Syarat Sah Suatu Perkawinan atau Pawiwahan Menurut Hindu
Monday, August 19, 2019
Add Comment
MUTIARAHINDU.COM -- Tujuan perkawinan mendambakan hidup sejahtera dan bahagia. Kitab Manawa Dharmasastra menyatakan bahwa tujuan perkawinan meliputi dharmasampatti (bersama-sama, suami istri mewujudkan pelaksanaan dharma), praja (melahirkan keturunan) dan rati (menikmati kehidupan seksual dan kepuasan indra lainnya). Jadi tujuan utama perkawinan adalah melaksanakan Dharma. Dalam perkawinan, suami istri hendaknya berupaya jangan sampai ikatan tali perkawinan terputus atau lepas. Pasangan suami istri hendaknya dapat mewujudkan kebahagiaan, tidak terpisahkan (satu dengan yang lainnya), serta bermain riang gembira dengan anak-anak dan cucu-cucunya, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:148).
Baca: Pengertian dan Hakikat Wiwaha Dalam Ajaran Agama Hindu
Baca: Pengertian dan Hakikat Wiwaha Dalam Ajaran Agama Hindu
Image: mamontbaliproject |
Melaksanakan wiwaha atau perkawinan bagi masyarakat Hindu memiliki makna, arti, dan kedudukan yang sangat penting. Dalam Catur Asrama, wiwaha termasuk fase Grehasta Asrama. Memasuki fase Grehastha “wiwaha” oleh masyarakat Hindu, dipandang sebagai sesuatu yang maha mulia, seperti dijelaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra; bahwa wiwaha bersifat sakral, wajib hukumnya, dalam arti harus dilakukan oleh setiap orang yang hidupnya normal. Melaksanakan wiwaha bagi umat Hindu yang sudah cukup umur merupakan salah satu amanat dharma dalam hidup dan kehidupan ini.
Perkawinan atau wiwaha tidak baik jika dilakukan karena dipaksakan, pengaruh orang lain, dan sikap kekerasan yang lainnya. Hal ini perlu dipahami dan dipedomani untuk menghindari terjadinya ketegangan setelah menjalani Grehasta Asrama. Keberhasilan yang dapat mengantarkan dalam wiwaha atau perkawinan adalah karena adanya sifat dan sikap saling mencintai, saling mempercayai, saling menyadari, kerja sama, saling mengisi, bahu-membahu dan yang lainnya dalam setiap kegiatan rumah tangga, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:149).
Baca: Tujuan Wiwaha Menurut Ajaran Agama Hindu
Baca: Tujuan Wiwaha Menurut Ajaran Agama Hindu
Dalam ajaran agama Hindu ada beberapa syarat yang harus terpenuhi agar Pawiwahan dinyatakan sah. Ada pun syaratnya akan dijelaskan sebagai berikut:
Syarat Sah Suatu Pawiwahan (Perkawinan) Menurut Hindu
Wiwaha adalah Samskara dan merupakan lembaga yang tidak terpisahkan dengan hukum Agama (Dharma). Menurut ajaran Agama Hindu, sah atau tidaknya suatu perkawinan terkait dengan sesuai atau tidaknya dengan persyaratan yang ada dalam ajaran Agama Hindu. Suatu perkawinan dianggap sah menurut agama Hindu jika memenuhi hal-hal sebagai berikut.
1. Perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum Hindu.
- Untuk mengesahkan perkawinan menurut hukum Hindu harus dilakukan oleh pendeta atau rohaniawan dan pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.
- Suatu perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut Agama Hindu (agama yang sama).
- Berdasarkan tradisi yang telah berlaku di Bali, perkawinan dikatakan sah setelah melaksanakan upacara byakala atau upacara mabiakaonan sebagai rangkaian upacara wiwaha. Demikian juga untuk umat Hindu yang berada di luar Bali, sahnya suatu perkawinan yang dilaksanakan dapat disesuaikan dengan adat dan tradisi setempat.
- Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan pernikahan atau perkawinan.
- Tidak ada kelainan, seperti tidak banci, kuming atau kedi (tidak pernah haid), tidak sakit jiwa atau ingatan serta sehat jasmani dan rohani.
- Calon mempelai cukup umur, untuk pria minimal berumur 21 tahun, dan yang wanita minimal berumur 18 tahun.
- Calon mempelai tidak mempunyai hubungan darah yang dekat atau sapinda.
Apabila salah satu calon mempelai tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka perkawinan tersebut dikatakan tidak sah atau gagal. Selain itu untuk legalitas perkawinan berdasarkan hukum nasional, juga tidak kalah pentingnya agar perkawinan tersebut dianggap legal, sah dan kukuh, maka harus dibuatkan “Akta Perkawinan” sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:172).
Orang yang berwenang mengawinkan adalah yang mempunyai status kependetaan atau dikenal dengan mempunyai status Loka Praya Sraya. Demikian juga yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan menurut pasal 23 bab IV Undang-Undang No. 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut.
- Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri yang bersangkutan.
- Suami/Istri.
- Pejabat berwewenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
- Pejabat yang ditunjuk dalam ayat 1 pasal 16 Undang-Undang No. 1 tahun 1974, dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan ini putus, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:173).
Renungan Rg Veda X. 37. 7
"Prajāvanto anamivā anāgasah".
Terjemahan:
"Ya, Sang Hyang Surya, semoga kami memiliki anak-cucu dan bebaskan dari penyakit dan dosa".
Referensi:
Mudana dan Ngurah Dwaja. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti : Buku Siswa / Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. -- Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014.vi, 190 hlm.; 25 cm
Untuk SMA/SMK Kelas XI
Kontributor Naskah : I Nengah Mudana dan I Gusti Ngurah Dwaja.
Penelaah : I Wayan Paramartha. – I Made Sutrisna.
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud
Cetakan Ke-1, 2014
Baca: Pahala Bagi Anak-anak yang Berbhakti Kepada Orang Tua Menurut Perspektif Hindu
Baca: Pahala Bagi Anak-anak yang Berbhakti Kepada Orang Tua Menurut Perspektif Hindu
0 Response to "Syarat Sah Suatu Perkawinan atau Pawiwahan Menurut Hindu"
Post a Comment