Penerapan Vibhuti Marga dalam Kehidupan Menurut Ajaran Agama Hindu
Friday, March 8, 2019
Add Comment
MUTIARAHINDU -- Sifat-sifat Tuhan dalam kitab suci agama Hindu dilukiskan sebagai Yang Mahamengetahui dan Mahakuasa. Dia merupakan perwujudan keadilan, kasih sayang dan keindahan. Dalam kenyataannya, Dia merupakan perwujudan dari segala kualitas terberkati yang senantiasa dapat dipahami manusia. Dia senantiasa siap mencurahkan anugerah, kasih dan berkah-Nya pada ciptaan-Nya. Dengan kata lain, tujuan utama penciptaan dunia semesta ini adalah untuk mencurahkan berkah-Nya pada makhluk-makhluk, membimbingnya secara bertahap dari keadaan yang kurang sempurna menuju keadaan yang lebih sempurna. Dengan mudah Dia disenangkan dengan doa dan permohonan dari para pemuja-Nya. Namun, tanggapan-Nya pada doa ini dituntun oleh prinsip yang hendaknya tidak bertentangan dengan hukum kosmis yang berkenaan dengan kesejahteraan umum dunia dan hukum karma yang berkaitan dengan kesejahteraan pribadi-pribadi khususnya.
Baca: Pengertian dan Hakikat Vibhuti Mãrga Dalam Ajaran Agama Hindu
Baca: Pengertian dan Hakikat Vibhuti Mãrga Dalam Ajaran Agama Hindu
Kitab suci Veda menyatakan sebagai berikut:
"Ko addhā veda ka iha pra vocad, devāṁ acchā pathyā kā sam eti, dadṛṡra eṣām avamā sadāṁsi, pareṣu yā guhyeṣu vrateṣu".
Artinya:
"Kami mengetahui apa yang benar atau siapakah di sini yang dapat menyatakannya? jalan apakah yang pantas untuk menuntun pada kekuatan Tuhan (ilahi)? hanya tempat kediaman yang lebih rendah yang dipahami, bukan yang terletak pada lokasi misterius", (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:62).
Jalan (patha) menuju Tuhan ialah cara bagaimana seseorang akan sampai kepada Tuhan atau pada wilayah Tuhan. Menurut Mantra di atas, tidak ada manusia yang mengetahuinya dengan pasti dan dapat menegaskan bahwa jalan itu adalah satu-satunya jalan yang akan dapat membawanya kepada Tuhan, atau menunjukkan sebagai jalan yang paling aman dan paling singkat menuju Tuhan. Adalah hal yang wajar, untuk mencapai tempat yang dituju, orang harus mengenal tempat itu, dan demikian pula untuk sampai kepada Tuhan, orang harus mengenal Tuhan. Tetapi pengetahuan kita tentang Tuhan serba terbatas.
Demikian pula cara mengetahuinya terlalu berliku-liku sehingga dapat menyesatkan tanpa kesadaran dan berpikir selalu tentang Tuhan. Oleh karena itu penggambaran untuk mengenal Tuhan itu dilukiskan seperti dengan gambar ;Swastika, Padma, Acintya, dan yang lainnya. Orang yang ingin pergi ke Bali, setidak-tidaknya mengenal ciri-ciri yang dikatakan Pulau Bali yang berbeda dari pulau lainnya. Orang harus mendapatkan petunjuk-petunjuk. Tanpa itu orang dapat nyasar ke tempat lain, lebih-lebih bagi seorang asing yang akan pergi ke tempat itu. Begitulah dapat kita umpamakan orang yang akan mencari jalan menuju Tuhan harus mengenal jalan-jalan itu dan mengenal nama-nama menuju Tuhan dan akhirnya sampai pada Tuhan itu.
Salah satu petunjuk yang kita peroleh adalah keterangan yang mengatakan agar kita membaca Weda atau kitab suci agama Hindu. Karena di dalam kitab suci itulah pertama-tama kita akan mendapatkan keterangan tentang Tuhan dan cara mencapai tujuan itu. Orang harus memuja Tuhan untuk sampai kepada Tuhan dan bukan lainnya. (Isa Up. ‘l3).
Demikian pula di dalam kitab Gandharwa Tantra dikemukakan bahwa seseorang hendaknya memuja Tuhan (Dewa) bukan Dewa-dewa. Di dalam kitab Agni Purana dikemukakan pula bahwa dengan memuja Rudra orang sampai kepada Rudra, dengan memuja Surya orang sampai kepada Surya, dengan memuja Wisnu orang sampai kepada Wisnu, dengan memuja Sakti orang sampai kepada Sakti. Oleh karena itu orang harus memuja Tuhan untuk sampai kepada Tuhan. Jadi semua kitab suci Hindu itu pada dasarnya mengajarkan pemujaan kepada Tuhan, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:63).
Tetapi apakah arti memuja itu? Apakah pemujaan itu sekadar menangkup tangan, atau sekadar mengucapkan doa dan lagu sanjungan? Ataukah sekadar memikirkan tentang Tuhan. Apakah pemujaan itu berarti penghormatan yang mungkin bersifat duniawi? Hal ini tidak pernah dijelaskan dengan tepat. Sekadar sujud saja belum berarti memuja. Begitu pula sekadar menyanjung dalam lagu dan nyanyian belum tentu memuja.
Baca: Sloka-sloka Vibhuti Marga sebagai Tuntunan Hidup
Baca: Sloka-sloka Vibhuti Marga sebagai Tuntunan Hidup
Banyak nyanyian yang kita dengar dalam upacara keagamaan atau dalam kehidupan kita sehari-hari. Ini bukan pemujaan atau ini juga adalah pemujaan. Manusia melagukan nyanyian-nyanyian tentang kebahagiaan, tentang cinta, tentang penderitaan. Semuanya adalah kata hati yang digambarkan. Kita melagukan kebesaran Tuhan, berarti kita menyanyikan tentang kemuliaan Tuhan. Pendeknya banyak yang kita dengar dan kita lakukan. Kita menghormati dan sujud kepada orangtua, kita hormat kepada para pendeta. Semuanya juga berarti macam-macam. Untuk memperingati atau menghormati jasa seseorang kita mencontoh dan menggambarkan semua perjuangan atau tingkah laku orang yang kita agung-agungkan itu. Ini penghormatan atau pemujaan.
Bahasa manusia terlalu terbatas untuk menggambarkan arti kata pemujaan yang sebenarnya. Yang terpenting dalam pemujaan adalah sifat menyerahkan diri sepenuh hati kepada yang dipuja. Jadi sifat bhakti dan dengan menghubungkan diri kepada yang dipuja. Menghubungkan diri artinya melakukan yoga. Yoga berasal dari kata Yuj dan dari kata itu kemudian lahir kata yoga. Cara melakukan hubungan inilah yang disebut sembahyang, atau memuja menurut bahasa Sansekerta.
Kitab Rg. Veda X.71. mengemukakan ada empat jalan atau cara yang dapat dilakukan oleh manusia untuk sampai kepada Tuhan. Keempat cara atau jalan (Marga) itu disebutkan sebagai berikut.
- Dengan cara menyanyikan lagu-lagu pujaan.
- Dengan cara mempelajari dan mengenal Tuhan kemudian mengajarkannya.
- Dengan cara melakukan yajna dan memenuhi aturan yang digariskan.
- Dengan cara membaca doa-doa mantra.
Keempat cara itulah yang mula-mula telah dikemukakan yang lazim dilakukan oleh orang-orang pada waktu itu, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:64).
Dari ajaran itu kemudian dikembangkan menjadi beberapa marga (yoga) yang kita kenal berikut ini.
1. Ajaran Bhakti Marga (Yoga)
Bhakti merupakan kasih sayang yang mendalam kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan jalan kepatuhan atau bhakti. Bhakti Yoga disenangi oleh sebagian besar umat manusia. Tuhan merupakan pengejawantahan dari kasih sayang, dan dapat diwujudkan melalui cinta kasih seperti cinta suami kepada istrinya yang menggelora dan menyerap segalanya. Cinta kepada Tuhan harus selalu diusahakan. Mereka yang mencintai Tuhan tak memiliki keinginan ataupun kesedihan. Ia tak pernah membenci makhluk hidup atau benda apa pun, dan tak pernah tertarik dengan objek-objek duniawi. Ia merangkul semuanya dalam dekapan tingkat kasih sayangnya.
Kama (keinginan duniawi) dan tresna (kerinduan) merupakan musuh dari rasa bhakti. Selama ada jejak-jejak keinginan dalam pikiran terhadap objek-objek duniawi, seseorang tidak dapat memiliki kerinduan yang mendalam terhadap Tuhan. Atma-Nivedana merupakan penyerahan diri secara total setulus hati kepada Tuhan, yang merupakan anak tangga tertinggi dari Navavidha Bhakti, atau sembilan cara bhakti. Atma-Nivedana adalah Prapatti atau Saranagati. Penyembah menjadi satu dengan Tuhan melalui Prapatti dan memperoleh karunia Tuhan yang disebut Prasada. Bhakti merupakan suatu ilmu spiritual terpenting, karena mereka yang memiliki rasa cinta kepada Tuhan, sesungguhnya kaya. Tak ada kesedihan selain tidak memiliki rasa bhakti kepada Tuhan.
2. Ajaran Jnana Marga (Yoga)
Jñanayoga merupakan jalan pengetahuan. Moksa (tujuan hidup tertinggi manusia berupa penyatuan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa) dicapai melalui pengetahuan tentang Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Pelepasan dicapai melalui realisasi identitas dari roh pribadi dengan roh tertinggi atau Brahman. Penyebab ikatan dan penderitaan adalah avidya atau ketidaktahuan. Jiwa kecil, karena ketidaktahuan secara bodoh menggambarkan dirinya terpisah dari Brahman. Avidya bertindak sebagai tirai atau layer dan menyelubungi jiwa dari kebenaran yang sesungguhnya, yaitu bersifat Tuhan. Pengetahuan tentang Brahman atau Brahmajñana membuka selubung ini dan membuat jiwa bersandar pada Sat-Cit-Ananda Svarupa (sifat utamanya sebagai keberadaan kesadaran-kebahagian mutlak) dirinya, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:65).
Jnana bukan hanya pengetahuan kecerdasan, mendengarkan atau membenarkan. Ia bukan hanya persetujuan kecerdasan, tetapi realisasi langsung dari kesatuan atau penyatuan dengan yang tertinggi yang merupakan paravidya. Keyakinan intelekual saja tak akan membawa seseorang kepada Brahmajnana (pengetahuan dari yang mutlak). Pelajar Jñanayoga pertama-tama melengkapi dirinya dengan tiga cara yaitu: (1) pembedaan (viveka), (2) ketidakterikatan (vairagya), (3) kebajikan, ada enam macam (sat-sampat), yaitu: (a) ketenangan (sama), (b) pengekangan (dama), (c) penolakan (uparati), ketabahan (titiksa), (d) keyakinan (sraddha),
(e) konsentrasi (samadhana), dan (f) kerinduan yang sangat akan pembebasan (mumuksutva). Selanjutnya ia mendengarkan kitab suci dengan duduk khusuk di depan tempat duduk (kaki padma) seorang guru yang tidak saja menguasai kitab suci Veda (Srotriya), tetapi juga bagus dalam Brahman (Brahmanistha). Selanjutnya para siswa melaksanakan perenungan, untuk mengusir segala keragu-raguan. Kemudian melaksanakan meditasi yang mendalam kepada Brahman dan mencapai Brahma-Satsakara. Ia seorang Jivanmukta (mencapai moksa, bersatu dengan-Nya dalam kehidupan ini.
3. Ajaran Vibhuti Marga (Yoga)
Vibhuti Marga (Yoga) merupakan jalan penghayatan terhadap kebesaran dan kemuliaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai sinar-Nya sebagai simbol keindahan, kemuliaan jiwa, kebenaran, Rta, kebaikan, kebahagiaan, kekekalan, Tuhan dan lain-lain melalui jalan spiritual (pemikiran) oleh para Maharsi guna mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan umatnya. Vibhuti Marga adalah penghayatan terhadap kebenaran dan kemuliaan Tuhan yang dihayati oleh para maharesi melalui spiritual yang kemudian penghayatan tersebut dilukiskan secara lahiriah dalam bentuk puisi sebagai rasa kekagumannya.
4. Ajaran Karma Marga (Yoga)
Karmayoga adalah jalan pelayanan yang membawa pencapaian menuju Tuhan melalui kerja tanpa pamrih. Yoga ini merupakan penolakan terhadap buah perbuatan. Karmayoga mengajarkan bagaimana bekerja demi untuk kerja itu, yaitu tiadanya keterikatan. Demikian juga bagaimana menggunakan tenaga untuk keuntungan yang terbaik. Bagi seorang Karmayogin, kerja adalah pemujaan, sehingga setiap pekerjaan dialihkan menjadi suatu pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seorang Karmayogin tidak terikat oleh karma (hukum sebab akibat), karena ia mempersembahkan buah perbuatannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:66).
5. Ajaran Raja Marga (Yoga)
Rajayoga adalah jalan yang membawa penyatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa, melalui pengekangan diri, pengendalian diri, dan pengendalian pikiran. Rajayoga mengajarkan bagaimana mengendalikan indra-indra dan vritti mental atau gejolak pikiran yang muncul dari pikiran melalui tapa, brata, yoga dan samadhi. Dalam Hatha Yoga terdapat disiplin fisik, sedangkan dalam Rajayoga terdapat disiplin pikiran. Raja Marga Yoga hendaknya dilakukan secara bertahap melalui Astāngga yoga yaitu delapan tahapan Yoga, yang meliputi yama, niyama, asana, pranayama, pratyahara, dharana, dhyana, dan samadhi.
Apa yang telah diturunkan hanya merupakan dasar yang belum sempurna karena ternyata dari Åg veda 1.31, ditegaskan bahwa ajaran mengenai cara menuju Tuhan itu agar dikembangkan lebih jauh dengan memperbaiki. Perbaikan-perbaikan itu berjalan pada hakikatnya tergantung pada kemajuan cara berpikir dan filsafat yang dianutnya. Dalam hal ini terjadi proses pembudayaan tentang ajaran jalan menuju Tuhan sampai pada apa yang kita jumpai dalam bentuk seperti sekarang ini.
Pembaharuan cara, pengembangan sistem bagaimana cara menjalankan jalan yang telah digariskan bukan satu dosa karena pasal-pasal dari Rg. Weda sendiri hanya menganjurkan. Anjuran tidak berarti harus, tetapi baik jika dilakukan.
Yang terpenting dalam pengertian cara sembahyang itu ialah keharusan agar seorang yang hendak sembahyang harus dalam keadaan suci dan baik. Suci dan baik tidak hanya suci karena mandi saja tetapi juga suci karena tingkah laku. Dalam Manu Smrti dikemukakan sebagaimana hal-hal berikut.
- Pikiran yang kotor dan tidak baik harus diperbaiki dan disucikan dengan membaca-baca mantra atau kitab-kitab Veda.
- Badan yang kotor harus dibersihkan dengan jalan mandi.
- Benda-benda yang kotor harus dibersihkan dengan air, api atau benda-benda pensuci lainnya.
- Perkataan yang kotor harus diganti, dan belajar berkata-kata yang baik, kata-kata halus dan budi bahasa yang baik.
Mereka yang dalam keadaan suci seperti inilah yang dikatakan layak bersembah bakti pada Tuhan. Dengan kata lain ketentuan itu wajib sifatnya dan karena itu orang yang tidak memenuhi syarat doanya akan sia-sia saja, karena yang Maha Suci, Tuhan hanya terjangkau oleh sifat kesucian dan kebajikan manusia penyembahnya sendiri, sesuai menurut aturan yang telah ditentukan (Rg. Veda IX.73.6), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:67).
Svāmī Harshānanda dalam bukunya yang berjudul Deva-Devi Hindu, menyatakan bahwa konsep Tuhan Hindu memiliki dua gambaran khas, yaitu tergantung pada kebutuhan dan selera pemuja-Nya. Dia dapat dilihat dalam suatu wujud yang mereka sukai untuk pemujaan dan menanggapinya melalui wujud tersebut. Dia juga dapat menjelmakan Diri-Nya di antara makhluk manusia untuk membimbingnya menuju kerajaan Kedewataan-Nya. Penjelmaan ini merupakan suatu proses berlanjut yang mengambil tempat di mana pun dan kapan pun yang dianggap-Nya perlu. Kemudian ada aspek Tuhan lainnya sebagai Yang Mutlak, yang biasanya disebut sebagai “Brahman”; yang artinya besar tak terbatas. Dia adalah ketakterbatasan itu sendiri. Namun, Dia juga bersifat immanent pada segala yang tercipta. Dengan demikian tidak seperti segala yang kita kenal bahwa Dia menentang segala uraian tentang-Nya. Telah dinyatakan bahwa jalan satu-satunya untuk dapat menyatakan-Nya adalah dengan cara negatif: Bukan ini! Bukan ini!
Jadi untuk sekadar memuaskan pikiran manusia yang terbatas, untuk menggambarkan yang tak terbatas, pikiran manusia yang terbatas perlu dijelaskan untuk memuaskannya, yaitu pertanyaan mendasar tentang siapakah yang dimaksud dengan Tuhan itu? Jawaban atas pertanyaan ini merupakan dasar dalam pemberian definisi tentang Tuhan. Walaupun pendefinisian tentang Tuhan tidak mungkin, namun untuk keperluan praktis dalam pembahasan ini difinisi Tuhan diperlukan sebagai titik tolak berpikir. Kesulitan dalam memberi definisi karena suatu definisi yang baik harus benar-benar memberi gambaran yang jelas dan lengkap, sedangkan Tuhan mencakup pengertian yang luas dan serba mutlak. Untuk pertama kali definisi tentang Tuhan dijumpai dalam kitab Brahma Sūtra I.1.2 sebagai berikut.
“Janmādyasyayatah”
Terjemahannya:
“(Brahman adalah yang Maha Tahu dan penyebab yang Maha Kuasa) dari mana munculnya asal mula dan lain-lain, (yaitu pemeliharaan dan peleburan) dari (dunia ini)”.
Kitab Brahma Sūtra merupakan sistematisasi dari pemikiran kitab-kitab Upanisad. Dalam Brahma Sūtra ditemukan nama-nama aliran pemikiran Vedānta. Bādarāyana, yang dianggap sebagai penyusun Brahma Sūtra atau Vedānta Sūtra, bukanlah satu-satunya orang yang mencoba mensistematisir gagasan filsafat yang terdapat dalam Upanisad, walaupun mungkin merupakan karya yang terakhir dan terbaik. Semua sekte di India sekarang ini menganggap karya beliau sebagai otoritas utama dan setiap sekte baru pastilah mulai dengan memberikan ulasan baru pada Brahma Sūtra ini – dan rasanya tak akan ada sekte yang dapat didirikan tanpa berbuat demikian (Vireśvarānanda, 2002 : 5), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:68).
Renungan Åg Veda I.89-5
"Tam insanām jagatattasdhusas pati ghiyam jinvār avase humahe vayam pusa no yatha vedasā masad vrghe raksita payuradacvah svataye".
Terjemahan:
"Ya, Yang Mahakuasa, dewa bagi yang bergerak dan yang tidak bergerak, yang mengilhami pikiran, kami mohon pertolongan. Semoga Tuhan, pelindung kami dan yang menjaga kami, yang tak terkalahkan, lipat gandakanlah kekayaan kami untuk kesejahteraan kami".
Referensi
Mudana dan Ngurah Dwaja. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti : Buku Siswa / Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. -- Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014.vi, 190 hlm.; 25 cm
Untuk SMA/SMK Kelas XI
Kontributor Naskah : I Nengah Mudana dan I Gusti Ngurah Dwaja.
Penelaah : I Wayan Paramartha. – I Made Sutrisna.
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud
Cetakan Ke-1, 2014
0 Response to "Penerapan Vibhuti Marga dalam Kehidupan Menurut Ajaran Agama Hindu"
Post a Comment