiran, dengan menentramkan pikiran, sesungguhnya kita telah memberi pegangan kepada diri kita untuk mencapai Moksa. Seperti yang disebutkan dalam terjemahan salah satu seloka kitab suci Sarasamuscaya sebagai berikut :
"Ana mangkana purih niking janma, kinawacakening kala, sangsara swabhawanya, haywa ta pramada, pahahening ikang buddhi, heneben, wehen rumegepang moksamarga", ( Sarasamuscaya, 348)
Terjemahan
"Dengan demikian keadaannya, menjadi manusia dikuasai oleh waktu, sengsara sebagai sifatnya, janganlah engkau lalai, sucikanlah pikiran itu, tentramkan, berilah pegangan jalan mencapai Moksa," (Kajeng, 1997 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:87).
Dalam agama Hindu disebutkan ada empat cara untuk mencapai kesatuan dengan Sang Hyang Widhi yang disebut Catur Marga atau Catur Yoga terdiri dari:
1. Bhakti Marga,
Bhakti Marga yaitu cara atau jalan untuk menghubungkan diri Tuhan beserta manifestasinya, dengan cara sujud bhakti, menyucikan pikiran, mengagungkan kebesaran-Nya dan menghindarkan diri dari perbuatan tercela. Seseorang yang menempuh jalan Bhakti Marga dia melakukan sujud bakti kepada Tuhan atas dasar kecintaan yang suci murni serta tulus ikhlas. Segala tingkah lakunya akan menunjukkan sikap cinta kasih dan kasih sayang kepada semua makhluk. Terlebih lagi terhadap sesama manusia. Jalan Bhakti Marga ini mudah ditempuh oleh semua kalangan baik orang miskin, pedagang atau pejabat bisa menempuh jalan ini. Dalam terjemahan salah satu seloka kitab Bhagawadgita disebutkan sebagai berikut:
"bhaktyā māṁ abhijanati,
yāyān yaś ca ‘smi tattvataḥ,
tato māṁ tttvato jῆātvā,
viśate tadanantaram", (Bhagawadgita, XVIII.55)
Terjemahan:
"Dengan jalan bakti ia mengetahui Aku, siapa dan bagaimana Aku sebenarnya, dan setelah mengetahui Aku sebenarnya ia seketika manunggal dengan Aku," (I.B Mantra, 1992:251)
2. Karma Marga,
Karma Marga yaitu cara atau jalan untuk mencapai persatuan dengan Tuhan dengan jalan ditekankan pada pengabdian yang berwujud kerja tanpa pamerih untuk kepentingan diri sendiri. Seseorang yang berkerja tanpa terikat oleh hasilnya dia akan mendapatkan kesempurnaan. Bila seseorang terikat oleh hasil kerjanya, dia bekerja hanya untuk kemasyuran dan kemewahan, yang dapat menimbulkan kesombongan dan keangkuhan. Seseorang seperti itu tidak akan mencapai kesempurnaan, (Sumarni dan Raharjo, 2015:88).
Dalam terjemahan salah satu seloka kitab Bhagawadgita III.19 disebutkan sebagai berikut :
"tasmādasaktah satataṁ,
kāryaṁ karma samācara,
asakto hy ācaran karma,
param āpnoti pūruṣaḥ".
Terjemahan:
"Dari itu bekerjalah kamu selalu yang harus dilakukan dengan tiada terikat olehnya, karena orang mendapat tujuannya tertinggi dengan melakukan pekerjaan yang tak terikat olehnya," (I.B Mantra, 1992:47)
3. Jnana Marga
Jnana Marga, yaitu cara/jalan untuk mencapai persatuan dengan Tuhan berdasarkan atas pengetahuan atau kebijaksanaan terutama mengenai kebenaran dan pembebasan diri dari ikatan–ikatan keduniawian. Dengan pengetahuan dan kebijaksanaan mereka akan mencapai dharma yang dapat memberikan kebahagiaan lahir dan batin dalam kehidupannya yang sekarang, di akhirat dan di dalam penjelmaannya yang akan datang.
Dalam terjemahan salah satu seloka kitab Bhagawadgita IV.39 disebutkan sebagai berikut:
"śraddhāvaṁ labhate jῆānaṁ,
tatparah saṁyatendriyah,
jῆānam labdhvā param sāntim,
acireṇā’ dhigcchati".
Terjemahan:
"Ia yang mempunyai kepercayaan, yang memusatkan dirinya kepadanya (pengetahuan), dan yang menaklukkan indrianya akan mendapat kebijaksanaan. Dan setelah mendapat kebijaksanaan, ia segera akan mencapai puncak ketenangan," (I.B Mantra.1992:78 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:89).
4. Raja Marga
Raja Marga, yaitu cara atau jalan untuk mencapai persatuan dengan Tuhan dengan cara pengendalian pikiran dan konsentrasi, melalui latihan-latihan yang teratur dan berkelanjutan. Mengendalikan pikiran amatlah sulit, karena pikiran tidak mengenal jarak, geraknya amat cepat lebih cepat dari angin, maka cara yang terbaik untuk mengendalikan pikiran adalah dengan cara konsentrasi (pemusatan pikiran) melalui latihan terus menerus.
Dalam terjemahan salah satu seloka kitab Bhagawadgita XVIII.57 disebutkan sebagai berikut:
"cetasā sarvakarmāni,
mayi samnyasya matparah, b
uddhiyogam upāśritya,
maccittaḥ satataṁ bhava,".
Terjemahan:
"Menyerahkan dalam pikiran semua perbuatan pada-Ku, memandang aku sebagai Yang Maha Tinggi, menyerahkan kepada ketetapan dalam pengertian, pusatkanlah pikiranmu selalu padaku,"(I.B Mantra, 1992:251).
Demikianlah empat jalan untuk mencapai persatuan dengan Tuhan (Moksa). Semua jalan itu telah diatur dan disesuaikan dengan kepribadian, watak dan kesanggupan manusia untuk menjalankannya. Ke empat jalan ini semua sama tidak ada yang lebih rendah, atau lebih tinggi. Semua adalah utama tergantung pada kemampuan dan bakat masing-masing. Asalkan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh keyakinan semua akan dapat mencapai tujuan yaitu Moksa.
Dalan terjemahan salah satu seloka kitab Bhagawadgita IV.11 disebutkan :
"ye yathā māṁ prapadyante,
tāṁs tathai ‘va bhajāmy aham,
mama vartmā ‘nuvartante,
manuṣyāḥ pārtha savaśaḥ," (Sumarni dan Raharjo, 2015:90).
Terjemahan:
"Dengan jalan bagaimanapun orang-orang mendekati dengan jalan yang sama juga Aku memenuhi keinginan mereka. Melalui banyak jalan manusia mengikuti jalan-Ku, O, Partha," (I.B Mantra, 1992:65 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:91).
Referensi:
Sumarni, Ni Wayan dan Raharjo, Sukirno Hadi. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas VI. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
0 Response to "Keyakinan dalam Agama Hindu dan Bagian-bagian Panca Sraddha Serta Contohnya "
Post a Comment