Awig-Awig-Awag-Awag-Uwug: Sebuah Solusi Sederhana Ditengah Semaraknya Upacara-Upakara

MUTIARAHINDU.COM -- Awig-Awig-Awag-Awag-Uwug: Sebuah Solusi Sederhana Ditengah Semaraknya Upacara-Upakara. Sebagai sebuah evolusi kehidupan setiap individu memastikan kehidupannya akan lebih baik, praktis, nyaman dan mencapai tingkat sejahtera. Kehidupan yang tidak banyak dijejali dengan hal-hal yang sifatnya tidak prinsip, esensial dan substansial adalah tujuan kehidupan. Tidak juga terjebak dalam nostalgia masa lalu yang membawa kehidupan individu tidak akan pernah memasuki dunia kesadaran yang lebih tinggi. Intinya, manusia memang berpola pikir hidup yang pragmatis. Namun dibalik itu masih terdapat dilematika kehidupan, yang satu masih berorientasi pada kultur dan tradisi yang kemungkinan mengancam cara berpikirnya - pola hidupnya.Disatu pihak hidup dalam tradisi yang kental dengan upacara-upakara yang mampat, disisi lain tuntutan hidup di zaman kecanggihan tekhnologi menjadikan hal itu menjadi dilematis. Bisa jadi pola hidup dengan tradisi tidak memberikan ruang untuk menganalisis dan terjebak pada perilaku stagnan, kurang gereget, tidak dinamis dan terkesan terkungkung pada ideologi lama yang ortodoks. Pada sisi lain tuntutan hidup semakin membengkak, sementara pola pikir yang sempit. Ada korelasi antara aktivitas yang menjebak pada kungkungan tradisi dimana setiap individu larut dari keangkuhan tradisi di Desa sebagai yang niscaya dipertahakan. Sementara keadaan hidup yang sama sekali tidak dirasakan sejahtera - menggelayuti hidupnya. Kurangnya kesadaran memasuki fase kesadaran rohani seharusnya menjadi jawaban bahwa dinamika kehidupan adalah justru tahapan kesadaran yang lebih tinggi.



II. PEMBAHASAN

Hampir semua simbol-simbol di Bali memiliki daya kekuatan supranatural, yang menguatkan pada akar keagamaan Hindu yang menjadi manifestasi dari identitas budaya Hindu di Bali. Saput poleng, upacara-upakara (banten), kajang, tedung, umbul-umbul dsb, adalah manifestasi dari ajaran Mantra, Yantra dan Tantra. Bade salah satunya sebagai wahana untuk mengangkat jenasah menuju kuburan adalah simbol kekuatan sebagai sarana pengantar arwah menuju swargaloka. Hal ini juga pengejawantahan dari kekuatan mantra, tantra dan yantra. Ngaben, meskipun tidak mesti menggunakan wadah namun dalam pelaksanaan ritual ngaben wajib digunakan, apalagi clan sangat memberikan identitas terhadap pelaksanaan yajna ngaben. Intensitas pelaksanaan ritual di Bali selain semarak tanpa henti, juga kelihatannya jor-joran. Tapi itu tidak berarti semaraknya ritual yajna di Bali akan dipahami esensinya. Kegairahan bernuansakan agama tidak selamanya diikuti dengan pemahaman akan tattwa/ filosofinya. Perjalanan ziarah (Tirthayatra), pakemitan, mekekawin (makidung), dialog agama (satsang), dharmawacana tidak memberikan gambaran pasti tentang pemahaman dan pengamalan ajaran agamanya sendiri. Persoalannya, adalah makna filosofis yang dikandung dalam ritual tidak dapat dipahami dengan baik. Perlu ada moratorium ritual? 

Meskipun prosesi upacara ngaben bukan merupakan produk budaya, tetapi penggunaan alat-alat yang digunakan untuk melakukan upacara ngaben tetap merupakan produk budaya berestetika tinggi. Kebermanfaatannya produk budaya itu sendiri akan tergantung pada nilai yang dimilikinya dan pemberian nilai itu oleh kelompok atau individu sebagai wujud manusia sebagai dalam kelompok komunal. Oleh sebab itu budaya merupakan rangkuman bersama dari seluruh arti serta nilai yang memberitahu mengapa salah satu cara hidup tertentu itu demikian.

1. Ritus (Upacara Keagamaan)

Ritus adalah alat manusia untuk melakukan perubahan. Bisa disebutkan sebagai simbolis agama, atau ritual yang merupakan agama dalam tindakan. Keyakinan juga bagian dari ritual dan keyakinan itu merupakan bagian dari ritual atau bahkan keagamaan menjelaskan makna dari ritual serta memberikan tafsiran dan mengarahkan vitalitas dari pelaksanaan ritual tesebut. Sedangkan ritual adalah alat untuk menjadikan yang profan menjadi sakral, suatu alat untuk melanjukan perbaikan kondisi tidak baik menjadi baik. Sebagaimana pendapat Eliade (dalam Ghazali, 2011: 62), ritus merupakan suatu sarana bagi manusia religius untuk beralih dari waktu profan ke waktu kudus. Ritus membawa manusia religius ke dalam tenpat kudus yang menjadi pusat dunia. Hampir semua kebudayaan memiliki suatu kelompok ritual yang memperingati masa peralihan individu dari suatu status sosial ke satus sosial yang lain.

Dalam teori Herts, yang mengambil gagasan Emile Durkheim, bahwa upacara ritual adalah rangkaian terakhir dalam kehidupan manusia. Demikian disebutnya sebagai kematian fisik menuju kehidupan roh yang lebih dalam dan lebih tinggi. Agama Hindu juga menyebutkan sebagai hubungan siklis kehidupan yang disebutnya Tri Kona (lahir, hidup dan mati). Menurut teori yang dikemukakan para ahli bahwa ada lima komponen atau unsur dalam agama atau relegi :

a. emosi keagamaan
b. sistem keyakinan
c. sistem ritus dan upacara
d. peralatan ritus dan upacara; dan
e. pengikut (umat agama)

Emosi keagamaan bersumber dari rasa bakti, rasa terikat dan cinta yang ada dalam batin manusia, pengkiut agama sebagai pelaku aktivitas keagamaan, dan wujud dari emosi keagamaan. Emile Durkheim seorang sosiolog Perancis sendiri mengakui bahwa unsur elementer dalam kehidupan beragama adalah emosi keagamaan . Emosi merupakan sumber dari kesadaran kolektif para pengikutnya. Emosi keagamaan bukan pada benda-benda keramat, kekuatan gaib yang ada pada bernilai mutlak pada benda-benda tersebut, roh-roh halus tetapi berpangkal pada dari sikap manusia pada obyek-obyek tersebut yang muncul dari emosi keagamaan yang diikat menjadi sebuah kesadaran kolektif (dalam Ghazali, 2011 : 105). Patut juga disitir pendapat Raimundo Panikkar bahwa ada tiga penyikapan kebenaran agama :

a. eksklusivisme, yang menganggap agamanya paling benar.
b. inklusivisme, memiliki sikap menerima dan toleran akan adanya tataran-tataran yang berbeda. Sikap demikian akan terpaksa membuat kebenaan bersifat ”relatif murni”.
c. pararelisme, yakni memiliki sikap menyamakan dan mensejajarkan semua kebenaran, sekalipun pada dasarnya memiliki perbedaan.

Oleh karena itu kebenaran agama memiliki 2 pengertian :
  1. Kebenaran tekstual atau wahyu, yakni kebenaran yang ada di dalam kitab suci sebagai kebenaran absolut.
  2. Kebenaran emperik, yakni keyakinan manusia beragama didasarkan penyikapan, pemahaman, dan interpretasi dari kebenaran tekstual, sebagai kebenaran relatif.
Maka dari itu, setiap agama memiliki kebenaran. Dalam tataran sosiologis, klaim kebenaran berubah menjadi simbol-simbol agama yang dipahami secara subyektif oleh setiap pemeluk agama. Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknai dan dibahasakan. Keragaman itu tidak bisa dilepaskan dari berbagai referensi dan latar belakang yang diambil dari peyakin dari konsep ideal turun ke bentuk-bentuk normatif.

2. Etika dan Estetika dalam Prosesi Ngaben

Sebelum melangkah pembahasan tentang etika dan estetika, mari telaah apa sesungguhnya yag dimaksudkan etika dan estetika itu. Etika, sering disinonimkan dengan istilah moral, susila, budipekerti, akhlak. Dalam filsafat dan agama digunakan istilah di atas untuk merujuk pada sebuah perilaku individu atau kelompok. Etika adalah asas tentang tingkah laku yang bermakna (ilmu tentang apa yang baik dan buruk, tentang hak-hak dan kewajiban, (2) kumpulan asas atau nilai uang berkenan dengan tingkah laku manusia, (3) nilai mengenai benar-salah, halal haram, sah-batal, baik-buruk, dan ke biasaan-kebiasaan yang dianut suatu golongan masyarakat (Abdulah, 2006 : 5, dalam Banasuru).

Aripin Banasuru (2006 : 125) menjelaskan bahwa etika mengajarkan yang wajib ditempuh untuk meningkatan budi pekerti kejenjang kemuliaan, misalnya dengan melatih diri untuk mencapai perbaikan kesempurnaan diri. Sedangkan estetika menurut Shipley yang diturunkan dari kata aisthe (hal-hal yang ditanggapi dengan indera, tanggapan indera), sedangkan dalam bentuk adjektiva berbentuk aesthesis, yang bermakna perasaan atau sensitivitas. Maka estetika erat hubungannya dengan selera perasaan. Estetika yang berasal dari kata aesthetics atau esthetics (studi tentang keindahan), orang yang sedang menikmati keindahan disebut aesthete, sedangkan ahli keindahan disebut aesthetician. Orang yang ahli dalam bidang keindahan, estetis untuk makna yang bersifat indah, dan estetika untuk makna filsafat tentang keindahan. Ciri-ciri sebuah estetika yang hendak dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles yaitu teratur, simetris, dan proporsional. Lain dengan Liang Gie, lima syarat yang diajukannya adalah (1) kesatuan atau totalitas atau unity, (2) keharmonisan, keserasian atau harmony, (3) kesimetrisan, (4) keseimbangan dan (5) pertentangan, perlawanan, kontradiksi atau kontras (Ratna, 2007 : 19) dalam Banasuru).

Dalam pandangan Plato, etika dianggap sebagai perbuatan yang membahagiakan yang dilakukan dengan kemampuan rasional dan disertai dengan kebijakan. Tindakan dari setiap manusia dianggapnya akan selalu diarahkan kepada tujuan tertentu, sedangkan tujuan tertingginya yaitu kepada kebahagiaan (audemonia). Lain dengan Aquinas etika itu hanya sebuah perbuatan manusiawinya manusia yang berada dalam wilayah moral, karena dilakukan dengan ”pengertian” dan kehendak bebas. Kebahagian yang dianggap Aristoteles hanya sebagai tujuan hidup, namun Aquinas menganggapnya etika adalah memasuki kebahagiaan yang belum menyentuh wilayah sempurna.

Lalu dalam praktik yang terjadi prosesi ritual apapun, menariknya upacara karya besar tidak terlepas dari etika dan estetika kultur Hindu yang membidaninya. Selain itu sebuah karya manusia, nilai prosesi ritual ngaben yang menggunakan bade dan sarana lembu harus memiliki kebermanfaatannya terhadap kehidupannya manusia. Prosesi ritual yajna ngaben adalah bentuk swadharma keturunannya yang secara etika dan estetika akan memiliki kepuasan rohani bagi pelaku (baca; sang yajamana). Dua nuansa atau aspek yang selalu menjadi landasan bagi masyarakat Hindu di Bali, dua esensi, etika dan estetika adalah juga nilai esensi manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Kualitas dari estetika dalam prosesi ngaben adalah mengevokasi emosi-emosi. Semua ritual Hindu di Bali secara integratif terserap dalam estetika dan etika Hindu. Tidak satupun seni yang tidak berkontribusi untuk memberikan nuansa yang magis dan supranatural. Seni musik (gong, angklung, gambang, gender), seni suara (makidung, mawirama), seni pedalangan, seni banten, seni lukis. Kalau kita simak lebih detail tentang prosesi ngaben yang menggunakan instrumen : alat-alat upacara-upakara, wadah (bade), lembu dan sebagainya, secara teoritis juga mengandung enam gugus nilai, sebagaimana yang dikemukakan Sutan Takdir Alisyahbana, yaitu (1) gugus nilai ilmu pengetahuan (tolok ukur benar atau salah), (2) nilai ekonomis (gugus ekonomi), (3) nilai religius (gugus nilai agama), (4) nilai estetika atau gugus nilai seni, (5) nilai sosial dan (6) nilai gugus nilai-nilai solidaritas. 

3. Kerangka Agama dan tingkatan yajna

Berawal dari gemerlapnya kegiatan yajna upacara-upakara yang menumpuk bertubi-tubi, dan rentetan panjang yang tidak pernah selesai, tidak pernah berhenti sebagai akar masalah. Tidak ada yang menafikan bahwa yajna upacara sebagai keharusan atau tuntutan, disisi lain adalah sebagai beban, bukan ketulusan (lascarya) dan atmanastuti (menerima dengan bahagia).

Bagi mereka yang kebetulan diberikan rejeki atau pekerjaan yang mampu menopang beban kehidupan, bukanlah sebuah perkara. Bagaimana dengan mereka yang nasib dan takdirya tidak diberikan kesejahteraan dan pekerjaan yang menopang aktivitas untuk memenuhi kebutuhan primer saja masih kalang kabut, bagaimana dengan kebutuhan sekundernya – punya rumah, sepeda motor, beli gadget, kuliner dan berwisata.

Di sebuah Desa yang menerapkan pola tradisi upacara-upakara yajna semisalnya : piodalan merajan, kawitan), piodalan kahyangan Desa (Desa, Dalem Segara). Belum upacara-upara masingmasing individu dan keluarga (mesangih, pawiwahan (perkawinan), nyambutin, tiga bulanan rentetan panjang bagi masyarakat desa yang hidup bergotong royong, yang kental rasa menyamabraya, saling berbagi dan ngejot.

Praktisi kegiatan rohani tidak banyak sebenarnya melibatkan tenaga dan waktu, apalagi efisenisi biaya. Contoh sedarhana : melakukan meditasi, yoga, membaca kitab-kitab suci (Bhagavadgita), namasmaraman, bhajan dan kegiatan rohani lainnya sebenarnya salah satu penting cara untuk mengurangi eksploitasi alam dan sumber daya. Sama sekali tidak merujuk pada hubungan dengan financial. Namasmaranam hanya butuh japa (rosary), yoga hanya butuh yoga mat (alas duduk), membaca Bhagavadgita atau kitab suci lainnya hanya butuh buku yang bisa digunakan untuk selamanya.

Konsep ritualitas bersamaan dengan upacara-upakara selalu akan berhadapan dengan tidak hematnya waktu tenaga dan finanasial (biaya), tapi berhubungan dengan prosesi upacara-upakara. 

Sesungguhnya pemahaman umat Hindu mulai memasuki fase kesadaran yang lebih konkrit, dinamis dan filosofis. Disamping mengurangi bentuk yajna upacara-upakara yang dilakukan sebelumnya glamour, tidak efisien dan efektif dan sangat tidak memahami apa yang dilakukan. Kini dalam proses pematangan pemahaman agama Hindu menuju pencerahan. Pergeseran itu terlihat dari banyaknya umat Hindu melakukan upacara-upakara degan cara kremasi yang lebih efisien dan efektif. Pada intinya, dalam era globalisasi, dengan berkurangnya pasokan yajna upacara-upakara (baca : banten), justru megurangi ketergantungan upakara dari luar Bali. Disamping efisiensi dari biaya (financial), tenaga dan waktu. 

Hal ini akan memperkuat ekonomi masyarakat Bali yang hanya bertumpu pada sektor Pariwisata, karena lahan pertanian semakin berkurang. Ritual agni hotra juga sudah membuktikan bahwa upacara yajna selalu diisi dengan ritual agni hotra yang sederhana ditinjau dari penggunaan bahan upakara, waktu dan biaya sangat sederhana namun tidak mengurangi esnsi dan subsatnsi upakara.
  • Eksploitasi Alam
Lain dulu lain sekarang. Jauh berubah. Bali sebelum memasuki abad modern atau memasuki dunia globalisasi, alamnya dipenuhi hutan yang luas dan banyak hidup flora dan fauna. Tumbuhan, buah-buahan, dan berbagai marga satwa sangatlah kaya raya. Bali mungkin berlimpah, sedangkan penduduk Bali saat itu hanya dihuni oleh puluhan ribu manusia. Rasio antara populasi manusia dan tumbuhan dan tersedianya air yag berlimpah yang dapat memenuhi kebutuhan hidup khususnya untuk makan sangatlah terpenuhi. Bisa jadi berlebihan karena alam raya begitu kaya. Maka rasio kesehatan masyarakat Bali pada saat itu mencapai rata-rata umurnya 125 tahun. Makanan yng terkontaminasi pestisida, penyedap, pengawet, pemutih dan bahan destruksi lainnya tidak ada. Justru, tidak perlu beli hanya dibutuhkan barter, dan tpunya uang banyak atau semacam tabungan. Manusia sangat bisa memanfaatkan alam. 
  • Sulingguh/Pemangku/Serati dan Upacara
Pelaksanaan ritual agama di Bali, dan upakaranya di buat oleh para sarathi atas petunjuk pemangku atau Sulinggih sebagai pemuput upacara. Pemangku atau Sulinggih sebagai tempat untuk bertanya (sang penadahan upadesa) tentang runtunan acara, prosesi upacara dan waktu yang hendak dilaksanakan. Semuanya terkkordinasi dengan baik dan terpadu. Hanya saja semua upakara yang dilaksanakan sering terlalu glamor yang harusnya bisa diperpendek sesuai dengan Desa Kala Tattwa.

Sesuai dengan konsep upacara dasar : kanista , madya utama sesuai dengan kemampuan, tempat dan kondisi (tatwa/ filosofis). Tidak dipukul rata. Sampai ini memang upacara tidak bisa disamaratakan karena uger-ger di desa ditentukan dengan berat. Desa Pakraman atau Bendesa Axta sering menimbukkan masalah yang justru menjadi akar masalah dengan ada kewajiban mengikuti awig-awig Desa.

Sebagai contoh kasus bahwa orang yang melakukan kremasi di luar desanya dihalangi karena dikatakan tidak sesuai dengan awig-awig. Awig-awig kalau dibuat awag-awag akan uwug. Ketika akan melaksanakan kremasi, Prajuru Adatnya menjemput jenasahnya di RS, karena dianggap melanggar peraruran Desa Adat. Dianggap dengan dilakukannya kremasi berarti tidak berfungsinya Desa Pakaraman. Disamping Desa Pakraman sangat membebani ditinjau dari segi waktu, tempat dan biaya. Bila dilaksanakan secara tradisi harus mencari dewasa yang ditentukan oleh Desa. Tapi kalau kremasi tidak memandang waktu, lebih cepat dan praktis, efektif dan efisien. Tapi menghalangi atau ikut campur dalam menentukan waktu, tempat pelaksanaan kremasi iadalah patut disesalkan. Pelaksanaan kremasi atau mekingsan digni bisa jadi menjadi ribet dan diwajibkan menggunakan sulinggih tertentu.

Kasus kedua, seorang yang meinggal di RS Sanglah, dan melaksanakan kegiatan kermasi di Mumbul-Badung, harus dijemput paksa oleh Desa Pakramanya karena yang bersangkutan mengikuti aliran tertentu. Dengan alasan, apapun yang diikuit oleh anggota karma desa/banjar pakramannya disuatu tempat mereka diwajibkan untuk melaksanakan prosesi upacara di Desanya.

Sang yajamana yang memiliki sawa di Denpasar dan jenasahnya masih ada di RS karena meninggaldi RS harus dititipkan jenasahnya di RS karena awig-aiwg Desa berujar bawah masih ada piodalan di Desa Pakramannya. Diangap membawa jenasah ada melakukan prosesi upacara apapun namanya (mesimpen di gni/kremasi, ngaben atau upacara Anthyesti samskara) dianggap membuat Desa Pakaraman leteh. Suatu pola berpikir yang kurang selaras dengan, pemahan ajaran agama Hindu (janma-mrtyu-jara-vyadhi-dukha) – lahir, mati, sakit usia tua menyebabkan dukha adalah keniscayaan. Tidak ada manusia yang lahir, tidak akan mengalami proses penuaan, sakit dan akhirnya mati. Dalam perspektif ini kematian tidak terhindarkan dan pasti. Tapi kematian dianggap sebel. Sebel hanya berbubungan dengan badan, dan tidak ada kaitannya dengan jiva (atman). Hanya saja kematian di Bali meunggu “dewasa” baik untuk melakukan penguburan, pembakaran atau ngaben. 


Judul: Awig-Awig-Awag-Awag-Uwug: Sebuah Solusi Sederhana Ditengah Semaraknya Upacara-Upakara
Oleh : Made Aripta Wibawa
Dari: Dosen Tidak Tetap Fak Brahma Widya IHDN Denpasar

0 Response to "Awig-Awig-Awag-Awag-Uwug: Sebuah Solusi Sederhana Ditengah Semaraknya Upacara-Upakara"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel